PENGERTIAN,
MACAM-MACAM DAN PERKEMBANGAN
HUKUM PIDANA
ISLAM (FIQIH JINAYAH)
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari
kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak
pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang
yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum
yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan
kriminal adalah tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan
melawan peraturan perundang-undangan.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah SWT
yang mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Syariat dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu
menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak-hak, baik yang ada pada diri
sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang
berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT dimaksud, harus
ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. Al-Quran merupakan
penjelasan Allah SWT tentang syariat, sehingga disebut Al-Bayan (penjelasan).
Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai empat cara dan sala satunya
adalah Allah SWT memberikan penjelasan dalam bentuk nash
(tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang membunuh tanpa hak
hukumnya harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari
pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus
pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/ atau
sudah menikah hukumannya adalah dirajam. Demikian juga perbuatan yang berkaitan
dengan peminum khamar, pencurian, perampokan, penuduhan berzina, dan orang
murtad. Hal-hal seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Al-Quran. (Dalam writing and speaking/presenting “pengertian hokum
pidana islam”).
Jarimah (ar: al-jarimah = delik atau perbuatan pidana atau tindak
pidana). Perbuatan yang dilarang syara’ dan pelakunya diancam oleh Allah SWT
dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan
bentuk hukumannya di delegasikan syara’ kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud
dengan larangan syara’ adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam
hukuman oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam
hukuman oleh syara’ bagi yang meninggalkannya.
Fikih Jinayah. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan
jinayah (al-jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang
dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu, jinayah
bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian inilah
ulama fikih menggunakan istilah “fikih jinayah” sebagai salah satu bidang ilmu
fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut
Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan
perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang
lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang
menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad.
Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah
pada jarimah hudud dan jarimah kisas. Dengan demikian, istilah jarimah dan jinayah
dalam terminologi syara’ adalah sama. Oleh karena itu, penamaan fikih jinayah
sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam
Islam dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan kandungan
jarimah.
Al-Qanun al-Jaza’i. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain.
Al-Qanun al-Jaza’i. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain.
Ruang Lingkup. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jaza’i
mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan
hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/tindak pidana
tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, kisas/diat
dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda.
Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan) adalah ketentuan perbuatan
pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi
hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain
pencurian (QS.5:38); zina (QS.24:2); dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4).
Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang
dijelaskan nas.
Qisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan macamnya
oleh Allah SWT, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi
manusia memiliki dan mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan
dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Qisas/diat berhubungan
dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan.
Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga
korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku
dengan hukuman yang serupa (Qisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari
pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban
memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari
saksi hukuman (QS.2:178).
Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak
dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku.
Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah
pemerintah. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan
kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain
yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunah, pemerintah memiliki kewenangan untuk
menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk
hudud dan qisas/diat. Sebagai ‘ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai
dengan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakatnya. Di sinilah peluang
pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat
nas.
Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas al-Qur’an maupun as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam.
Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas al-Qur’an maupun as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam.
Perkembangannya dalam Islam. Pada awal sejarah Islam, undang-undang
hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di
samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan
perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw.
memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu
Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan
dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang
memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk
kepada al-Qur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak
dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan
sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini
belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an .
Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah.
Untuk menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan
pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam
masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini
adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian dilanjutkan
oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M). Pada masa ini,
belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman yang
dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh
pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam
Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina.
Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swiss.
Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina.
Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swiss.
Undang-undang hukum pidana Libanon menjiwai undang-undang hukum
pidana Suriah. Perumusannya diawali dengan pembuatan komisi untuk membuat
rancangan undang-undang hukum pidana Suriah pada tahun 1949. Pada tanggal 22
Juni 1949 berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 148 rancangan tersebut disahkan
menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku pada bulan
September 1949.
Kodifikasi hukum pidana di negara-negara Islam lainnya berbeda-beda
sesuai dengan kebijakan pemerintahnya. Arab Saudi dan negara-negara di wilayah
Teluk lainnya memberlakukan syariat Islam dalam undang-undang hukum pidananya.
Diikuti oleh Sudan, memberlakukan hukum pidana Islam pada bulan September 1983.
Sementara Pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadakan Islamisasi hukum pidana,
Pakistan memberlakukan hukuman potong tangan, dera, dan ketentuan hukum pidana
Islam lainnya. Di Indonesia, perumusan undang-undang hukum pidana Islam belum
dilakukan hingga kini, karena hukum pidana yang masih berlaku masih peninggalan
hukum pidana Barat (Belanda).
0 komentar:
Posting Komentar