Teori Imlisit Versus Teori Eksplisit dan Konstruksi Sosial Mengenai
Kenyataan
Pengaruh dari
pengalaman-pengalaman sosial individu atau dari pengalaman intelektualnya pada
orientasinya terhadap lingkungan social sangatlah dipengaruhi oleh persfektip
Berger dan Luckmann mengenai konstruksi sosial tentang kenyataan. (Lihat Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann, The sosial Construction of Reality : Garden City, N.Y. :
Doubleday, 66). Berger dan Luckmann menekankan bahwa sistem-sistem sosial dan
pandangan-pandangan hidupnya diciptakan dan dipertahankan secara sosial, tidak
didasarkan pada suatu kenyataan akhir atau absolut. Tetapi dalam suatu
masyarakat yang sangat stabil yang memiliki satu pandangan hidup budaya yang
dominan, orang mengalami kenyataan sosial di mana mereka termasuk, dan yang
pandangan hidupnya memberikan pembenaran atau legitimasi, sebagai suatu yang
didasarkan pada sesuatu kenyataan absolut dan tidak berubah-ubah, yang terlepas
dari kenyataan-kenyataan dan ide-ide budayanya. Sebaliknya, dalam
masyarakat-masyarakat yang lebih mudah berubah-ubah atau yang bersifat
pluralistik dalam struktur sosial atau ide-ide budayanya, pandangan hidup yang
monolitis dan tidak berubah-ubah itu tidak bisa diterima. Di sana banyak sekali
berkembang pandangan-pandangan hidup yang bersifat kompetitif dan pola budaya,
yang masing-masing didasarkan pada definisi-definisi sosial yang memperlihatkan
alternatif atau kepercayaan-kepercayaan di mana orang harus mengadakan pilihan
dari antaranya.
Perspektif
Berger dan Luckmann membantu kita untuk memahami distingsi antara
lingkungan-lingkungan sosial yang mendorong terjadinya refleksi yang sadar akan
bentuk-bentuk sosial dan bentuk-bentuk budaya, dan lingkungan-lingkungan sosial
yang mendorong diterimanya bentuk-bentuk ini secara pasif dan tidak reflektif.
Ini sesuai dengan anggapan bahwa berteori yang didasarkan pada sadar-diri akan
kenyataan sosial akan lebih lazim terjadi dalam lingkungan sosial yang terbuka
dan pruralistis.
Ringkasnya,
kita semua berteori dalam proses menciptakan atau mempertahankan kenyataan
sosial, meskipun mungkin kita tidak menganggap diri kita sendiri sebagai ahli
teori sosial. Sebagai Manusia, kita melihat apa yang ada dibelakang pengalaman
langsung atau fakta dari situasi kita sendiri dengan maksud untuk
menginterpretasi, menjelaskan, meramal, dan merencanakan kehidupan kita
sehari-hari. Namun kita tidak selalu sadar akan asumsi-asumsi implisit yang
menjadi dasar kesimpulan ini, dan kita tidak selalu menghargai bahwa
asumsi-asumsi ini diciptakan oleh manusia dalam kehidupan sosial.
Kesadaran
kita akan asumsi-asumsi teoritis yang kita miliki, dan akan sifatnya yang tidak
sempurna dan diciptakan dalam kehidupan sosial, mungkin akan ditimbulkan oleh
pengalaman apa saja di mana kebiasaan-kebiasaan yang mapan menjadi tidak sesuai
atau tidak relevan dan harus diubah, atau di mana kita dipaksa untuk
membenarkan atau mempertahankan asumsi-asumsi ini, atau membuat pilihan-pilihan
yang tidak biasa di antara alternatif-alternatif. Beberapa pengalaman yang demikian
itu sudah kita tunjukkan : mobilitas atau terbukanya lintas budaya di mana
wawasan pengalaman sosial seseorang itu diperluas ; perubahan pesat yang sering
kali menuntut pilihan yang sadar akan suatu tipe yang tidak tercakup dalam
tradisi yang sudah mapan ; dan marginalitas yang sering kali mengakibatkan
orang mengambil jarak tertentu terhadap kebiasaan dan kepercayaan tertentu
(Melanjutkan bentuk-bentuk pertanyaan seperti dalam bagian ini dapat masuk pada
satu bidang yang disebut sosiologi mengenai sosiologi. Dalam beberapa hal, pembaca mungkin dapat mengenal jenis
pengalaman sosial yang membangkitkan niat terhadap sosiologi. Juga bagi para
ahli teori sosiologi yang didiskusikan di sini diandaikan bahwa pengalaman-pengalaman
sosial mereka, sikap refleksinya atas lingkungan sosial dan lingkungan
intelektual di mana mereka hidup, bukan tidak relevan dengan jenis teori
sosiologi yang mereka kembangkan).
Pengalaman-pengalaman
seperti itu, terutama kalau digabungkan dengan perspektif ilmiah, merangsang
proses berteori secara eksplisit atau secara sadar. Sesungguhnya mereka yang
benar-benar mempunyai komitmen terhadap metode-metode dan nilai-nilai ilmiah dan
yang mempunyai kesempatan untuk menjajagi pelbagai isu sosial dengan
menggunakan perspektif ilmiah, mungkin dapat mengembangkan minat untuk berteori
sosiologi, meskipun tanpa macam-macam pengalaman sosial yang luas, seperti yang
sudah kita tunjukkan di atas. dipandang dari segi ini, teori sosiologi tidak
hanya sekedar istilah tertentu yang hanya dimengerti oleh kelompok-kelompok
tertentu saja sebagai hasil dari spekulasi abstrak dari kaum akademisi ; teori
sosiologi merupakan kegiatan manusia yang hakiki yang membangkitkan kesadaran
kita yang berhubungan dengan lingkungan sosial. Dengan membuka diri terhadap
teori sosiologi kita menjadi lebish sadar akan pelbagai cara di mana dunia
sosial dan dunia budaya kita itu diciptakan dan dipertahankan, atau diubah lewat
kegiatan dan interaksi manusia. Kemampuan kita untuk memilih dari antara
alternatif-alternatif dan kemampuan kita untuk merencanakan masa depan secara
realistis dan kreatif harus didukung oleh pengalaman meningkatkan kesadaran
akan perlunya mempelajari teori sosial.
(Salah satu materi diskusi harian di Himpunan
Mahasiswa Banten Jakarta pada semester 1)
0 komentar:
Posting Komentar