ISTIHSAN DAN PROBLEMATIKANYA
Pengertian Istihsan
Secara etimologi,
Istihsan mempunyai arti menganggap sesuatu lebih baik, adanya sesuatu itu lebih
baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk
diikuti. (Dalam : Safiudin Shidik, Ushul Fiqh, Jakarta : PT. Intimedia Cipta
Nusantara, 2005, hal. 59). Dalam penggunaan lafal istihsan ini para ulama ushul
fiqh tidak banyak perbedaan pendapat, karena memang lafal yang seakar dengan
istihsan banyak dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. Dalam hal
ini, H. Nasrun Haroen memiliki pendapat bahwa menurutnya, letak perbedaan
pendapat sebenarnya hanya terdapat dalam rumusan dan hakikat istihsan. (Dalam :
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 102). Dalam
terminology bahasanya, para ulama ushul mendefinisikan istihsan adalah
pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kias jali (nyata) kepada kias khafi
(samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhshis lantaran terdapatr dalil
yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan
perpindahan hukum (Dalam : Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, penerjemah K.H. Masdar
Helmy, Bandung : Gema Risalah Press, 1997, hal. 136).
Dalam hal ini beberapa ulama dari mazhab fiqih
Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah menerima istihsan sebagai
salah satu metode dalam mengistimbathkan hukum syara’. Para ulama ini mencoba
mendefinisikan istishan seperti Imam al-Bazdawi seorang ahli ushul fiqh Hanafi.
Dia mengatakan “Istishan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang
lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”. Selain
itu, Imam al-Sarakhsi seorang ahli ushul fiqh Hanafi juga mengatakan bahwa
“Istishan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari
itu, karena adanya dalil yang menghendakinya
serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia”. Imam Malik
sebagaimana dinukilkan Imam Syathibi, Seorang ahli ushul fiqh Maliki
mendefinisikan : “Istishan adalah memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika
berhadapan dengan kaidah umum”. Ibn Qudama seorang ahli ushul fiqh Hambali
mengatakan: “Istishan adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah
disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari
dalil-dali al-Qur’an maupun Sunnah Rasul”. Dari berbagai definisi di atas hanya
ulama Syafi’iyyah yang tidak ditemukan definisi istishan karena sejak semula
memang dari mereka tidak menerima istishan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan “Barangsiapa
yang menggunakan istishan, sesungguhnya ia telah membuat syara”. (Dalam : Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997, hal. 103)
Salah satu bahan diskusi mata kuliah ushul fiqh...
0 komentar:
Posting Komentar