Senin, 21 Januari 2013

“NIKAH DINI” DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM




“NIKAH DINI” DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM 
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud.
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Dalam kehidupan, selalu muncul hal-hal baru (aktual) yang berkaitan dengan permasalahan hukum pernikahan (fiqh al-Munakahat), di antara kasus-kasus terjadi adalah kontroversi pernikahan di bawah umur atau sering disebut juga nikah dini.
Dalam perspektif fiqh Islam, penulis tidak menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan dalam Islam. Justru, dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia. Di antara dalil-dalil tersebut yaitu:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.( Al-Qur’an yaitu QS At-Thalaq : 4)
وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ = perempuan yang belum haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah itu sendiri terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal mati oleh suaminya. Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul iltizam-nya (indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita yang belum haid boleh menikah. Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun minimal untuk menikah.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap  perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita  yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka  seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”( QS. An-Nisa : ayat 3)
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an   tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa  yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka  dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan  supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (An-Nisa : 127)
Ummul Mukminin Aisyah ra dalam menafsirkan ayat ini ketika ditanyakan oleh keponakannya Urwah bin Zubair berkata; “Wahai anak saudariku, perempuan (yang dimaksud ayat itu) adalah anak perempuan yatim yang tinggal dalam rumah walinya (laki-laki), yang hartanya digabung dengan harta walinya, walinya pun tertarik pada harta dan kecantikan gadis itu. Diapun ingin menikahinya tanpa bersikap adil dalam pemberian (mahar dan nafkahnya). Pemberian Laki-laki itu padanya sama dengan yang lain. Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka dengan memberikan melebihkan pemberian pada mereka” (HR Muttafaq ‘alaih)
Perkataan Aisyah ra : “Diapun ingin menikahinya….….Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya (masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh.
Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib al Muharibi dalam al Muharror al Wajiz mendefinisikan al-Yatim pada manusia adalah anak kecil (as-Shobiy) yang tidak memiliki bapak. Adapun pada binatang, al-yatim adalah jika tidak memiliki ibu. Sifat yatim dilekatkan pada usia belum baligh. Sebagaimana sabda Nabi SAW:  « لا يتم بعد حلم » artinya “tidak disebut yatim bila telah bermimpi (tanda baligh)”.
Dijelaskan pula dalam Hadis Rasulullah SAW, diantaranya adalah:
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi)
Dijelaskan dalam ‘Umdat al-Qori karya Badruddin al-‘aini al-Hanafi bahwa Aisyah dinikahi Rasulullah pada umur 6 tahun,  yaitu 3 tahun sebelum Hijrah. Rasulullah hijrah lebih dahulu bersama shahabat sekaligus mertuanya Abubakar as-Shiddiq. Kemudian sekitar 6 atau 7 bulan kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ keduanya pelayan/asisten Nabi dengan modal 2 ekor onta + 500 dirham untuk membeli onta lagi. Mereka menjemput Aisyah, Ibundanya Ummu Ruuman dan saudari Aisyah, Asma’ bintu Abibakar.
Rasulullah memulai hidup berumahtangga dengan Aisyah pada bulan Syawwal pada saat Aisyah berumur 9 tahun. Rasulullah meninggal pada saat Aisyah berumur 18 tahun.
Berdasarkan hadis tersebut para ulama, di antaranya Imam as-Syaukani, menyatakan bahwa Boleh bagi seorang bapak menikahkan anak gadisnya yang masih kecil/belum baligh.
Sedangkan al-Ijma’ menjelaskan sebagai berikut:
Bolehnya seorang bapak untuk menikahkan anak gadis kecilnya yang telah baligh merupakan ijma’ ulama, atau minimal ijma’ shohabat. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad dalam “al-Masa’il-dari riwayat Sholih- (3/129), al-Maruzi dalam  “Ikhtilaf al’Ulama’ (hal 125), Ibnu Mundzir dalam ‘Al-‘Ijma’ (hal 91), Ibnu Abdil Bar dalam al-Tamhid, al-Baghowi dalam “Syarh as-Sunnah” (9/37), An-Nawawi “Syarh Muslim” (9/206), Ibnu Hajar al-Asqolany dalam “Fath al-Bari” (12/27), al-Bajiy dalam “al-Muntaqo” (3/272), Ibnu al-‘Arobi dalam “’Aridhoh al-Ahwadzi” (5/25) dan al-Syinqithi dalam “ Mawahib al-Jalil” (3/27). Dalil yang menjadi dasar adanya ijma’ ini di antaranya adalah ayat-ayat di atas, sunnah Nabi dan tradisi (al’Urf) di kalangan sahabat dan tabi’in dan generasi selanjutnya.
Dalam Atsar menjelaskan Perbuatan (‘amal) Sahabat Yakni:
Beberapa atsar menunjukkan bahwa para shahabat biasa menikahkan anaknya pada usia dini tanpa ada yang saling mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian para sahabat tidak memandang hal tersebut sebagai khoshois Nabi SAW. Di antara atsar tersebut adalah: (1) Ali bin Abi Tholib ra menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Umar bin al-Khattab ra pada saat umurnya belum baligh (Riwayat Abdurrozaq dalam al-Mushonnaf dan Ibnu Sa’ad dalam al-Thobaqoot), (2) riwayat dari ‘Urwah bin Zubair; Bahwasanya Zubair ra menikahkan anak perempuannya yang masih kecil ketika dilahirkan (Riwayat Sa’id bin Manshur dalam sunan-nya dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf dengan Isnad yang shohih). Imam Syafi’I dalam al-Umm menyatakan: tidak hanya satu orang shahabat yang menikahkan anak gadisnya pada usia belia.
Kemudian al-‘urf  (kebiasaan yang berlaku umum pada suatu tempat) menjelaskan:
‘Urf menjadi salah satu dasar penetapan hukum dalam Islam, selama ‘urf itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’I lain yang kuat dan tegas. ‘urf memang dapat berubah dengan perubahan zaman dan kebiasaan.
Di Indonesia kebiasaan menikahkan anak adalah tradisi yang terjadi sejak lama. Walaupun akhir-akhir ini semakin berkurang, namun belumlah hilang sama sekali. GhaboNews menyebutkan sekitar 25 persen penduduk Indonesia menikah pada usia dini, atau di bawah usia ideal yang dianjurkan pemerintah yakni 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan Angka Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan di Indonesia yakni 19,1 tahun.
Laporan Into A New World: Young Women’s Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18% dan Pernikahan di bawah usia 18 tahun mencapai 49 persen pada tahun 1998.
Di kota Malang menurut catatan kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun meningkat 500 persen dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah 15 tahun. (BCZ Online/Kamis, 30 Oktober 2008).

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*