“NIKAH DINI”
DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam
adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan
tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung
maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud.
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan.
Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah
tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan
dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang
diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Dalam kehidupan, selalu muncul hal-hal baru
(aktual) yang berkaitan dengan permasalahan hukum pernikahan (fiqh
al-Munakahat), di antara kasus-kasus terjadi adalah kontroversi pernikahan di
bawah umur atau sering disebut juga nikah dini.
Dalam perspektif fiqh Islam, penulis tidak
menemukan adanya pembatasan usia minimal pernikahan dalam Islam. Justru,
dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan pada usia dini/belia. Di antara
dalil-dalil tersebut yaitu:
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.( Al-Qur’an
yaitu QS At-Thalaq : 4)
وَاللائِي لَمْ
يَحِضْنَ = perempuan yang belum
haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah itu sendiri
terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal mati oleh
suaminya. Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul iltizam-nya
(indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita yang belum haid boleh menikah.
Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun minimal untuk
menikah.
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim , maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka seorang
saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”( QS. An-Nisa : ayat 3)
“Dan mereka
minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah : “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an
tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan supaya kamu mengurus
anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (An-Nisa : 127)
Ummul Mukminin Aisyah ra dalam menafsirkan ayat
ini ketika ditanyakan oleh keponakannya Urwah bin Zubair berkata; “Wahai
anak saudariku, perempuan (yang dimaksud ayat itu) adalah anak perempuan yatim
yang tinggal dalam rumah walinya (laki-laki), yang hartanya digabung dengan
harta walinya, walinya pun tertarik pada harta dan kecantikan gadis itu. Diapun
ingin menikahinya tanpa bersikap adil dalam pemberian (mahar dan nafkahnya).
Pemberian Laki-laki itu padanya sama dengan yang lain. Maka terlarang bagi wali
itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka
dengan memberikan melebihkan pemberian pada mereka” (HR Muttafaq ‘alaih)
Perkataan Aisyah ra : “Diapun ingin
menikahinya….….Maka terlarang bagi wali itu untuk menikahi perempuan yatim
kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya
(masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena
pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh.
Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib al Muharibi
dalam al Muharror al Wajiz mendefinisikan al-Yatim pada manusia
adalah anak kecil (as-Shobiy) yang tidak memiliki bapak. Adapun pada binatang, al-yatim
adalah jika tidak memiliki ibu. Sifat yatim dilekatkan pada usia belum
baligh. Sebagaimana sabda Nabi SAW: « لا يتم بعد
حلم » artinya “tidak
disebut yatim bila telah bermimpi (tanda baligh)”.
Dijelaskan pula dalam Hadis Rasulullah SAW,
diantaranya adalah:
“Dari Aisyah ra
(menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak
berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan
beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” (Hadis Shohih
Muttafaq ‘alaihi)
Dijelaskan dalam ‘Umdat al-Qori karya Badruddin
al-‘aini al-Hanafi bahwa Aisyah dinikahi Rasulullah pada umur 6 tahun,
yaitu 3 tahun sebelum Hijrah. Rasulullah hijrah lebih dahulu bersama shahabat
sekaligus mertuanya Abubakar as-Shiddiq. Kemudian sekitar 6 atau 7 bulan
kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ keduanya
pelayan/asisten Nabi dengan modal 2 ekor onta + 500 dirham untuk membeli onta
lagi. Mereka menjemput Aisyah, Ibundanya Ummu Ruuman dan saudari Aisyah, Asma’
bintu Abibakar.
Rasulullah memulai hidup berumahtangga dengan
Aisyah pada bulan Syawwal pada saat Aisyah berumur 9 tahun. Rasulullah
meninggal pada saat Aisyah berumur 18 tahun.
Berdasarkan hadis tersebut para ulama, di
antaranya Imam as-Syaukani, menyatakan bahwa Boleh bagi seorang bapak
menikahkan anak gadisnya yang masih kecil/belum baligh.
Sedangkan al-Ijma’ menjelaskan sebagai berikut:
Bolehnya seorang bapak untuk menikahkan anak
gadis kecilnya yang telah baligh merupakan ijma’ ulama, atau minimal ijma’
shohabat. Sebagaimana riwayat Imam Ahmad dalam “al-Masa’il-dari riwayat Sholih-
(3/129), al-Maruzi dalam “Ikhtilaf al’Ulama’ (hal 125), Ibnu Mundzir
dalam ‘Al-‘Ijma’ (hal 91), Ibnu Abdil Bar dalam al-Tamhid, al-Baghowi dalam
“Syarh as-Sunnah” (9/37), An-Nawawi “Syarh Muslim” (9/206), Ibnu Hajar
al-Asqolany dalam “Fath al-Bari” (12/27), al-Bajiy dalam “al-Muntaqo” (3/272),
Ibnu al-‘Arobi dalam “’Aridhoh al-Ahwadzi” (5/25) dan al-Syinqithi dalam “
Mawahib al-Jalil” (3/27). Dalil yang
menjadi dasar adanya ijma’ ini di antaranya adalah ayat-ayat di atas, sunnah
Nabi dan tradisi (al’Urf) di kalangan sahabat dan tabi’in dan generasi
selanjutnya.
Dalam Atsar menjelaskan Perbuatan (‘amal)
Sahabat Yakni:
Beberapa atsar menunjukkan bahwa para shahabat
biasa menikahkan anaknya pada usia dini tanpa ada yang saling mengingkari
perbuatan tersebut. Dengan demikian para sahabat tidak memandang hal tersebut
sebagai khoshois Nabi SAW. Di antara atsar tersebut adalah: (1) Ali bin Abi
Tholib ra menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Umar bin al-Khattab ra pada
saat umurnya belum baligh (Riwayat Abdurrozaq dalam al-Mushonnaf dan Ibnu Sa’ad
dalam al-Thobaqoot), (2) riwayat dari ‘Urwah bin Zubair; Bahwasanya Zubair ra
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil ketika dilahirkan (Riwayat Sa’id
bin Manshur dalam sunan-nya dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf dengan
Isnad yang shohih). Imam Syafi’I dalam al-Umm menyatakan: tidak hanya satu
orang shahabat yang menikahkan anak gadisnya pada usia belia.
Kemudian al-‘urf (kebiasaan yang berlaku
umum pada suatu tempat) menjelaskan:
‘Urf menjadi salah satu dasar penetapan hukum
dalam Islam, selama ‘urf itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’I lain
yang kuat dan tegas. ‘urf memang dapat berubah dengan perubahan zaman dan
kebiasaan.
Di Indonesia kebiasaan menikahkan anak adalah
tradisi yang terjadi sejak lama. Walaupun akhir-akhir ini semakin berkurang,
namun belumlah hilang sama sekali. GhaboNews menyebutkan sekitar 25 persen
penduduk Indonesia menikah pada usia dini, atau di bawah usia ideal yang dianjurkan
pemerintah yakni 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Berdasarkan Angka Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007,
jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia
perkawinan di Indonesia yakni 19,1 tahun.
Laporan Into A New World: Young Women’s
Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates
Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di
Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18% dan Pernikahan di bawah usia 18
tahun mencapai 49 persen pada tahun 1998.
Di kota Malang menurut catatan kantor
Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun
meningkat 500 persen dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan
yang usia pengantin perempuannya masih di bawah 15 tahun. (BCZ Online/Kamis, 30
Oktober 2008).
0 komentar:
Posting Komentar