Perjalanan
Al-Hallaj Menuju Hulul
Sejarah Pribadi Al-Hallaj
Mengeksplorasi
sejarah pribadi al-Hallaj bukan sebuah tugas yang mudah untuk diselesaikan
apalagi untuk mendapatkan kebenaran yang objektif mengenai dirinya, karena
ketika kita membahas al-hallaj sama artinya kita mengeksplorasi sebuah
pengalaman masa lalu yang pernah dialami al-hallaj dan juga mencoba memahami
isi pikirannya dan pengetahuannya yang belum tereduksi oleh berbagai macam
kepentingan. Namun meskipun penulisan ini penuh dengan keterbatasan data dan
informasi mengenai pribadi al-hallaj kami akan mencoba untuk mendekati
kebenaran tersebut.
Dalam sejarah
Islam mungkin kita akan menemukan sebuah masa, setelah Rasulallah wafat, dimana
Islam berjaya dan berkembang pesat. Dan masa yang kami maksud di sini adalah
masa kejayaan Dinasti Abbasiyyah, yang orang Islam bilang bahwa masa ini adalah
“masa keemasan” yang patut dibanggakan karena mengandung peradaban Islam yang
cukup tinggi. Dan bahkan hingga sekarang tidak sedikit orang Islam menginginkan
masa-masa itu terulang kembali.
Tetapi, bagi
al-Hallaj (Abu al-Mughits al-Hasan ibn Mansur ibn Muhammad al-Baidhawi) (Dalam
: Fatimah Usman, Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta: LKIS,
2002, hal. 02), sendiri sepertinya tidak ada yang patut dibanggakan pada masa
itu. Karena boleh dikatakan ia adalah salah satu korban sejarah Sosial-Politik
Dinasti Abbasiyyah dan sikapnya yang selalu menolak kemapanan yang ada,
terutama pemberontakannya terhadap system yang sedang dibangun oleh Dinasti
Abbasiyyah dengan cara-cara korupsi, kolusi, despotism, pietisme, dan nepotisme
sehingga pada akhirnya krisis moneter pun melanda dan kerusuhan mulai terjadi
di sudut-sudut kota Baghdad, setelah selama 177 tahun Dinasti Abbasiyyah
berdiri tegak, akhirnya pada pemerintahan ke-XIII itu mengalami krisis politik
dan ekonomi yang cukup signifikan. (Dalam : Carl W, Ernst, Ekpresi Ekstase
Dalam Sufisme, Yogyakarta: Putra Langit, 2003, hal.220-221).
Pada masa-masa
kritis itulah al-Hallaj menjalani kehidupannya. Ia dilahirkan ke dunia pada
tahun 224 H/858 M di kota Baidha, salah satu kota kecil di Persia. Dan ia
menghabiskan masa kecilnya di kota Wasith (kota tetangga Baghdad) sampai
beranjak remaja dan ia pun menghabiskan masa remajanya di kota Thustar yang sering
dikenal kota produksi kapas terbesar dan ternama pada masa itu, sehingga tidak
mengherankan kalau mayoritas penduduk kota itu berprofesi petani, penyortir dan pedagang kapas (halla).
Dan ayah al-Hallaj bernama Mansur ibn Muhammad adalah salah satunya. (Dalam :
Annemarie Schimmel, Dimensi mistik dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus,
2000, hal. 81).
Di usianya yang 16 tahun ia pun pergi belajar ilmu keagamaan pada
seorang bernama Sahl bin Abdullah al-Thustur dan belajar untuk memperdalam ilmu
keagamaannya pada seorang sufi bernama ‘Amr al-Makki. Tetapi tahun 264 H ia
berpisah dengan ‘Amr al-Makki ketika bertemu dengan seorang gadis, putri dari
ulama sufi madzhab lain. Dan wanita itulah yang menjadi isteri pertama dan
terakhirnya selama seumur hidup di dunia sampai akhir hayatnya dengan
dianugerahi seorang anak laki-laki bernama Hamd sebagai satu-satunya anak yang
ia miliki. (Dalam : Annemarie Schimmel, Dimensi mistik dalam Islam, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000, hal. 81). Kemudian al-Hallaj berangkat ke kota Baghdad,
selain menjalani hidup baru, untuk bertemu dan belajar pada seorang sufi
terkemuka pada saat itu, al-Junayd. Dan selama itu pula ia telah menunaikan
ibadah haji selama tiga kali ke kota Mekkah. (Dalam : Prof. Dr. H. Abuddin
Nata, M.A., Akhlak Tasawuf, Jkarta : Rajawali Pers, 2003, hal.242).
Namun perjalanan hidup al-Hallaj di Baghdad tidak begitu terlihat
harmonis dengan masyarakat sekitar. Perbedaan pemahaman yang berakibat pada
retaknya kerukunan antar sesame muslimn diantara para ulama di lingkungan
mazhab Baghdad meningkat dan tidak terhindari, terutama ‘Amr al-Makki dan
kelompoknya yang tidak begitu suka dengan perkembangan pemikiran al-Hallaj.
Sehingga al-Hallaj pun mengambil keputusan untuk meninggalkan ibu kota
(Baghdad). Selama lima tahun ia mengembara sampai tiba di kota Khurasan, di
tempat itulah ia sering berdialog dan memperbincangkan persoalan-persoalan
keagamaan dengan masyarakat sekitar. Dan menurut informasi putranya, Hamd,
disanalah al-Hallaj dijuluki sebagai “Hallaj al-asrar,” atau “pemintal kapas di
lubuk hati (tersembunyi),” dengan alasan bahwa ia dapat mengetahui segala hal
yang tersembunyi di lubuk hati manusia (w. 280/893). Sehingga ia pun mendapat
dukungan dan pengikut yang cukup signifikan, dan itu terbukti ketika ziarah
yang kedua kalinya ke kota Mekkah ia disertai oleh 400 orang pengikut dari kota
Khurasan. (Dalam : Annemarie Schimmel, Dimensi mistik dalam Islam, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000, hal. 82-83).
Tetapi awal pengembaraannya tersebut dilakukan sekitar tahun 905 M,
dengan menggunakan perahu layar ia menuju ke daratan India. Orang-orang yang
tidak menyukainya menganggap perjalanan itu sebagai usahanya mempelajari sihir.
Namun al-Hallaj sendiri menjelaskan kepada keluarganya bahwa perjalanan kesana,
disamping menghindaru hujatan dari ulama Baghdad tadi, untuk membimbing
orang-orang kafir ke jalan Tuhan. Dari Gujarat ia menuju Sind, lembah hilir
Indus. Setelah dari Sind al-Hallaj mengembara ke perbatasan utara India,
kemudian ke Khurasan, Turkestan, dan akhirnya ke Turfan.
Massignon berpendapat bahwwa ia mungkin berpergian dengan kafilah
yang membawa renda dari daerahnya di Thustar dan menjualnya ke Timur, dan
kembali membawa kertas Cina ke negeri-negeri Islam. Dan alasan kecurigaan yang
cukup besar adalah tuduhan atas adanya hubungan antara ia dengan kaum
Qaramitha, yang kekuasaannya tidak hanya menguasai Bahrain tetapi juga Sind
utara dan Multan, daerah-daerah yang baru saja di kunjungi al-Hallaj. (Dalam :
Annemarie Schimmel, Dimensi mistik dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus,
2000, hal. 82-83).
Dan mengenai karya-karya al-Hallaj yang paling banyak memberi
pengetahuan kepada kita bahwa ia telah menulis 55 karya di Baghdad, Khurasan,
Fars dan Khuzistan, (Dalam : S. H. Nasr dkk, buku pertama. Warisan Sufi : Sufisme
Persia Klasik, dari Permulaan Hingga Rumi (700-1000), Yogyakarta : Pustaka
Sufi, 2002, hal.109). Dan selain itu Ibnu Nadim memberi catatan lain bahwa
karangan al-Hallaj tidak kurang dari 47 buah karya. (Dalam : Prof. Dr. Hamka,
Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984, hal.
128). Meskipun tidak banyak orang mengetahui karya-karya al-Hallaj karena boleh
jadi kebanyakan orang masih kurang interes terhadap karya-karyanya dan hanya
mengenal popularitasnya misteri al-Hallaj dalam diskursus keislaman. Sehingga
kami hanya mampu mengenal at-Tawassin (Dalam : Annemarie Schimmel, Dimensi
mistik dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000, hal. 86). al-Ahruful
Muhaddasah wa al-Azaliyah wa al-Asma al-Kuliyah. al-‘Ushul wa al-Furu’, Sirrul
al-‘Alam wa al-Mab’ut. al-‘Adl wa al-Tauhid, ‘Ilmu al-Baqa wa al-Fana, Mahdun
Nabi wa Masalul al-A’ala. Huwa Huwa, dan Bustan al-Ma’rifah sebagai karya-karya
al-Hallaj.
Sebagai salah satu bahan diskusi Filsafat Islam pada masa kuliah…
0 komentar:
Posting Komentar