Selasa, 18 Oktober 2011

HAL-HAL YANG TERKAIT DALAM KHITBAH / PEMINANGAN



HAL-HAL YANG TERKAIT DALAM
KHITBAH / PEMINANGAN
1.      Peminangan dalam Islam
a.      Pengertian
Peminangan dalam ilmu fiqih disebut “khitbah” artinya “permintaan”. Menurut istilah peminangan diartikan sebagai pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya seusai dengan ketentuan-ketentuan agama.
b.      Syarat peminangan
1)      Mustahsinah
Mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meninang seorang wanita, agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu. Yang termasuk di dalam syarat ini adalah:
-          Sekufu
-          Wanita yang akan dipinang adalah wanita yang mempunyai sifat kasih saying
-          Jauh hubungan kekerabatan dengan laki-laki peminang
-          Hendaknya mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita yang          akan dipinang.
2)      Lazimah
Lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Syahnya peminangan tergantung pada syarat-syarat lazimah. Yang termasuk dalam syarat lazimah adalah:
-          Wanita tersebut tidak dalam pinangan lelaki lain.
-          Wanita tersebut tidak dalam masa iddah
-          Wanita tersebut bukan mahram
c.       Melihat Wanita yang Dipinang
Melihat wanita yang dipinang dianjurkan oleh agama. Tujuannya adalah agar mengetahui keadaan wanita yang dipinang agar tidak ada alas an untuk mencerai istri dengan alasan tersebut (misalnya cacat dls).
Jumhur ulama hanya membolehkan melihat muka dan telapak tangan. Daud Zhahiri membolehkan seluruh badan, sedang hadits sendiri tidak menerangkan dengan tegas apa yang harus dilihat. Waktu melihat harus ditemani dengan oleh mahramnya.
d.      Pertunangan
Setelah terjadi peminangan dan pinangan tersebut diterima, maka secara tidak langsung kedua belah pihak dengan persetujuan disertai kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian tersebut maka secara tidak langsung maupun langsung calon mempelai telah terikat pertunangan. Masa antara penerimaan pinangan dengan pelaksanaan akad nikah disebut sebagai masa pertungan.
Dalam masa ini, masih belum berlaku hukum suami istri, baik melakukan hubungan seks atau hak dan kewajiban suami istri.
Ketika calon suami memberikan sesuatu kepada calon istri, adalah sama dengan pemberian biasa, tidak ada ikatan, dan tidak wajib dikembalikan seandainya pertunangan diputuskan. Pertunangan adalah semacam perjanjian biasa, Karen itu membatalkan pertunangan sama hukumnya dengan membatalkan perjanjian biasa. 
Mengenai hukum mengembalikan pemberian atau hibah dijelaskan oleh hadis NAbi saw., yang berbunyi:
عن ابن عباس رضى الله عنه, ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يحل لرجل ان يعطي عطيىة او يهب هبة
فيرجع فيها الا الوالد فيما يعطى ولده (رواه اصحاب السنن)

Dari Ibnu Abbas ra., bahwasanya Rasulullah saw., bersabda: “Tidak boleh bagi seorang laku-laki memberikan sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibbah, lalu dikembalikannya, kecuali pemberian orang tua yang telah diberikan kepada anaknya. (HR Ashabu Sunan).
Menurut yurisprudensi Mahkamah Thanta di Mesir tanggal 13 Juli 1933, apa saja yang diberikan oleh pihak yang sedang bertunangan sebelum akad nikah dipandang sebagai hadiah. Hadiah samae dengan hibah, tidak usah dikembalikan.
Adapun mazhab Maliki membedakan orang-orang yang membatalkan pertunangan. Apabila yang membatalkan pertunangan itu pihak laki-laki, maka pihak perempuan tidak wajib mengembalikan apa-apa yang telah diberikan oleh pihak laki-laki. Dan kalau yang membatalkan pihak perempuan maka pihak laki-laki menerima kembali apa yang telah pernah dia berikan.
Jika seorang suami memberikan seluruh atau sebagian mas kawin pada masa pertunangan, kemudian dia membatalkan pertunangannya, maka dia dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian yang telah diberikannya itu, sebab mas kawin baru ada dan dibayar setelah akad nikah, hal ini disepakati para ulama.
Dalam hal pemutusan pertunangan ini yang adil adalah bila ditinjau dari segi “SIAPA PIHAK YANG DIRUGIKAN”. Jika pihak yang memutuskan pertunangan adalah pihak yang pernah memberikan, berarti dengan pemutusan pertunangan atas kehendaknya itu, maka ia merelakan semua yang pernah dia berikan kepada pihak lain. Sebaliknya jika yang memutuskan pertunangan adalah pihak yang pernah menerima, tentu saja pemutusan pertunangan ini merugikan pihak yang pernah member, oleh karena itu pihak yang pernah member berhak menuntut kepada pihak penerima akan pengembalian pemberian yang pernah dia berikan. Dasarnya ialah, pihak yang telah memberikan sesuatu kepada pihak yang menerima karena adanya ikatan pertunangan yang menuju gerbang perkawinan. Ia tidak akan memberikan sesuatu kepada pihak yang lain, seandainya tidak ada harapan terjadinya perkawinan itu
Dalam (pa-barabai.pta-banjarmasin…)

Jangan Seseorang Meminang Pinangan Saudaranya
Ibnu Umar r.a. menuturkan:
"Nabi s.a.w. melarang sebagian kalian membeli apa yang dibeli saudaranya, dan tidak boleh pula seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau peminang mengizinkannya kepadanya." (HR. Bukhari Bab Nikah No. 5141, Muslim Bab Nikah No. 1412)
Dari "Abdurrahman bin Syamasah bahwa dia mendengar 'Uqbah bin 'Amir berdiri di atas mimbar seraya berucap: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidak pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya." (HR. Bukhari Bab Nikah No. 5142)
Juga renungkan sikap Abu Bakar r.a. ketika Umar bin Khattab menawarkan putrinya Hafsah kepadanya yang beliau diamkan saja tanpa menanggapinya. Sesudah sah dipinang Rasulullah s.a.w. barulah beliau berkata: "Sebenarnya tawaranmu yang lalu tidak aku tanggapi karena aku sudah tahu bahwa Rasulullah s.a.w. sudah pernah menyebutnya. Namun aku tidak mungkin membuka rahasia Rasulullah s.a.w. Tapi kalau beliau meninggalkannya, tentu saya terima tawaranmu itu."
Rahasiakanlah Peminangan
“Kumandangkan pernikahan … dan rahasiakan peminangan” (HR. Ummu Salamah r.a.)*
Juga renungkan sikap Abu Bakar r.a. ketika Umar bin Khattab menawarkan putrinya Hafsah kepadanya yang beliau diamkan saja tanpa menanggapinya. Sesudah sah dipinang Rasulullah s.a.w. barulah beliau berkata: "Sebenarnya tawaranmu yang lalu tidak aku tanggapi karena aku sudah tahu bahwa Rasulullah s.a.w. sudah pernah menyebutnya. Namun aku tidak mungkin membuka rahasia Rasulullah s.a.w. Tapi kalau beliau meninggalkannya, tentu saya terima tawaranmu itu."
Adapun definisi peminangan tidak selalu berarti ta’aruf atau bahkan sudah dalam proses ta’aruf. Cukuplah ketika seseorang mengatakan bahwa dia berminat untuk menikahi orang lain, yang mungkin dikarenakan kita dekat dengannya sehingga orang tersebut cerita dengan kita, maka kita tetap harus merahasiakannya.
Di sinilah Islam memberikan keseimbangan antara perintah untuk tidak meminang orang yang sedang dipinang oleh saudaranya sesama muslim dengan cara memerintahkan orang yang tahu masalah peminangan itu untuk merahasiakannya. Sehingga wanita tersebut masih bisa dipinang oleh orang lain apabila yang meminang tadi terlalu lama mengambil keputusan.
Selain itu, tindakan dalam merahasiakan peminangan itu untuk memelihara kehormatan, nama baik dan perasaan hati si wanita apabila ternyata peminangan yang sudah ramai dibicarakan orang itu ternyata dibatalkan.
Wallahu ‘alam.
Catatan:
* Hadits ini belum saya ketahui keshahihannya, hadits ini saya ikut sertakan hanya karena hadits ini menguatkan cerita dalam paragraf selanjutnya yang terdapat dalam Sirah Nabawiyah.
            Dalam (kholimi-id “masalah peminangan reposting”)
Beberapa pertanyaan dalam hal peminangan
1. bagaimanakah cara melakukan khitbah terhadap seorang akhwat? Dibandingkan dengan agama besar lainnya, Islam merupakan agama yang sederhana. Cara nikahnya sederhana, apalagi khitbah. Tentu lebih sederhana lagi. Sekadar menyampaikan lamaran untuk menikah dengan si dia kepada yang bersangkutan pun sudah tergolong khitbah. Khitbah adalah permohonan kepada yang bersangkutan (yakni si dia atau walinya) untuk menikah dengan si dia. Khitbah sudah sah dan sempurna hanya dengan ungkapan permohonan itu saja.
2. apakah perlu ketika proses khitbah tersebut dilakukan, kita membawa barang-barang tertentu seperti yang lazim ada di masyarakat saat ini?  Memberikan hadiah dalam rangka memelihara silaturrahim (hubungan kasih sayang) merupakan sunnah. Namun menurutku, wallaahu a’lam, pemberian barang yang tertentu (yang dimaknai sebagai kesempurnaan khitbah), misalnya: cincin kawin atau cincin pertunangan, justru merupakan bid’ah . Sebaiknya kau cari tahu barang apa yang dia sukai, sehingga bila diberi pastilah dia akan menerimanya dengan senang hati. Andaikan yang dia sukai (atau dia kehendaki) itu cincin, boleh-boleh saja kau memberinya cincin, tetapi jangan menyatakannya sebagai cincin kawin atau pun cincin pertunangan. Nyatakanlah cincin itu sebagai “hadiah” saja. Titik.
3. apakah diperbolehkan melakukan khitbah kepada wali dari akhwat tersebut dilakukan secara sendirian tanpa didampingi dari orangtua kita?  Boleh-boleh saja kau datang melamar dia secara sendirian, tetapi lebih baik bersama-sama dengan orangtua dan beberapa famili lainnya . Sebab, musyawarah dan silaturrahim merupakan bagian dari ajaran Islam, bukan? Apalagi, kebersamaan itu cenderung memperlancar proses khitbah itu sendiri!
4. apakah ada lafadz tertentu dalam proses khitbah tersebut, bila ada bagaimana?  Sepengetahuanku, tidak ada lafal tertentu untuk khitbah. Malah penetapan lafal tertentu bisa tergolong bid’ah.
5. dan bila tidak ada lafadz tertentu, sebaiknya saya berbicara seperti apa kepada wali dari akhwat tersebut?  Yang penting, kata-kata permohonan menikah itu sebaiknya disampaikan secara jelas dan beradab . Hanya saja, pengertian “jelas dan beradab” itu bisa berlainan. Sesuatu yang jelas dan beradab bagi kita, belum tentu demikian pula bagi orang lain. Tentu saja, yang kita pegang dalam urusan ini adalah pengertian menurut orang yang kepadanya kita bermohon (selama tidak melanggar syariat). Kalau sekarang kita belum tahu, ya cari tahu, dong!
6. apakah ada batasan waktu tertentu dari masa khitbah ke masa wa’limahan?
Islam tidak menetapkan batas waktu tertentu antara khitbah dan walimah. (Lihat Pembatasan Masa Taaruf (Yang Bid’ah dan Yang Bukan Bid’ah) .) Sesudah khitbah (permohonan menikah) disetujui, sebaiknya keluarga kedua pihak bermusyawarah mengenai kapan dan bagaimana walimah dilangsungkan .
Dalam (dodi kusman.wordpress “tatacara khitbah peminangan”)

Melihat Tunangan

Seorang muslim apabila berkehendak untuk kawin dan mengarahkan niatnya untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu yang tidak diinginkan
Ini, adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu Hurairah mengatakan:
"Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu." (Riwayat Muslim)
Mughirah bin Syu'bah meriwayatkan, bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya:
"Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua."
Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).
Dalam hadis ini Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat, baik kepada Mughirah maupun kepada lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yang berpendapat: yang boleh dilihat yaitu muka dan dua tapak tangan, tetapi muka dan dua tapak tangan yang boleh dilihat itu tidak ada syahwat pada waktu tidak bermaksud meminang. Dan selama peminangan itu dikecualikan, maka sudah seharusnya si laki-laki tersebut boleh melihat lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sebagai berikut:
"Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah." (Riwayat Abu Daud)
Sementara ulama ada yang sangat ekstrim dalam memberikan kebebasan batas yang boleh dilihat, dan sementara ada juga yang ekstrim dengan mempersempit dan keras. Tetapi yang lebih baik ialah tengah-tengah. Justru itu sebagian ahli penyelidik memberikan batas, bahwa seorang laki-laki di zaman kita sekarang ini boleh melihat perempuan yang hendak dipinang dengan berpakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan mahram-mahramnya yang lain.
Selanjutnya mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian menurut ukuran syara' ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata sebagian yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: "... kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya."
Dibolehkan juga si laki-laki melihat perempuan dengan sepengetahuan keluarganya; atau samasekali tidak sepengetahuan dia atau keluarganya, selama melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang isterinya: "Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia."
Bahkan dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak boleh menghalang-halangi anak gadisnya untuk dilihat oleh orang yang berminat hendak meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti ialah tradisi agama, bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.
Namun di balik itu, seorang ayah dan laki-laki yang hendak meminang maupun perempuan yang hendak dipinang, tidak diperkenankan memperluas mahramnya, seperti yang biasa dilakukan oleh penggemar-penggemar kebudayaan Barat dan tradisi-tradisi Barat.
Ekstrimis kanan maupun kiri adalah suatu hal yang amat ditentang oleh jiwa Islam.
Dalam (media isnet “islam Qardhawi halal”)
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah r.a. beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:”Ketika salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan, kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah”. Hadist ini sahih dan mempunyai riwayat lain yang menguatkannya.
Ulama empat madzhab dan mayoritas ulama menyatakan bahwa Seorang lelaki yang berkhitbah kepada seorang perempuan disunnahkan untuk melihatnya atau menemuinya sebelum melakukan khitbah secara resmi. Rasulullah telah mengizinkan itu dan menyarankannya dan tidak disyaratkan untuk meminta izin kepada perempuan yang bersangkutan. Landasan untuk itu adalah hadist sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku pernah bersama Rasulullah r.a. lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia menikahi seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah menanyakan “Sudahkan anda melihatnya?” lelaki itu menjawab “Belum”. “Pergilah dan lihatlah dia” kata Rasulullah “Karena pada mata kaum anshar (terkadang ) ada sesuatunya”.
Para Ulama sepakat bahwa melihat perempuan dengan tujuan khitbah tidak harus mendapatkan izin perempuan tersebut, bahkan diperbolehkan tanpa sepengetahuan perempuan yang bersangkutan. Bahkan diperboleh berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah berkhitbah. Ini karena Rasulullah s.a.w. dalam hadist di atas memberikan izin secara mutlak dan tidak memberikan batasan. selain itu, perempuan juga kebanyakan malu kalau diberitahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang.
Begitu juga kalau diberitahu terkadang bisa menyebabkan kekecewaan di pihak perempuan, misalnya pihak lelaki telah melihat perempuan yang bersangkutan dan memebritahunya akan niat menikahinya, namun karena satu dan lain hal pihak lelaki membatalkan, padahal pihak perempuan sudah mengharapkan.Maka para ulama mengatakan, sebaiknya melihat calon isteri dilakukan sebelum khitbah resmi, sehingga kalau ada pembatalan tidak ada yang merasa dirugikan. Lain halnya membatalkan setelah khitbah kadang menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.Persyaratan diperbolehkan melihat adalah dengan tanpa khalwat (berduaan saja) dan tanpa bersentuhan karena itu tidak diperlukan. Bagi perempuan juga diperbolehkan melihat lelaki yang mengkhitbahinya sebelum memutuskan menerima atau menolak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan diperbolehkan lelaki melihat perempuan yang ditaksir sebelum khitbah. Sebagian besar ulama mengatakan boleh melihat wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama mengatakan boleh melihat kepala, yaitu rambut, leher dan betis. Dalil pendapat ini adalah hadist di atas, bahwa Rasulullah telah mengizinkan melihat perempuan sebelum khitbah, artinya ada keringanan di sana. Kalau hanya wajah dan telapak tangan tentu tidak perlu mendapatkan keringanan dari Rasulullah karena aslinya diperbolehkan. Yang wajar dari melihat perempuan adalah batas aurat keluarga, yaitu kepala, leher dan betis. Dari Umar bin Khattab ketika berkhitbah kepada Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib melakukan demikian.
Dawud Al-Dhahiri, seorang ulama tekstualis punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Aqil dari Imam Ahmad. Alasannya hadist yang memperbolehkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan melihat. Tentu saja pendapat ini mendapat tentangan para ulama. Imam Auza’I mengatakan boleh melihat anggota badan tempat-tempat daging.
Bagi perempuan yang akan menerima khitbah disunnahkan untuk menghias dirinya agar kelihatan cantik. Imam Ahmad berkata:”Ketika seorang lelaki berkhitbah kepada seorang perempuan, maka hendaklah ia bertanya tentang kecantikannya dulu, kalau dipuji baru tanyakan tentang agamanya, sehingga kalau ia membatalkan karena alasan agama. Kalau ia menanyakan agamanya dulu, lalu kecantikannya maka ketika ia membatalkan adalah karena kecantikannya dan bukan agamanya. (Ini kurang bijak).
Dalam (m-alwi “melihat calon isteri ketika khitbah waktu lamaran”)



 “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tiada kamu ketahui.”( Q.S Yusuf : 86)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ASSALAMUALAIKUM, MOHON COPY MAKLUMAT SEBAGAI BAHAN RUJUKAN SAYA. TERIMA KASIH.

alipoetry, hukum sebagai petunjuk hidup saya... anda... dan mereka,,,, mengatakan...

silahkan, semoga bermanfaat...aamiin...

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*