Minggu, 30 Oktober 2011

BAY’ AL-’URBUN



BAY’ AL-’URBUN

Jual Beli ‘Arabun atau Uang Muka/Persekot عربن atau عربان bisa dibaca 4 macam:
 Fathah ‘ain dan ra, = ‘arabun (ini paling fasih)
 Dhammah ain dan sukun ra = ‘urbun
 Dhammah ‘ain, sukun ra, fathah ba = ‘urban
 Fathah ‘ain, ra dan ba = ‘araban
Bai’ Arabun ialah : Seseorang membeli sesuatu dengan membayar harga panjar/persekot/’arabun kepada penjual. Jika calon pembeli mengurungkannya, maka persekot hangus dan menjadi hibah kepada penjual. Jika jual beli diteruskan, maka harga persekot merupakan bagian dari harga beli.

Perbedaan Ulama (Ikhtilaf)
Para ulama ahli fiqh berselisih pendapat dalam menghukumi jual beli urban. Mereka yang melarang adalah madzhab Hanafi, Maliki,Syafi’i, Syiah Zaidiyah, Abu al khitab dari madzhab Hambali, dan juga diriwayatkan tentang pelarangan urbun dari Ibnu Abbas serta Hasan. Adapun mereka yang membolehkan adalah Imam Ahmad yang telah diriwayatkan akan pembolehannya dari Umar serta anaknya, sebagian golongan tabi’in di antaranya adalah Mujahid, Ibn Sirin, Nafi’Ibn Abdul Harist, serta Zaid Ibn Aslam.
Menurut Ahmad bin Hanbal, “Jual beli ini dibolehkan”. Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah saw ditanya tentang ‘arabun di dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya”

Dalil Hadits lainnya :
Bahwa Zaid bin Aslam membelikan Umar ra rumah tahanan dari Sofyan bin Ummayyah dengan persekot 400 dirham, sedangkan harga rumah tahanan itu 4000 dirham. Jika nanti Umar ridha, maka jual beli diteruskan (dan harga disempurnakan). Apabila tidak ridha maka bagi Sofyan 400 dirham tersebut. Hadits ini diakui Imam Ahmad statusnya dha’if.
Menurut Jumhur selain Hanabilah, jual beli ini dilarang dan hukumnya tidak sah, karena bisa merugikan para pihak dan sifatnya spekulatif serta mengandung uncertainty (gharar) ; jual beli bisa jadi, bisa tidak. Dalilnya hadits Nabi Saw:

نهى رسول الله صلعم بيع العربان (ألامام مالك عن عمر بن شعيب)
“Rasul saw melarang jual beli ‘arabun” .(HR.Imam Malik dari ‘Amar bin Syu’aib, Subulus Salam, Juz III, hlm.17).

Keterangan kualitas hadits
Hadits larangan tersebut statusnya munqathi’, di dalamnya ada seorang perawi tidak bernama. Di dalam satu riwayat memang ada disebutkan namanya tetapi statusnya dha’if, karena rawinya banyak dinilai negatif oleh banyak orang (Wahbah Az-Zuhaily dan Subulus Salam).
Ini jual beli yang di dalamnya ada khiyar bagi pembeli. Ia bisa meneruskan atau menggagalkan jual beli. Sebagian ulama Hanafiyah mewajibkan batasan waktu menunggu bagi penjual.
Jika jual beli gagal, maka persekot menjadi hak calon penjual sebagai kompensasi dari masa menunggu, karena ia telah kehilangan kesempatan untuk menjual barang itu kepada orang lain, jika ada orang yang mau membeli.
 Ibn Rusyd mengatakan: “…. segala transaksi gharar adalah dilarang dan juga Rasulullah Saw. telah melarang jual beli urban”, (Bidayatul Mujtahid)
 Ibnu Rusydi menambahkan: “Bentuk-bentuk gharar dilarang karena dapat membatalkan sahnya akad. Gharar ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama: dari segi akad, kedua: Dua harga pada satu akad (shafqah fi safqatain). Ketiga adalah dimensi waktu yang menyertai akad dan harga.
Adapun gharar dalam akad adalah seperti larangan Nabi Saw. atas jual beli dua harga dan jual beli urban. Unsur gharar dalam urban karena tidak jelas apakah jual beli terjadi atau tidak.

Unsur Gharar dalam Jual beli urbun adalah Pandangan Ibnu Rusydi
Dalam kitab bidayatu al mujtahid dikatakan, bahwasanya jumhur telah melarang jual beli urban dikarenakan adanya unsur gharar dan risiko serta memakan harta tanpa adanya’iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan syariah. Unsur gharar dalam jual beli urban cukup jelas, yaitu karena masing-masing pihak, baik penjual ataupun pembeli-tidak mengetahui apakah trasaksi jual beli (yang telah disepakati) dapat berlangsung secara sempurna atau tidak.

Kesimpulan tentang Jual beli ‘Arabun
Jual beli ‘Arabun dibolehkan asalkan masanya dibatasi dengan jelas. Besar persekot sesuai dengan adat kebiasaan (‘urf). Prinsipnya tidak ada yang terzalimi dan didasarkan ‘an taradhin. Hadits yang melarang ‘arabun ternyata dha’if. Ada praktek ‘arabun di masa Rasul Saw yang dilegitimasi langsung oleh Nabi Muhammad saw.
Pada kasus jual beli ‘urbun sesungguhnya belum terjadi jual beli secara sempurna. Pembeli hanya baru membayar uang muka (persekot/DP). Padanya tidak terdapat gharar karena penjanjiannya sangat jelas. Jika pada waktu tertentu calon pembeli tidak jadi melunasi pembayaran jual beli, maka jual beli gagal dilaksanakan, bukan jual beli dibatalkan, karena dengan persekot jual beli belum terjadi secara sempurna. Sebaliknya, jika calon pembeli jadi membeli barang tersebut dan dilakukan pembayaran, barulah terjadi jual beli secara sempurna, di mana harga persekot menjadi bagian dari harga barang.
Dalil ‘Uruf (praktek arabun telah menjadi kebiasaan), dan dibutuhkan masyarakat, maka ia dibenarkan, sesuai dengan kaedah :

الثابت بالعرف كالثابت بالشرع
Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan Sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (syari’ah) Selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*