TEORI PEMBUKTIAN
1.Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Murni
Teori ini berpendapat bahwa suatu tindak pidana yang didakwakan kepada seseorang terdakwa akan dianggap terbukti atau tidaknya sepenuhnya diserahkan kepada kebijaksanaan, kesan dan hakim. Menurut teori ini suatu tindak pidana cukup dianggap terbukti dilakukan oleh terdakwa berdasarkan keyakinan hakim belaka tanpa terikat oleh peraturan perundang-undangan.
Sekalipun alarian ini beralasan bahwa keyakinan hakim terbentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis terhadap suatu keadaan yang dihadapinya, apabila tanpa adanya ikatan ketentuan tentang pembuktian yang baku, tetapi hakim menjadi tidak berkewajiban mengemukakan alasan-alasan pembuktian yang membentuk keyakinannya. Masalah akan timbuk apabila sesuatu tuntutan cukup dianggap terbukti dengan keyakinan hakim saja, maka hakim menjadi bebas menggunakan alat bukti yang dikehendakinya termasuk menggunakan keterangan-keterangan yang bersumber dari orang-orang yang tidak kompeten, putusan dukun, mimpi dsb. Oleh sebab itu akan banyak terjadi putusan yang ditak tepat.
Teori ini dilatar belakangi oleh adanya alat-alat bukti termasuk pengakuan terdakwa sendiri yang tidak mengadung kebenaran. Bahwa pengakuan kadang-kadang tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, misalnya terjadi karena kekhilafan atau tekanan dari pihak tertentu, oleh sebab itu diperlukan keyakinan hakim.
Teori pembuktian demikian dipergunakan di negara-negara yang menggunakan peradilan sistem juri. Dalam sistem ini seorang juri diangkat dari orang-orang yang bukan ahli hukum dan sama sekali tidak mengetahui tentang kasus posisi perkara yang diahadapinya. Msereka beranggapan bahwa orang yang bukan ahli hukum dan tidak mengetahui kasus posisi akan memberikan penilaian yang objektif.
Teori pembuktian ini pernah dipergunakan di Indonesian pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten, karena pada waktu pemerintah belanda tidak menerapkan undang-undang mengenai acara pidana.
Kelemahan teori ini adalah :
Memberikan kebebasan kepada hakim yang terlalu luas yang memungkinkan hakim memberikan putusan tanpa alasan, pertimbangan berdasarkan alasan yang tidak logis dan tidak legal, sehingga sulit diawasi. Badan-badan pengawas tidak mungkin mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim yang menjadi dasar suatu putusan perkara.Teori ini menyulitkan Mahkamah Agung dalam memeriksan perkara kasasi yang hanya memeriksa perkara dari segi penerapan hukumnya saja, karena masalah pembuktian diserahkan kepada Judeks Factie, oleh sebab itu sekalipun suatu putusan hakim tidak memuaskan atau bahkan menyakitkan, tidak dapat dianggap atau dinyatakan bertentangan dengan hukum.
Karena sobjektifitas hakim yang besar maka akan menyulitkan terdakwa dan kuasa hukum untuk melakukan pembelaan.
2.Pembuktian Berdasar Undang-Undang secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs theorie)
Teori ini berpendapat bahwa pembuktian sepenuhnya hanya berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan, maka teori ini lazim disebut teori pembuktian formal. Undang-undang telah menetapkan alat-alat bukti yang dapat dipergunakan, menetapkan ketentuan mengenai cara pembuktian dan kekuatan pembuktian sedimikian rupa. Apabila seorang hakim mengadili seorang terdakwa telah menggunakan alat-alat bukti dan cara pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang hakim berkewajiban menyatakan suatu dakwaan terbukti atau tidak terbukti. Hakim tidak berwenang memberikan penilaian berdasarkan kesan dan keyakinannya. Apabila dalam suatu dakwaan hakim telah melakukan pemeriksaan berdasar undang-undang dan menurut ketentuan undang-undang hasil pemeriksaan tersebut hakim harus menyatakan bahwa dakwaan adalah terbukti secara sah, maka hakim harus menyatakan dakwaan tersebut terbukti, sekalipunhakim berkeyakinan adalah tidak benar, maka keyakinan hakim tersebut harus disingkirkan.
Apabila proses pemeriksaan tidak dapat memenuhi alat bukti dan cara yang ditentukan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan tidak terbukti, sekalipun hakim berkeyakinan bahwa keadaan tersebut benar-benar terjadi, hal demikian pun menyebabkan keyakinan hakim harus disingkirkan.
Dengan tidak memberi wewenang kepada hakim untuk minilai pembuktian berdasarkan keyakinannya sesungguhnya bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana, bahwa putusan harus berdasarkan kebenaran. Hakim untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan cara bertanya kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, selanjutnya perlu disadari bahwa keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman lebih memungkinkan sesuai dengan keyakinan masyarakat, jika masyarakat itu yang memeriksa dan mengadili perkara itu sebagai seorang hakim.
3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Dasar Alasan Logis
Menurut teori ini hakim baru diwajibkan menghukum seseorang apabila berdasarkan keyakinannya peristiwa yang didakwakan kepada seseorang terbukti kebenarannya, dan keyakinan hakim harus disertai penyebutan alsan-alasan yang berdasarkan undang-undang dan keyakinan menurut rangkaian logika seorang hakim.
0 komentar:
Posting Komentar