BAHAN DISKUSI FILSAFAT HUKUM ISLAM
Perspektif Filsafat Tentang Sumber Hukum Islam
A. Filosofika Sumber Hukum Islam
Ada tiga tema besar berkaitan dengan sumber hukum Islam perspektif filsafat hukum Islam, yaitu: Pertama, berkaitan dengan wujud Allah yang merupakan Dzat pembuat hukum bagi manusia. Kedua, tema tentang wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber rujukan tertulis bagi pelaku hukum Islam. Ketiga, tema tentang fungsi akal dalam memahami dan melakukan penggalian hukum Islam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B. Allah Sebagai Hakim Bagi Segenap Hukum Islam.
Pembahasan pertama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah membicarakan tentang Allah sebagai salah satu kajian filasafat, tidak terkecuali filasafat hukum Islam. Dalam konsep hukum Islam, pembahasan hukum meliputi hal-hal yang berhubungan dengan istilah hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih. Yang pertama perlukan adalah hakim, yaitu pihak yang menetapkan hukum atau pembuat hukum dan menetapkan baik-buruknya sebuah perbuatan. Dalam prinsip hukum Islam, hakim adalah Allah Swt.
Guna membawa dan menyampaikan hukum atau syariat kepada manusia, Hakim, yaitu Allah menciptakan utusan-utusan yang disebut dengan Rasulullah. Sebelum Allah mengutus para Rasul, tidak ada syari’at yang berlaku.
Hukum tidak tercipta dan hadir dengan sendirinya, melainkan melalui proses tertentu yang berhubungan dengan kodrat alam dan kemanusiaan. Hukum yang merupakan system alam disebut dengan nature of law (hukum alam). Hukum alam berjalan dengan fitrahnya. Fitrah yang paling mendasar dalam hukum alam adalah perubahan dan penggantian. Tak ada sesuatu yang tetap didalamnya, segala sesuatu akan memudar, dan setelah itu mati.
Bagi umat manusia, Allah adalah Subjek hukum, sebagai Pembuat hukum. Jika Allah dikatakan Pelaku hukum yang diciptakannya sendiri, Dia adalah Dzat yang memiliki hakikat Dzatnya sendiri. Dzat yang memiliki sifat dan Af’al (perilaku). Apabila manusia menyadari dan meyakini dengan semua fitrah alamiah ini, bahwa tiada hukum yang paling benar, kecuali hukum-hukum Allah, perjalanan manusia akan senantiasa waspada dengan setiap perubahan dalam kehidupan yang fana ini.
Dengan pemahaman diatas, objek filsafat hukum Islam yang pertama dan sumber hukum Islam adalah pembuat hukum Islam itu sendiri.
Dengan demikian, filsafat wujud tentang Al-hakim menjadi prioritas kajian hukum Islam, karena landasan utama paradigma filosofis tentang sumber hukum Islam adalah permasalahan dengan akidah, yakni keimanan dalam hakikat ketauhidan, baik dalam tauhid uluhiyah yang menjadi sendi dasar keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah membuka jalan pertama menuju keyakinan “ tiada hukum yang mutlak benarnya, kecuali hukum-hukum yang dating dari Allah. Adapun tauhid rububiyah menyatakan keyakinan tentang penguasa tunggal yang menjaga dan memelihara wahyu sebagai sumber hukum Islam dan yang menciptakan seluruh alam dengan segala kebutuhan makhluk-Nya. Dengan demikian tauhid rububiyyah adalah prinsip yang memperkuat pernyataan bahwa “ tiada hukum yang terjaga dan terpelihara kecuali hukum-hukum Allah” dan tiada hukum yang benar-benar membawa kemashlahatan duniawi dan ukhrawi, kecuali hukum-hukum Allah.
Kesimpulan pertama dari pemahaman diatas adalah, Al-Hakim adalah Allah Yang Mahasuci yang menciptakan segala sesuatu dengan benar tanpa harus ada yang membenarkannya. Sehingga jika ada yang mengatakan bahwa hokum Allah itu benar, tidak menjadikan hokum Allah itu benar, karena tanpa pernyataan tersebut hokum Allah sudah benar. Kebenaran absolute tentang hokum Allah secara ontologis merupakan kebenaran objektif.
Falsafah tentang Al-Hakim yang membuat hokum Islam adalah pondasi bagi tercapainya pelaksanaan hokum Islam itu sendiri. Dalam perspektif filsafat hokum Islam, Al-Hakim atau Asy-Syari’ yang memiliki sifat-sifat sempurna tentu akan menciptakan hokum Islam dengan sempurna. Jika terdapat pandangan tentang ketidaksempurnaan hokum Islam yang tertuang dalam wahyu-Nya yang sacral, dengan penuh kepastian dapat dinyatakan bahwa pandangan dan pemahaman manusia atas wahyu dipenuhi dengan serba keterbatasan dan kekurangan, sehingga semua penafsiran Al-Qur’an kebenarannya relative. Kemutlakan hanya dimiliki Dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, sedangkan keterbatasan dan kelemahan dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya. Argument ontologis tentang hakikat Al-Hakim yang menciptakan hukum Islam, adalah Dzatnya itu sendiri, sehingga orang yang menaati hukum Allah dinyatakan sebagai orang yang taat kepada Allah. Sebaliknya orang yang kufur atas hukum Allah adalah orang yang sesat, fasik, dan kufur.
Filosofika pertama objek kajian filasafat hukum Islam adalah kesadaran dalam keimanan manusia terhadap hukum-hukum yang diciptakan Allah dan ketaatan terhadap Allah sebagai Al-Hakim, yang menciptakan hukum.
Secara epistemologis, sumber hukum Islam adalah Allah sebagai Al-Hakim. Hukum-hukum yang diciptakan-Nya dapat dipahami dengan berbagai metode dan pendekatan. Wahyu membicarakan peristiwa yang memiliki daya jangkau universal apabila dilihat dari penggunaan kalimat-kalimatnya, sehingga hukum-hukum Allah tidak mengenal istilah kadaluarsa. Hal tersebut terjadi karena kebenaran dalam hukum-hukum Allah seirama dengan fitrah alami dan fitrah manusiawi yang bergerak diatas hak prerogative Allah.
Hukum Islam yang diciptakan dengan iradah Allah senantiasa mampu menjangkau kehidupan masa kini dan masa yang akan datang karena Al-Hakim sebagai Dzat yang mengetahui semua masa dan pencipta masa itu sendiri.
Pengkajian terhadap sumber hukum Islam dalam perspektif filsafat hukum Islam menjadi lebih mendalam manakala telah diketahui dan diyakini secara mendalam bahwa hakikat hukum Islam dan sumber utamanya adalah Al-Hakim, yakni Allah yang Mahasuci dan sempurna dengan segala yang diciptakan-Nya. Karya Allah terhebat adalah hukum Islam yang dilukisjelaskan melalui wahyu-Nya.
Selain Al-Hakim atau As-Syari’, aspek lain yang menjadi bagian penting dalam hukum Islam adalah hukum itu sendiriyang didalamnya terdapat berbagai tuntunan serta ketetapan yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang sudah baligh dan berakal.
Kemudian, dibahas tentang Mahkum Fih, yakni perbuatan yang dihukumkan (perbuatan hukum). Perbuatan yang dihukumkan ada lima, sebagai akibat dari bermacam-macam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Rasulullah Saw. Yang keduanya dinyatakan oleh Ulama ahli ushul sebagai dasar hukum. Perbuatan hukum disebut juga At-Taklif.
Perbuatan yang dihukumkan berhubungan dengan Mukallaf atau mahkum ‘alaih, yaitu subjek hukum atau pelaku yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Dengan demikian, aspek hukum Islam itu terdiri dari Hukum, Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum’alaih. Pautan utama dari Hakim atau Syari’, hukum atau syara’ adalah Allah SWT sebagai pembuat hukum, Al-Qur’an sebagai dalil-dalil hukum, Rasulullah sebagai Mubayyin, yaitu yang menjelaskan dalil-dalil dalam Al-Qur’an, dan dilanjutkan oleh para ahli waris Nabi, yakni para Ulama, cendikiawan Muslim, ulul albab, wali-wali Allah dan orang-orang yang tergolong al-mustadhil, yang memiliki kemampuan atau mumpuni dalam melakukan istinbath hukum dan istidlal.
C. Wahyu Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Wahyu Al-Quran
Yang terpenting dari segala yang terpenting setelah meyakini bahwa sumber utama hukum Islam adalah Al-Hakim atau As-Syari’ yang menciptakan atau menurunkan hukum syara’, adalah meyakini bahwa yang diciptakan dan diturunkan-Nya merupakan wahyu yang terbebas dari campur tangan makhluk-Nya. Wahyu yang dijaga dan dipelihara secara langsung oleh Al-Hakim.
Kaitannya dengan wahyu yang didalamnya termuat hukum-hukum syara’, menurut Ibnu Taimiyah, bahwa yang dimaksud dengan al-syara’ bukan sekedar sesuatu yang dapat membedakan antara manfaat dengan madharat secara indrawi (al-hiss), tetapi dengan as-syara’, manusia akan mampu membedakan perbuatan manusia yang akan membawa pelakunya pada kebaikan atau pada keburukan dan kerusakan, baik didunia atau diakhirat kelak. Oleh karena itu, as-syara’ memberi petunjuk dengan manfaat iman, tauhid, adil, dan sebagainya, yang dapat dicapai dengan melaksanakan segala perintah yang tertuang dalam as-syara’, membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta yang dirisalahkannya, dan menaatinya. Asy-syara’ yang dimaksud adalah wahyu, yang oleh Ibnu taimiyah dibagi tiga macam, yaitu:
a. As-Syara’ al-Munazzal, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang wajib diikuti. Termasuk kategori ini adalah: pokok-pokok dan cabang-cabang ilmu Agama (ushul al-din wa furu’ah), siasat para ulama, pengelola hukum, hukum keputusan para hakim ( hukm al-hukkam). Yang lebih utama dari syariat yang diturunkan Allah dan yang merupakan suri tauladan Rasulullah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. As-Syara’ al-Mu’awwal, yaitu syara’ yang menjadi sumber ikhtilaf sebagai hasil ijtihad para ulama.
c. As-Syara’ al-Mubaddal, yaitu suatu kepastian dan keputusan hukum yang tidak adil, tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
As-Syara’ al-Munazzal adalah wahyu al-munazzal, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahihah wa Al-Mutawatirah. Adapun As-Syara’ Al-Muawwal adalah akal manusia, yang merupakan potensi terbesar bagi manusia untuk menggali kandungan makna, maksud dan hikmah yang terdapat dalam wahyu al-munazzal, meskipun cara kerja akal mengundang perbedaan pendapat. Akal tidak memiliki kemampuan menciptakan kebaikan atau keburukan, sebab yang menciptakan itu adalah Allah. Akal hanya mampu membedakan dan memilih yang baik atau yang buruk. Ketika akal membedakan dan memilih, setiap manusia memiliki cara masing-masing dalam membedakan dan memilih maka perbedaan pendapat pun tidak terhindarkan. Hal inilah yang kemudian dikatakan bahwa semua ijtihad kebenarannya relatif atau nisbi.
Mengenai pengertian wahyu, ada perbedaaan pendapat dikalangan ahli tafsir. Menurut bahasa, wahyu itu artinya bisikan, atau membisikkan kedalam hati, mengilhamkan isyarat yang cepat dan sangat rahasia. Menurut Mana’ Al-Qothon yang dimaksud dengan wahyu adalah al-isyarah asy-syari’ah, yakni pesan-pesan Allah yang disampaikan dengan jalan bisikan kedalam sukma Rasulullah SAW. Dengan kata-kata tersembunyi yang sangat cepat atau sebagian dengan tanda-tanda fisikal. Sebagaimana wahyu disampaikan dengan gemirincing lonceng, suara lebah, lewat mimpi, dan melalui malaikat Jibril yang menyerupakan seorang laki-laki. Isi dari semua wahyu hanya Rasulullah yang mengetahuinya atas dasar pengetahuan yang diterima secara langsung dari Allah. Oleh karena itulah, makna wahyu adalah bisikan yang tersembunyi, rahasia atau bishautin mujaradin.
1. Wahyu diartikan pula dengan ilham yang diberikan kepada manusia, sebagaimana ilham diberikan kepada ibu Nabi Musa yang terdapat dalam surat Al-Qoshos ayat 7, yang artinya: “ Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.
2. Wahyu dinamakan sebagai ilham yang diberikan kepada hewan atau binatang sebagaimana Allah memberi ilham kepada lebah, yang dijelaskan dalam surat An-Nahl ayat 68, yang artinya: ” Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, Buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu dan tempat-tempat yang dibuat manusia”.
3. Wahyu diartikan dengan isyarat cepat, sebagaimana terdapat dalam surat Maryam ayat 11, yang artinya: “ Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih diwaktu pagi dan petang.
4. Wahyu diartikan sebagai bisikan setan didalam jiwa manusia dan perundingan, sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 112, yang artinya: “ Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
5. Wahyu adalah kalam Allah kepada Malaikat agar menjalankan perintah-Nya untuk disampaikan kepada para Nabi dan orang-orang terpilih dan beriman., sebagaimana terdapat dalam surat Al-Anfal ayat 12, yang artinya: “ (ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para Malaikat, sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman, kelak Aku akan jatuhkan rasa ketakutan kedalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepada mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.
Pemahaman tentang wahyu didasarkan pada pengertian-pengertian tersebut adalah:
1. Allah memerintahkan Malaikat turun membawa titah Allah tentang amr dan nahyu-Nya untuk manusia.
2. Malaikat adalah para pesuruh Allah yang bertugas menyampaikan semua perintah Allah untuk manusia.
3. Allah membisikkan suatu makna kedalam hati orang yang dikehendaki-Nya.
4. Allah memperdengarkan kalam-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa perantara dan tanpa ada penampakan.
5. Allah memerintahkan ruhul Qudus dan Ruhul amin, yakni Jibril agar membisikkan perintah-Nya kepada jiwa Nabi.
Dalam surat Asy-Syu’ara dijelaskan bahwa makna wahyu adalah membisikkan kedalam sukma. Dari ayat itu dapat dipahami bahwa cara-cara Allah menyampaikan kitab-Nya kepada Rasul adalah tiga macam, yaitu:
1. Menurunkan wahyu,
2. Memperdengarkan suara dari belakang hijab (tidak menampakkan pelakunya, rahasia).
3. Mengutus Rasul dan Malaikat atau mengirim seorang pesuruh untuk menyampaikan wahyu.
Didalam Al-Qur’an tidak ayat yang menjelaskan permulaan hubungan antara Allah atau Malaikat dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi, apalagi adanya pertemuan fisikal atau lahiriah antara Allah dengan Nabi. Didalam At-Takwir ayat 15-27, yang artinya: “Sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam, demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing, sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah yang mempunyai Arsy, yang ditaati disana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan dia (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib. Dan Al-Qur’an itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk, maka kemanakah kamu akan pergi? Al-qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.
Diperjelas pula oleh surat An-Najm ayat 1-13, yang artinya: “ Demi binatang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan (Jibril) itu menampakkan dirinya dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian, dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu, dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat jibril itu (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain.
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Ruhul Qudus atau Ruhul Amin, yakni malaikat Jibril adalah kalamullah yang terjaga dan terpelihara dari perubahan-perubahan karena campur tangan manusia. Dengan makna bahwa wahyu sebagai isyarat yang cepat dan bisikan yang rahasia, Muhammad sekalipun tidak akan mampu menerjemahkannya. Oleh karena itulah, hanya Allah yang berhak memberitahukan makna-maknanya kepada Muhammad sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hijr ayat 9, yang artinya: “ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia adl sebagai makhluk yg penuh dgn kekurangan. dlm semua sisi kehidupan kekurangan yg melekat pada manusia ini menyebabkan kemampuan yg dimiliki menjadi sangat terbatas.
Salah satu keterbatasan manusia itu adl kemampuan akalnya. Setiap manusia yg masih bersih fitrah akan mengakui hal ini.
D. Akal Sebagai Sumber hukum Islam
Akal manusia tdk akan mampu mengetahui hakikat sesuatu secara sempurna terlebih bila hakikat itu meliputi berbagai permasalahan.
Fungsi akal manusia yg paling besar adl utk mengetahui hakikat kebenaran. Apa kebenaran sejati itu? Sekali lagi bagi orang yg fitrah masih suci akan mengakui bahwa hanya dgn akal seorang manusia tdk akan mencapai kebenaran sejati. Ia akan mengakui utk mengetahui kebenaran harus melalui bimbingan Pencipta yaitu Allah.
Namun tdk demikian dgn orang2 yg terlalu “percaya diri” dgn kemampuan akalnya. orang2 yg merupakan penerus dari paham Mu’tazilah ini merasa tdk butuh dgn bimbingan Allah utk mengetahui kebenaran. Tidak cukup sampai di situ bahkan dgn lancang mereka “mengobrak-abrik” syariat Allah yg menurut akal mereka bukan merupakan kebenaran.
Di Indonesia gerakan ini sudah berlangsung cukup lama antara lain dipelopori oleh Nurcholis Madjid Munawir Syadzali Ahmad Wahib Harun Nasution dan lain-lain. Kini para pengusung madzhab ini bergabung dlm sebuah “sindikat” bernama Jaringan Islam Liberal yg dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla. Di wadah inilah ide-ide gila mereka dikeluarkan secara lbh intens.
Ciri gagasan gila mereka adl berisi gugatan terhadap syariat Allah yg menurut mereka tdk sesuai dgn nilai-nilai kemanusiaan dan akal mereka. Hampir semua sendi agama ini telah digugat mereka seperti syariat tentang jilbab hukum had qishash jenggot jihad larangan perkawinan antar agama hukum waris makna syahadat kebenaran Al Qur’an dan yg paling tinggi adl gugatan terhadap Islam sebagai satu-satu agama yg benar.
Inti mereka tdk setuju dgn aturan-aturan Allah itu dan kemudian memunculkan gagasan yg berlawanan dengannya.
Seperti gagasan bahwa semua agama selain Islam adl benar telah lama dilontarkan oleh mereka. Di antara oleh orang yg mereka anggap sebagai pelopor gerakan “Pembaharu Pemikiran Islam” di Indonesia Ahmad Wahib. Anak muda yg tdk diketahui di mana belajar agama ini berkata: “Aku bukan nasionalis bukan Katolik bukan sosialis. Aku bukan Budha bukan Protestan bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adl semuanya. Mudah-mudahan inilah yg disebut muslim. Aku ingin orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran mana saya berangkat.”
Ahmad Wahib yg keseharian sering bergaul dgn para romo Katolik dan mendapat banyak ‘kebaikan’ dari mereka berkata tentang teman dekat itu: “Aku tdk yakin apakah Tuhan tega memasukkan romoku itu ke neraka.”
Dengan berbagai pernyataan yg nyleneh itu dlm usia yg masih muda Ahmad Wahib telah menjadi “tokoh” nasional kebanggaan salibis. Pujian setinggi langit utk Ahmad Wahib banyak menghiasai media massa salibis semasa hidup .
Seruan yg sama juga sering dilontarkan Nurcholis Madjid dgn slogan pluralismenya. Inti sama yakni menyerukan bahwa semua agama memiliki kebenaran yg sama.
Tokoh lain yg cepat “naik daun” krn lbh berani dlm mengeluarkan pernyataan-pernyataan adl Ulil Abshar Abdalla . Tentang kebenaran agama selain Islam Ulil Abshar mengatakan: “Semua agama sama semua menuju jalan kebenaran. Jadi bukan Islam yg paling benar.”
Dalam buku Fikih Lintas Agama hal. 214 disebutkan: Ayat yg lbh tegas tentang keselamatan agama-agama lain adl Surat Al-Baqarah ayat 62.
Dalam buku yg sama hal. 20 disebutkan: Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi sambil digambarkan bahwa para nabi itu satu saudara lain ibu namun agama mereka satu dan sama. Salah satu adl hadits Al-Bukhari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku lbh berhak atas ‘Isa putra Maryam di dunia dan di akhirat para nabi adl satu ayah dari ibu yg berbeda-beda dan agama mereka adl satu.”
Pada hal. 21 disebutkan: …penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar agama yg dapat diturunkan dari Al Qur’an yg menegaskan ada pluralisme agama.
Kutipan-kutipan di atas memuat kesimpulan berikut ini:
- Bukan Islam yg paling benar.
-Agama-agama selain Islam adl agama yg selamat.
-Pluralisme agama dibenarkan Al Qur’an dan hadits Nabi.
Bantahan:
Mereka berkesimpulan bahwa bukan Islam yg paling benar. Yang lain apapun agama itu –demikian yg tampak dari ucapannya– juga benar. Bahkan mungkin lbh benar dari Islam. Demikian yg dipahami dari ucapan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُوْلُوْنَ إِلا كَذِبًا
“Sungguh besar kalimat yg keluar dari mulut mereka mereka tdk mengatakan kecuali dusta.”
Sesungguh seorang muslim yg masih suci fitrah tahu kebatilan ucapan ini. Kalimat ini adl ucapan kufur dan merupakan perkataan tentang agama Allah tanpa ilmu. Namun jika hati tertutup siapapun dia tdk akan mengetahui kebatilan bahkan lbh parah krn hal itu dianggap sebagai sesuatu yg benar. Alasan sepele: “Semua agama sama semua menuju jalan kebenaran.” Dengan mudah ia menyimpulkan dgn akalnya. Apakah tiap orang yg menuju kepada kebenaran itu akan sampai? Tentu jawab tidak. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Betapa banyak orang yg menginginkan kebaikan tapi tdk mendapatkannya.”
Ini adl sesuatu yg sama-sama kita saksikan. Tidak akan memungkiri kecuali orang yg congkak. Kalau jalan Yahudi Nashrani Majusi dan agama lain itu benar utk apa Nabi mengajak mereka masuk Islam dan ketika mereka menolak terjadi permusuhan dan pertumpahan darah? Bagaimana kemudian dianggap agama selain Islam lbh benar?! Fa’tabiru ya Ulil Abshar! .
Kesimpulan kedua agama lain selain Islam adl agama yg selamat arti tdk dimurkai Allah dan tdk diadzab.
Tentu ini bukan ucapan seorang muslim dan tdk ada seorang muslim yg hakiki kecuali tahu betapa batil sesat dan kufur kalimat ini. Sayang ia mengelabuhi orang dgn berdalil surat Al-Baqarah ayat 62:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguh orang2 mukmin orang2 Yahudi orang2 Nashrani dan orang2 Shabi’in siapa saja di antara mereka yg benar-benar beriman kepada Allah hari kemudian dan beramal shalih mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tdk pula mereka bersedih hati.” Ia memahami ayat tersebut dgn akal yg sudah terkotori oleh noda pluralisme sehingga menganggap masing-masing dari Yahudi dan Nashrani benar dan selamat.
Ibarat mereka seperti orang yg membaca ayat yg arti “Celaka orang yg shalat…” lalu berhenti dan tdk diteruskan. Atau ayat “Jangan kalian mendekati shalat…” dan tdk dibaca kelanjutan ayat “dalam keadaan kalian mabuk.”
Sungguh ini adl akhlak Yahudi yg beriman dgn sebagian ayat dan kafir dgn sebagian yg lain.
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yg lain? Tiada balasan bagi orang yg berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dlm kehidupan dunia. Dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yg sangat berat. Allah tdk lengah dari apa yg kamu perbuat.”
Bukankah kita dlm memahami ayat Al Qur’an harus merujuk kepada ayat lain yg menjelaskan demikian pula merujuk kepada hadits Nabi yg Allah pasrahi utk menjelaskan Al Qur’an? Dikemanakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ. اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللَّهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“orang2 Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nashrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dgn mulut mereka mereka meniru perkataan orang2 kafir yg terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang2 alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tdk ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yg mereka persekutukan.”
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Sesungguh telah kafirlah orang2 yg berkata: ‘Sesungguh Allah itu ialah Al Masih putera Maryam’. Katakanlah: ‘Maka siapakah yg dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibu dan seluruh orang2 yg berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yg di antara keduanya; Dia menciptakan apa yg dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيْحُ يَابَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اعْبُدُوْا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِيْنَ مِنْ أَنْصَارٍ. لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Sesungguh telah kafirlah orang2 yg berkata: ‘Sesungguh Allah adl Al Masih putera Maryam’ padahal Al Masih berkata: ‘Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguh orang yg mempersekutukan Allah mk pasti Allah mengharamkan kepada al-jannah dan tempat ialah an-naar tidaklah ada bagi orang2 zalim itu seorang penolongpun. Sesungguh kafirlah orang2 yg mengatakan: ‘Bahwasa Allah salah satu dari yg tiga’ padahal sekali-kali tdk ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tdk berhenti dari apa yg mereka katakan itu pasti orang2 yg kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yg pedih.”
Dan sekian banyak ayat dan hadits lain yg dgn sangat tegas mengkafirkan mereka . Bagaimana mereka dikatakan selamat padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengubah mereka menjadi babi dan kera:
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوْبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوْتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ
“Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang2 yg lbh buruk pembalasan dari itu di sisi Allah yaitu orang2 yg dikutuki dan dimurkai Allah di antara mereka yg dijadikan kera dan babi dan menyembah thaghut?” Mereka itu lbh buruk tempat dan lbh tersesat dari jalan yg lurus.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknati mereka dgn lisan Dawud dan ‘Isa:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
“Telah dilaknati orang2 kafir dari Bani Israil dgn lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
“ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Tidaklah mendengar aku seorang Yahudi atau Nashrani lalu tdk beriman dgn apa yg aku diutus dengan kecuali ia termasuk ahli neraka.” Kalau kita perhatikan baik-baik ayat yg dipakai sebagai dalil oleh mereka akan nampak bahwa ayat tersebut sama sekali tdk mendukung paham pluralisme dan maha suci Kalamullah utk dikatakan mendukung pluralisme.
Bukankah ayat tersebut memberikan syarat yaitu beriman kepada Allah? Apakah Yahudi dan Nashrani atau Majusi beriman kepada Allah? Jawab tidak! Karena beriman kepada Allah bukan hanya beriman dgn ada Allah. Bila hanya percaya dgn keberadaan Allah mk Iblispun beriman orang munafiq pun beriman dan Fir’aun pun beriman.
Tidak ada yg mengatakan demikian kecuali orang yg sejenis mereka. Iman kepada Allah mencakup keimanan tentang ada Allah dan keesaan yg tiada sekutu baginya. Sedangkan Yahudi menyekutukan Allah dgn ‘Uzair dan Nashrani menyekutukan Allah dgn Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.Di antara keimanan kepada Allah adl meyakini uluhiyyah Allah yakni memberikan ibadah hanya kepada Allah dan meyakini hal itu. Sedangkan Yahudi dan Nashrani mereka beribadah kepada selain Allah bahkan kepada pendeta-pendeta.
Ayat itu juga memberikan syarat dlm beramal shalih. Yahudi dan Nashrani tdk melakukan amal shalih krn syarat amal shalih tdk mereka penuhi. Di antara yg merupakan syarat dasar yaitu iman tdk mereka penuhi. Kemudian ikhlas mereka juga tdk penuhi krn mereka beramal utk selain Allah. Bagaimana mungkin mereka dikatakan selamat sementara tdk memenuhi syarat-syarat sebagai orang yg beriman. Pahamilah wahai yg berakal sehat. Jadi ayat ini berlaku bagi mereka yg memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan ini berlaku sebelum datang Islam. Oleh karena Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa setelah itu turunlah ayat 85 Surat Ali Imran:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam mk sekali-kali tidaklah akan diterima dari dan dia di akhirat termasuk orang2 yg rugi.”
Di ayat lain Allah menganggap mereka bukan orang yg beriman kepada Allah dan hari akhir sebagaimana dlm ayat 29 Surat At-Taubah:
قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ وَلاَ يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا
الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُوْنَ
“Perangilah orang2 yg tdk beriman kepada Allah dan tdk kepada hari kemudian dan mereka tdk mengharamkan apa yg telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tdk beragama dgn agama yg benar yg diberikan Al Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dgn patuh sedang mereka dlm keadaan tunduk.”
Adapun hadits yg mereka pakai juga tdk mendukung pluralisme sama sekali. Sebab kesamaan agama para rasul itu adl pada inti yaitu agama tauhid dan beribadah hanya kepada Allah. Ternyata hal ini pun dilanggar oleh para pengikut rasul terutama setelah datang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana mereka bisa dianggap sama dgn ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Hadits itu juga menunjukan bahwa syariat para rasul berbeda-beda. Itu yg dimaksud –wallahu a’lam– dgn saudara sebapak lain ibu?
Tapi pada praktek justru JIL ingin menyamakan syariat mereka semua sehingga membolehkan kawin dan waris beda agama. Tidak mungkin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg berperang melawan Yahudi demi agama lalu menyabdakan sebuah hadits yg mendukung pluralisme agama.
THANK’S TO
Shofiyulloh
0 komentar:
Posting Komentar