MORALITAS HUKUM
Sebenarnya saya tak memahami betul dengan makna moralitas hukum yang sesungguhnya, jika saya mencoba tuk memaknai hukum mungkin saya akan mengutip buku karangan Franz Magnis-Suseno dalam bukunya “fijar-fijar filsafat” menjelaskan bahwa “hukum adalah bentuk pertama kebebasan, hukum menjamin wilayah disekitar manusia yang tidak boleh dicampuri pihak lain, dimana kita karenanya dapat berbuat bebas…” kemudian tentang moralitas, “moralitas merupakan wilayah kehendak subjektif yang bertahan secara otonom berhadapan seluruh dunia luar, cirri khusus moralitas adalah otonomi subjek”. Jadi moralitas adalah hak kehendak subjektif bahwa apa yang diharapkan dan diakuinya sebagai sesuatu yang sah, oleh dirinya sebagai sesuatu yang baik.
Namun untuk membicarakan “moralitas hukum” ini, kita tidak bisa berhenti sampai disini saja. Nah, permasalahan awal sebenarnya adalah apa yang telah terjadi pada realita kehidupan kita, tentang sebuah pelanggaran hukum dan hukuman yang ada di Negara kita, yang sering kita sebut sebagai Negara hukum ini. Namun, sering sekali kita mempertanyakan tentang keadilan dalam hukum dan kaitannya dengan moralitas hukum. Apakah benar Negara kita Negara hukum yang benar-benar sudah menjalankan keadilan dalam hukum dan benarkah sudah benar-benar memiliki moralitas dalam system hukum di wilayah kehidupan ber-ke-hukum-an ini.
Pertanyaan sederhana itu muncul karena seperti ini sahabat, banyak dari kalangan masyarakat mempertanyakan tentang sebuah pelanggaran hukum, misalnya pelanggaran seorang kakek tua miskin sebagai pencuri ayam dengan alasan ia mencuri karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, atau seorang nenek tuayang mengambil hanya beberapa kilo kapas hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya untuk menghidupi suaminya yang sudah tua renta dan sering sakit-sakitan dan dirinya sendiri yang sudah tak mampu bekerja lagi. Dan kemudian dibandingkan dengan seorang kaya raya, pejabat yang harta kekayaannya sudah begitu melimpah, dengan kedudukan yang yang tinggi dan terlihat berwibawa namun ia ternyata seorang koruptor. Dengan satu alasan yang sama yaitu kedua posisi dan keadaan yang berbeda itu telah mengambil barang yang bukan haknya (mencuri) dengan kuantitas pencurian yang berbeda dan latarbelakang yang berbeda pula, ternyata hukuman atau penghukuman kedua pelanggaran yang berbeda itu tidak jauh berbeda, hampir sama atau bahkan si koruptor itu bisa lepas dari jeratan hukum, tidak demikian dengan penghukuman bagi si pencuri kelas “teri” si nenek atau si kakek tua miskin ternyata hukumannya lebih berat dan menyulitkan.
Dan pada keadaan seperti itulah, teramat pantas bagi saya dan mungkin juga bagi anda untuk mempertanyakan, dimanakah moralitas hukum ??? apakah seperti yang kita saksikan sekarang ini ataukah seperti apa???
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lanjutkan pembahassan mengenai moralitas, seperti yang sudah kita sepakati di awal tulisan ini, moralitas merupakan wilayah kehendak subjektif yang bertahan secara otonom berhadapan dengan seluruh dunia luar, dengan titik pandang otonom subjek, atau moralitas adalah hak kehendak subjektif bahwa apa yang diharapkan diakuinya sebagai sah, dan olehnya sendiri disadari sebagai yang baik.
Namun untuk memahami moralitas hukum, kita harus memasuki wilayah moralitas sosial, menurut kriteria moralitas-nya Imanuel Kant, kewajiban mana yang membebani manusia tidak bisa diangkat hanya dari kenyataan bahwa patokan subjektif, namun lebih dari itu “sesuatu” yang kita sebut sebagai morallitas itu tidak kontradiktif apabila diberlakukan secara universal, melainkan ditentukan oleh struktur realitas masyarakat. Dan tatanan moralitas social ini ditentukan oleh keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Tiga lembaga tersebut menentukan melalui tradisi adapt istiadat dan hukum, bagaimana individu harus bertindak apabila mau dianggap bermoral. Dan dalam hal ini Hegel memahami ketiga lembaga tersebut sebagai “realitas moral kehendak yang menghendaki bersikap moral dan kehendak baiknya”.
Nah, dari penjelasan moralitas sosiaal tersebut, mungkin kita sudah dapat memahami bagaimana moralitas hukum sebenarnya yang dapat dibenarkan oleh kita, apakah ketika kita mendapati kasus seperti yang sudah dijelaskan diatas, hal itu sudah merupakan “moralitas hukum” bagi masing-masing diri kita, atau sudah cukup atau mungkin belum merupakan “moralitas hukum”bagi pribadi kita dan masyarakat, ataukah hanya harus bersama-sama dengan Negara saja kita duduk sambil menunggu ketentuan lembaga Negara, baru kita bisa berkata dengan lantang “…“moralitas hukum” belum sempurna dinegara kita!!!” dan sekali lagi kapan kita akan berani mengatakan “moralitas hukum” kita belum cukup sempurna, sementara kita sering sekali mendapati kasu-kasus serupa yang seperti seorang nenek dan kakek tua miskin versus pejabat koruptor di Negeri hukum ini. Dan akhirnya izinkan saya mengutip syair nan indah dari seorang yang luar biasa bernama Kahlil Gibran:
Wahai engkau yang dilahirkan diranjang kesengsaraan, diberi makan pada dada penurunan nilai, yang bermain sebagai seorang anak di rumah-rumah tirani, engkaau yang memakan roti-roti basimu dengan keluhan dan meminum air keruhmu bercampur dengan airmata yang getir.
Wahai serdadu yang diperintah oleh hukum yang tidak adil oleh lelaki yang meninggalkan istrinya, anak-anaknya yang masih kecil, sahabat-sahabatnya, dan memasuki gelanggang kematian demi kepentingan ambisi, yang mereka sebut sebagai ‘kebutuhan’.
Wahai penyair yang hidup sebagai orang asing di kampong halamannya tak dikenal diantara mereka yang mengenalnya, yang hanya berhasrat untuk hidup di atas sampah masyarakat dan dari kesia-siaan atas permintaan dunia yang hanya tinta dan kertas.
Wahai tawanan yang dijebloskan ke dalam kegelapan karena kejahatan kecil yang dibuat kejahatan besar oleh mereka yang membalas kejahatan dengan kejahatan, dibuang dengan kebijaksanaan yang ingin mempertahankan hak melalui cara-cara yang keliru.
Dan engkau, wahai wanita yang malang, yang kepadanya Tuhan menganugerahkan kecantikan. Masa muda yang tidak setia memandangnya dan menguntitmu, memperdayakan engkau, menanggulangi kemiskinanmu dengan emas. Ketika kau menyerah kepadanya, dia meninggalkanmu. Kau serupa mangsa yang gemetaran dalam cakar-cakar penurunan nilai dan keadaan yang menyedihkan.
Dan kalian, teman-temanku yang rendah hati, para martir bagi hukum buatan manusia. Kau bersedih, dan kesedihanmu adalah akibat dari kebiadaban yang hebat, dari ketidakadilan sang hakim, dari tirani si kaya, dan dari keegoisan budak demi hawa nafsunya.
Jangan putus asa, karena dibalik ketidakadilan dunia ini, di balik persoalan, dibalik awan gemawan, di balik ether, di balik semua hal ada suatu kekuatan yang tak lain adalah seluruh keadilan, segenap kelembutan, semua keramahan, segenap cinta kasih.
Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan. Segera angin yang lembut akan meniup dan membawa bebijianmu memasuki cahaya matahari tempat mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.
Engkau laksana pepohonan telanjang yang rendah karena berat dan bersama salju musim dingin. Lalu musim semi akan tiba menyelimutimu dengan dedaunan hijau dan berair banyak.
Kebenaran akan mengoyak kerudung airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat dating padamu dan kuanggap hina para penindasmu.
Dan sekarang, tentukanlah moralitas kita sebagai moralitas subjektif kawan, dan jadikan sebagai moralitas kita bersama’ silahkan tentukan apa “moralitas hukum” bagi anda!!!????.......
15:38 Pondok Mungil
Ciputat, 07 November 2010
_alye
0 komentar:
Posting Komentar