Sabtu, 20 November 2010

KETIKA KATA-KATA MENJADI SESUATU YANG LUAR BIASA “Karang Yang Tegar, Berubah Menjadi Istana Karang Dan Akhirnya Menghilang Terkikis Habis Termakan Waktu"



KETIKA KATA-KATA MENJADI SESUATU YANG LUAR BIASA “Karang Yang Tegar, Berubah Menjadi Istana Karang Dan Akhirnya Menghilang Terkikis Habis Termakan Waktu"
oleh Ali Poetry pada 01 November 2010 jam 9:44
KETIKA KATA-KATA MENJADI SESUATU YANG LUAR BIASA
“Karang Yang Tegar, Berubah Menjadi Istana Karang Dan Akhirnya
Menghilang Terkikis Habis Termakan Waktu”.



Seringkali kita menyaksikan sesuatu yang biasa namun sama sekali tak biasa. Sebagaimana aku menyaksiakan sesuatu yang sangat biasa disebuah pantai di kawasan pedesaan di daerah Banten. Dibalk sebuah bebatuan karang yang begitu kokoh kusaksikan di bibir pantai panimbang ada gelombang air yang terus menerjang batu karang tegar itu, air tersebut, bergelut dengan waktu menciptakan bentuk yang indah pada batu karang tersebut, deburannya yang memenuhi setiap detik waktu telah membentuk batu karang bagaikan sebuah istana karang yang kecil. Karena terus menerus gelombang air laut itu menerjang batu karang yang kokoh, akhirnya batu yang kita anggap tegar itu habis termakan waktu, tak tersisa entahlah menjadi abu, air atau udara, yang pasti karang yang pertamakali kulihat karang besar tegar kini telah berubah menjadi bentuk istana kecil dan akhirnya hilang tak tersisa, hanya terekam dalam pita bayanganku.

Saya pikir, disitu telah terjadi suatu peristiwa, peristiwa yang biasa “gelombang air laut yang menerjang karang tegar”. Dan menghasilkan peristiwa yang saya anggap luar biasa “karang tegar yang berubah menjadi istana kecil dan akhirnya hilang termakan waktu”. Secara fotografis peristiwa itu memiliki keindahan yang tak terhingga kurasa. Artinya pada suatu moment kita telah mendapatkan peristiwa alam dengan cara tamasya visual yang menyenangkan jika kita pandang. Ada begitu banyak moment dalam berjuta kisah yang dijalani, kita bisa menapatkan kualitas yang berbeda-beda dalam sebuah produk cerita tentang kita dan alam. “karang yang tegar, berubah menjadi istana karang dan akhirnya menghilang terkikis habis termakan waktu”.

Saya pikir saya juga merupakan bagian dari peristiwa alam itu, yang aku mau katakan adalah dalam kisah yang serupa dengan keadaan tersebut, sebuah kata sebenarnya bisa menjelma. Dalam sebuah kisah penjelmaan sebuah kata-kata. Aku tak mampu membayangkan bagaimana jika kata-kata lebih dulu mendapat persetujuan dari sebuah tujuan, intensi atau tujuan seseorang penyair untuk bisa menjadi kata-kata bijaksana. Karena kata-kata menerima beban definisi yang dikaryakan oleh pretensi-pretensi penyair. Sebagaimana sebuah cerita tentang gelombang air laut tanpa maksud membentuk sebuah batu karang menjadi istana kecil apalagi untuk melenyapkan batu karang itu. Jadi, cukuplah sulit bagi jiwaku menghadapi pembuat kata-kata yang berkreasi pada keadaan pesanan. Entahlah yang dilakukan penyair dalam kotak kebijaksanaan yang mengisi antologi-antologi keperihatinan pada bencana, perang atau keadaan yang menyedihkan bagi jiwa.

Jiwaku-pun tak dapat membayangkan, bagaimana jika kata-kata dapat hidup independen sambil membnuh sang penyairnya, bersama berjuta kisah yang mengelilinginya. Kata seolah mampu membuat kisah, jalan, dan definisinya sendiri. Jiwaku tak mampu mempromosikan kata-kata menjadi suatu species lain dari makhluk berkehidupan. Akupun teringat pada sebuah tulisan yang tertulis di buku karya Radhar Panca Dahana “kata-kata bukanlahalat pengertian…harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea,…harus bebas menentukan dirinya sendiri” atau salah seorang filosofis Jacques Derrida mengatakan “kata-kata bijaksana telah menjadi yatim piatu” dan kerabat-kerabat lainnya setelah pascastukturalis menyatakan bahwa upaya sebuah sajak mendapatkan pengertian yang berlaku pada sebuah masyarakat akan menghadirkan jalan buntu.
Barangkali aku bukan seorang ekstrimis atau narsis bahasa, seperti mereka. Bukan karena aku hidup disebuah bangsa yang memelihara tuduhan dan hukuman pada segala bentuk ekstrimitas, fasisme dan sebagainya. Aku tidak pernah takut untuk menjadi seorang ekstrim atau seorang narsis, namun aku tak pernah berhasil menemukan organ-organ dalam tubuh , kesadaran maupun sejarah sosialku yang bisa memberiku kekuatan untuk bisa membuatku menjai seorang ekstrimis. Sebagaimana kebanyakan orang atau penyair.

Kata-kata, bagi jiwaku, bagai gelombang air laut yang menggemuruh di bibir pantai yang menerjang batu karang besar. Kata-kata tidak hanya menjadi naluri kultural dalam kesadaran pikiran dan bathinku saja. Kata-kata juga mengalami yang kita sebut sebagai metabolisme, sebagaimana keringat dan airmata yang keluar melalui jalur-jalur ekskresinya masing-masing. Bahkan kata-kata telah menjadi atom-atom metafisis yang mengalir bersama darah di sekujur pembuluh darah atau syaraf tubuhku, bahkan pula kata-kata telah menjadi ventrikel dalam jantungku. Aku tak usah lagi menunggu, menghitung dan memerintahkan apa yang telah terjadi otomatis secara alamiah tersebut. Demikian jiwaku memandang sebuah kata-kata yang hadir dan terbentuk begitu saja, lewat pergulatan dengan unsur-unsur alami lainnya: air, tanah, api, udara, manusia dan bagian alam lainnya.

Secara alami pula, aku menyetujui kata-kata yang terungkap oleh pemahaman Horatius bahwa kata dalam sastra itu dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat), atau kata dalam sastra itu memiliki persuasi: docere (memberi nikmat), delectare (mengajar), dan movere (menggerakan).

Namun, jujur saja, aku menyusun sebuah kata lewat kata-kata yang didahului oleh maksud,pretensi, intensi atau lebih tepatnya gelora atau ke-ingin-an dari ke-aku-an ku. Jujur jiwaku tak memiliki kekuatan yang cukup untuk menguasai kata-kata agar kata-kata misalnya, sebuah puisi dengan pengertian dan pretensiku menuliskan puisi. Ia keluar begitu saja seperti keringat dan airmata, melintasi imajinasi, tak terbendungkan, sekali lagi, kukatakan aku tak memiliki kekuatan memerintahkan kata-kata untuk masuk dalam kotak-kotak yang terdesain lebih dulu, sadar atau tak sadar.

Aku percaya, begitu kata-kata terlahir dari jiwa kita ia akan segera mencari konteksnya sendiri, atau dengan alamiah ia akan memiliki konteks sendiri. Karena kata-kata bagiku ialah context dependent kata dan konteks adalah conditio sine qua non.

Kata-kata seperti kata-kata bijaksana, puisi, atau kata terindah lainnya takan pernah mati, jika kata-kata terlahir dari udara ia akan melahirkan embun, atau gelombang air laut yang mengukir batu karang tegar membentuk sebuah istana karang kecil yang unik. Jika kata-kata hadir dari seorang yang jujur termasuk membebaskan kata-kata dari segala bentuk, gaya atau persfektif yang terbatas. Kejujuran dan kenaifan sebuah kata saya yakini akan menumbuhkan sesuatu yang luar biasa tentang keindahan.

Aku pikir mungkin juga kita semua, sepakat kejujuran-lah yang menciptakan kualitas pada sebuah kata. Meski terkadang kita kerap terjerembab ketika kita menganggap diri kita jujur, jiwaku berkata itu lumrah, setidaknya kita tak berani menganggap kita bisa polos dan bening seperti kaca dimana tempat kita bercermin, menghadirkan kita seutuhnya seperti kita seadanya.

Sejujurnya kita hanya bisa berharap kita bisa menjadi embun nan bening, H2O murni, sebagai kenaifan yang dikristal waktu sepanjang malam, sepanjang gelap yang sering aku atau mungkin kau takuti.

Dan saat ini ingin aku katakan, “kita bisa saja mencintai dunia atau manusia atau siapapun dan apapun yang kita cintai, namun terkadang yang kita cintai terlalu cantik, indah dan baik bagi kita”. Melalui kata-kata-lah kita telah berusaha mendekatinya, membaringkan kita dalam pangkuan mimpinya. Paling tidak, kita telah memperoleh hiburan spiritual dan makna yang cukup dalam bagi kisah yang kita alami.

Dan lagi ingin kukatakan apalagi yang bisa diharapkan manusia, selain berusaha mendekati kemurnian, menyatu dengan kejujuran untuk membaluti luka dalam jiwa dan kesadaran akal kita, untuk mendapatkan itu semua kita harus bersahabat dengan sesuatu yang telah menciptakan keringat, airmata, batu karang yang tegar, gelombang laut, istana karang kecil unik, air, tanah, api, udara, dan seluruh alam. Mendekat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha latif, Maha Indah pemilik Jannah yang indah, Maha Luas pemilik jagat raya yang luas, Maha agung pemilik segala yang tercipta, dan pemilik segala Maha dan Sifat dan Dzat yang terbaik ada pada-Nya, Allah Yang Maha Esa.


Lye…

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*