Rabu, 25 November 2009

Kebudayaan dan Kesenian di Banten



 Kebudayaan dan Kesenian di Banten

Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri pencak silat, debus, rudad, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung dan lojor. Disamping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, Masjid Raya Al-Azhom dan masih banyak peninggalan lainnya.

Di Provinsi Banten terdapat suku masyarakat Baduy. Suku Baduy merupakan suku asli Banten yang masih terjaga tradisi anti modernisasi. Suku Baduy-Rawayan tinggal dikawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas5.101,85 Ha di daerah Kenekes. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak, tidak boleh diaki sebagai hak milik pribadi.

Selain keberadaan Suku Baduy yang menjadi daya tarik tersendiri, Provinsi Banten juga memiliki sejarah kebudayaan yang cukup besar dan terkenal sehingga menjadikan Banten sebagai wilayah tujuan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dengan berbagai tujuan wisata alam maupun untuk kegiatan penelitian

Hal ini pun mengemuka di pandangan umum semiloka “Rencana Strategis (Renstra) Kebudayaan dan Pariwisata 2002 – 2006 Pemprov Banten” di gedung KPRI Serang. Ashok Kumar, GM Anyer Cottage, mengatakan betapa pentingnya sebuah buku panduan. Para turis lokal atau mancanegara, bisa berpatokan pada buku itu. Mereka tidak usah pusing-pusing di mana mesti menginap (hotel berbintang atau kelas melati), di mana harus makan, membeli souvenir, dan mencari hiburan (seni tradisi, kontemporer, sampai ke yang sekedar bersenang-senang!).

Sudahkah hal itu terjadi di sini? Jika ada seorang turis asing mendarat di bandara Cengkareng, apa yang akan terjadi? Apakah dia akan dicegat oleh sebuah billboard, “daripada pusing di jakarta yang pengap, mendingan melancong ke Banten atau dia akan meluncur ke Jalan Jaksa di seputaran Monas dan menghabiskan dollarnya di kehidupan malam Jakarta!

Sulaeman Effendi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, dalam sambutannya mengatakan, bahwa Renstra 2002 – 2006, nantinya sebagai acuan resmi bagi seluruh jajaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di tingkat Kabupaten Kota di Provinsi Banten. Dia menyadari, bahwa renstra ini belum sempurna dan terbuka untuk diperbaiki.

Hal itu juga dibenarkan oleh beberapa peserta. Toto ST Radik malah dengan gamblang mengungkapkan, renstra ini tidak representatif, karena tidak komplit dihadiri oleh stakeholders (para pelaku budaya dan pariwisata secara lembaga/persorangan) dari Tangerang, Cilegon, dan Pandeglang, dan Lebak. Si Penyair itu menganjurkan, sebaiknya semiloka ini dilanjutkan pada hari lain. Terlebih-lebih, beberapa “pentolan” tak hadir sejak awal. Seperti Pak Prof. Tihami dari STAIN SMHB.

Terjadi tarik-ulur. Beberapa peserta ada yang pro dan kontra. Rekan-rekan dari Forum Kesenian Banten; Ruby Bhaedowy, Nazla, dan Asep GP, sejak awal mengkhawatirkan, bahwa renstra ini penekanannya hanya pada “pariwisata” saja dan kebudayaan (didalamnya ada kesenian) akan terlupakan.

Perwakilan dari Karang Taruna serta Kasub Dibudpar Lebak, menganjurkan agar diskusi kelompok untuk memberi masukan pada renstra dilanjutkan. Dalam diskusi kelompok, akhirnya “kebudayaan” bisa diakomodir. Begitu juga Wan Anwar, dosen Sastra dari Untirta Banten, mengingatkan agar “kesenian masa kini/kontemporer” diperlakukan sejajar dengan “kesenian tradisional”. Tak perlu ada diskriminasi. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dibudpar) Provinsi Banten memberi garansi, bahwa renstra ini belumlah kartu mati. Beberapa point masih bisa diperbaiki.

Hal yang sangat menarik adalah visi Renstra 2002-2006; yaitu Banten sebagai daerah tujuan budaya dan wisata yang religius, maju, dinamis, berkesinambungan, berbasis kerakyatan, dan berwawasan lingkungan. Dalam implementasinya kadangkala “berbasis kerakyatan” itu melenceng jauh. Selama ini, pariwisata Banten belumlah menyentuh masyarakat kelas bawah. Terutama dalam hal “untung sama dijunjung, rugi sama dipikul”. Yang menikmati keuntungan hanya sebatas pengusaha hotel dan para birokrat pembuat keputusan. Semoga saja setelah Banten jadi provinsi dan pemberlakuan otonomi daerah, paradigma lama berubah menjadi paradigma baru, yang mengikuti perkembangan paradigma wisata dunia.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, janganlah juga dipersulit. Serahkan saja segala urusan ekonomi kepada masyarakat. Pihak Dibudpar Kabupaten tinggal mengkoordinir, membina dan mengayomi. Toh, dananya sudah ada di APBD. Tinggal didistribusikan dengan merata. Yang perlu kita samakan adalah, bahwa “pariwisata berbasis kerakyatan” ini bukanlah sebuah proyek. Tapi sebuah nawaitu yang tulus dalam rangka memajukan ekonomi masyarakat Banten.

Itu bisa dimulai dengan mensinergikan objek daerah tujuan wisata (ODTW) dengan masyarakat setempat. Misalnya, daerah Lebak dan Pandeglang sangatlah potensial dalam hal ini. Bina dan ayomi masyarakat setempat untuk paham, bahwa Baduy, Cikotok, pantai Selatan, selat Sunda, gunung Karang, Situ Cikaromoy, Batu Kuwung adalah aset yang bisa mendatangkan uang secara halal bagi mereka.

Sebuah paket wisata yang terselip di renstra sangatlah strategis dan laku dijual. Di India, Thailand, dan hampir di seluuh dunia, paket wisata sudah menjadi kelaziman. Banten justru mempunyai banyak kelebihan. Tinggal mempromosikannya saja. Janganlah pernah berpikir, bahwa promosi itu hanya efektif di bandara, di Gambir, di lobi hotel berbintang, atau di biro-biro perjalanan. Tapi, bidik juga kawasan-kawasan turis yang tersebar di Indonesia. Kalau di Jakarta, ada di Jalan Jaksa. Yogyakarta, ya di Sosrowijayan. Di Bali tentu di Legian Kuta. Menyebrang ke Sulawesi. Di Makasar, Losari beach bisa dijadikan sebagai tempat promosi paket wisata Banten yang efektif. Begitu juga di Medan dan Lampung. Kita cegat di mana-mana. Para wisman yang mangkal di sana adalah target potensial. Mereka adalah pelaku wisata (tukang piknik) sejati - bermodalkan ransel, travel cheque, buku panduan, yang tanpa rasa lelah menyusuri 5 benua. Darimulut mereka, informasi tentang daerah-daerah yang nyaman untuk dinikmati; baik itu alam, makanan, bahkan seni dan budayanya, akan menyebar seperti virus. Di café-café, mereka ngerumpi. Yang baik dibilang baik, yang jelek, pasti dicaci maki!

Bayangkan, jika turis mancanegara di Jalan Jaksa, mendapatkan informasi yang menggugah hasrat mereka untuk datang ke Banten. Mereka hanya perlu datang ke stasiun kereta Gambir atau Tanah Abang. Turun di stasiun Rangkas. Tanpa susah-susah, mereka tinggal melihat ke buku panduan; dimana harus bermalam. Begitu juga kalau makan malam mesti ke mana. Di lobi hotel, dia bisa mendapatkan informasi yang komplit. Mau melihat seni pertunjukan; misalnya pencak silat, teater kontemporer, atau kesenian tradisional, dia bisa pergi sendiri ke sana. Biasanya itulah yang para wisman inginkan, karena mengunjungi negara lain adalah tidak semata-mata ingin menikmati keindahan alamnya saja. Tapi juga kesenian dan kebudayaan masyarakat setempat. Jika itu terjadi di Banten, maka pariwista Banten akan terasa dampaknya bagi masyarakat luas.

Efek domino yang lain, jika para wisman sudah merasa nyaman dan aman bepergian di tatar Banten, Insya Allah, pada akhirnya nanti, akan tumbuh secara alami travel agent. Itu peluang bisnis yang harus dibuka seluas-luasnya oleh instasi terkait kepada masyarakat. Biarkan mereka mengemas sendiri paket-paket wisata. Dibudpar setempat hanya perlu memberi pedoman standar saja sebagai acuan. Bisa saja nanti akan muncul paket “Baduy fungkees” dari TA si anu, atau “Baduy Express” dari TA yang lainnya.

Hal tersebut di atas memang sudah sejalan dengan “Program Operasional dan Kegiatan Subdinas Pengembangan SDM” sepanjang 2002 – 2006. Pelatihan, pembinaan, dan pengembanan SDM di lingkungan pramusaji, pramuwisata, dan menejer restoran, memang sangat perlu. Juga pennnembangan produk wisata, pelatihan pengelolaan desa wisata, pelatihan dan pengembangan produk kerajinan dan seni lokal untuk desa wisata, juga setali tiga uang. Tapi, perlu juga ditambahkan, para seniman kontemporer pun berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Baik itu di teater atau atau pun seni lukis.

Tapi, yang terjadi di “Matrik Program dan Kegitan Strategis Sub Dinas Kebudayaan”, ada semacam ketergesa-gesaan pembentukan “Dewan Kesenian Banten” (DKB) di 2002 yang tinggal dua bulan lagi. Lebih memprihatinkan lagi, pelaksanaannya diserhakann ke sebuah event organizer. Padahal renstra ini belumlah kita sepakati. Memang, masih ada kesempatan bagi tim perumus, yang akan memperbaiki renstra ini. Maka, marilah kita perbaiki renstra ini dengan hati yang tulus dan lapang dada.

2. Taman Budaya Banten, Buat Siapa?

Sekitar tahun 2002-2003, Banten memiliki GKB (Gedung Kesenian Banten). Bangunan ini terbilang megah dibanding bangunan yang sudah ada. Tidak hanya di Banten, tetapi juga di penjuru nusantara, bahkan dunia. Dilihat dari geografis, cukup strategis. Tepat di jantung ibu kota provinsi. Yakni, Alun-alun Serang. Tak ada dinding bangunan yang menjadi batas gerak seniman berekspresi. Beratapkan langit dan beralas tanah.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk demonstratif halus Penggiat Seni di Banten. Keinginan untuk mendapatkan tempat berekspresi dan perhatian dari Pemerintah Provinsi, direalisasikan dengan membangunan GK (Gedung Kesenian), meski berlabel indie.

Toto ST. Radik, penggiat seni sekaligus Budayawan Banten, ketika dikonfirmasikan hal ini lewat SMS mengatakan, alasan didirikannya GK berawal dari wacana pembangunan kesenian dan kebudayaan di Banten yang nyaris tak ada. Persoalan politik dan ekonomi lebih dominan. Dengan berdirinya GK diharapkan, aspiratif penggiat seni untuk mendapatkan tempat yang layak guna berekspresi didengar Pemerintah Provinsi.

Ihwal diadakannya KDRM (Klab Diskusi Rumah Dunia). Di dalamnya terselenting isu akan dibangunnya Taman Budaya. Dinas Pendidikan Provinsi yang akan memprakarsai. Konon didirikannya gedung ini dengan tujuan memberi lahan bagi para penggiat seni dan masyarakat untuk berekspresi.

Masyarakat sempat mewanti-wanti, kalaupun pembangunan Taman Budaya terealisasi, jangan dilakukan dengan pondasi awal, melainkan cukup renovasi dan rehabilitasi bangunan yang sudah ada saja. Alasannya menghemat pengeluaran APBD Provinsi. Proyek semacam ini, diperkirakan akan menelan beberapa ratus juta rupiah. Dana itu akan lebih baik dimasukan dalam program lain saja. Disinilah kekreatifan penggiat seni diuji. Tidak terjebak dalam perspektif materism, sehingga mengandalkan uluran tangan Pemerintah secara berlebihan.

Dan kini, isu didirikannya Taman Budaya kembali menggema setelah beberapa waktu senyap di telinga masyarakat. Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan Pariwisata, bekerja sama dengan beberapa penggiat seni di Banten merealisasikan pembangunan Taman Budaya. Letaknya berdekatan dengan Kantor Pemprov Banten yang baru, yakni di kawasan Curug, Petir.

Berdasarkan pernyataan anggota diskusi Radar Banten, 29 Januari 2005, luas Taman Budaya mencapai 3 hektar. Di dalamnya terdapat beberapa bagian, yakni hall, café, pelayanan internet, workshop teater dan rupa, panggung terbuka, mess pengelola, dan tempat parkir. Untuk saat ini, pembangunan telah berjalan. Pondasi awal dan tiang penyangga luar, telah menelan dana 1 milyar rupiah. Untuk keseluruhan pembangunan, diperkirakan mencapai angka 24 M!

Di depan kantornya, Didi Supriadie, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten membenarkan hal itu. Ia juga mengatakan Taman Budaya nantinya dijadikan pula sebagai basis kebudayaan masyarakat Banten, atau lebih tepat disebut learning centre. “Masyarakat bisa berkunjung ke sana, tidak hanya mengikuti kegiatan yang ada. Taman Budaya juga akan menyediakan fasilitas untuk masyarakat Banten, agar mengenal lebih dekat kebudayaan asli daerahnya.”

3.Pelaksanaan Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas

Ada sejumlah pertanyaan menyangkut UU Perkawinan Nomor: 1 Tahun 1974. Pertama, bagaimana pelaksanaannya di berbagai komunitas; atau dalam bentuk lainnya- bagaimana pemahaman, tanggapan dan kesadaran hukum masyarakat atas UU tersebut. Kedua, adakah faktor adat istiadat dan tata nilai komunitas bersangkutan dalam pelaksanaannya. Dan ketiga, sejauhmana sistem nilai budaya ikut berperan dalam pelaksanaan UU tersebut. Ada beberapa faktor yang membuat terwujudnya sebuah perkawinan atau -sebaliknya- perceraian. Di samping ada keinginan masing-masing pihak -perempuan dan lelaki- untuk menyatukan komitmen mereka dalam sebuah perkawinan atau sepakat berpisah; di luar itu terdapat pengaruh dari faktor geografis, sosial, agama dan budaya. Dan diantara berbagai faktor tersebut, ada ketentuan baku yang mensahkan secara institusional lembaga perkawinan atau perceraian. Yakni, UU Perkawinan Nomor: 1 Tahun 1974. Penelitian tentang "Pelaksanaan Perkawinan dan Percaraian di Berbagai Komunitas Wilayah Pulau Jawa" berusaha menjawab ketiga hal pokok dalam pertanyaan-pertanyaan di atas. Penelitian ini dilakukan di 5 lokasi: Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di Jabar ada di dua lokasi yakni Sukabumi dan Ciamis (dianggap dipengaruhi budaya Pasundan), dua lokasi di daerah Banten yakni Lebak dan Tangerang, 2 di Jateng yakni Cilacap dan Pemalang (dianggap dipengaruhi budaya Keraton Solo), 2 di Yogyakarta yakni Sleman dan Bantul dan 2 di Jatim yakni Gresik dan Malang. Alasan memilih lima lokasi tersebut karena masing-masing penduduknya mayoritas muslim (beragama Islam), sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi lokal (konsepsi Jawa); serta ada interaksi yang harmonis antara pelaksanaan adat istiadat dengan hukum agama disatu sisi dan dengan ketentuan hukum positif di sisi yang lain. Temuan penelitian yang dihasilkan adalah sebagian besar masyarakat menganggap bahwa permasalahan perkawinan dan perceraian adalah masalah yang berhubungan dengan ajaran agama, sehingga mereka lebih mementingkan sahnya menurut ajaran agama daripada menurut Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Di samping itu sebagian besar responden tidak mengetahui tentang adanya Undang-undang Perkawinan ini. Bahkan di berbagai daerah masih banyak masyarakat yang melakukan pernikahan di bawah tangan dan tidak tercatat status pernikahannya di KUA atau Pengadilan Agama, alasan mereka untuk mendapat izin dari Pengadilan Agama membutuhkan biaya yang cukup besar, sementara mereka tidak mampu membayarnya. Namun demikian, masyarakat di kawasan tersebut sepenuhnya bisa menerima tanpa reserve kehadiran UU yang menjadi dasar pengesahan perkawinan mereka. Tak hanya itu saja. Di beberapa daerah (misalnya Jateng dan Jatim) dimana UU Perkawinan telah tersosialisasi dengan baik, telah terjadi perubahan cukup signifikan dalam hal usia perkawinan. Sebelumnya, di beberapa wilayah didapati usia dini (menstruasi pertama, sekitar 12-16 tahun) perempuan sudah dinikahkan dan pria di usia 19 tahun; tapi sejak UU Perkawinan diberlakukan usia pernikahan untuk perempuan adalah 18 tahun, 21 tahun bagi pria. Meski, karena faktor utama ekonomi dan pendidikan, di Banten, Jabar dan Jatim masih didapati perkawinan di usia dini-dengan prosentasi yang makin mengecil. Selain itu, pemberlakuan UU Perkawinan juga menyurutkan langkah banyak pria untuk berpoligami. Apalagi, dalam ketentuan tersebut, praktek poligami memiliki persyaratan ketat. Namun, di sisi lain, praktek ini tetap berlangsung lagi-lagi karena banyak faktor. Terbesar adalah: konflik rumah tangga dan ekonomi. Kedua faktor ini pula yang menjadi penentu banyaknya terjadi perceraian di kalangan pasangan suami istri; terutama di Jabar dan Banten. Dalam penelitian ini juga disampaikan data-data perkawinan dan perceraian tahun 2001 secara kuantitatif di 10 wilayah: Lebak, Tangerang, Sukabumi, Ciamis, Cilacap, Pemalang, Bantul, Sleman, Malang dan Gresik. Dari data-data tersebut tampak sekali pertumbuhan penduduk yang tinggi berjalin seimbang dengan pertumbuhan perkawinan; meski disisi lain adanya fluktuasi (naik turun) tingkat perceraian seiring dengan faktor penyebab di masing-masing daerah. Lalu bagaimana dengan pengaruh adat istiadat, tata nilai atau agama pada komunitas setempat? Seperti dikemukakan di atas, pengaruhnya sangat jelas. Dalam temuan penelitian ini dikemukakan, bahwa sebagaimana arus paham Jawa dan Islam, masyarakat beranggapan ada sesuatu yang 'Maha' dan berada di luar diri manusia. Tata nilai tersebut juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk dalam menentukan perjodohan, kehidupan keluarga dan sosial. Pandangan yang dianut suatu keluarga juga sangat menentukan. Oleh sebab itu, dalam perjodohan harus direstui oleh keluarga dan diatur oleh orang tua. Bahkan, diseluruh kawasan yang diteliti terungkap, ada konsepsi yang amat penting mengenai 'perkawinan terlarang'. Pengaruh konsepsi ini muncul dari adat istiadat setempat dan mendapat pengesahan secara langsung dari ajaran agama Islam yang mayoritas menjadi anutan mereka. Misalnya konsep penolakan kawin antara seorang nenek dengan cucu dan antara misanan (cucu dari dua orang saudara sekandung). Jalinan adat istiadat, tata nilai agama dan hukum negara sangat positif di berbagai daerah. Tidak didapati adanya penolakan (resistensi); di samping itu masyarakat juga menganggap tak ada perbedaan yang cukup signifikan secara konseptual di antara ketiga hal tersebut. Meski demikian, tetap muncul perbedaan pandangan dan sikap terhadap perkawinan beda agama, meski rata-rata responden di seluruh daerah tetap beranggapan -sesuai hukum Islam- bahwa perempuan Islam tak boleh menikahi dengan pria non muslim. Peran-peran lembaga perkawinan seperti KUA, Pengadilan Agama (PA), Catatan Sipil, mempunyai peran penting dalam proses pemberlakukan perkawinan dan perceraian sesuai dengan UU yang berlaku. Bahkan tampak pula bagaimana PA berusaha menekan tingkat angka perceraian dan catatan sipil menghindarkan dari terjadinya perkawinan campuran yang dianggap tak sesuai dengan hukum Islam maupun adat setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam suatu komunitas, khususnya mengenai perkawinan dan perceraian yang berlaku di kalangan masyarakat serta menganalisis keterkaitan adat-istiadat serta sistem nilai budaya yang ikut berpengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang dimaksud.

“Banten memang punya warisan tradisi yang biasa disebut Banten Kolot. Memang tak mudah segala hal yang modern bisa masuk ke sini,” ungkap H. Nawawi A.F, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olah Raga, di Provinsi Banten. Namun keadaan ini tak jadi penghalang. Banten malah menjadi daerah yang dipilih Depdiknas sebagai target proyek percontohan Bank Dunia untuk penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada tahun 1997 lalu.

Pemerintah Provinsi Banten sebagai provinsi yang ke-30 di Indonesia, dibentuk dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2000 Tanggal 17 Oktober 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten dengan wilayah meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Serang jadi ibukota provinsinya. Berdasarkan UU RI Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 8.651,20 Km2 . Secara wilayah pemerintahan Provinsi Banten terdiri dari 2 Kota, 4 Kabupaten, 140 Kecamatan, 262 Kelurahan, dan 1.242 Desa. Mayoritas penduduknya memiliki semangat religius ke-Islaman yang kuat dengan tingkat toleransi yang tinggi.

Prioritas pemerintah Provinsi Banten terpancang pada dua hal, yakni pemberantasan buta huruf dan penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Banten tahun 2006, masih ada sekitar 203.000 orang penduduknya yang buta aksara. Sedikit banyak, hal ini memberi pengaruh yang cukup signifikan. “Dana APBD memang banyak tersedot ke program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dan pemberantasan buta aksara. Khusus untuk Pendidikan Anak Usia Dini, memang masih menduduki prioritas yang kecil,” ucap Widodo Hadi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten.

4. Penyelenggaraan PAUD di Banten
“Penyelenggaraan PAUD yang ideal, masih terbatas,” tutur H. Nawawi AF. APK nya di asumsikan masih terhitung rendah. Berdasarkan data tahun 2005 dari subdinas PLSPO Provinsi Banten, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk usia PAUD (0 s/d 6 tahun) baru mencapai 15,66 % dari sekitar 400.000-an anak di Banten.

PAUD yang diselenggarakan di Banten, tak beda jauh dari konsep layanan yang ada di Jakarta. Yakni, melayani kebutuhan pendidikan bagi anak usia 0 s/d 6 tahun yang tak terlayani di taman kanak-kanak, karena berbagai alasan. Salah satunya karena biaya pendidikan di Taman Kanak-kanak yang relatif lebih mahal daripada PAUD. “50% PAUD di sini, adalah PAUD nonformal yang mandiri. Dan diatas 50% juga, sasaran muridnya adalah anak-anak dari golongan ekonomi lemah,” jelas H. Nawawi.

Diakuinya, bahwa animo masyarakat terhadap pentingnya PAUD di Banten, sangat tergantung pada kemampuan ekonomi dan latar belakang pendidikan. “Masih sedikit masyarakat Banten yang paham pentingnya PAUD,” ujar Drs. Sugeng Purnomo M. Pd, Ketua Forum PAUD Provinsi Banten.

Forum PAUD Provinsi Banten telah didirikan sejak 3 tahun yang lalu. Titik berat program kerjanya adalah sosialisasi PAUD dan program-program PAUD. “Sasarannya memang masyarakat umum dan para perangkat pemerintah daerah yang ada di dinas-dinas pendidikan kabupaten dan kota, serta PKK Provinsi,” ucap Sugeng Purnomo. Dipaparkan bahwa selama menjalankan sosialisasi ke kabupaten dan kota, forum PAUD banyak bekerja sama dengan lintas instansi, yaitu PKK Provinsi, Dinas Pendidikan kabupaten dan kota, dan Himpaudi Provinsi Banten.

Rutinitasnya melakukan monitoring dan evaluasi, selama sebulan sekali hanya memusatkan perhatiannya pada PAUD yang bermutu rendah. “Kualitas penyelenggaraan PAUD di sini memang masih sangat variatif. Namun kendala terbesar yang dialami PAUD-PAUD ini adalah masih kurangnya dana penyelenggaraan,” ungkap Sugeng.

Dikhawatirkan ini juga berimplikasi terhadap kelengkapan sarana dan prasarana, Tambahnya, “Kebanyakan, PAUD yang kualitasnya masih rendah adalah PAUD yang tempatnya belum permanen dan belum punya Alat 
Permainan Edukatif (APE).”

Forum PAUD Banten yang beranggotakan 19 orang termasuk di dalamnya beberapa orang pengurus ini, terdiri dari para akademisi, praktisi PAUD, personil dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten, personil PKK Provinsi Banten, BKKBN, Dinas Kesehatan, dan Departemen Agama. Dalam menjalankan tugasnya, Forum PAUD Banten juga mendapat sokongan biaya operasional. “Tahun 2006 lalu, Forum PAUD Provinsi Banten mendapat bantuan dana operasional sebanyak Rp 40 juta dari dana dekonsentrasi APBN,” ucap Sugeng yang kini masih aktif jadi dosen di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Dana operasional ini banyak digunakan untuk sosialisasi PAUD dan program-program PAUD sebanyak 2 kali dalam setahun. Selain itu,dana ini juga banyak mendukung kegiatan-kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebulan sekali di setiap PAUD yang membutuhkan.

Di samping lakukan monitoring dan evaluasi, Forum PAUD juga lakukan pembinaan terhadap PAUD-PAUD se-Banten. “Kami juga berikan pembinaan melalui kegiatan pelatihan untuk para tutor PAUD, tahun ini jumlah sasarannya mencapai jumlah 40 orang,” aku sugeng.

Upaya sosialisasi dan peningkatan tutor PAUD, banyak berpengaruh terhadap penyelenggaraan PAUD di Banten. “Tahun 2007 ini ada 400-an PAUD yang telah terselenggara di Banten,” ucap Wahyudin, S. Pd, staf pengelola program PAUD Provinsi Banten. Jumlah ini terdiri dari 100-an PAUD yang ada dibawah pengelolaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), 40-an PAUD yang ada dibawah pengelolaan Yayasan, 12 PAUD sejenis (berbentuk Taman Penitipan Anak) di Kota Cilegon dan Kabupaten Tanggerang, serta sekitar 250-an berbentuk PAUD yang pengelolaannya terintegrasi dengan Bina Keluarga dan Balita (BKB).

“Bisa diasumsikan, pertumbuhan jumlah PAUD di Banten dalam tiap tahunnya bisa mencapai 10%,” ucap H. Nawawi. Percepatan pertumbuhan ini didukung oleh pengelolaan PAUD yang terintegrasi dengan BKB. Menurut Sugeng, “Untuk proses sosialisasi melalui personil PKK Provinsi Banten, jadi lebih efektif. Efeknya juga sangat terlihat. Buktinya, ada lebih dari 50% PAUD di Banten yang pengelolaannya terintegrasi dengan BKB.”

Terhadap pesatnya pertumbuhan PAUD yang berintegrasi dengan BKB ini, H. Nawawi menanggapi bahwa memang ada beberapa dampak yang muncul. “Sudah jelas, berefek positif, karena bisa meningkatkan angka partisipasi kasar. Namun, kadang kualitas para tutornya yang kami khawatirkan juga,” ujarnya. Mengingat PAUD yang berintegrasi dengan BKB, roda kegiatannya banyak “digerakkan” oleh ibu-ibu PKK daerah setempat yang kadang nota bene bukan tutor PAUD yang memiliki latar belakang pendidikan/keilmuan pendidikan khusus untuk anak usia dini.

Ia mengharapkan adanya pembinaan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan bagi para tutor PAUD di Banten. “Kami juga banyak dibantu dan bekerjasama dengan Forum PAUD dan Himpaudi Provinsi Banten,” ujarnya.

Himpaudi Provinsi Banten, didirikan sejak tanggal 22 Agustus 2006 lalu. Umurnya memang sangat muda. “Kami baru satu tahun berkegiatan,” ujar Hj. Titin Prihatini M.Pd, Ketua Himpaudi Provinsi Banten. Ia juga menjelaskan bahwa titik berat program kegiatan Himpaudi adalah pada peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan PAUD di Banten.

Mengenai mutu para tutor PAUD se-Banten yang terintegrasi dengan BKB, Titin merespon dengan beberapa solusi praktis yang telah dilakukan. Yaitu melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada kader-kader PKK yang ada di setiap POSYANDU. “Jika kesadaran tentang pentingnya PAUD ini bisa muncul dengan kuat, ini tidak akan banyak terpengaruh dengan berapa banyaknya dana yang dikeluarkan, tetapi akan lebih memperhatikan bagaimana model pembelajarannya,” tegas Titin yang kini sedang meneruskan jenjang pendidikan S3 Jurusan PAUD di Universitas Negeri Jakarta. Oleh karenanya, penekanan program tentang perlunya peningkatan mutu pendidik PAUD dan pengelola PAUD, disosialisasikan di tingkat kabupaten hingga ke tingkat kelurahan.

Ia bersama tim pengurus dan para anggota di Himpaudi Provinsi Banten yang seluruhnya berjumlah 21 orang ini, telah menjalankan berbagai upayanya tanpa pamrih. “Kami ini hanya sekumpulan orang-orang yang solid saja. Yang mau bekerja tanpa gaji dan kompensasi,” aku Titin. Bersama-sama, mereka berupaya menyelenggarakan diklat, magang, seminar, workshop/pelatihan-pelatihan, dan mengupayakan pemberian sertifikat kepada para tutor PAUD yang latar belakang pendidikannya bukan dari PAUD maupun PGTK di Provinsi Banten.

Himpaudi Provinsi Banten, punya daftar kerja dan target yang cukup panjang untuk menggenjot mutu tenaga pendidik di sana. Pasalnya, dari 2000-an orang tenaga pendidik PAUD di Banten, baru sekitar 100 orang saja yang memenuhi kualifikasi atau yang memiliki ijazah PGTK dan ijazah S1 PAUD. Sejalan dengan kondisi ini, beberapa program diluncurkan.

Himpaudi Provinsi Banten punya program rutin yang disebut, Himpaudi Roadshow. Setiap satu bulan sekali, Himpaudi yang ada di setiap kabupaten, melakukan pelatihan singkat untuk para tutor PAUD. Minimal, di setiap kabupaten ada 5 orang tutor yang ikut pelatihan singkat setiap bulannya. Himpaudi yang paling rutin menjalankan Himpaudi Roadshow sebulan sekali, baru hanya Himpaudi Kabupaten Cilegon saja. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun lalu hingga sekarang.

Selama perjalanan tugasnya pada tahun 2006 lalu, Sudin PLSPO Provinsi Banten juga telah mengikutsertakan para tutor PAUDnya sebanyak 40 orang dalam pelatihan BCCT, bekerjasama dengan Himpaudi Provinsi Banten. Selain itu, beberapa orang pengurus Himpaudi juga dikirim magang di YARSI pada bulan Mei 2007 lalu. Kegiatan magang dimaksudkan agar pengurus Himpaudi di tingkat Provinsi Banten, dapat mensosialisasikan wawasan dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh di YARSI kepada seluruh pengurus Himpaudi di Kabupaten dan Kecamatan. “Termasuk tentang bagaimana pola pembelajaran yang paling cocok untuk PAUD di Banten,” jelasnya.

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*