Nikah Dini Dalam Perspektif Hukum Positif
Dalam masalah batas umur untuk kawin di
Indonesia Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kemudian dipertegas dalam Kompilasi
Hukum Islam yang menyatakan, bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai
umur ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan.s
Pembatasan usia minimal melangsungkan
perkawinan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kawin dibawah umur. Selain
itu juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan perkawinan
mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang
lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi.
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”(Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan
orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak.
Secara jelas undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan
dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun.
Berdasarkan hal UU tersebut, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI telah menggugat Syekh Puji karena dinilai
telah melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Gugatan publik juga telah dilontarkan oleh Komnas Perempuan. (Jakarta, NU
Online Senin, 27 Oktober 2008 03:04)
Pembahasan
- Tidak boleh aturan apapun menyelisihi syari’at yang ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya. Dalam fatwaya Syaikh bin Baz menyatakan: “Usia
pernikahan tidak dibatasi dengan ukuran umur tertentu, baik ukuran ukuran
umur usia tua (batas umur maksiamal tua) maupun muda (batas minimal umur
usia muda). Hal ini berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan
As-Sunnah menganjurkan pernikahan tanpa mengkaitkan dengan batasan umur
tertentu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قال الله تعالى :
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ
يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى
النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ
Dalam ayat di
atas terdapat pembolehan untuk menikahi anak (peremupan) yatim yang belum
mencapai usia baligh. Dan usia maksimal seseorang termasuk yatim adalah 15
tahun menurut pendapat yang paling tepat (rajih) atau kurang dari itu tanpa
batasan usia tertentu.
Hal ini
diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW:
“تستأذن اليتيمة في
نفسها فإن سكتت فهو إذنها وإن أبت فلا جواز عليها”
Dalam praktenya Nabi menikahi A’isyah pada
umurnya 6 atau 7 tahun dan berumah tangga dengannya pada umur 9 tahun. Demikian
hukum syariat tersebut berlaku dalam umat Islam sebagaimana para shahabat yang
mereka menikah pada usia dini dan usia tua tanpa batasan umur tertentu.
Tidak seorangpun yang diperkenankan membuat
syari’at baru di luar syariat Allah dan Rasul-Nya dan merubah Syariat Allah dan
Rasul-Nya. Karena syariat tersebut telah mencukupi. Barang siapa berpendapat
selain itu, maka dia telah mendholimi dirinya sendiri dan telah membuat syariat
bagi manusia dengan hal yang tidak diijinkan/perkenankan oleh Allah SWT. Allah
SWT telah mencela jenis manusia seperti mereka dalam firman-NYa:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu (tandingan) yang
membuat syariat bagi mereka tentang agama tanpa ijin Allah” (QS.
Asy-Syura: 21)
Nabi SAW bersabda:
وقال صلى الله عليه وسلم :
” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” متفق عليه . وفي رواية مسلم : ” من عمل عملا
ليس عليه أمرنا فهو رد ” وعلقه البخاري في الصحيح جازما به .
Saya ingatkan orang-orang yang menegakkan
aturan yang bertentangan dengan syariat tersebut dengan firman Allah Ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
- Perkawinan harus dilihat secara integral dan holistik. Bukan
hanya aspek legalitas formal yang bersifat normatif yaitu sah dan tidaknya
suatu perkawinan, namun harus melihat hakekat dan tujuan dari suatu
perkawinan. Di antara tujuan pernikahan yang diterangkan dalam Al-Quran
adalah (artinya) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21). Berdasarkan ayat ini jelas bahwa
Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah
tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin
keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi
itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut,
dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu
sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama
tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang
melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan
perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi
dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah
pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah
dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu
keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai
pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.
- Pernikahan adalah suatu bentuk ibadah yang disakralkan dalam
Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar legalisasi hubungan seksual semata.
Pernikahan bukanlah perampasan hak anak. Pernikahan adalah perpindahan
perwalian dari seorang ayah kepada seorang suami. Ayah menyerahkan
tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, mendidik, dan memenuhi
semua hak anak perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu
memikul tanggung jawab tersebut. Islam membolehkan menikahkan anak yang
sudah baligh atau belum baligh tapi sudah tamyiz (sudah bisa
menyatakan keinginannya). Seorang anak yang memasuki pernikahan sesuai
dengan syariat Islam tetap terpenuhi hak-haknya. Anak yang belum baligh
belum dituntut tapi dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua
kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara yang sudah baligh
mendapatkan hak sekaligus sudah harus melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang istri.
- Pembatasan usia minimal pernikahan dapat berdampak negatif
(mudhorot) karena dapat menghambat keinginan para pemuda yang sudah dewasa
secara intelektual, emosional, dan finansial namun belum cukup umur untuk
melangsungkan pernikahan. Hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya
tindakan maksiat dalam hubungan lawan jenis dan hubungan seksual di luar
nikah, dll.
- Perlu diketahui bahwa pernyataan para ulama tentang bolehnya
menikahi gadis belia tidak berarti boleh menggaulinya dalam hubungan
suami-istri (hubungan seksual), bahkan tidak boleh dgauli sampai dia cukup
mampu melakukannya. Oleh karena itu, Nabi SAW menunda menggauli Istrinya
Aisyah ra. DR. Abdullah al-Faqih dalam fatwanya no.11251 di islamweb.com juga
menegaskan bahwa suami hendaknya tidak melakukan jima’ dengan istrinya
jika istrinya belum siap untuk itu atau jika hal tersebut menimbulkan
mudhorat bagi istrinya.
- Pembolehan bagi seorang bapak kandung (wali) untuk menikahkan
anak gadisnya yang masih kecil berkaitan dengan ada-tidaknya maslahat dan
hikmah dari pernikahan tersebut. Kemaslahatan dimaksud adalah kemaslahatan
bagi anak gadis tersebut, bukan kemaslahatan orang lain termasuk wali
sendiri yaitu berupa tercapai tujuan-tujuan pernikahan. Sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh ’Atiyah Shoqr, pemberian wewenang menikahkan
tersebut kepada wali karena pada umumnya sebagai orang tua yang diberi
amanah pengasuhan anak, mereka pasti menghendaki kebaikan bagi anaknya.
Sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh Abubakar as-Shiddiq ra yang
menikahkan putrinya dengan Rasulullah SAW. Oleh karena itu orang tua/wali
perlu menilai dengan bijaksana pasangan/calon suami bagi anaknya.
- Perlu diketahui bahwa pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah
ra pada usia dini adalah pernikahan yang penuh dengan hikmah dan tujuan
yang agung. Di antara hikmah pernikahan tersebut yaitu (1)
Rasulullah SAW menyiapkan istrinya sebagai da’iyah, muballighoh, dan
murabbiyah yang membantu kesuksesan dakwah dan penyampaian risalah.
Aisyah ra memiliki kecerdasan yang tinggi dan umur beliau yang masih muda
adalah masa yang tepat untuk belajar karena hafalan lebih kokoh dan
kemampuan merekam pelajaran lebih mantap. Di samping sebagai pendamping
hidup Rasulullah, Aisyah adalah murid spesial dalam madrasah
kenabian. Nabi mengajarkan Aisyah secara khusus berbagai permasalahan
agama terutama berkaitan dengan urusan privat rumah tangga dan fiqih
kewanitaan. Peran Aisyah kemudian adalah menjadi juru bicara Nabi
(da’iyah) yang menjelaskan hal tersebut kepada shahabat pada umumnya dan
pada shohabiyah khususnya serta para tabi’in (generasi setelah shahabat)
yang belajar kepada beliau. Sejarah membuktikan peran dan kontribusi
Aisyah ra dalam mewariskan sunnah Rasulullah dengan meriwayatkan hadis
sebanyak 2210. (2) Memperkuat hubungan kekerabatan dan kedekatan
keluarga antara beliau SAW dengan shahabat beliau yang paling utama yaitu
Abu Bakar as-Shiddiq ra.
- Lebih utama (mustahab) bagi seorang wali untuk tidak
menikahkan anak gadisnya yang masih kecil kecuali jika terdapat maslahat
dari pernikahan tersebut. Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa Imam
Syafi’I dan imam-imam pengikut madzhab Syafi’I berpendapat bahwa
dianjurkan bagi seorang Bapak atau Kakek untuk tidak menikahkan seorang
gadis sampai dia baligh dan meminta ijin/kesediaannya agar gadis tersebut
tidak terperangkap dalam “penjara pernikahan” yang tidak disukainya. Hal
ini tidaklah bertentangan dengan hadis ‘Aisyah, karena maksud dari
pendapat para Imam tersebut adalah tidak menikahkan gadis sebelum baligh
jika tidak terdapat maslahat yang jelas/pasti yang dikhawatirkan akan
hilang jika dilambatkan, sebagaimana yang terjadi pada pernikahan ’Aisyah
ra. Jika ada maslahat yang bisa dihasilkan, maka pernikahan dianjurkan
karena seorang bapak diperintahkan untuk memperhatikan maslahat anaknya
dan tidak melalaikan/membiarkannya hilang. Wallahu A’lam.
- Jika menimbulkan kemudhoratan, maka hal tersebut tidak
diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang melarang melakukan sesuatu yang
menimbulkan kemudharatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, di
antaranya : la dhorara wala dhirara. Atau jika mudhorot yang akan
terjadi diperkirakan lebih besar maka juga menjadikan pernikahan tersebut
terlarang sesuai kaidah : daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb
al-Masholih. Syaikh Walid bin Ali al-Husain bahkan menganggap
pernikahan anak gadis oleh orang tuanya dengan tujuan mendapatkan imbalan
harta dari orang yang akan dinikahkan dengannya, tanpa memperhatikan
kemaslahatan anaknya, maka pernikahannya tidak sah.
- Bila anak telah baligh, perlu minta ijin/persetujuan anak
tersebut, berdasarkan hadis:
( وَعَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الثَّيِّبُ
أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا ،
وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا } رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari Ibnu Abbas ra, belia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak untuk mengatur dirinya (dalam
mengambil keputusan menikah) daripada walinya. Seorang anak gadis dimintai
ijin/persetujuannya mengenai dirinya. Dan tanda ijin darinya adalah diamnya”
(HR. al-jama’ah dari mukharrij hadis kecuali Imam Bukhari)
Dalam perspektif ketentuan hukum positif, nikah
dini dinilai melanggar pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1979 yang
mensyaratkan usia pihak calon mempelai perempuan minimal berusia 16 tahun.
Sebagai solusi terhadap permasalahan legalitas
tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah orang tua mengajukan dispensasi
umur perkawinan ke Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, sehingga mendapat pengesahan Negara.
Wallahu A’lam bi As-Showab.
Sumber :
al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718. Dalam
Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja
dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata
derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan
718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan
(aqad ) perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526).
Lihat Tafsir al-Thobari 14/142 juga lihat
penjelasan para ulama tafsir tentang “syarh al-kalimaat” dari wallai
lam yahidhna misalnya dalam kitab tafsir Taisir al-Karim al-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Manan karya Abdurahman bin Nasr al-Sa’di. Taisir Karim
al-Rahman oleh Abubakar al-Jazairi, al-Tafsir al-Wasith karya
Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Dur al-Mantsur fi ta’wil bi al-Ma’tsur
karya Jalaluddin al-Suyuthi, dll
HR. al-Daruquthni dari Anas ra dan seluruh
perawinya tsiqot sebagaimana dinyatakan Imam al-Haitsami dalam kitab
Majmu’ Zawaid wa Manba’ al Fawaid hadis no. 1529, diriwayatkan pula oleh Ibnu
Adi 7/216, tarjamah 2162 Tazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah.)
lihat Shohih Bukhari no 4840 dan Shohih Muslim
no 1422
Imam As-Syaukany Nailul Authar 6/252
Walaupun ada ulama seperti Ibnu Syubrumah tidak
sepakat dengan ijma’ dengan alasan; (1) karena itu kasus Kasus terjadi di
Makkah. sementara Nabi men-tasyri’-kan di Madinah perlu ijin. (2) khoso’is bagi
Nabi saja.
Dulu lumrah orang menikahkan anak gadisnya
antara usia 13 hingga 15 tahun namun, terjadinya perubahan pandangan masyarakat
mengenai usia ideal memasuki jenjang pernikahan. Seiring perkembangan jaman,
usia menikah pun makin bertambah. Kaum perempuan perkotaan kini menikah di usia
antara 25 hingga 30 tahun. Tidak mustahil di masa depan usia menikah akan
semakin bertambah.
Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa
perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita
berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan
bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan
wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Di anak benua India, pada tahun
1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah
umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan
larangan mengawinkan anak perempuan sebelum menmcapai usia 14 tahun dan anak
lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-undang ini juga menetapkan sanksi
hukuman atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di
bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas
dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu
baik yang lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka
sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).
Terlihat di sini bahwa UU No. 23 tahun 2002 dan
UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan yang berbeda dan tidak
konsisten terhadap batas minimal usia perkawinan.
Fatwa Syaikh bin Baz yang dipublikasikan dalam
Majalah al-Dakwah no. 828 Tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1402 H dan dalam Kumpulan
Fatwanya juz 4 hal 124
Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi,
Tanpa Tahun, XIII : 171-172
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih
al-Munajjid dalam islam-qa.com Soal no. 12708 dan no.22442
Lihat pula Keterangan Imam Nawawi dalam Syarh
Muslim (9/206)
Disebutkan dalam fatwa al-Lajnah ad-Da’imah lil
ifta’ no. 3833:
يجوز العقد على
الصغيرة من أبيها، خاصة إذا رأى المصلحة لها في ذلك؛ لقصة تزوج النبي -صلى الله عليه وسلم- بعائشة وهي دون
التسع
“Diperbolehkan melakukan akad nikah atas
seorang gadis kecil oleh bapak kandungnya, khususnya jika dipandang terdapat
maslahat dalam pernikahan tersebut. Hal ini berdasarkan kisah pernikahan Nabi
SAW dengan Aisyah yang umurnya kurang dari 9 tahun”
Syaikh Walid bin Ali al-Husain dalam Fatwa
al-Islam al-Yaum no. 104588 lihat al-maktabah al-Syamilah.
Fatwa al-Azhar Mei 1997 dalam al-Maktabah
al-Syamilah
Lihat DR. Mahmud Thohhan, Taisir hal 199
lihat fatwa DR. Abdullah al-Faqih dalam
fatwanya no. 30523 islamweb.com)
Imam Nawawi. Syarah Shahih Muslim 9/206
(AL-Maktabah al-Syamilah)
Syaikh Walid bin Ali al-Husain dalam Fatwa
al-Islam al-Yaum no. 104588 lihat al-maktabah al-Syamilah.
http://syukrillah.wordpress.com/2010/08/28/%E2%80%9Cnikah-dini-%E2%80%9C-dalam-perspektif-fiqh-islam/
0 komentar:
Posting Komentar