Senin, 25 Februari 2013

Nikah Dini Dalam Perspektif Hukum Positif




Nikah Dini Dalam Perspektif Hukum Positif

Dalam masalah batas umur untuk kawin di Indonesia Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kemudian dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan, bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan.s
Pembatasan usia minimal melangsungkan perkawinan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kawin dibawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”(Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun.
Berdasarkan hal UU tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI telah menggugat Syekh Puji karena dinilai telah melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Gugatan publik juga telah dilontarkan oleh Komnas Perempuan. (Jakarta, NU Online Senin, 27 Oktober 2008 03:04)
Pembahasan
  1. Tidak boleh aturan apapun menyelisihi syari’at yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam fatwaya Syaikh bin Baz menyatakan: “Usia pernikahan tidak dibatasi dengan ukuran umur tertentu, baik ukuran ukuran umur usia tua (batas umur maksiamal tua) maupun muda (batas minimal umur usia muda). Hal ini berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran dan As-Sunnah menganjurkan pernikahan tanpa mengkaitkan dengan batasan umur tertentu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
قال الله تعالى : وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاتِي لا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dalam ayat di atas terdapat pembolehan untuk menikahi anak (peremupan) yatim yang belum mencapai usia baligh. Dan usia maksimal seseorang termasuk yatim adalah 15 tahun menurut pendapat yang paling tepat (rajih) atau kurang dari itu tanpa batasan usia tertentu.
Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW:
تستأذن اليتيمة في نفسها فإن سكتت فهو إذنها وإن أبت فلا جواز عليها
Dalam praktenya Nabi menikahi A’isyah pada umurnya 6 atau 7 tahun dan berumah tangga dengannya pada umur 9 tahun. Demikian hukum syariat tersebut berlaku dalam umat Islam sebagaimana para shahabat yang mereka menikah pada usia dini dan usia tua tanpa batasan umur tertentu.
Tidak seorangpun yang diperkenankan membuat syari’at baru di luar syariat Allah dan Rasul-Nya dan merubah Syariat Allah dan Rasul-Nya. Karena syariat tersebut telah mencukupi. Barang siapa berpendapat selain itu, maka dia telah mendholimi dirinya sendiri dan telah membuat syariat bagi manusia dengan hal yang tidak diijinkan/perkenankan oleh Allah SWT. Allah SWT telah mencela jenis manusia seperti mereka dalam firman-NYa:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu (tandingan) yang membuat syariat bagi mereka  tentang agama tanpa ijin Allah” (QS. Asy-Syura: 21)
Nabi SAW bersabda:
وقال صلى الله عليه وسلم : ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد متفق عليه . وفي رواية مسلم : ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد وعلقه البخاري في الصحيح جازما به .
Saya ingatkan orang-orang yang menegakkan aturan yang bertentangan dengan syariat tersebut dengan firman Allah Ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
  1. Perkawinan harus dilihat secara integral dan holistik. Bukan hanya aspek legalitas formal yang bersifat normatif yaitu sah dan tidaknya suatu perkawinan, namun harus melihat hakekat dan tujuan dari suatu perkawinan. Di antara tujuan pernikahan yang diterangkan dalam Al-Quran adalah (artinya) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21). Berdasarkan ayat ini jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.  Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.
  2. Pernikahan adalah suatu bentuk ibadah yang disakralkan dalam Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar legalisasi hubungan seksual semata. Pernikahan bukanlah perampasan hak anak. Pernikahan adalah perpindahan perwalian dari seorang ayah kepada seorang suami. Ayah menyerahkan tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, mendidik, dan memenuhi semua hak anak perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu memikul tanggung jawab tersebut. Islam membolehkan menikahkan anak yang sudah baligh atau belum baligh tapi sudah tamyiz (sudah bisa menyatakan keinginannya). Seorang anak yang memasuki pernikahan sesuai dengan syariat Islam tetap terpenuhi hak-haknya. Anak yang belum baligh belum dituntut tapi dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara yang sudah baligh mendapatkan hak sekaligus sudah harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.
  3. Pembatasan usia minimal pernikahan dapat berdampak negatif (mudhorot) karena dapat menghambat keinginan para pemuda yang sudah dewasa secara intelektual, emosional, dan finansial namun belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya tindakan maksiat dalam hubungan lawan jenis dan hubungan seksual di luar nikah, dll.
  4. Perlu diketahui bahwa pernyataan para ulama tentang bolehnya menikahi gadis belia tidak berarti boleh menggaulinya dalam hubungan suami-istri (hubungan seksual), bahkan tidak boleh dgauli sampai dia cukup mampu melakukannya. Oleh karena itu, Nabi SAW menunda menggauli Istrinya Aisyah ra. DR. Abdullah al-Faqih dalam fatwanya no.11251 di islamweb.com juga menegaskan bahwa suami hendaknya tidak melakukan jima’ dengan istrinya jika istrinya belum siap untuk itu atau jika hal tersebut menimbulkan mudhorat bagi istrinya.
  5. Pembolehan bagi seorang bapak kandung (wali) untuk menikahkan anak gadisnya yang masih kecil berkaitan dengan ada-tidaknya maslahat dan hikmah dari pernikahan tersebut. Kemaslahatan dimaksud adalah kemaslahatan bagi anak gadis tersebut, bukan kemaslahatan orang lain termasuk wali sendiri yaitu berupa tercapai tujuan-tujuan pernikahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ’Atiyah Shoqr, pemberian wewenang menikahkan tersebut kepada wali karena pada umumnya sebagai orang tua yang diberi amanah pengasuhan anak, mereka pasti menghendaki kebaikan bagi anaknya. Sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh Abubakar as-Shiddiq ra yang menikahkan putrinya dengan Rasulullah SAW. Oleh karena itu orang tua/wali perlu menilai dengan bijaksana pasangan/calon suami bagi anaknya.
  6. Perlu diketahui bahwa pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah ra pada usia dini adalah pernikahan yang penuh dengan hikmah dan tujuan yang agung. Di antara hikmah pernikahan tersebut yaitu (1)  Rasulullah SAW menyiapkan istrinya sebagai da’iyah, muballighoh, dan murabbiyah yang membantu kesuksesan dakwah dan penyampaian risalah. Aisyah ra memiliki kecerdasan yang tinggi dan umur beliau yang masih muda adalah masa yang tepat untuk belajar karena hafalan lebih kokoh dan kemampuan merekam pelajaran lebih mantap. Di samping sebagai pendamping hidup Rasulullah, Aisyah  adalah murid spesial dalam madrasah kenabian. Nabi mengajarkan Aisyah secara khusus berbagai permasalahan agama terutama berkaitan dengan urusan privat rumah tangga dan fiqih kewanitaan. Peran Aisyah kemudian adalah menjadi juru bicara Nabi (da’iyah) yang menjelaskan hal tersebut kepada shahabat pada umumnya dan pada shohabiyah khususnya serta para tabi’in (generasi setelah shahabat) yang belajar kepada beliau. Sejarah membuktikan peran dan kontribusi Aisyah ra dalam mewariskan sunnah Rasulullah dengan meriwayatkan hadis sebanyak 2210. (2) Memperkuat hubungan kekerabatan  dan kedekatan keluarga antara beliau SAW dengan shahabat beliau yang paling utama yaitu Abu Bakar as-Shiddiq ra.
  7. Lebih utama (mustahab) bagi seorang wali untuk tidak menikahkan anak gadisnya yang masih kecil kecuali jika terdapat maslahat dari pernikahan tersebut. Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa Imam Syafi’I dan imam-imam pengikut madzhab Syafi’I berpendapat bahwa dianjurkan bagi seorang Bapak atau Kakek untuk tidak menikahkan seorang gadis sampai dia baligh dan meminta ijin/kesediaannya agar gadis tersebut tidak terperangkap dalam “penjara pernikahan” yang tidak disukainya. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadis ‘Aisyah, karena maksud dari pendapat para Imam tersebut adalah tidak menikahkan gadis sebelum baligh jika tidak terdapat maslahat yang jelas/pasti yang dikhawatirkan akan hilang jika dilambatkan, sebagaimana yang terjadi pada pernikahan ’Aisyah ra. Jika ada maslahat yang bisa dihasilkan, maka pernikahan dianjurkan karena seorang bapak diperintahkan untuk memperhatikan maslahat anaknya dan tidak melalaikan/membiarkannya hilang. Wallahu A’lam.
  8. Jika menimbulkan kemudhoratan, maka hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang melarang melakukan sesuatu yang menimbulkan kemudharatan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, di antaranya : la dhorara wala dhirara. Atau jika mudhorot yang akan terjadi diperkirakan lebih besar maka juga menjadikan pernikahan tersebut terlarang sesuai kaidah : daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-Masholih. Syaikh Walid bin Ali al-Husain bahkan menganggap pernikahan anak gadis oleh orang tuanya dengan tujuan mendapatkan imbalan harta dari orang yang akan dinikahkan dengannya, tanpa memperhatikan kemaslahatan anaknya, maka pernikahannya tidak sah.
  9. Bila anak telah baligh, perlu minta ijin/persetujuan anak tersebut, berdasarkan hadis:
( وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا ، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا } رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari Ibnu Abbas ra, belia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak untuk mengatur dirinya (dalam mengambil keputusan menikah) daripada walinya. Seorang anak gadis dimintai ijin/persetujuannya mengenai dirinya. Dan tanda ijin darinya adalah diamnya” (HR. al-jama’ah dari mukharrij hadis kecuali Imam Bukhari)
Dalam perspektif ketentuan hukum positif, nikah dini dinilai melanggar pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1979 yang mensyaratkan usia pihak calon mempelai perempuan minimal berusia 16 tahun.
Sebagai solusi terhadap permasalahan legalitas tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah orang tua mengajukan dispensasi umur perkawinan ke Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga mendapat pengesahan Negara.
Wallahu A’lam bi As-Showab.
Sumber :
al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718. Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad ) perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526).
Lihat Tafsir al-Thobari 14/142 juga lihat penjelasan para ulama tafsir tentang “syarh al-kalimaat” dari wallai lam yahidhna misalnya dalam kitab tafsir Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan karya Abdurahman bin Nasr al-Sa’di. Taisir Karim al-Rahman oleh Abubakar al-Jazairi, al-Tafsir al-Wasith karya Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Dur al-Mantsur fi ta’wil bi al-Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuthi, dll
HR. al-Daruquthni dari Anas ra dan seluruh perawinya tsiqot sebagaimana dinyatakan Imam al-Haitsami dalam kitab Majmu’ Zawaid wa Manba’ al Fawaid hadis no. 1529, diriwayatkan pula oleh Ibnu Adi 7/216, tarjamah 2162 Tazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah.)
lihat Shohih Bukhari no 4840 dan Shohih Muslim no 1422
Imam As-Syaukany Nailul Authar 6/252
Walaupun ada ulama seperti Ibnu Syubrumah tidak sepakat dengan ijma’ dengan alasan; (1) karena itu kasus Kasus terjadi di Makkah. sementara Nabi men-tasyri’-kan di Madinah perlu ijin. (2) khoso’is bagi Nabi saja.
Dulu lumrah orang menikahkan anak gadisnya antara usia 13 hingga 15 tahun namun, terjadinya perubahan pandangan masyarakat mengenai usia ideal memasuki jenjang pernikahan. Seiring perkembangan jaman, usia menikah pun makin bertambah. Kaum perempuan perkotaan kini menikah di usia antara 25 hingga 30 tahun. Tidak mustahil di masa depan usia menikah akan semakin bertambah.
Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum menmcapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).
Terlihat di sini bahwa UU No. 23 tahun 2002 dan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan yang berbeda dan tidak konsisten terhadap batas minimal usia perkawinan.
Fatwa Syaikh bin Baz yang dipublikasikan dalam Majalah al-Dakwah no. 828 Tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1402 H dan dalam Kumpulan Fatwanya juz 4 hal 124
Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171-172
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih al-Munajjid  dalam islam-qa.com Soal no. 12708 dan no.22442
Lihat pula Keterangan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim (9/206)
Disebutkan dalam fatwa al-Lajnah ad-Da’imah lil ifta’ no. 3833:
يجوز العقد على الصغيرة من أبيها، خاصة إذا رأى المصلحة لها في ذلك؛ لقصة تزوج النبي -صلى الله عليه وسلم- بعائشة وهي دون التسع
“Diperbolehkan melakukan akad nikah atas seorang gadis kecil oleh bapak kandungnya, khususnya jika dipandang terdapat maslahat dalam pernikahan tersebut. Hal ini berdasarkan kisah pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah yang umurnya kurang dari 9 tahun”
Syaikh Walid bin Ali al-Husain dalam Fatwa al-Islam al-Yaum no. 104588 lihat al-maktabah al-Syamilah.
Fatwa al-Azhar Mei 1997 dalam al-Maktabah al-Syamilah
Lihat DR. Mahmud Thohhan, Taisir hal 199
lihat fatwa DR. Abdullah al-Faqih dalam fatwanya no. 30523 islamweb.com)
Imam Nawawi. Syarah Shahih Muslim 9/206 (AL-Maktabah al-Syamilah)
Syaikh Walid bin Ali al-Husain dalam Fatwa al-Islam al-Yaum no. 104588 lihat al-maktabah al-Syamilah.
http://syukrillah.wordpress.com/2010/08/28/%E2%80%9Cnikah-dini-%E2%80%9C-dalam-perspektif-fiqh-islam/

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*