Jumat, 01 Februari 2013

Nikah Dengan Wanita Hamil Karena Zina




Nikah Dengan Wanita Hamil Karena Zina

Dalam Mazhab Syafi’i sah nikah dengan wanita hamil karena zina. Ini dapat kita simak dari perkataan beberapa ulama Syafi’iyah, antara lain :
1. Imam Nawawi mengatakan :
Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak wajib atasnya ber’iddah, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi si penzina dan lainnya yang bukan menzinainya melakukan akad nikah atasnya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum melahirkan anaknya.”
2. Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan :
Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh”.
3. Berkata Ibnu Hajar Haitamy :
Adapun hukum nikah wanita hamil karena zina, terjadi khilaf yang tersebar dikalangan imam-imam kita dan lainnya. Yang sahih di sisi kita adalah sah. Pendapat ini juga telah dikatakan oleh Abu Hanifah r.a., karena wanita itu tidak dalam nikah dan tidak juga dalam iddah orang lain. Dari Malik ada sebuah qaul yang mengatakan sebaliknya”.
4. Adapun hukum bersetubuh dengannya setelah dinikahi sebelum melahirkan adalah boleh berdasarkan pendapat yang tashih oleh Imam Nawawi dan Ar-Rafi’i. Berkata Ar-Rafi’i :
Sesungguhnya tidak ada penghormatan bagi kandungan zina, kalau terlarang menyetubuhinya, maka terlarang juga menikahinya seperti bersetubuh dengan syubhat” . 
Berdasarkan boleh menyetubuhinya, maka hukumnya adalah makruh, karena keluar dari khilaf ulama yang mengharamkannya.
Adapun dalil yang membolehkan menikahi wanita hamil, baik oleh penzinanya atau lainnya yang bukan menzinainya, antara lain :
1). Firman Allah Q.S al-Nisa’ : 24, berbunyi :
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Artinya : Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (Q.S. al-Nisa’ : 24)

Perempuan yang hamil karena zina termasuk dalam katagori mutlaq perempuan yang dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, sementara itu, tidak dalil atau ‘illat lain yang menunjukkan kepada haram menikahinya. Apabila dikatakan perempuan hamil karena zina itu ber’iddah, ini juga tidak, karena hamil karena zina tidak dihormati dalam agama, buktinya anak dalam kandungannya itu tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki penzinanya
2). Hadits Nabi SAW :
لا يحرم الحرام الحلال
Artinya : Perbuatan haram tidak mengharamkan yang halal.(H.R. al-Thabrany)

Al-Haitsami mengatakan, hadits ini diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Aushath, namun dalam sanadnya ada Utsman bin Abdurrahman al-Zahri, sedangkan dia ini matruk. Jalan pendaliliannya adalah zina yang meyebabkan hamil adalah perbuatan haram. Karena itu, zina tersebut tidak dapat mengharamkan perbuatan halal, yakni halal dinikahi perempuan oleh seseorang laki-laki.
Imam Nawawi telah menyebut dua dalil di atas sebagai sebagian dalil boleh menikahi perempuan hamil karena zina dalam kitab beliau, Majmu’ Syarah al-Muhazzab.
3). Qaidah Fiqh berbunyi :
ألأصل في الأشياء الأباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Artinya : Asal sesuatu adalah boleh sehingga ada dalil yang menunjukkan kepada haram.
Karena tidak ada hal-hal yang menyebabkan haram atau tidak sah, maka hukumnya adalah boleh.
Sedangkan dalil yang dikemukakan oleh yang mengharamkannya adalah berdasarkan Hadits Nabi SAW :
ﻻﻴﺤﻝﻷﺤﺩ ﻴﺅﻤﻥ ﺒﺎﺍﻠﻠﻪ ﻭﺍﻠﻴﻭﻡ ﺍﻷﺨﺭ ﺍﻥ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺀ ﺯﺭﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya : tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiram air pada tanaman orang lain (H. R. Abu Daud)

Pendalilian dengan hadits di atas telah dibantah oleh Ibnu Hajar Haitamy, beliau mengatakan bahwa Asbabulwurud hadits tersebut untuk menjauhi menggauli wanita tawanan perang yang hamil, karena kandungannya terhormat, maka haram menggaulinya. Tidak sama halnya dengan kandungan karena zina, sesungguhnya tidak ada penghormatan baginya yang menghendaki kepada haram menggaulinya.
Dalam Sunan Abu Daud, hadits ini berbunyi :
لايحل لامرىء يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره
Ibnu al-Mulaqan mengatakan :
Hadits ini shahih, telah diriwayat oleh Ahmad dalam Musnadnya, Abu Daud dan al-Turmidzi dalam Sunan keduanya dari Ruwaifa’ bin Tsabit al-Anshary.”
Sebagian umat Islam berbeda pendapat dengan pendapat di atas, mereka mengatakan wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat, yaitu :
a. Dia dan si laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Q.S. an-Nur : 3)

Mereka mengatakan, ayat ini menjadi dalil tidak boleh menikah dengan orang-orang yang dhahir padanya perbuatan zina.
Memadai bagi kita keterangan yang disampaikan oleh Imam Syafi’i dalam al-Um, beliau setelah menyebut beberapa penafsiran yang disampaikan oleh ahli tafsir mengenai tafsir ayat di atas, mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musaiyab, salah seorang ahli tafsir dari Tabi’in merupakan pendapat yang didukung oleh al-Kitab dan al-Sunnah. Pendapat Sa’id al-Musaiyab tersebut adalah : ayat di atas sudah dinasakh oleh ayat :
وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ من عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
Karena penzina itu termasuk dalam kelompok “al-ayaamii” (yang belum nikah) dari kamu muslimin. Karena itu, ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah penetapan suatu hukum.

b. Harus beristibra' (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidbila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ بِحَيْضَةٍ
Artinya : Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra' dengan satu kali haid.(H.R. Abu Daud)

Hadits ini juga diriwayat oleh Al-Hakim, beliau mengatakan :
Hadits ini shahih atas syarat Muslim”
Dalam hadits di atas Rasulullah melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Hadits ini membicarakan masalah perempuan tawanan perang yang lagi hamil menjadi budak karena merupakan rampasan perang, buktinya ujung hadits ini menjelaskan bahwa perempuan yang tidak hamil memadai dengan istibra’ (menunggu masa tertentu untuk memastikan kosong rahim seorang budak perempuan) hanya dengan satu kali haid. Sedangkan istibra’ hanya dengan satu kali haid hanya berlaku pada budak, tidak berlaku pada perempuan merdeka. Perempuan-perempuan tawanan tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus seorang perempuan yang hamil karena zina. Kehamilan pada perempuan tawanan perang berlaku istibra’, karena kehamilan perempuan tersebut adalah dikarenakan suaminya, oleh karena itu, wajib menunggu sampai melahirkan. Berbeda halnya dengan perempuan yang hamil karena zina, kehamilannya itu tidak dihormati. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban ber’iddah.
Nikah dengan wanita hamil dibolehkan menurut mazhab Syafi’i, tetapi makruh menggaulinya, karena keluar dari khilaf yang mengharamkannya. Keluar dari khilaf dianjurkan dalam syari’at kita sesuai dengan qaidah fiqh :
االخروج من الخلاف مستحب
ِArtinya : keluar dari khilaf ulama , hukumnya dianjurkan.

SUMBER-SUMBER:
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242
Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 201
Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 93-94
Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94
Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IV, Hal. 311
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242
Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 43
Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 654, No. Hadits : 2158
Ibnu al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 214
Muhammad bin al-‘Atsimaini, Tukmalah Fatawa al-Mauqa’, Maktabah Syamilah, Nomor : 85335, Hal.1
Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 148
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I I, Hal. 213, No. Hadits : 2159
Ibnu al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 142
As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair, Al-Haramain, Indonesia, Hal. 94

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*