Dalam Mazhab Syafi’i sah nikah
dengan wanita hamil karena zina. Ini dapat
kita simak dari perkataan beberapa ulama Syafi’iyah, antara lain :
1. Imam Nawawi mengatakan :
“Apabila
seorang perempuan berzina, maka tidak wajib atasnya ber’iddah, baik ia dalam
keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak
hamil, maka boleh bagi si penzina dan lainnya yang bukan menzinainya melakukan
akad nikah atasnya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya
sebelum melahirkan anaknya.”
2. Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar
al-Yamany mengatakan :
“Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu
sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh”.
3. Berkata
Ibnu Hajar Haitamy :
“Adapun hukum nikah wanita hamil karena zina, terjadi khilaf
yang tersebar dikalangan imam-imam kita dan lainnya. Yang sahih di sisi kita
adalah sah. Pendapat ini juga telah dikatakan oleh Abu Hanifah r.a., karena
wanita itu tidak dalam nikah dan tidak juga dalam iddah orang lain. Dari Malik
ada sebuah qaul yang mengatakan sebaliknya”.
4. Adapun
hukum bersetubuh dengannya setelah dinikahi sebelum melahirkan adalah boleh
berdasarkan pendapat yang tashih oleh Imam Nawawi dan Ar-Rafi’i. Berkata
Ar-Rafi’i :
“Sesungguhnya tidak ada penghormatan bagi kandungan zina,
kalau terlarang menyetubuhinya, maka terlarang juga menikahinya seperti
bersetubuh dengan syubhat” .
Berdasarkan boleh menyetubuhinya,
maka hukumnya adalah makruh, karena keluar dari khilaf ulama yang
mengharamkannya.
Adapun dalil yang membolehkan
menikahi wanita hamil, baik oleh penzinanya atau lainnya yang bukan
menzinainya, antara lain :
1). Firman Allah Q.S al-Nisa’ :
24, berbunyi :
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ
Artinya : Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. (Q.S. al-Nisa’ : 24)
Perempuan yang hamil karena zina
termasuk dalam katagori mutlaq perempuan yang dihalalkan untuk dinikahi pada
ayat diatas, sementara itu, tidak dalil atau ‘illat lain yang menunjukkan
kepada haram menikahinya. Apabila dikatakan perempuan hamil karena zina itu
ber’iddah, ini juga tidak, karena hamil karena zina tidak dihormati dalam
agama, buktinya anak dalam kandungannya itu tidak dihubungkan nasabnya kepada
laki-laki penzinanya
2). Hadits Nabi SAW :
لا
يحرم الحرام الحلال
Artinya : Perbuatan haram tidak
mengharamkan yang halal.(H.R. al-Thabrany)
Al-Haitsami mengatakan, hadits ini
diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Aushath, namun dalam sanadnya ada Utsman
bin Abdurrahman al-Zahri, sedangkan dia ini matruk. Jalan
pendaliliannya adalah zina yang meyebabkan hamil adalah perbuatan haram. Karena
itu, zina tersebut tidak dapat mengharamkan perbuatan halal, yakni halal
dinikahi perempuan oleh seseorang laki-laki.
Imam Nawawi telah menyebut dua
dalil di atas sebagai sebagian dalil boleh menikahi perempuan hamil karena zina
dalam kitab beliau, Majmu’ Syarah al-Muhazzab.
3). Qaidah Fiqh berbunyi :
ألأصل في الأشياء الأباحة حتى يدل
الدليل على التحريم
Artinya : Asal sesuatu adalah boleh sehingga ada dalil yang
menunjukkan kepada haram.
Karena tidak ada hal-hal yang
menyebabkan haram atau tidak sah, maka hukumnya adalah boleh.
Sedangkan dalil yang dikemukakan
oleh yang mengharamkannya adalah berdasarkan Hadits Nabi SAW :
ﻻﻴﺤﻝﻷﺤﺩ ﻴﺅﻤﻥ ﺒﺎﺍﻠﻠﻪ ﻭﺍﻠﻴﻭﻡ ﺍﻷﺨﺭ ﺍﻥ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺀ ﺯﺭﻉ ﻏﻴﺭﻩ
Artinya : tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir menyiram air pada tanaman orang lain (H. R. Abu Daud)
Pendalilian dengan hadits di atas
telah dibantah oleh Ibnu Hajar Haitamy, beliau mengatakan bahwa Asbabulwurud
hadits tersebut untuk menjauhi menggauli wanita tawanan perang yang hamil, karena
kandungannya terhormat, maka haram menggaulinya. Tidak sama halnya dengan
kandungan karena zina, sesungguhnya tidak ada penghormatan baginya yang
menghendaki kepada haram menggaulinya.
Dalam Sunan Abu Daud, hadits ini
berbunyi :
لايحل
لامرىء يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره
Ibnu al-Mulaqan mengatakan :
“Hadits
ini shahih, telah diriwayat oleh Ahmad dalam Musnadnya, Abu Daud dan
al-Turmidzi dalam Sunan keduanya dari Ruwaifa’ bin Tsabit al-Anshary.”
Sebagian
umat Islam berbeda pendapat dengan pendapat di atas, mereka mengatakan wanita
yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki
yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua
syarat, yaitu :
a. Dia dan si
laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
:
الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Q.S. an-Nur : 3)
Mereka mengatakan, ayat ini menjadi dalil tidak boleh
menikah dengan orang-orang yang dhahir padanya perbuatan zina.
Memadai bagi kita keterangan yang disampaikan oleh Imam
Syafi’i dalam al-Um, beliau setelah menyebut beberapa penafsiran yang
disampaikan oleh ahli tafsir mengenai tafsir ayat di atas, mengatakan bahwa
pendapat yang dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musaiyab, salah seorang ahli tafsir
dari Tabi’in merupakan pendapat yang didukung oleh al-Kitab dan al-Sunnah.
Pendapat Sa’id al-Musaiyab tersebut adalah : ayat di atas sudah dinasakh oleh
ayat :
وَأَنْكِحُوا
الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ من عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
Karena
penzina itu termasuk dalam kelompok “al-ayaamii” (yang belum nikah) dari
kamu muslimin. Karena
itu, ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah penetapan suatu hukum.
b. Harus beristibra' (menunggu
kosongnya rahim) dengan satu kali haidbila si
wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah
SAW :
لاَ
تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ
بِحَيْضَةٍ
Artinya : Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia
melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra'
dengan satu kali haid.(H.R. Abu Daud)
Hadits ini juga diriwayat oleh Al-Hakim, beliau mengatakan :
Dalam hadits di atas Rasulullah
melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil
sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak
itu sudah menjadi miliknya.
Hadits ini membicarakan masalah
perempuan tawanan perang yang lagi hamil menjadi budak karena merupakan
rampasan perang, buktinya ujung hadits ini menjelaskan
bahwa perempuan yang tidak hamil memadai dengan istibra’ (menunggu masa tertentu untuk
memastikan kosong rahim seorang budak perempuan) hanya dengan satu kali haid. Sedangkan istibra’ hanya dengan
satu kali haid hanya berlaku pada budak, tidak berlaku pada perempuan merdeka.
Perempuan-perempuan tawanan tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus seorang
perempuan yang hamil karena zina. Kehamilan pada perempuan tawanan perang
berlaku istibra’,
karena kehamilan perempuan tersebut adalah dikarenakan suaminya, oleh karena
itu, wajib menunggu sampai melahirkan. Berbeda halnya dengan perempuan yang
hamil karena zina, kehamilannya itu tidak dihormati. Oleh karena itu, tidak ada
kewajiban ber’iddah.
Nikah dengan wanita hamil
dibolehkan menurut mazhab Syafi’i, tetapi makruh menggaulinya, karena keluar dari
khilaf yang mengharamkannya. Keluar dari khilaf dianjurkan dalam syari’at kita
sesuai dengan qaidah fiqh :
االخروج
من الخلاف مستحب
ِArtinya
: keluar dari khilaf ulama , hukumnya dianjurkan.
SUMBER-SUMBER:
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab,
Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242
Sayyed Abdurrahman bin Muhammad
Ba’lawi, Bughyatul
Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.
201
Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah,
Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 93-94
Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah,
Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94
Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IV, Hal. 311
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab,
Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242
Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah,
Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94
Abu Daud, Sunan Abu Daud,
Darul Fikri, Juz. I, Hal. 654, No. Hadits : 2158
Ibnu
al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 214
Muhammad bin
al-‘Atsimaini, Tukmalah Fatawa al-Mauqa’, Maktabah Syamilah, Nomor : 85335, Hal.1
Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal.
148
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I I, Hal. 213, No. Hadits : 2159
Ibnu
al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 142
As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair, Al-Haramain, Indonesia, Hal. 94
0 komentar:
Posting Komentar