Proses
Memutuskan Perkara
Sebelum sebuah perkara
diputuskan ada beberapa hal yang harus dilaksanakan baik oleh penggugat,
tergugat ataupun Pengadilan Agama, hal tersebut diantaranya, pengajuan gugatan
oleh penggugat, pemeriksaan berkas gugatan oleh pihak pengadilan untuk
menentukan diterima tidaknya sebuah gugatan, persidangan dan pemanggilan
pihak-pihak terkait oleh pengadilan dalam hal ini dilakukan oleh pihak yang
ditunjuk dan dipercayakan untuk melaksanakan tugas tersebut. Adapun uraiannya
adalah sebagai berikut:
1.
Gugatan
Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam mengajukan gugatan diantaranya adalah berkenaan dengan
kewenangan pengadilan jenis apa yang berhak mengadili (kewenangan mutlak) dan
kewenangan pengadilan wilayah mana yang berhak mengadili (kewenangan relatif).
Pasal 132 K.H.I. menyebutkan bahwa gugatan pecerian diajukan oleh istri atau
kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal
penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seijin suami.
Hal-hal lain yang tidak kalah penting adalah sebagai berikut:
a. Gugatan diajukan dengan
surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya.
b. Surat gugat harus
bertanggal, mencantumkan identitas penggugat dan tergugat secara lengkap.
c. Surat gugatan
didaftarkan ke kepaniteraan Pengadilan negeri yang bersangkutan.
d. Gugatan memuat dasar
gugatan secara jelas.
e. Surat gugatan harus
dilengkapi petitum lengkap dan jelas, yaitu hal yang diinginkan oleh penggugat
untuk diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan oleh hakim.
Dalam kasus tergugat buta
huruf gugatan dapat diajukan secara
lisan ke pengadilan yang bersangkutan
untuk selanjutnya Ketua Pengadilan membuat atau menyuruh membuat gugatan
yang dimaksud. Adapun wakil penggugat adalah orang yang diberi kuasa oleh
penggugat berdasarkan surat kuasa.
Syarat tersebut di atas
harus diperiksa secara seksama baru apabila kesemua syarat terpenuhi putusan
perstek dijatuhkan dengan memgabulkan gugatan. Jadi tidak selamanya putusan
perstek mengabulkan gugatan, adakalanya putusan tersebut berupa penolakan
gugatan jika petitum melawan hak atau ketika petitum tidak beralasan.
2. Pemeriksaan
Setiap kali diadakan sidang
Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang
tersebut.Panggilan untuk menghadiri sidang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan Agama. Panggilan
disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan atau jika yang bersangkutan tidak dapat dijumpai panggilan disampaikan melalui lurah
atau yang sederajad. Panggilan tersebut
disampaikan secara patut dan
sudah diterima oleh tergugat atau kuasa mereka
selambat-lambatnya 3 hari sebelum
sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan lampiran surat gugatan (pasal 138
K.H.I). Pemeriksaan gugatan
perceraian dilajutkan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
(pasal 141 ayat 1 K.H.I).
Hakim sebelum memeriksa
perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak,
usaha tersebut dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, ataupun ketika taraf
banding oleh pengadilan tinggi. Selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan (pasal 143 ayat 2
K.H. I). Peranan hakim dalam usaha menyelesaikan perkara secara damai sangat
penting. Putusan perdamaian memiliki beberapa keuntungan bagi masyarakat secara
umum dan para pencari keadilan secara khusus, karena penyelesaiannya jauh lebih
cepat sehingga dapat menghemat biaya selain itu dapat mengurangi permusuhan
antara kedua belah pihak. Demikian halnya dalam kasus gugat perceraian hakim akan berusaha untuk
mendamaikan suami istri yang hendak bercerai. Apabila hakim berhasil, gugat
pada umumnya dicabut. Sebagaimana pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa
hakim harus berusaha untuk me ndamaikan kedua belah pihak.
Sebelum tergugat menjawab
pokok perkara secara lisan atau tertulis, tergugat dapat menyampaikan eksepsi
berkenaan dengan kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut.Apabila eksepsi
diterima maka pengadilan tersebut menyatakan perkara tersebut selesai pada
tingkat pertama,.Apabila eksepsi ditolak maka dijatuhkan putusan sela dan dalam
putusan tersebut diperintahkan untuk melanjutkan perkara dan pokok perkara
memasuki tahap pemeriksaan. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara hendaknya
dibuat dengan jelas pendek dan berisi dengan mengemukakan alasan yang berdasar.
3.
Pembuktian
Membuktikan dalam arti
yuridis berarti memberi dasar- dasar yang cukup kapada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Adapun tujuannya
adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Dalam proses
perdata salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan
hukum yang mendasari gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam
suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya maka gugatannya
akan ditolak, sebaliknya jika penggugat dapat membuktikan dalil yang menjadi
dasar gugatannya maka gugatan tersebut akan diterima.
Tidak semua dalil yang
menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil yang tidak
disangkal bahkan diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan
lagi. Pembuktian tidak selalu dibebankan kepada pihak penggugat, namun dapat
juga dibebankanm kepada pihak tergugat. Dalam hal ini hakimlah yang menentukan
pihak penggugat atau tergugat yang harus memikul beban pembuktian.
a.
Bukti
surat.
Hukum acara perdata mengenal
3 macam surat : (1) surat biasa yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud
untuk dijadikan bukti. (2) Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di
hadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya, atau surat yang sejak semula
dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian, semisal surat putusan
hakim, akta perkawinan dan surat panggilan jurusita (3) Akta di bawah tangan
yaitu surat menyurat yang tidak dibuat sebagaimana akta otentik atau akta yang
sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang
pejabat40,
misalnya: surat perjanjian hutang piutang, surat perjanjian sewa menyewa,
kwitansi dan yang lainnya.
b.
Bukti
saksi-saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek biasa disebut dengan kesaksian, yaitu
kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. Yang
dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang dilihat, didengar, atau
dirasakan sendiri, dan tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa
sebabnya, bagaimana ia bisa mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya
Perasaan atau sangka yang istimewa yang terjadi karena akal, tidak dipandang
sebagai penyaksian (pasal 171 ayat 2 H.I.R).
Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan karena hal
ini merupakan tugas hakim. Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah
menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya.
Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan
sengaja memberi keterangan palsu saksi dapat dituntut dan di hukum untuk sumpah
palsunya tersebut.
c.
Persangkaan-persangkaan
Apabila dalam suatu
pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi yang melihat,
mendengar, atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang harus
dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Digunakan kata
persangkaan-persangkaan karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk
membuktikan sesuatu, harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain
saling menutupi, berhubungan, sehingga peristiwa atau dalil yang disangkal itu
dapat dibuktikan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah
suatu peristiwa yang belum terbukti.
Persangkaan hakim juga
digunakan sehubungan dengan gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan.
Dalam kasus ini sulit sekali menemukan saksi yang melihat sendiri waktu
perzinahan tersebut. Oleh karena itu sudah menjadi yurisprudensi tetap bahwa apabila
dua orang pria dan wanita dewasa yang bukan suami istri tidur bersama dalam
suatu kamar yang hanya mempunyai satu tempat tidur maka untuk perbuatan
perzinahan telah terdapat satu persangkaan hakim. Persangkaan hakim sebagai
alat bukti mempunyai kekuatan bukti
bebas dengan kata lain tergantung pada penilaian hakim yang bersangkutan. Pada
umumnya persangkaan tersebut harus didukung dengan persangkaan-persangkaan lain
yang saling berhubungan, baru dapat dijadikan sebagai bukti lengkap.
d.
Pengakuan
Ada dua macam pengakuan yang
dikenal dalam hukum acara perdata yaitu: pengakuan yang dilakukan di depan
sidang dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang. Kedua macam pengakuan tersebut memiliki nilai
pembuktian yang berbeda satu sama lain. Menurut pasal 174 H.I. R. Bahwa
pengakuan yang dilakukan di hadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk
memberatkan orang yang mengaku itu baik
pengakuan itu diucapkan sendiri maupun oleh orang istimewa yang dikuasakan
untuk melakukan hal tersebut. Selanjutnya pasal 175 H.I.R. mennyebutkan bahwa
pengakuan yang dilakukan di luar sidang diserahkan kepada pertimbangan hakim
yang akan menentukan kekuatannya. Pengakuan di luar sidang yang dilakukan
secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terletak bahwa
pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu dibuktikan lagi, sedang
pengakuan secara lisan yang dilakukan di luar sidang harus dibuktikan lagi
dengan saksi atau alat bukti lainnya.
e.
Bukti
sumpah
Sumpah adalah suatu
pernyataan khidmad yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan dan percaya bahwa apa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak
benar akan dihukum olehNya. Yang disumpah adalah salah satu pihak penggugat
atau tergugat oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah
satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri. Sumpah
ini ada dua macam yaitu: sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang
dimohonkan oleh pihak lawan. Keterangan yang dikuatkan oleh sumpah dianggap sebagai keterangan yang benar oleh
karena apabila ia memberikan keterangan
yang bohong ia akan dihukum oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Rasa takut akan hukuman inilah yang dianggap oleh hukum bahwa
seseorang tidak akan memberikan keterangan yang tidak benar di bawah sumpahnya.
Pasal 177 H.I.R menyatakan bahwa apabilan sumpah telah diucapkan, hakim tidak
diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu
yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud.
4.
Putusan
Hakim
Putusan mengenai perceraian
dilakukan dalam sidang terbuka, suatu perceraian dianggap terjadi dengan segala
akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (pasal 146 K.H. I). Hal-hal yang harus
dimuat dalam surat putusan hakim menurut pasal 184 H.I.R. diantaranya adalah:
a. Ringkasan yang jelas tentang gugatan dan jawaban
b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim
c. Putusan pengadilan mengenai pokok perkara
d. Putusan tentang besarnya biaya perkara
a. Putusan memuat keterangan apakah kedua belah pihak hadir atau
tidak pada waktu putusan dijatuhkan.
b. Apabila putusan didasarkan kepada peraturan Undang-undang yang pasti, maka peraturan
tersebut harus disebutkan.
Susunan putusan hakim terdiri dari 4 bagian yaitu:
a.
Kepala
putusan
Kepala putusan adalah bagian
yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
b.
Identitas
para pihak, yaitu identitas pihak
penggugat dan tergugat
c.
Pertimbangan
Pertimbangan yang dimaksud
adalah pertimbangan tentang duduk
perkaranya dan pertimbangan tentang hukumnya sebagai wujud pertanggung jawaban
hakim kepada masyarakat terhadap keputusan yang diambil sehingga keputusan tersebut bersifat obyektif.
d.
Amar
Amar merupakan
jawaban/tanggapan terhadap petitum dari gugatan atau biasa disebut juga dictum.
Jadi tidak semua hal yang
terjadi di persidangan termuat dalam putusan hakim, karena hal yang demikian
termuat dalam berita acara. Prosedur
gugatan menurut Moh. Idris Ramulyo dalam bukunya adalah sebagai berikut:
a.
Penggugat
atau kuasanya datang ke kantor kelurahan untuk memperoleh keterangan tempat
tinggal dari Lurah
b.
Penggugat
atau kuasanya dengan membawa surat keterangan Lurah Datang ke Pengadilan Agama
untuk mengajukan gugatan tertulis atau lisan kepada panitera dan untuk membayar
persekot biaya perkara
c.
Penggugat
dan tergugat atau masing-masing kuasanya
menghadiri sidang pengadilan
Agama berdasarkan surat panggilan panitera
d.
Majelis
hakim memeriksa perkara dengan tahap-tahap sidang sebagai berikut: membaca surat
gugatan oleh penggugat tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pemeriksaan
alat-alat bukti penggugat dan tergugat, kesimpulan penggugat dan tergugat dan
putusan hakim
e.
Putusan Pengadilan
Agama (vonis). Dalam hal perkara taklik talak atau perkara tidak diterima atau
ditolak atau digugurkan oleh Majelis hakim atau dicabut dalam persidangan.
Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan.
f.
Penggugat wajib
membuktikan kebenaran dari isi
gugatannya berdasarkan alat-alat bukti: surat-surat, saksi-saksi, pengakuan
salah satu pihak, persangkaan hakim, dan sumpah salah satu pihak
g.
Kepada penggugat dan
tergugat diberikan salinan putusan Pengadilan Agama
h.
Kepada penggugat dan
tergugat diberikan surat keterangan
bahwa putusan pengadilan agama telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
i.
Untuk perkara
perceraian Pengadilan Agam minta pengukuhan kepada Pengadilan Negeri atas
putusannya yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap
j.
Pihak yang menang
perkara yang ada hubungannya dengan hak kebendaan dengan bantuan Pengadilan
Agama dapat meminta executoir verklaring kepada Pengadilan Negeri, apabila
putusan itu tidak dijalankan secara sukarela.
4 komentar:
bagsaimana jika permohonan tersebut gugatan tidak sesuai dengan kenyataan yg sebenarnya? bahkan si penggugat telah meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.Bagaimana jika saksi walaupun dia tahu permasalahan yang sebenarnya tetap memberikan kesaksiannya sesuai dengan permohonan penggugat yg tidak sesuai dengan kenyataan tersebut? kemudian si tergugat tidak hadir di persidangan sidang pertama dan sidang keduaya ( sidang saksi) apakah pengadilan akan memutuskan dan dianggap sah?
bagsaimana jika permohonan tersebut gugatan tidak sesuai dengan kenyataan yg sebenarnya? bahkan si penggugat telah meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.Bagaimana jika saksi walaupun dia tahu permasalahan yang sebenarnya tetap memberikan kesaksiannya sesuai dengan permohonan penggugat yg tidak sesuai dengan kenyataan tersebut? kemudian si tergugat tidak hadir di persidangan sidang pertama dan sidang keduaya ( sidang saksi) apakah pengadilan akan memutuskan dan dianggap sah?
bagsaimana jika permohonan tersebut gugatan tidak sesuai dengan kenyataan yg sebenarnya? bahkan si penggugat telah meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.Bagaimana jika saksi walaupun dia tahu permasalahan yang sebenarnya tetap memberikan kesaksiannya sesuai dengan permohonan penggugat yg tidak sesuai dengan kenyataan tersebut? kemudian si tergugat tidak hadir di persidangan sidang pertama dan sidang keduaya ( sidang saksi) apakah pengadilan akan memutuskan dan dianggap sah?
bagsaimana jika permohonan tersebut gugatan tidak sesuai dengan kenyataan yg sebenarnya? bahkan si penggugat telah meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.Bagaimana jika saksi walaupun dia tahu permasalahan yang sebenarnya tetap memberikan kesaksiannya sesuai dengan permohonan penggugat yg tidak sesuai dengan kenyataan tersebut? kemudian si tergugat tidak hadir di persidangan sidang pertama dan sidang keduaya ( sidang saksi) apakah pengadilan akan memutuskan dan dianggap sah?
Posting Komentar