PENGERTIAAN, DASAR HUKUM DAN SYARAT
HADHANAH (Hak Asuh Anak)
Pengertian
hadhanah
Kata
hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy,
atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian
ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau
lengan.
Secara
terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan
merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang
dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika
pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk
berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).
Hukum
Hadhanah
Hadhanah
(pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan
pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan
perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain
itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang
dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait
dengan tiga hak:
- Hak wanita yang mengasuh.
- Hak anak yang diasuh.
- Hak ayah atau orang yang menempati
posisinya.
Jika
masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus
ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus
didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu
terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena
tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak
boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian.
sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan
akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah
tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu)
lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang
memperbolehkannya.
keempat, jika ada
wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui
bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh
anak.
Urutan
Orang yang Berhak Mengasuh Anak.
Mengingat
bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar,
lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih
berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung
hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang
lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.
Ibu
adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada
laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih
berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya),
baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain,
karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada
penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari
kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah : “Wahai
RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya,
payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya
telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah bersabda
kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah
lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Urutan
orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama
berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu
kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak
adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja
ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu
dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang
sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1.
Ibu
kandungnya sendiri
2.
Nenek
dari pihak ibu
3.
nenek
dari pihak ayah
4.
saudara
perempuan (kakak perempuan)
5.
bibi
dari pihak ibu
6.
anak
perempuan saudara perempuan
7.
anak
perempuan saudara laki-laki
8.
bibi
dari pihak ayah
Kalangan Madzhab Maliki
berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1.
Ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
bibi dari pihak
ibu
4.
nenek dari
pihak ayah
5.
saudara
perempuan
6.
bibi dari pihak
ayah
7.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
8.
penerima wasiat
9.
dan kerabat
lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1.
Ibu kandung
2.
nenek dari
pihak ibu
3.
nenek dari
pihak ayah
4.
saudara
perempuan
5.
bibi dari pihak
ibu
6.
anak perempuan
dari saudara laki-laki
7.
anak perempuan
dari saudara perempuan
8.
bibi dari pihak
ayah
9.
dan kerabat
yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah
sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama
dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
1.
ibu
kandung
2.
nenek
dari pihak ibu
3.
kakek
dan ibu kakek
4.
bibi
dari kedua orang tua
5.
saudara
perempuan se ibu
6.
saudara
perempuan seayah
7.
bibi
dari ibu kedua orangtua
8.
bibinya
ibu
9.
bibinya
ayah
10. bibinya ibu dari jalur ibu
11. bibinya ayah dari jalur ibu
12. bibinya ayah dari pihak ayah
13. anak perempuan dari saudara laki-laki
14. anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15. kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)
Kalangan
ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang
harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang,
syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama dan kedua,
berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat
menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali
dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh
untuk orang lain.
Syarat kedua,
Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang
kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
- Orang yang mengasuh pasti sangat ingin
anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini
adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam
sabda Rasulullah :“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka
kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau
Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama
anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
- Hak asuh anak itu sama dengan perwalian.
Allah berfirman :
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Syarat ke empat,
mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain
yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Syarat kelima,
ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda
Nabi : “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah
lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495)
Berakhirnya
Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.
Jika
si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi
kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya, maka
masa pengasuhan telah selesai.
Manakala
masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si anak ? Jika
kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang
dari kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua
orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus diperhatikan:
Pertama, anak yang
diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah selesai masa
pengasuhannya, muncul tiga pendapat dikalangan ulama:
- Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak
mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah
bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan
dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan
lebih tepat.
- Madzhab Maliki, Ibu lebih
berhak selama si anak belum baligh.
- Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad,
Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya,
berdasrkan hadits Abu Hurairah: Seorang perempuan datang menghadap
Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah. suamiku ingin membawaserta
anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu Inabah serta memberi
manfaat padaku.” Rasulullah bersabda: “Berundilah kalian berdua
untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku
terhadap anakku?” Nabi bersabda pada sianak agar memilih, “Ini
ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu
suka” Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan
mebawanya. (Haduts shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud 2277, An-Nasa’i 3496
dan At-Tirmidzi 1357). Dari hadits diatas diketahui bahwa konsep
pengundian (qur’ah) harus didahulukan daripada memberikan
kesempatan memilih. Akan tetapi dengan melihat apa yang dilakukan oleh
para khalifah, memberikan kesempatan memilih lebih didhalukan daripada
cara pengundian. Diriwayatkan bahwa ada orang yang mengadukan perselisihan
masalah anak kepada Umar . Ia menjawab, “Ia sebaiknya tinggal bersama
ibunya sampai ia pandai berbicara, kemudian ia diberi kesempatan untuk
memilih.“(Sanad shahih, ditakhrij oleh Abdurrazaq 12606 dan Sa’id bin
Manshur 2263).
Diriwayatkan
juga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali telah memberikan kesempatan
kepadanya untuk memilih antara (ikut) dengan ibunya atau pamannya. Imarah lebih
memilih ikut ibunya. Ali berkata “Kamu dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika
saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai usia seperti usiamu saat ini, maka
berikanlah kesempatan kepadanya untuk memilih seperti yang kau lakukan ini.”
Imarah berkata, “Ketika itu saya sudah beranjak remaja (ghulam).”
(Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq 12609, Sa’id bin Manshur 2265 dan
al-Baihaqi 8/4).
Ibnu
Qayyim menyebutkan bahwa memberi kesempatan memilih dan mengundi hanya dapat
dilakukan apabila kedua cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau
memang ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih bermanfaat dibanding
ayahnya, maka dalam kasus ini merawat anak harus didahulukan tanpa harus
mempertimbangkan cara mengundi dan memilih.
Kedua, anak yang
diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda pendapat, Kalangan Madzhab
Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka
perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan
mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa
manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya.
Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya
apabila telah mencapai usia 7 tahun.
Ketiga
Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk menentukan
pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi kesempatan
menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup bersama
orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu
Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi
kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya
apabila orangtua yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak.
(Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak
asuh anak hadhanah)
4 komentar:
saya setuju dgn kata2 tersebut....
akan tetapi, jikalau ibu nya lari tanpa ada usaha buat membawa anaknya dari suaminya, apa DIA juga pantas dpt HAK ASUH???
uang yg di berikan buat imunisasi anak nya sendiri di pake buat kepentingan sang ibu nya sendiri tanpa memikirkan anak nya, apakah itu juga pantas di kasih HAK ASUH???
tolong di jawab...
jujur saja, sebenarnya saya bingung dgn hukum dan agama yg udah menetapkan peraturan2 hak asuh...
memang benar SURGA ada di telapak kaki ibu...
saya setuju degan itu...
karena bagaimanapun juga saya mencintai ibu saya...
tapi ingat, apa semua SURGA ditelapak kaki ibu???
saya setuju dgn kata2 tersebut....
akan tetapi, jikalau ibu nya lari tanpa ada usaha buat membawa anaknya dari suaminya, apa DIA juga pantas dpt HAK ASUH???
uang yg di berikan buat imunisasi anak nya sendiri di pake buat kepentingan sang ibu nya sendiri tanpa memikirkan anak nya, apakah itu juga pantas di kasih HAK ASUH???
tolong di jawab...
semua pengetahuan hanya milik Allah...
Terlepaas syurga itu ada di bawah telapak kaki ibu atau bukan, yang perlu kita pahami adalah kewajiban kita sebagai seorang anak kepada orang tua adalah harus tetap menghormatinya. http://aliranim.blogspot.com/2008/10/aku-sayang-pada-ayahanda-dan-ibundaku_25.html
“Hormatilah Kedua Orang Tuamu
Niscaya Engkau Terhindar Dari Marabahaya”. (Ali Bin Abi Thalib RA).
baik aataupun kurang baik orang tua kita, tetap saja ia adalah orang tua kita yang perlu kita hormati.
dan jika membahas tentang hadhanah bagi seorang ibu yg kurang baik jelas ada aturannya pula, Agama Islam membuat aturan tidak tanpa alasan, Pasti ada tujuan diturunkan syariat itu. bAGI SEORAng anak yg blm dewasa maka hak asuh anak ada pd ibunya krn memang pada seorang ibu itu lbh dominan diperlukan ksih syang seorang ibu untuk anak,jika memang ibu itu seorang yg baik dan mampu memelihara anaknya dgn baik.
namun ketika sudah mumayyiz maka seorang anak boleh memilih antara ayah atau ibu, namun ada hal lain jika terjadi ada seorang ibu yg kurang baik sifatnya sehingga dapat merusak perkembangan si anak baik secara psikis atau pun hal lainnya yg membahayakan anak maka hak asuh anak diserahkan kpd ayah nya yg baik dan mampu memelihara anaknya dengan baik.
wallahu a'lamu bissawab...
Posting Komentar