Rabu, 01 September 2010

Presentasi Fiqh Siyasah 2



Presentasi Fiqh Siyasah 2 - Presentation Transcript

1. Presentasi Ke-2 Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA Membahas berbagai definisi fiqh siyasah dan siyasah syar’iyyah, bidang-bidang fiqh siyasah serta istilah-istilah penting (terminologi) fiqh siyasah yang pernah muncul dalam lintasan sejarah lembaga pemerintahan Islam. D EFINISI F IQH S IYASAH, T ERMINOLOGI K HILAFAH, I MAMAH, I MARAH, A HLUL H ALLI W AL’AQDI, B AI’AT

2. ASAL KATA & DEFINISI SIYASAH

o سَاسَ - يَسُوْسُ - سِيَاسَة = دَبّرَ - يُدَبّرُ - تدْبيرًا

Secara bahasa (etimologi), siyasah adalah bentuk mashdar yang berarti: Mengatur, mengendalikan, mengurus, membuat keputusan. To govern, to lead, policy (of government, corporation, etc.): memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan.
 تدبير مصالح العباد على وفق الشرع السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وان لم يكن يشرعه الرسول ولا نزل به وحي

o Menurut Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah : “pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’. ”

o Ibn ‘Aqil, seperti dikutip oleh Ibn al-Qayyim, mendefinisikan siyasah “segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan, dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak mewahyukannya.” Corak siyasah ini dikenal dgn siyasah syar’iyah , siyasah hasil pemikiran manusia yg berlandaskan etika agama dan moral dgn memperhatikan prinsip2 umum syari’at.
Definisi Abdul Wahab Khallaf : “undang2 yg diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.” Corak siyasah ini dikenal dgn siyasah wadh’iyah , atau siyasah yang berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta hasil pemikiran manusia dalam mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara.

3. TUGAS & WEWENANG SIYASAH Kesimpulan Fiqh siyasah: “ilmu yg mempelajari hal-ihwal pengaturan urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan, yang sejalan dengan dasar2 ajaran dan ruh syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.” ► Fiqh siyasah = ilmu tata negara Islam.

o Wewenang membuat segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara & urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah, ulil amri / wulatul amr ). Sehingga segala hukum, peraturan dan kebijaksanaan siyasi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan bersifat mengikat. Ia wajib ditaati oleh masyarakat selama produk hukum itu secara substansial tidak bertentangan dengan jiwa syari’at. Karena ulil amri diberi hak oleh Allah untuk dipatuhi (QS. Al-Nisa’ 4: 59).

o Tugas fiqh siyasah adalah mempelajari segala sebab musabab, masalah dan aspek yang berkaitan dengan asal-usul negara dalam sejarah Islam, sejarah perkembangan, organisasi dan fungsi serta peranannya dalam kehidupan umat, segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh penguasa. Juga mempelajari konsep dan teori yang pro dan kontra mengenai politik, negara dan pemerintahan menurut Islam.

o Fiqh siyasah adalah bagian dari fiqh. Bedanya terletak pada pembuatnya. Fiqh di-tetapkan oleh mujtahid , sedangkan siyasah syar’iyah oleh peme- gang kekuasan.

4. OBYEK, METODE, KEGUNAAN OBYEK. Ibn Taimiyah mendasarkan obyek pembahasan fiqh siyasah pada QS. Al-Nisa’ ayat 58-59, yaitu menyampaikan amanah kepada yang berhak, menetapkan hukum dengan adil, dan mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat. Secara telaah literatur, obyek bahasan fiqh siyasah mencakup masalah khilafah, imamah dan imarah, masalah gelar kepala negara, masalah pengangkatan dan pemberhentian kepala negara serta syarat2nya; masalah bai’at, masalah waliyul ‘ahdi, masalah ahlul hilli wal ‘aqdi; masalah ekonomi, keuangan dan pajak, masalah hubungan antar satu negara dan negara lain, hubungan muslim dengan non-muslim, masalah peradilan, masalah pepera-ngan dan perdamaian; masalah sumber kekuasaan; masalah bentuk negara, dsb baik dalam praktek yang berkembang dalam sejarah maupun dalam konsep dan pemikiran berpolitik dan bernegara.

o METODE yg dipakai dalam Fiqh siyasah, yaitu metode Ushul Fiqh (ijma’, qiyas, istihsan, ‘uruf, sadd al-dzari’ah, maslahat mursalah, istishhab) & metode kaidah2 fiqh

o الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

o دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح

o المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة

o الأخذ بأخف الضررين ▪الأصل فى العلاقة السلم

o ما لايدرك كله لايترك كله

o تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

o KEGUNAAN Fiqh Siyasah : Mempelajari khazanah pemikiran ulama tentang politik, sejarah jatuh bangunnya pemerintahan Islam di masa lalu yg menjadi pelajaran berharga • membantu memahami hadis2 yang memiliki kaidah bersifat global & universal, serta hadis2 yg mempunyai kaidah kondisional dan situasional setempat • Prinsip2 yg diterapkan dalam siyasah dapat dijadikan pedoman & strategi pem- berlakuan norma politik •

5. ABD WAHAB KHALLAF AL-MAWARDI T.M. HASBI ASSHIDDIEQY

o SIYASAH Dusturiyah (perundang-undangan)

o Maliyah (keuangan)

o Qadhaiyah (peradilan)

o Siyasah Harbiyah (peperangan)

o idariyah (administrasi)

o Siyasah Dusturiyah

o Siyasah Kharijiyyah (hubungan luar negeri)

o Siyasah Maliyah

o Dusturiyah syar’iyah

o Tasyri’iyah syar’iyah

o Qadhaiyah syar’iyah

o Maliyah syar’iyah

o idariyah syar’iyah

o Siyasah dauliyah

o Tanfiziyah syar’iyah

o Harbiyah syar’iyah

Bidang-bidang Fiqh Siyasah

6.
o KHILAFAH seakar dengan kata khalifah (mufrad), khalaif (jama’), dan khulafa’ (jama’), semua berasal dari fi’il madhi khalafa . Dalam al-Quran, kata khalifah disebut 2x yaitu al-Baqarah: 30, Shad: 26. Kata khalaif ada 4x yaitu al-An’am: 165, Yunus: 14 & 37, Fathir: 39. Kata khulafa’ ada 3x yaitu al-A’raf: 69 dan 74, al-Naml: 62.

o Kata khalifah berarti wakil (deputy) , pengganti (successor) , penguasa (vicegerent) , gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas muslim dan bermakna pengganti Rasulullah saw. Menurut al-Maududi, khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul SAW.

o Gelar khalifah pertama kali digunakan pada Abu Bakar Ash Shiddiq. 

o Ibnu Khladun dalam kitab muqaddimah berpandangan bahwa khalifah adalah tuntutan syari’ah dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia (sosial politik), guna mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Berhubung kemaslahatan akhirat lebih utama, maka semua kepentingan dunia harus disesuaikan dengan hukum syariat agama. Disamping itu, khalifah pada hakikatnya menobatkan diri sebagai pengganti pembuat undang2 (Nabi-Rasul) memelihara kewibawaan syariat dan mengatur urusan keduniawian.
TERMINOLOGI KHILAFAH & KHALIFAH

7.
o Imam berasal dari kata amma , yang berarti menjadi ikutan . Kata imam berarti pemimpin atau contoh yang harus diikuti. Secara istilah , imam adalah seseorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan dunia sekaligus. Istilah imam lebih populer di kalangan umat Islam Syi’ah . Di kalangan syi’ah, imam ialah shahibul haq al-syar’i , yang dalam UU modern disebut de jure baik yg langsung memerintah atau tidak.

o Al-Mawardi mendefinisikan imamah الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا Imamah adalah suatu kedudukan/ jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian didalam memelihara agama dan mengen-dalikan dunia. Al-Mawardi menyebut 2 hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu.

o Kedudukan imam sama dengan khalifah, yaitu pengganti Rasul sebagai pemelihara agama dan penanggung jawab urusan umat. Imamah dalam Alquran diulang 7 kali, dengan beragam arti, yaitu : Kepemimpinan (Al-Baqarah:124, Al-Furqan: 74 dan Al-Isra’ : 71). Kitab induk (QS. Yasin:12). Pedoman ( QS Hud : 17). Petunjuk (Al-Ahqaf : 12) Jalan terang dan jelas (Al-Hijr: 79) Namun hanya ada 2 ayat yang mengkaji masalah politik , yaitu Al-Baqarah:124 dan Al-Furqan: 74. Menurut Ali Syariati : Imamah merupakan doktrin keagamaan yang mesti diterima dan diimani oleh semua orang. Imamah bukan saja pengelola dan pemelihara masyarakat dalam bentuk yang mandeg, tanggung jawab imamah paling utama dalam bentuk politik.
TERMINOLOGI IMAMAH & IMAM

8. Imarah, Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, Bai’at

o Imarah merupakan mashdar dari amira , yang berarti keamiraan atau pemerintahan. Kata Amir bermakna pemimpin. Istilah amir di masa Rasul dan Khulafaurrasyidin digunakan sebagai gelar bagi penguasa daerah atau gubernur, juga sebagai komandan militer (amir al-jaisy), serta bagi jabatan2 penting, seperti Amirul Mukminin, Amirul Muslimin, Amir al-Umara’.

o Kata amir tidak ditemukan dalam Quran. Ada kata ulil amri yang ditafsirkan dengan kepala negara, pemerintah, ulama, bahkan bagi orang syi’ah adalah imam2 mereka yg ma’shum. Makna ulil amri dari sisi siyasah dusturiyah sebenarnya adalah ahlul halli wal’aqdi .

o Gelar Amirul Mukminin disematkan pertama kali kepada khalifah Umar bin Al-Khattab.

o Ahlul Halli wal ‘Aqdi diartikan dengan orang2 yg mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Tugasnya memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Lembaga ini merupakan suatu lembaga pemilih, atau dari segi fungsinya sama dengan MPR dulu.

o Menurut Al-Mawardi, Ahlul halli wal ’aqdi disebut juga Ahlul Ikhtiyar , yaitu golongan yang berhak memilih. Dasar istilah ini adalah pada sistem pemilihan 4 khalifah pertama yg dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yg mewakili 2 golongan Anshar dan Muhajirin.

o Bai’at (mubaya’ah): pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.
TERMINOLOGI

9. Lebih Lanjut Mengenai Bai’at

o Informasi dari al-Quran yg berkaitan dengan bai’at ada dalam surat al-Fath: 10, al-Taubah: 111, dan surat al-Mumtahanah: 12.

o Dalam sejarah ada Bai’at ‘Aqabah 1 tahun 621 M di bukit ‘aqabah. Bai’at (janji setia) ini antara Nabi dengan 12 orang suku Khazraj dan Aus dari Yatsrib (Madinah) yang membai’at kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, berzina, membunuh anak2, menuduh dengan tuduhan palsu, tidak mendurhakai Nabi didalam kebaikan.

o Bai’at ‘Aqabah II pada tahun 622 M. antara Nabi dengan 75 orang Yatsrib (2 diantaranya wanita), disebut juga bai’at kubra . Mereka berbai’at untuk taat dan selalu mengikuti Nabi baik pada waktu kesulitan maupun dalam kemudahan, tetap berbicara benar, tidak takut celaan orang didalam membela kalimah Allah.

o Bai’at pertama terhadap khalifah terjadi di Tsaqifah balai pertemuan Bani Sa’idah, Madinah. Dalam pertemuan antara sekelompok Ansar dan Muhajirin itu, Abu Bakar berkata: “Saya nasihatkan kalian untuk membai’at salah seorang, yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah atau Umar bin Khattab”. Kemudian Umar berkata “Demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal Abu Bakar lah yang paling berhak memegang jabatan ini, beliau lebih dulu jadi sahabat Rasul, beliau Muhajirin yang paling utama, pengganti Rasul dalam imam shalat…ulurkan tangan! saya bai’at Abu Bakar”.

o Ketika Utsman bin Affan diangkat jadi khalifah, yang mula2 membai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang diikuti oleh jama’ah.

TERMINOLOGI

10. .…next week  PRINSIP-PRINSIP FIQH SIYASAH
o Mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. (al-Mu’minun: 52, al-Anfal: 46).
o Musyawarah dalam menyelesaikan masalah. (al-Syura: 38, Ali Imran: 159)
o Menunaikan amanah dan menetapkan hukum secara adil. (al-Nisa’: 58)
o Mena’ati Allah, Rasulullah dan Ulil Amri. (al-Nisa’: 59)
o Mendamaikan konflik antar kelompok Islam. (al-Hujurat: 9)
o Mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi dan invasi. (al-Baqarah: 190)
o Mementingkan perdamaian daripada permusuhan. (al-Anfal: 61)
o سبعة يظلهم الله في ظله يوم لاظل إلا ظله إمام عادل ...
o كل كم راع و كل كم مسئول عن رعيته
o لا سياسة إلا ما وافق الشرع ( إبن القيم )
o Meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan. (al-Anfal: 60)
o Menepati janji. (al-Nahl: 91)
o Distribusi harta pada seluruh lapisan masyarakat. (al-Hasyr: 7)

11.
o MASA RASULULLAH: Piagam Madinah, Praktik Syura, Perjanjian Hudaibiyah
o ABU BAKAR AL-SHIDDIQ: Menjadi khalifah pertama melalui pemilihan satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dan sebelum jenazah beliau dimakamkan. Beliau ditetapkan berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka” . Abu Bakar berinisiatif memerangi kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, dan dimulainya proses pembukuan al-Quran agar tidak bercampur dengan hadits.
o UMAR BIN AL-KHATTAB: Ditetapkan berdasarkan “penunjukan kepala negara pendahulunya”. Beliau memberi contoh siyasah dengan penerapan bea impor 10% (‘usyur) atas dasar politik resiprokal seperti yang dikenakan kepada pedagang2 muslim di negara luar. Umar yang pertama kali menunjuk hakim khusus mengadili perkara2 dibidang harta kekayaan, sehingga sejarah Islam mulai mengenal pembagian kekuasaan. Umar juga menetapkan peraturan bahwa menjatuhkan thalaq tiga kali sekaligus bermakna hukum jatuh thalaq tiga. Umar juga melakukan perubahan status tanah Irak dan Syam yang didapat dari musuh menjadi tanah kharaj. Umar juga tidak memotong tangan pencuri pada ‘am maja’ah (tahun kelaparan), dan tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf.
o UTSMAN BIN AFFAN: Ditetapkan melalui “pemilihan dalam suatu dewan formatur”. Beliau mempersatukan umat Islam melalui penyalinan al-Quran pada satu mushaf, yaitu mushaf Utsmany. Utsman merupakan khalifah pertama yang menentukan lokasi khusus untuk sidang pengadilan, sebelumnya proses peradilan dilakukan di Masjid.
o ALI BIN ABI THALIB: Ditetapkan berdasarkan “pemilihan melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka” . Pada era beliau terjadi peperangan antarmuslim. Konflik berdarah muncul dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Jalan tengah pun ditempuh melalui proses arbitrase antara kelompok Ali dan Muawiyah.
SIYASAH ERA RASULULLAH SAW. DAN KHULAFA’ AL-RASYIDIN
THE END http://marhamahsaleh.wordpress.com/ Email: marhamahsaleh@yahoo.com


MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH



Wednesday, 06 February 2008
MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar
Istilah Khilafah dan Imamah sebetulnya sinonim, yang berarti sistem pemerintahan Islam. Namun oleh segelintir orang, kedua istilah itu dianggap berbeda pengertiannya. Ulil Abshar Abdalla, bekas Koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya, memandang ada perbedaan antara Khilafah dan Imamah, begitu juga istilah turunannya seperti imam dan khalifah. Ulil menyatakan, “Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum.” Dalil-dalil agama tentang wajibnya mengangkat imam, menurut Ulil, hanya menegaskan saja hukum sosial yang sudah berlaku berabad-abad. Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Dan pemimpin itu, kata Ulil, “Bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan lain-lainnya.” (www.harianbangsa.com).

Walhasil bagi Ulil, Imamah itu berarti kepemimpinan yang bersifat umum. Sedangkan, Khilafah, adalah kepemimpinan yang lebih khusus, yang kata Ulil, berdasarkan sejarah Islam bentuknya adalah kerajaan. Khilafah seperti ini, menurut Ulil, hanyalah suatu kebetulan sejarah (historical coincidence). Karena itu, sistem itu dapat diganti sesuai asas rasionalitas, yang bagi Ulil adalah aplikasi doktrin Ahlus Sunnah bahwa penentuan imam bukanlah berdasarkan teks agama (seperti pendapat golongan Syiah), melainkan berdasarkan ijtihad dan pilihan (ikhtiyar). Ujung-ujungnya, Ulil ingin menegaskan bahwa sistem republik (bukan kerajaan) saat ini yang berdasarkan demokrasi, adalah sudah final dan merupakan sistem paling ideal hingga saat ini. (www.harianbangsa.com)

Pengertian Khilafah dan Imamah
Pendapat Ulil yang membedakan istilah "imamah" dan "khilafah" di atas memang harus diakui. Tapi bukan diakui sebagai pernyataan ilmiah, melainkan sebagai dagelan yang cukup menggelikan. Betapa tidak, karena kalau pendapat Ulil itu dibandingkan dengan pendapat para ulama fikih siyasah dan ulama bahasa Arab, akan terbukti Ulil hanyalah orang awam (untuk tidak menyebutnya "bodoh"). Dan kita harus maklum, orang awam itu kadang bicaranya ngawur dan aneh. Dalam konteks seperti inilah, tepat sekali pernyataan Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani,”Idza takallama al-mar`u fi ghairi fannihi ataa bi hadzihi al-‘aja’ib.” (Jika seseorang berbicara di luar bidang keahliannya, dia akan mengucapkan kalimat yang ajaib). (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, Juz 3/683).

Coba, kita lihat pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :
الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
“Khilafah atau Imamah ‘Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin.” (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270).

Mari kita lihat juga pendapat serupa dari Imam Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah hal. 190 :
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة
وإمامة والقائم به خليفة وإمام
“Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini [khalifah] dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik Syariah [Rasulullah SAW] dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. [Kedudukan ini] dinamakan Khilafah dan Imamah, dan orang yang melaksanakannya [dinamakan] khalifah dan imam.” (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 34).

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 8 hal. 418 menyatakan pendapat serupa :
الخلافة (أو الإمامة أو إمارة المؤمنين) أو أي نظام شوري يجمع بين مصالح الدنيا والآخرة كلها ذات مدلول واحد
“Khilafah (atau Imamah atau Imaratul Mukminin) atau yang berarti sistem berdasarkan musyawarah yang menghimpun kemaslahatan dunia dan akhirat, semuanya mempunyai pengertian yang sama.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/418).

Dhiya’uddin Ar-Rays dalam kitabnya An-Nazhariyat As-Siyasiyah Al-Islamiyah hal. 92 mengatakan :
يلاحظ أن الخلافة والإمامة الكبرى وإمارة المؤمنين ألفاظ مترادفة بمعنى واحد
“Patut diperhatikan, bahwa Khilafah, Imamah Kubra, dan Imaratul Mukminin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/465).

Semua kutipan ulama di atas menyatakan bahwa istilah Imamah dan Khilafah (juga Imaratul Mukminin) maknanya sama, tidak berbeda. Persis seperti halnya kalau kita menyebut nama kitab suci kita. Boleh ia disebut Al-Qur`an, Al-Kitab, Al-Furqan, atau At-Tanzil. Walau berbeda-beda namanya, tapi hakikat pengertiannya tetap satu dan sama.

Kutipan-kutipan yang menunjukkan kesamaan makna Khilafah dan Imamah itu masih banyak sekali. Silakan cek pendapat yang sama dari Rasyid Ridha dalam kitabnya Al-Khilafah Aw Al-Imamah Al-‘Uzhma hal. 101, Prof. Dr. Ali As-Salus dalam kitabnya ‘Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah (terj.) hal. 16, Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Membentuk Negara Islam hal. 30, dan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Islam dan Politik Bernegara hal. 42-43.

Silakan cek juga pendapat para ulama bahasa Arab (ahli kamus) yang menyamakan arti Imamah dan Khilafah, misalnya Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha` hal. 64, 150, dan 151; juga Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu’jam Al-Wasith Juz 1 hal. 27 dan 251.

Jika Imamah dan Khilafah pengertiannya sama, demikian juga istilah imam dan khalifah. Keduanya sama-sama berarti pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, tidak berbeda. Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun yang telah dikutip di atas. Imam Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin Juz 10 hal. 49 menegaskan hal yang sama :
يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين
“Boleh saja imam itu disebut dengan khalifah, imam, atau amirul mukminin.” (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 34).
Nah, setelah kita bentangkan pendapat para ulama yang ahli seperti di atas, lalu kita bandingkan dengan pendapat Ulil yang dangkal dan sembrono, bagaimana pendapat Anda? Bukankah pendapat Ulil itu betul-betul menggelikan dan terkesan seenaknya sendiri?

Namun, yah, kita harus maklum, nampaknya Ulil memang “harus” melakukan permainan kotor seperti itu, yang sesungguhnya amat jauh dari etika seorang intelektual yang seharusnya jujur dan obyektif. Demikianlah ulah agen Amerika yang sangat jahat, yaitu selalu berusaha menyesatkan umat Islam dari pemahaman yang sahih tentang Islam.

Mengapa Imamah dan Khilafah Semakna?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, atas dasar apa para ulama menyamakan pengertian Imamah dan Khilafah? Di sinilah Imam Taqiyuddin An-Nabhani memberi penjelasan yang gamblang dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 2. Imam An-Nabhani berkata,”Telah terdapat hadits-hadits shahih dengan dua kata ini [Khilafah dan Imamah] dengan makna yang satu. Tidak ada makna dari salah satu kedua kata itu yang menyalahi makna kata yang lain, dalam nash syariah mana pun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam As-Sunnah, sebab hanya dua itulah yang merupakan nash-nash syariah. Tidaklah wajib berpegang dengan kata ini, yaitu Khilafah atau Imamah, tapi yang wajib ialah berpegang dengan pengertiannya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2/13).

Jadi, Khilafah dan Imamah memiliki arti yang sama dikarenakan nash-nash syariah, khususnya hadits-hadits shahih, telah menggunakan dua kata itu, yaitu kata “imam” atau “khalifah” secara bergantian namun dengan pengertian yang sama. Sebagai contoh, terkadang Rasulullah SAW menggunakan kata “khalifah” seperti sabdanya :
إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, lihat Majma’ az- Zawaid, Juz 5/198. Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, Juz 12/242).

Namun kadang Rasulullah SAW menggunakan kata “imam” seperti sabdanya :
من بايع إمامًا فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ما استطاع ، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر
“Barangsiapa membaiat seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya kepadanya, hendaklah ia mentaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan imam itu, maka penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim, hadits no. 1844. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa`i, dan Ahmad).

Kata “khalifah” dan “imam” dalam kedua hadits di atas mempunyai pengertian yang sama, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Islam (ar-ra`is al-a’la li ad-daulah al-islamiyah). (Lihat Rawwas Qal’ah Jie & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 64 & 151). Jika “khalifah” dan “imam” sama pengertiannya, maka sistem pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu “khilafah” dan “imamah”, juga sama maknanya. Tidak berbeda.

Antara Khilafah dan Imarah
Dalam hadits-hadits shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imarah, Qiyadah, atau Ri’asah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan,”Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri`asah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2 hal.125).

Hadits tentang Imarah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, hendaklah satu orang dari mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam. Tapi istilahnya Imamah seperti khayalan dan tipuan Ulil, melainkan Imarah. Imarah inilah yang bersifat umum, sehingga mencakup kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan sebagainya.

Jadi, kalau Ulil menganggap istilah “imam” berarti pemimpin dalam arti umum, bukan pemimpin yang khusus (yaitu pemimpin tertinggi negara Khilafah), berarti dia telah sengaja melakukan penyesatan dan pembodohan yang jahat. Dan semua kebohongan ini ternyata mempunyai tujuan yang sangat busuk, yaitu melegitimasi sistem demokrasi yang kufur saat ini, yang sesungguhnya sudah terbukti sangat bobrok dan gagal total. [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, (www.saaid.net), 1987.

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, (Jakarta : Penerbit Widjaya), 1956.

Al-Yusuf, Muslim, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, (www.saaid.net).

An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2, (Beirut : Darul Ummah), 2002.

Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo : Tanpa Penerbit), 1972.

As-Salus, Ali, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i (Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah), Penerjemah Asmi Salihan Zamakhsyari, (Jakarta : Gema Insani Press), 1997.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra), 2002

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8, (Maktabah Syamilah).

Qal’ah Jie, Rawwas, & Qunaibi, Hamid Shadiq, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun Nafa`is), 1988.

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*