Rabu, 01 September 2010

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA



ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Selasa, 21 April 2009
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
A.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
1) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3) Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5) Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6) Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

A.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1) Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3) Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4) Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
5) Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6) Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.


HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA, 

pengertian dan sumber hukumnya (bag. 1)
1. Pengertian, sumber hukum dan hubungannya dengan hukum acara perdata.
a. Pengertian.
Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 serta dengan melihat UU No. 5 th.2004.
Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam. (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 49 & 50 UU No. 4 Th. 2006).
Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
“Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.” 1)
“Hukum Acara disebut juga Hukum Formil karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai norma-norma yang telah ditentukan secara formal.”2)
Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa hukum acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.
b. Sumber Hukum.
Adapun yang menjadi sumber utama hukum Acara Peradilan Agama ialah :
1. HIR/RBg.
2. B.W. (KUH Perdata)
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 diubah dg UU No. 5 Tahun 2004.
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006.
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (Tentang Kompilasi Hukum Islam).
10. Surat Keputusan atau Peraturan Mahkamah Agung R.I.
11. Surat-Edaran Mahkamah Agung R.I. (SEMA).
12. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Hukum termasuk dalam Kitab-Kitab Fiqih.
13. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
14. Dan Lain-lain
c. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Hukum Acara Perdata.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
Sumber :
1. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.
2. Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.


HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

I. SUSUNAN ORANISASI PENGADILAN AGAMA DAN KEKUASAAN PENGADILAN AGAMA

A. Susunan Organisasi
Susunan Organisasi Pengadilan Agama terdiri dari :
1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera ;
4. Sekretaris dan
5. Juru Sita
Sedangkan pada PTA, terdiri dari :
1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera dan
4. Sekretaris

B. Kekuasaan Pengadilan
Kata ” kekuasaan ” sering disebut juga dengan ”kompetensi” yang berasal dari bahasa Belanda”competentie” yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan kewenangan. Kekuasaan Peradilan menyangkut dua hal, yaitu ”kekuasaan relatif” dan ”kekuasaan absolut.
1. Kekuasaan Relatif
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Purworejo dengan Pengadilan Agama Kebumen. Sebagaimana pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 berbunyi : Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau ibukota kabupaten , dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) menyatakan pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di Kotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian
Jadi tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah tertentu atau dikatakan mempunyau ”Yuridiksi relatif” tertentu. Yuridiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan Pengadilan mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.

2. Kekuasaan Absolut.
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan.
Miss. Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung.

Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 sbb.
1. Perkawinan ;
2. Waris
3.. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqah
9. Ekonomi Syari’ah

1. Jenis perkara di bidang perkawinan, meliputi :
1). Izin beristri lebih dari satu orang ;
2). Izin perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat ;
3). Dispensasi kawin ;
4). Pencegahan perkawinan ;
5). Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah ;
6). Pembatalan perkawinan ;
7). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri ;
8). Perceraian karena talak ;
9) Gugatan perceraian ;
10) Penyelesaian harta bersama ;
11) Mengenai penguasaan anak-anak ;
12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya ;
13) Penentan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri ;
14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak ;
15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua ;
16) Pencabutan kekuasaan wali ;
17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadlan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut ;
18) Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya. ;
19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya ;
20). Penetapan asal usul seorang anak ;
21), Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang Undang No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

2. Warisan.
Yang dimaksud dengan”waris”adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuian siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

3. Wasiat
Yang dimaksud dengan ”wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada oranglainatau lembaga/ badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggl dunia.

4. Hibah
Yang dimaksud dengan ”hibah ” adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf.
Yang dimaksud dengan ”wakaf” adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah

6. Zakat
Yang dimaksud dengan ”zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

7. Infak.
Yang dimaksud dengan ”infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.

8. Shadaqah.
Yang dimaksud dengan ”shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridhoAllah SWT. dan pahala semata.
Shadaqah adalah memberikan benda atau barang bergerak atau tetap yang segera habis apabila dipakai ataupun tidak, kepada orang lain atau yayasan, tanpa imbalan dan tanpa syarat melainkan semata-mata karena mengharapkan pahala dari Allah. Al Qur’an surat At Taubah ayat 60 yang berbunyi :

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].

9. Yang dimaksud dengan ”ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi :
a. Bank syari’ah ;
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah ;
c. Asuransi syari’ah ;
d. Reansyuransi syari’ah ;
e. Reksa dana syari’ah ;
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah ;
g. Sekuritas syari’ah.
h. Pembiayaan syari’ah ;
i. Penggadaian syari’ah ;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah ;
k Bisnis syari’ah.

C. Tugas-tugas lain PA.
1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta , ” Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriah ” atas permintaan Dep. Agama
2. Memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
3.. Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

II. PENGERTIAN, TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM ACARA

A. Pengertian
Hukum Acara adalah ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil. Dapat dikatakan juga Hukum acara meliputi ketentuan-ketentuantentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari Hakim apabila kepentingannya atau haknya dilanggar oleh orang lain atau sebalknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila dituntut oleh orang lain. Di Indonesia terdapat dua macam Hukum Acara yakni Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana formil) dan Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata formil).
Hukum cara Peradilan Agama termasuk Hukum Acara Perdata..

B. Tujuan dan Fungsi
Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Perdata adalah :
1. Bagi penggugat, yakni menunjukkan jalan yang harus dilalui, agar masalah yang dihadapi dapat diperiksa oleh pengadilan, dan ditunjukkan bagaimana pemeriksaan itu dilakukan, cara bagaimana orang mendapat putusan Pengadilan itu dapat dijalankan , sehingga tercapailah maksud penggugat, yaitu hak-haknya terpenuhi.
2. Bagi tergugat, yakni menunjukkan cara bagaimana tergugat harus bertindak terhadap gugatan yang ditujukan kepadanya, cara bagaimana ia dapat embantah atau mengakui kebenaran gugatan dalam pemeriksaan didepak Pengadilan dan cara bagaimana ia dapat bertindak agar bisa menghindarkan adanya suatu putusan dari Pengadilan yang dikehendaki oleh Penggugat.

C. Sumber Hukum Acara Perdata
1. Het Herziene Indonesiech Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia yang diperbaharui : Stbl. 1848 No. 16 Stbl. 1941 N. 44 untuk daerah Jawa dan Madura ;
2. Rechts Reglement Buitenngewesten (Rbg. Atau Reglement daerah seberang : Stb 1927 No. 227 ) untuk luar Jawa san Madura) ;
3. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa : Stb. 1847 No. 52 , dan Stb.1849 No. 63)
4. Undang-undang No. 14 Th. 1970. jo UU No. 35 Th. 1999 jo UU No. 4 th. 200 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memuat juga beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata ;
5.. Undang-undang No. 7 Th. 1989. jo UU No. 35 Th. 1999 tentang Perdfilan Agama (Bab. IV pasal 54 s/d 91) merupakan perbaikan dan pembaharuan proses perceraian yang diatur dalam Bab V PP. No. 9 Th. 1975 Th. 1975
6. Yurisprudensi.

D. Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum Acara Peradilan Agama pada azasnya dilakukan dengan :
1. Asas Personalitas Keislaman ;
2 Asas kebebasan
3.. Beracara dengan hadir sendiri ;
4. Beracara dengan memajukan permohonan ;
5. Pemeriksaan dalam sidang terbuka
6. Beracara tidak dengan cuma-cuma ;
7. Hakim mendengar kedua belah pihak ;
8. Pemeriksaan perkara secara lisan ;
9. Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ;
10. Keputusan Hakim memuat alasan-alasan.
Sifat Hukum Acara : sederhana, murah dan cepat. atau ” Sederhana, cepat dan biaya ringan”

III. Gugatan/ Permohonan, Kompetensi Relatif dan Bantuan Hukum

A. Pengertian gugatan/ permohonan;
*. Gugatan adalah adanya pihak penggugat dan pihak tergugat , dan adanya suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan . Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang ”merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar, akan tetapi orang yang ”dirasa” melanggar haknya tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu.
* Permohonan adalah tidak sengketa, misalnya segenap ahli waris almarhum secara bersama-sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari bagian almarhum.

B. Gugatan/ permohonan (lisan, tertulis, kuasa hukum)
1) Gugatan/ permohonan harus diajukan dengan surat permintaan, yang ditanda-tangani oleh penggugat atau wakilnya.(118 HIR) Oleh karena itu gugatan/ permohonan harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Ketua Pengadilan Agama akan membuat atau menyusun gugatan/ permohonan dimaksud (120 HIR).
2) Gugatan/ permohonan dapat dibuat dan ditanda-tangani oleh kuasa dengan surat kuasa khusus dari penggugat/ pemohon. Surat gugatan/ permohonan tersebut harus bertanggal. Apabila dengan kuasa maka tanggal surat kuasa lebih dahulu baru kemudian tanggal surat gugatan/ permohonan.

C. Pihak-pihak dalam perkara ;
1). Penggugat dan Tergugat.
(a) Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdatanya kemuka Pengadilan Perdata. Penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al mudda’i (Arab). Penggugat, mungkin sendiri atau mungkin gabungan beberapa orang, sehingga muncullah istilah ”Penggugat 1, Penggugat 2 dan seterusnya” Penggugat juga mungkin pakai kuasa, sehingga ditemui ada kuasa penggugat, dan kalau lebih dari satu kuasa penggugat 1, kuasa penggugat 2 dan seterusnya.
(b) Tergugat adalah lawan dari penggugat atau gedagde (Belanda) atau al mudda’a ’alaih (Arab).Keadaan tergugat juga mungkin sendiri atau mungkin gabungan beberapa orang, atau memakai kuasa, sehingga ada kuasa tergugat 1, kuasa tergugat 2 dan seterusnya.
Suatu perkara perdata yang terdiri dari dua pihak yaitu ada penggugat dan ada tergugat yang berlawanan, disebut jurisdictio contentiosa atau peradilan yang sesungguhnya. Karena peradilan yang sesungguhnya maka produk Pengadilan adalah putusan atau vonnis (Belanda) atau al qada’u (Arab)

2). Pemohon dan Termohon
(a). Orang yang memohon disebut dengan istilah ”pemohon” atau ”introductief reques (Belanda) atau almudda’y (Arab).
(b). Termohon sebenarnya dalam arti ”asli” bukanlah sebagai pihak, tetapi hanya perlu dihadirkan didepan sidang untuk didengar keterangannya untuk kepentingan pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum langsung dengan pemohonn.

Peradilan perdata yang menyelesaikan perkara permohonan, disebut jurisdictio voluntaria atau peradilan yang tidak sesungguhnya, karena Pengadilan hanya menjalankan fungsi executive power bukan judicative power. Karena peradilan yang tidak sesungguhnya maka produk Pengadilan adalah Penetapan atau beschikking (Belanda) atau isbat (Arab).

C. Kompetensi ;
Agar supaya suatu gugatan jangan sampai diajukan secara keliru,maka dalam cara mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh penggugat bahwa gugatan harus diajukan secara tepat kepada badan pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili persoalan tersebut.
Kewenangan Pengadilan ada 2 macam yaitu :
a). Wewenang mutlak atau absolute competentie
b). Wewenang relative atau relative competentie.
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht. Misalnya persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat 1) huruf a UU No. 1 Th. 1974 adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa-menyewa, utang-putang, jual-beli, gadai adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini ?
Sedang wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan Agama yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif, yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah ”yang berwenang Pengadilan Agama di tempat tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan ”Actor Sequitur orum Rei”.
Apa itu tempat tinggal ? dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman ? Perbedaan ini perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, oleh karena dalam pasal 118 HIR di samping tempat tinggal menyebut pula tempat kediaman.
Pasal 17 BW menyatakan, bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya, dan juga tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di Puncak. Sehingga apabila seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya, dan tempat tinggalnya ataupun tempat kediamannya tidak diketaui, maka ia digugat pada pengadilan tempat tinggalnya yang terakhir dan dalam surat gugatan disebutkan ”paling akhir bertempat tinggal , umpamanya di Jalan Kramat No. 15 Jakarta, sekarang alamat tidak diketahui”. Sehingga gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di Jakarta.Pusat.

Untuk mengajukan gugatan/ permohonan dalam perkara perkawinan sebagai berikut :
(1). Permohonan suami untuk menceraikan istrinya dengan cerai talak, diajukan oleh suami (pemohon) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman isteri (termohon). Bila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon dan atau bila termohon bertempat kediaman di Luar Negeri, maka permohonan diajukan oleh pemohon ke Pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Bila suami istri bertmpat tinggal di Luar Negeri, permohonandiajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan, atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 66 ayat (5) menyebutkan bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan
(2). Gugatan perceraian diajukan oleh si istri (penggugat) atau kuasanya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman istri (penggugat). Bila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang bersama tanpa izin tergugat (suami) dan atau bila penggugat bertempat kediaman di Luar Negeri, maka gugatan perceraian diajukan oleh penggugat ke Pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman tergugat Bila suami istri bertmpat tinggal di Luar Negeri, maka gugatan diajukan oleh istri (penggugat) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

E Kumulasi gugatan .
Gugatan yang bermacam-macam diajukan dalam satu gugatan , misalnya gugatan cerai, sekaligus minta pembagian harta bersama dan pengasuhan anak.


F. Bantuan Hukum :
Bantuan yang diberikan kepada mereka yang beracara ke Pengadilan, baik bantuan terhadap penggugat maupun tergugat oleh pengacara.

IV.Pendaftaran dan Pemanggilan

A. Pendaftaran Perkara ;
Sesudah surat gugatan atau permohonan dibuat dan dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin sudah sekaligus dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, bawa saja semua syarat-syarat elengkapan itu ke aPengadilan Agama, daftarkanlah di Kepaniteraan.
Sewaktu Kepaniteraan Pengadilan Agama menerima berkas surat gugatan atau permohonan itu akan diteliti, dan penelitian itu menyangkut dua hal yaitu:
1). Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar tidak tkar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang petitanya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita dan sebagainya ;
2). Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut.

Untuk keperluan penelitian surat atau permohonan tersebut, biasanya sudah ditugaskan seorang hakim atau panitera yang menguasasi betul-betul tentang bentuk dan isi gugatan atau permohonan. Sebelum dikatakan benar oleh petugas terhadap gugatan atau permohonan, belum bleh didaftarkan di Kepaniteraan, sebab hal itu akan mempelambat proses, bahkan mungkin akan menyebabkan Keputusan Pengadilan akan tidak menentu sebagai akibat dari gugatan atau permohonan yang tidak jelas dan tidak terarah.
Sebagai contoh dalam perkara pelanggaran ta’liq talaq yang petitanya tidak benar sebagai berikut :
Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk :
1). Mengabulkan sepenuhnya gugatan penggugat ;
2). Menceraikan penggugat dari tegugat dengan talaq 1 bi al ’iwad Rp.1.000,- karena tergugat melanggar ta’liq talaq ;
3). Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar biaya perkara.

Sedangkan petita yang benar, seharusnya berbunyi:
1). Menerima gugatan penggugat ;
2) Mengabulkan seluruhnya gugatan penggugat ;
3). Menyatakan sah menurt hukum bahwa ta’liq talaq telah terwujud (telah terlanggar oleh tergugat) ;
4). Memutuskan cerai antara penggugat dan tergugat dengan talaq bi al ”iwad Rp.1.000,- karena pelanggaran ta’liq talaq.
B. Penetapan Majelis Hakim ;
Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, Panitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Ketua Pengadilan Agama, disertai ”ususl tindak” atau ”saran tindak” yang kira-kira berbunyi ”sudah diteliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar ituKetua Pengadilan Agama dapat menunjuk Majelis Hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dengan surat penetapan , disebut ”Penunjukkan Majelis Hakim ” (PMH).
Penetapan Majelis Hakim memakai nomor kode indeks surat keluar biasa dan sinya menunjuk siapa-siapa hakim yang akan menangani perkara dimaksudkan, siapa ketua dan anggota, mungkin pula sekaligus menunjuk panitera sidangnya.
Panitera sidang, jika dalam PMH belum ditunjuk, dapat ditunjuk oleh Ketua Majelis. Ganti atau tkar Panitera sidang karenasesuatu hal itu boleh saja dan tidak mesti dengan surat penetapan, jadi boleh insidentil, sebab Panitera sidang hanyalah pembantu untuk kelancaran sidang. Walaupun prinsipnya tidak perlu dengan Surat Penetapan, namun sebaiknya ada karena sebagai pegangan Panitera sidang.
Bila suatu waktu, karena berbagai sebab harus terjadi penggantian hakim, maka PMH semula harus dicabut / diganti dengan PMH baru, jadi hakim yang ditunjuk dalam PMH belum pernah sama sekali sidang, atau kalau pergantian ketua majelis. Jika sudah pernah sidang, atau penggantian ketua majelis hanya sewaktu pengucapan putusan, PMH tidak perlu dicabut/ diganti, cukup dimuat saja dalam berita acara. Penambahan hakim boleh saja, asal jumlah semuanya gazal, toh undang-undang hanya menentukan sekurang-kurangnya 3 orang,
Ketua majelis, setelah ia menerima PMH dari Ketua Pengadilan Agama, kepadanya diserahkan berkas perkara ybs, dan selanjutnya ia harys membuat penetapan Hari Sidang, kapan sidang pertama akan dilangsungkan.

C. Penetapan hari sidang
Ketua majelis membuat Surat Penetapan Hari Sidang untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Nomor kode indeks Penetapan adalah nomor agenda surat keluar biasa. Kalau panitera sidang belum ditunjuk dalam penetapan PMH terdahulu, ketua majelis sekaligus menunjuk panitera sidangnya.
Berdasarkan Penetapan Hari Sidang (PHS), juru sita akan melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan hari, tangal, jam dan tempat yang ditunjuk dalam PHS Penetapan hari sidang, selain ”sidang pertama” dapat ditentukan dan dicatat saja dalam Berita Acara Sidang, tidak perlu dengan PHS lagi .
Penetapan hari sidang untuk hari sidang pertama sangat menentukan sekali, karenanya harus dibiat tersendiri. Apabila tergugat sudah dipanggil dengan patut pada sidang pertama, ia atau kuasa sahnya tidak menghadap, maka ia akan diputus verstek. Jika penggugat sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada sidang pertama, maka perkaranya akan diputus dengan digugurkan. Nah, landasan juridis blehnya ”verstek” dan digugurkan adalah PHS dari Ketua Majelis.
Jika apa yang diistilahkan dengan ”sidang pertama” itu, tergugat atau penggugat pernah hadir, lalu pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir bahkan sampai waktu mengucapkan keputusan juga tidak hadir, maka putusan yang diberikan bukan lagi putusan verstek dan bukan lagi putusan digugurkan, melainkan disebut putusan ”contracditoir” atau putusan ”optegenspraak”. Itulah sebabnya PHS selain untuk sidang pertama tidak diperlukan tersendiri melainkan cukup dicatat dalam berita acara sidang.

D Pemanggilan pihak-pihak.
Pemanggian para pihak adalah sesuai dengan UU No. 7 Th. 1989 jo. UU No. 3 th. 2006 dan PP No. 9 Th. 1975, sebagai berikut :
1). Pemanggilan kepada pemohon (suami) dan termohon (istri) dalam perkara termohonan cerai talak, perkara permohonan suami untuk beristri lebih dari seorang, dan panggila kepada pengugat (istri) dan tergugat suami dalam perkara gugat cerai, selambat-lambatnya hari ke 27 sejak perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab siding pertama untuk perkara-perkara itu selambat-lambatnya 30 hari sejak perkara terdaftar, sedangkan surat panglan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum siding, sudah diterima oleh pihak yang dipanggil ;
2). Penggugat atau tergugat dalam perkara gugatan cerai akan dipanggil untuk menghadiri sidang. Panggilan disampikan kepada pribadi ybs., dan apabila tidak dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah/ Kepala Desa. Panggilan tersebut dilakukan dengan patut dan sudah diterma oleh penggugat atau tergugat atau kuasanya selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan gugatan ;
3). Apabila tergugat dalam perkara gugat cerai, tidak jelas atau tidak diketahui tempat kediamannya atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan menempelkannya pada Papan Pengumuman resmi Pengadilan Agama ditambah dengan mengumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain. Pengumuman melalui surat kabar atau mass media tersebut dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara panggilan pertama dan panggilan kedua, dan antara pangilan kedua dan dengan sidang ditetapkanya sekurang-kurangnya 3 bulan. Jika setelah itu tergugat atau kuasa sahnya tidak juga hadir, Pengadilan Agama dapat memutus dengan ”verstek”
4). Panggilan kepada tergugat dalam perkara gugatan cerai yang tergugatnya berada di Luar Negeri, dilakukan melalui Perwakilan RI setempat. Tetapi secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar.

V. Upaya menjamin hak

A. Upaya Hukum menjamin hak .
Untuk menjamin hak-hak bagi pemilik barang baik barang berergerak ataupun tidak bergerak, yang dikuasai tergugat, maka perlu adanya upaya hukum yang dilakukan oleh penggugat. Upaya hukum, yang dilakukan oleh penggugat dengan mengajukan permohonan penyitaan barang-barang miliknya yang di kuasai tergugat, maupun barang milik tergugat sendiri kepada Ketua Pengadilan Negeri. Berdasarkan permohonan/ permintaan
tersebut Ketua Pengadilan melakukan penyitaan barang-barang yang dimaksud oleh penggugat.
Permohonan sita dapat diajukan sebelum perkara diputus, bahkan dapat juga diajukan setelah perkara diputus, sepanjang belum in kracht, artinya sekalipun perkara itu banding dan atau kasasi, masih dapat diajukan. Namun biasanya sudah diajukan orang bersama-sama dengan gugatan
Bila permohonan sita dikabulkan dan ternyata nanti pemohon tersebut menang dalam perkara, maka sita tersebut akan dinyatakan sah dan berharga dalam diktum keputusan dan pada waktu eksekusi, sita tersebut akan berubah menjadi sita eksekusi. Kalau gugatan penggugat ditolak, dengan sendirinya harus dinyatakan di dalam diktum keputusan untuk diangkat (dicabut).

B. Sita Conservatoir

Sita conservatoir adalah salah satu jenis penyitaan barang dalam sengketa keperdataan. Kata onservatoir diatur dalam pasal 227 HIR yang berbunyi :
1. Jika ada sangka yang beralasan, bahwa orang yang berhutang sebelum dijatuhkan keputusan kepadanya, atau sedang keputusan yang dijatuhkan kepadanya belum dapat dijalankan, berusaha akan menggelapkan atau mengangkut barangnya, baik yang tidak tetap, baik yang tetap, dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka Ketua atas surat permintaan yang dimasukkan untuk itu, oleh orang yang berkepentingan, dapat memberi perintah supaya barang itu disita akan menjaga hak orang yang meminta itu dan kepadanya hendaklah diberitahukan, bahwa ia akan menghadap persidangan pertama yang akan datang dari Pengadilan Negari untuk memajukan gugatannya dan meneguhkannya.
2. Atas perintah Ketua orang yang berhutang hendaklah dipanggil menghadap persidangan itu juga.
3. Mengenai orang yang harus menjalankan penyitaan itu serta peraturan-peraturan yang akan dituruti dalam hal itu dan akibat yang berhubung dengan itu harus menjalankan penyitaan itu.

Sita jaminan atau conservatoir beslag adalah sita yang dilakukan oleh Pengadilan atas permohonan dari pihak penggugat atas milik orang lain (yakni milik tergugat). Agar hak penggugat terjamin akan dipenuhi oleh tergugat setelah penggugat diputus menang dalam perkaranya nanti.
Permohonan sita jaminan biasanya diajukan sekaligus ketika ia mengajukan gugatan tetapi dapat juga sebelum perkara diputus bahkan dapat juga sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan sita jaminan harus adanya dugaan beralasan bahwa pihak tergugat akan menggelapkan atau melepaskan barangnya sehingga nantinya tidak mampu membayar menurut yang diputuskan oleh Pengadilan, sehingga putusan itu hanya sia-sia.
Oleh karena itulah, sebelum permohonan conservatoir beslag dikabulkan, harus dipertimbanghkan dulu oleh hakim apakah dapat dikabulkan atau tidak. Putusan hakim disitu akan berupa putusan sela. Jika permohonan sita dikabulkan maka perintah penyitaan tdak boleh oleh Hakim Ketua Majelis tetapi mesti oleh Ketua Pengadilan.
Selanjutnya jika penggugat menang dan permohonan sitanya dahulu dikabulkan maka di dalam diktum putusan Pengadilan naninya harus dicantumkan kata-kata ”sita dinyatakan sah dan berharga” Setelah putusan terebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pernyataan sah dan berharga tersebut berubah menjadi sita eksecutorial, terkecuali kalau tergugat memenuhinya sendiri dengan sukarela.
Permohonan sita jaminan yang diajukan oleh pihak yang menang setelah perkara diputus tetapi dimohonkan banding, diajukan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama yang dahulunya memutus dan Pengadilan ini akan mudah mempertimbangkan untuk mengabulkannya lantaran sudah jelas ia yang menang. Berita Acara penyitaan dikirimkan ke Pengadilan tigkat banding (kalau masih tingkat banding) atau ke Mahkamah Agung (kalau sudah tingkat kasasi).
Pemohon sita atau si tersita dapat memohon agar sita dicabut dan hakim akan mempertimbangkannya, misalnya si tersita menyediakan barang lain yang cukup, atau karena ternyata bahwa barang yang dsita bukan milik si tersita atau karena sudah ada perundingan sendiri dan lai-lain.
Sita jaminan ini dapat juga dilakukan terhadap barang bergerak atau barang tidak bergerak milik tersita (tergugat) yang ada ditangan orang lain, maka sita jaminan ini akan sangat luas sekali pembahasannya, sebagai berikut :
a. Sita terhadap benda bergerak milik tersita yang ada di tangan tersita sendiri.
Barang tersebut harus dibiarkan tetap di tangan tersita dengan konsekuensi harus dipelihara jangan rusak atau hilang dan tidak boleh dialihkan kepada siapapun. Boleh juga disimpan di tempat lain, yang menurut hakim akan terpelihara, misalnya di Pengadlan yang bersangkutan sendiri.
Sita atas barang bergerak berlaku atas uang tunai atau surat-surat berharga atau benda berwujud lainnya tetapi tidak boleh dilakukan terhadap peralatan atau hewan-hewan yang digunakan untuk mata pencaharian sehari-hari.
b. Sita atas benda tetap (tidak bergerak) milik tersita.
Penyitaan dilakukan di tempat mana benda tetap itu terletak dan dicocokkan sifat-sifat, bentuk maupun batas-batasnya, disaksikan oleh Lurah/Kepala Desa tersebut agar diketahui umum sehingga terhindar dari pengalihan kepada orang lain. Penyitaan benda tetap berlaku terhadap segala benda-benda lain yang terletak di atasnya, yang tidak dipisahkan, seperti rumah, pohon, pagar rumah dan sebagainya.
Sita terhadap benda tetap lebih mudah, baik ditangan tersita sendiri maupun sedang di tangan orang lain, seperti sedang disew,. Sebab pengalihan hak atas benda tetap tidak cukup hanya dari tangan ke tangan seperti benda bergerak. Begitu pula untuk mengetahui apakah betul milik tersita atau bukan, dapat dicek pada Kantor Pertanahan(kalau tanah) atau di Kantor Perumahan (kalau rumah).
c. Sita terhadap benda bergerak milik tersita yang berada di tangan orang lain.
Pemegang benda bergerak dianggap pemilik (bezitter sama dengan eigeraar), kecuali dibuktikan sebaliknya, karenanya benda bergerak milik tersuta yang ada di tangan orang lain agak sukar untuk dimohonkan sita. Apalagi kalau barang/ benda tersebut berupa uang tunai misalnya atau surat-surat berharga aan tonder (berlaku kepada siapa saja yang membawanya), tersita bisa mengingkari bukan miliknya kecuali jelas benar-benar ada bukti bahwa uang tunai atau seurat berharga tersebut milik tersita.
Yang termasuk benda bergerak yang di tangan orang lain ini sangat banyak macamnya, seperti uang tunai, piutang, surat berharga yang sedang digadaikan, uang gaji, uang pensiun, hewan, mobil, speda motor, computer, perabot rumah tangga dan sebagainya. Akan tetapi sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, alat-alat atau hewan-hewa dan sebagainya yang merupakan untuk mencari nafkah sehari-hari tidak boleh disita.

Sita conservatoir adalah salah satu jenis penyitaan barang dalam sengketa keperdataan. Kata onservatoir diatur dalam pasal 227 HIR yang berbunyi :
1. Jika ada sangka yang beralasan, bahwa orang yang berhutang sebelum dijatuhkan keputusan kepadanya, atau sedang keputusan yang dijatuhkan kepadanya belum dapat dijalankan, berusaha akan menggelapkan atau mengangkut barangnya, baik yang tidak tetap, baik yang tetap, dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka Ketua atas surat permintaan yang dimasukkan untuk itu, oleh orang yang berkepentingan, dapat memberi perintah supaya barang itu disita akan menjaga hak orang yang meminta itu dan kepadanya hendaklah diberitahukan, bahwa ia akan menghadap persidangan pertama yang akan datang dari Pengadilan Negari untuk memajukan gugatannya dan meneguhkannya.
2. Atas perintah Ketua orang yang berhutang hendaklah dipanggil menghadap persidangan itu juga.
3. Mengenai orang yang harus menjalankan penyitaan itu serta peraturan-peraturan yang akan dituruti dalam hal itu dan akibat yang berhubung dengan itu harus menjalankan penyitaan itu.

C. Sita Revindicatoir
Perkataan Revindicatoir, berasal dari kata revindicer, yang artinya mendapatkan. Perkataan revindicatoir beslag mengandung pengertian penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Maksud penyitaan ini adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung.
Sita yang dilakukan oleh Pengadilan terhadap benda bergerak (al mangul atau onroerende-goederen) milik sendiri yang berada di tangan orang lain, atau terhadap benda milik sendiri yang telah dijual tetapi belum dibayar harganya oleh pembeli, disebut sita revindicatoir
Dari ketentuan pasal 226 HIR, dapat diketahui, bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir ini adalah :
1. Harus berupa barang bergerak .
2. Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada ditangan tergugat.
3. Permintaannya harus diajukan kepada Ketua engadilan Negeri.
4. Permintan tersebut dapat diajukan secara lisan atau tertulios.
5. Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama, terperinci.

Permohonan kepada Pengadilan untuk dilakukan sita revindicatoir tidak kepada adanya dugaan beralasan terlebih dahulu, bahwa si tersita (tergugat) akan menggelapkan atau akan melenyapkan barang yang dimohonkan sita.
Barang yang disita boleh dititipkan kepada tersita sendiri dengan konsekwensi ia harus memeliharanya, tidak boleh rusak/ hilang/ dipindah-tangankan, tetapi boleh juga disimpan di tempat lain, misalya di Pengadilan sendiri, asal aman dan terpelihara dari kerusakan.

D. Sita Marital

Sita marital tidak didapat dalam HIR atau RBG, melainkan hanya dijumpai di dalam BW dan Rsv (Reglemennt op de Burgerlijke Rechtsvordering). Sita marital dikenal dalam BW yakni Hukum Acara Perdata Barat, dan diatur dalam pasal 823a RV dan seterusnya. Sita marital dimohonkan oleh pihak istri (yang tunduk pada hukum perdata barat) kepada Pengadilan Negeri terhadap barang-barang pihak suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya selama proses berlangsung barang tersebut jangan dihilangkan. oleh suami.
Sita marital ini dimohonkan oleh istri, sebab menurut BW si itri tidak mungkin menjualkan sebab ia tidak mampu bertindak menjualkan/ menstransfer hanyalah suami.
Menurut Sudikno, sita marital ini lebih tepat sita matrimonial, lantaran di Negeri Belanda sendiri kenyataannya bukan hanya istri yang berhak mengajukan tetapi juga suami.
Hal tersebut menurut Roihan juga sesuai untuk Peradilan Agama, dengan alasan :
1. Dalam pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974, dijelaskan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ini suami maupun istri sama-sama cakap untuk bertindak seperti dalam ajaran Islam .
2. Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 menyatakan bahwa harta benda yang didapat dalam perkawinan dianggap harta bersama kecuali ada ditentukan lain.
3. Suatu kenyataan, bukan sedikit harta benda yang didapatkan oleh suami dalam masa perkawinan yang diatasnamakan istrinya, baik untuk pengamanan maupun krena sebab-sebab lainnya. Jika yang berhak mengajukan permohonan sita hanyalah istri, tentulah dirasakan kepincangan atau ketidak adilan.
4. Banyak didapat kasus dimana yang justru sering menggelapkan harta bersama itu adalah si itri.

Sita matrimorial ini sangat diperlukan oleh Peradilan Agama sebab hampir sebagian besar perkara di lingkungan Peradilan Agama menyangkut masalah sengketa suami istri itu dimungkinkan sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 24 ayat (2) PP No. 9 th. 1975 jo. Pasal 78 huruf c UU No. 7 th. 1989.
Sekalipun sita matrimorial itu hanya menyangkut barang milik bersama suami istri yang nantinya barang tersebut akan diperhitungkan bagian untuk suami dan bagian untuk istri tertapi pada diktum putusan tetap perlu dinyatakan sah dan berharga supaya daat menjangkau jika ada campur tangan pihak ketiga.

E Sita Persamaan.
Pandbeslah adalah suatu pengertian yang dikenal dalam hukum acara perdata barat. Panbeslah adalah semacam sita jaminan, yang dimohonkan oleh orang yang menyewakan rumah atau tanah, agar supaya diletakan suatu sitaan etrhadap perabot rumah tangga pihak penyewa/tergugat guna menjamin pembayaran urang sewa yang harus dibayar (pasal 751 RV).

VI. Pemeriksaan Perkara
A. Tahap-tahap pemeriksaan ;
Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan, Panitera melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara. Penelitian Panitera tersebut dilengkapi dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, selanjutnya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan disertai saran tindak, misalnya ”syarat-syarat cukuo dan siap untuk disidangkan”
Berdasarkan resume dan saran tindak tersebut, Ketua Pengadilan Agamamengeluarkan Penetapan PMH yang menunjuk Hakim Ketua dan Anggota Majelis yang akan memeriksa sekaligus menunjuk panitera sidangnya.
Selanjutnya berkas perkara beserta penetapan PMH diserahkan kepada Hakim Ketua Majelis yang ditunjuk untuk dipelajarinya. Berdasarkan PMH tersebut, Ketiua Majelis mengeluarkan PHS yang menetapkan kapan hari/tanggal/jam sidang pertama akan dimulai.
Berdasarkan PHS tersebut, juru sita/ juru sita pengganti atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama akan memanggil pihak-pihak ke muka sidang menurut hari/ tanggal/ tempat yang telah ditentukan di dalam PHS
Pada sidang pertama ini penggugat akan membacakan gugatannya, sehingga mulailah terjadi jawab-menjawab (replik-duplik) antara pihak-pihak. Pada sidang pertama ada beberapa hal penting yang mungkin akan terjadi dan berpengaruh terhadap jalannya perkara (aksepsi , econventie, intervensi dsb). Juga perlu fiingat bahwa sebelum tergugat menjawab,sesudah pembacaan gugatannya, hakim wajib menganjurkan damai.
Selesai replik-duplik maka mulailah memeriksa alat-alat bukti. Selanjutnya penyusunan konklusi (kesimpulan) masing-masing pihak dan disampaikan ke majelis. Setelah itu majelis melakukan permusyawaratan majelis hakim dan terkhir akan diucapkan keputusan dalam sidang terbka untuk umum.

B. Sidang pertama
1). Panitera sidang, mempersiapkan dan mencek segala sesuatunya untuk sidang. Setelah siap, Panitera melapor kepada Ketua majelis, lalu panitera sidang siap menunggu di ruang sidang pada tempat duduk yang disediakan baginya dan telahsiap memakai baju panitra sidang.
Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu majelis hakim memasuki ruang sidang, panitera mempersilahkan hadirin berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk duduk.

2).Ketua Majelis Hakim membuka sidang dan sekaligus menyatakan terbuka untuk umum dengan ketokan palu 1 (satu) atau 3 (tiga) kali. Bagi Peradilan Agama sebagai peradilan Islam, sebaiknya dibuka dengan membaca basmalah misal ”Sidang Pengadilan Agama ... dalam perkara ... antara penggugat .....berlawanan dengan tergugat .... dibuka dengan sama-sama membaca basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum”.
Sidang terbuka untuk umum berdasarkan UU No. 14 Th. 1970 pasal 17 ayat (1) jo. UU. No.4 Th. 2004 pasal 19 ayat (1) bahwa siding pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, terkecuali undang-undang menentukan lain. Apabila tidak dipenuhinya ketentuan itu sesuai dengan pasal 18 UU No. 14 Th. 1970 jo. pasal 19 ayat (2) UU No. 4 Th. 2004 akan batal demi hukum .
Dengan sidang terbuka untuk umum, berarti siapa saja boleh mengikuti atau mendengarkan jalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Para pihak, bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalannya sidang dengan tape recorder, sehingga mereka sewaktu-waktu dapat menyimak sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya.
Sidang dimungkinkan tertutup, apabila ada alasan khusus yang dimajukan olehn pihak-pihak yang menurut majelis dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan khusus sesuai pasal 17 ayat (3) UU No. 14 Th. 1970 sidang permusyawaratan majelis hakim bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Begitu juga dalam pasal 33 PP No. 9 th. 1975, pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertututp untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU No. 7 th. 1989 juga menyebut pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak-pihak yang dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranya tersebut sangat berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusilaan dan kehormatan para pihak.
Pertimbangan majelis hakim mengabulkan sidang tertutup harus dengan penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam Berita Acara Sidang saja, tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela tidak mempengaruhi putusan akhir. Sidang tertutup untuk umum, maksudnya ialah selain dari pada yang berkepentingan langsung atau yang diizinkan oleh majelis hakim, harus meninggalkan ruang sidang. Tentu saja diluar harus diawasi oleh petugas Pengadilan agar tidak ada yang menguping , termasuk sound sistem juga tidak terdengar keluar.
Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis, Ketua Majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruang sidang. Atas asas ini Panitera atau petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-pihak untuk masuk dan duduk pada kursi yang telah disediakan untuknya

2). Ketua Majelis Hakim menanya identitas pihak-pihak.
Pertanyaan pertama Ketua Majelis adalah mana penggugat dan mana tergugat, utnuk mengatur tempat duduknya . Lalu dilanjutkan dengan menanya identitas pihak-pihak, dimulai dari penggugat, seterusnya tergugat, yang meliputi nama binti/bin , alias/ julukan/gelar (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat tingal terakhir.
Menanyakan identitas pihak-pihak sangatlah formal, sekalipun mungkin saja sudah tahu dengan membaca surat gugatan sebelumnya, namun menanyakan kembali di depan sidang ini adalah perlu (mutlak).
Perlu dikemukakan dua hal, bahwa :
a. Menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh Ketua Majelis, senan Ketua Majelislah yang bertanggung jawab akan arahnya pemeriksaan/sidang ;
b. Hakim yang baik dan manusiawi, apalagi sebagai hakim agama, hendaklah selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga mereka tidak merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan yang sebenarnya.
Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada para pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara. Kalau dijawab ada, sidang akan memperbncangkan sejenak, apakah ada kewajiban hakim unutk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya hubungan itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai para pihak yang berperkara.


3). Anjuran damai.
Anjuran damai dapat dilakukan kapan saja, sepanjang perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada permulaan sidang pertama adalah bersifat ”mutlak/ wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, karena ada keharusan yang menyatakan demikian, walaupun mungkin menurut logika kecil sekali kemungkinannya. Pernah terjadi perdamaian tetapi kebanyakan bukan terjadi pada sidang pertama.
Kalau terjadi perdamaian, maka dibuatkanlah akta perdamaian di muka sidang Pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan. Erhadap perkara yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkaranya, kecuali tentang hal-hal baru. Akte perdamaian tidak berlaku banding sebab akte perdamaian bukan keputusan Pengadilan. Bila tidak terjadi perdamaian, harus dicantumkan dalam Berita acara Sidang, dan sidang akan dilanjutkan.

B. Pembacaan surat gugatan, replik dan duplik
Pembacaan surat gugatan sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau penggugat buta huruf atau menyerahkan kepada panitia sidang. Di tingkat banding atau di tingkat kasasi yang membaca kan segala berkas adalah panitera sebab para pihak tidak lagi hadir di muka sidang. .
Selesai gugatan dibacakan, majelis hakim menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai, ketua majelis menanyakan kepada tergugat, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan akalu akan menjawab secara tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu beberapa lama untuk tu. Bila keadaan demikian maka sidang akan ditutup dan dilanjutkan lain kali. Namun apabila tergugat akan menjawab secara lisan atau tertulis sudah siap tulisannya, sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan jawaban tersebut.
Jawaban pertama, baik lisan maupun tertulis dari tergugat dinamakan ”replik” (replik 1), sedangkan jawaban penggugat atas jawaban itu disebut ”duplk” (duplik 1). Begitulah seterusnya replik-duplik, replik-duplik.
Kalau replik-duplik tersebut berlangsung lisan, hakim tidak keberatan, waktu mengizinkan, mungkin saja sidang pertama itu berlangsung sampai pada tahap pembuktian, mungkin saja pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja pada tahap musyawarah majelis hakim, tapi aneh sekali kalau langsung sampai tahap pengucapan keputusan.
Perlu sekaligus diingatkan bahwa hak bicara terkhir di depan sidang selalu pada tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis sudah ngawur tidak lagi relevan.

C. Perubahan / penambahan dan pencabutan gugatan ;
HIR tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugat, sehingga hakim leluasa untuk menentukan sampai dimana penambahan atau merubah bahakn pencabutan surat gugat itu akan diperkenankan.
Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan gugat diperkenankan, asalkan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak jangan sampai dirugkan dengan perubahan atau penambahan gugat tersebut.
Dalam hal perubahan atau penambahan gugat diperkenankan, kepada pihak tergugat hendaknya diberikan kesempatan seluas-;uasnya untuk embela diri dengan sebaik-baknya. Apabila perubahan atau penambahan tidak diperkenankan sama sekali, maka pihak penggugat akan ”dipaksa” untuk membuat gugat baru, dengan pengeluaran-pengeluaran biaya yang baru tidak sedikit. Terutama apabila telah dilakukan sita jaminan .
Perubahan gugat dilarang apabila berdasar atas keadaan hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain, atau apabila penggugat mengmukakan keadaan baru sehingga dengan demikian mohon putusan hakim tentangsuatu hubungan hukum antara kedua belah pihak yang lain daripada yang semula telah dikemukakan.
Contoh :
(1). Semula dimohonkan ganti rugi berdasarkan ingkar janji gugat dimohonkan untuk diubah sehingga berdasar ingkar janji agar tergugat dipaksa untuk memenuhi janjinya .
(2). Semula dasar gugatan perceraian adalah perzinahan, kemudian gugat dimohonkan diubah sehingga dasar gugatan menjadi keretakan yang tidak dapat diperbaiki.

Penambahan gugat misalnya :
(1). Semula tidak semua ahli waris diikutsertakan, ditambah agar mereka yang belum diikutsertaakan, ditark pula sebagai tergugat atau turut tergugat.
(2). Dalam hal lupa dimohonkan dalam petitum untuk menyatakan sah dan berharga suatu jaminan kemudian dimohonkan agar petitum itu ditambahkan adalah diperkenankan. Juga apabila mohon agar gugat ditambah dengan petitum agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Dapat dikabulkan.

Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat setelah tergugat mengajukan jawaban, hal itu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari tergugat, dan apabila tergugat menyatakan keberatannya, maka permohonan mengenai perubahan atau penambahan gugat akan ditolak.

Pencabutan gugatan dapat dikabulkan, selama oleh pihak tergugat belum diajukan jawaban. Namun apabila telah diajukan jawaban oleh tergugat, tidak diperkenankan, kecuali seizin dari tergugat. Kalau gugat dicabut, kedua belah pihak kembali kepada keadaan semula, artinya, seperti belum pernah ada perkara. Sita jaminan seandainya telah diletakkan, harus diperintahkan untuk diangkat, sedangkan semua biaya perkara termasuk biaya pengangkatan sita jaminan tersebut dibebankan kepada pihak penggugat.

D. Tahap pembuktian
a. Setiap pihak mengajukan bukti, hakim selalu menanyakan kepada lawannya, apakah ia keberatan atau tidak . Jika alat bukti saksi yang dikemukakan, hakim juga harus memberikan kesempatan kepada pihak lawannya kalau-kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan leh pihak lawan tersebut kepada saksi.
b. Semua alat bukti yan g disodorkan oleh pihak-pihak harus disampaikan kepada ketua majelis lalu ketua majelis emperlihatkannya kepada para hakim dan pihak lawan dari yang mengajukan bukti.
c. Keaktifan mencari dan menghadirkan bukti di muka sidang adalah tugas para piah itu sendiri dan hakim hanya membantu kalau dimintai tolong oleh para pihak seperti pemangglan saksi.

VII. Hal-hal yang mungkin terjadi dalam sidang
A. Eksepsi ;
B. Interpensi ;
C. Verzet ;
D. Rekonpensi ;
E, Pilihan Hukum ;
F. Sengketa Hak Milik dan keperdataan lain ;
G. Sita Jaminan ;
H. Prodeo ;
I. Gugat Provisional ;
J. Juru Bahasa.

VIII. Pembuktian
A. Pengertian Pembuktian dan tujuannya ;
B. Teori Pembuktian ;
C. Hukum Pembuktian ;
D. Alat-alat Bukti ;

IX Lanjutan Pembuktian
A. Alat bukti Surat
B. Alat bukti Saksi ;
C. Alat bukti Persangkaan ;
D. Alat bukti Pengakuan
E. Alat bukti Sumpah ;
F. Pemeriksaan di tempat ;
G. Saksi Ahli ;
H. Bukti Pembukuan
I. Pengetahuan Hakim.


X. Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
A Hal-hal yang diatur dengan Hukum Acara Khusus
B Acara Permohonan Cerai talak ;
C Acara Cerai Gugat ;
D Acara lain ;
E Acara Khuluk ;

XI Lanjutan Pemeriksaan sengketa Perkawinan
A. Acara pembatalan perkawinan ;
B. Acara permohonan izin poligami ;
C. Acara penetapan wali adhol ;
D. Acara penyelesaian sengketa harta perkawinan ;


XII Penemuan Hukum dan Putusan Hakim
A. Penemuan hukum ;
B. Pengertian Putusan/ Penetapan ;
C. Macam-macam putusan Hakim
D. Susunan dan isi putusan ;
E. Kekuatan hukum putusan ;
F. Minutasi ;
G, Kemunginan hilangnya putusan asli ;
H. Akta pembagian waris diluar sengketa ;
I. Akta Keahliwarisan ;
J. Akta Cerai ;

XIII. Upaya Hukum
A. Pengertian dan macam-macam upaya hukum ;
B. Banding ;
C. Kasasi ;
D. Peninjauan kembali ;
E. Prerogasi.

XIV Pelaksanaan Putusan
A. Pengertian eksekusi ;
B. Jenis-jenis eksekusi ;
C. Putusan yang dapat dieksekusi ;
D. Putusan Hakim dalam Perkara tertentu.

2 komentar:

Satria Baja Hikam mengatakan...

terimakasih sudah share. sangat bermanfaat

alipoetry, hukum sebagai petunjuk hidup saya... anda... dan mereka,,,, mengatakan...

terimakasih juga,,, semoga bermanfaat juga buat yang baca...

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*