Rabu, 01 September 2010

Konsep Imamah Dalam Pemikiran Ali Syari’ati



Konsep Imamah Dalam Pemikiran Ali Syari’ati

A.Latar Belakang Keluarga

Ali Syari’ati berasal dari keluarga religius-profesional di Iran. Keluarga ini terkenal saleh, zuhud dan suka membantu masyarakat. Akhund Mulla Qurban‘Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Akhund-e Hakim, atuk Ali Syari’ati semula diundang untuk tinggal di Mazinan sebagai otoriti keagamaan di sana. Mazinan masa itu merupakan sebuah desa yang kecil, terletak di pinggir kurun Provinsi Khurasan.1

Ayah Syari’ati bernama Muhammad Taqi Mazinani. Dia datang ke kota suci Masyhad antara tahun 1927 dan 1928 untuk belajar agama di Hawzah ‘Ilmiyyah Masyhad. Setelah menyelesaikan studi teologi dasarnya (muqaddamat) dan memulai studi menengahnya (sath), Muhammad Taqi meninggalkan perguruan agama dan menjadi guru dalam sistem pendidikan nasional. Ia percaya bahawa kaum muda terpelajar yang akan menjadi warga Negara bertanggung jawab di masa hadapan harus diperkenalkan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan zaman moden.

Dengan demikian, Muhammad Taqi mematahkan dua tradisi yang sudah lama. Pertama, setelah menyelesaikan belajarnya, ia tidak kembali ke Mazinan, tempat tinggal tadisional keluarganya. Kedua, sekalipun ia memiliki syarat untuk menjadi ulama’, seperti para atuknya, dia melepaskan pakaian keagamaannya dan menggantinya dengan Barat.2

Dia bertekad untuk mendidik generasi yang diyakininya sebagai agen-agen perubahan di masa hadapan.


B.Situasi Sosial Politik

Seperti diketahui, pada saat itu, Iran dipimpin oleh Reza Syah yang otoriter dan diktator. Semua aktiviti sosial, politik dan keagamaan dibelenggu. Ruang kebebasan tidak ada sampai ia dipaksa turun pada tahun 1941. Setelah itu, aktiviti keagamaan dan politik publik yang sepenuhnya terkekang itu, kembali berghairah. Bahkan, parti Tudeh (parti yang sebenar berideologi komunis) tidak menyebut dirinya Parti Komunis Iran agar tidak menyinggung sensitiviti keagamaan luas, juga berkembang luas.

Dalam keadaan seperti itu, Muhammad Taqi Syari’ati memulai dakwah persendirian untuk menyampaikan dan menyebarkan apa yang diyakininya sebagai semangat Islam yang progresif. Tahun 1944, Pusat Dakwah Kebenaran Islam (Kanoun-e Nashr-e Haqayeq e Islami/KNHI) resmi dibuka di Masyhad.3

Tujuan utama dari organisasi ini adalah membendung dan menolak pengaruh ateisme yang dipropagandakan oleh kaum komunis dan untuk merangkul kembali intelektual muslim yang jatuh ke tangan kaum Kasravi.4

Namun, kerana kecenderungan organisasi Islam tersebut yang lebih beraliran modernis, akhirnya membawa konflik dengan kelompok syi’ah yang kuat di Masyhad. Sebab, setelah tahun 1941 (setelah jatuhnya Reza Syah) terjadi ketidakstabilan kondisi sosial, di mana kaum intelektual memiliki kecenderungan Marxis, sedangkan kelompok agamawan cenderung reaksoner.

Setelah Reza Syah turun, Iran dipimpin oleh Mosaddeq. Tahun 1953, Amerika mendalangi untuk menjatuhkan kerajaan nasionalis pimpinan Mosaddeq tersebut. Pada masa itu, organisasi KNHI resmi menjadi pusat akiviti pro-Mosaddeq di Masyhad. Namun pada tahun itu pula, berdiri Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) yang didedikasikan untuk kesinambungan kebijakan Mosaddeq. Akhirnya, anggota pusat organisasi KNHI bergabung dengan NRM.5

Organisasi yang bergabung dengan NRM pula ialah Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan atau Nehzat-e Khoda Parastan-e Sosialis (MGWS) yang didirikan oleh Muhammad Nakhshab.


C.Masa Remaja Ali Syari’ati.

Ali Syari’ati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra lahir pada 24 November 1933. Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini, ritual keagamaan ditunaikan dengan seksama. Islam dipandang oleh keluarga ini lebih sebagai doktrin sosial dan filsafat yang sesuai dengan zaman moden dari pada keyakinan masa lalu yang bersifat peribadi dan hanya memikirkan sendiri.

Tahun 1941, Ali masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolah inilah ayahnya bekerja.

Di sekolah, Ali mempunyai dua perilaku yang berbeza dengan kawan-kawannya. Dia pendiam, tak mau di atur dan rajin. Dia dipandang sebagai penyendiri, tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. Kerana itu, dia tampak tidak bermasyarakat.

Menurut teman sekelasnya, dia tidak banyak bergaul dan tidak bermain bola sepak – olahraga yang lazim untuk anak seusianya. Di kelas, dia selalu memandang ke luar jendela dan tidak memperhatikan dunia sekelilingnya.

Di rumah, Ali biasa bersama ayahnya yang membaca hingga larut malam, bahkan sampai menjelang pagi. Dia tidak pernah membaca bacaan yang diwajibkan sekolahnya dan tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah.6

Ali meminati bacaan filsafat dan mistisisme. Ia mulai menyenangi kedua-duanya sejak tahun-tahun pertamanya di sekolah menengah atas. Selama tahun-tahun ini, dia lebih suka belajar di rumah. Dia asyik berada di perpustakaan ayahnya yang mempunyai koleksi 2000 buku.

Menurutnya, ayahnya yang membentuk jiwa dan semangatnya. Adalah sang ayah jugalah yang mengajarnya seni berfikir dan ‘teknik’ untuk menjadi manusia. Sang ayah jugalah yang pertama kali mengenalkannya rasa kebebasan, kemerdekaan, harga diri, keluhuran budi dan iman.

Dengan keadaan seperti itu, Ali dengan agak berbangga pernah mengatakan bahawa selama periode ini, dia seratus langkah lebih maju dibanding teman sekelasnya dan sembilan puluh sembilan langkah dihadapan guru-gurunya.

Pada periode ini pula, Ali berminat kepada sastera, syair dan kemanusiaan dari pada ilmu sosial atau studi keagamaan. Meskipun di rumah ia belajar bahasa arab kepada ayahnya, fokus utamanya ialah studi filsafat dan karya-karya penyair serta penulis moden Iran dan asing.

Konon, ia mempelajari dan mendapat inspirasi dari karya-karya Saddeq-e Hedayat, novelis ternama Iran yang beraliran nihilistis, Nima Yousheej, bapak syair moden Iran, Akhavan-e Saless, penyair kontemporer Iran terkenal dan Maurice Maeterlinck, penulis Belgium yang karya-karyanya memadukan mistisisme dengan simbolisme.7 Syari’ati ingat bahawa perhatiannya kepada filsafat timbul kerana sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi: “Bila kita meniup mati sebatang lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?

Namun, Ali bukan tipikal anak pintar yang tidak suka bermasyarakat, yang menghindari masyarakat kerana tidak menghargai mereka juga bukan kerana tidak sependapat dengan mereka. Bila suasana hatinya sedang baik, Syari’ati menjadi baik, ramah dan akrab serta memperhatikan kepentingan orang lain.

Dikalangan teman-temannya, dia terkenal sifat humor, cerdas, suka melawak dan bergurau. Sifat-sifat inilah yang kemudian menjadi senjata penting dan ampuh dalam menghadapi lawan dan musuh intelektualnya kemudian hari.

Menurut penuturannya sendiri, Syari’ati mengalami krisis keperibadian pertamanya yang serius antara tahun 1946 dan 1950. Masa itu, dalam usia belasan tahun ia sudah membaca karya Maurice Mauterlinck, Arthur Scopenhuer, Franz Kafka, dan Saddeq-e Hedayat.

Kerana pengaruh tulisan merekalah, Syari’ati merasakan fondasi keagamaannya terguncang.8 Kesejukan, ketenangan dan keyakinan akan eksistensi Tuhan berubah menjadi kegelisahan dan keraguan.

Baginya, eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, asing dan sepi, membuat kehidupan itu sendiri menjadi suram dan hampa. Keasyikan belajar dan berfikir membuat Syari’ati mengalami krisis keimanan yang serius. Dia merasa berada di jalan buntu filosofis, yang akibatnya, menurutnya hanya bisa berupa bunuh diri atau gila.9

Pada suatu malam musim dingin, dia berfikir untuk bunuh diri di Eskhtar-e Koohsangi yang romantis di Masyhad. Namun itu tidak sempat terjadi sampai akhirnya ia menemukan kesejukan dalam Masnawi-nya Maulawi, gudang spiritual filsafat timur. Pada malam itu, kata-kata dan pemikiran Maulawi yang menyelamatkan Syari’ati dari kehancuran diri. Mistisisme Maulawi meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada diri Syari’ati muda.

Setelah itu, Syari’ati menyebutkan bahawa mistisisme bersama kemerdekaan dan persamaan sebagai tiga tamu historis utama dan dimensi fundamental manusia ideal.

Tahun 1950, setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, Syari’ati masuk Kolose Pendidikan Guru Masyhad. Dia tinggal di Asrama. Pada saat itu, dia berada di antara pertentangan konsepsi-konsepsi makna dan tujuan hidup, cara mencapai tujuan itu dan peranan serta tanggung jawab manusia di muka bumi.

Pada tahun 1952 dia lulus dari Kolose Pendidikan Guru Masyhad. Pada masa ini, tampak seolah-olah dia telah menyelesaikan sejumlah isu teologis yang menghantui pikirannya selama bertahun-tahun. Ledakan agnotisme kognitif, keyakinan yang berubah-rubah, dilema filosofis, keyakinan yang setengah-setengah yang mewarnai masa remajanya mulai reda. Ketidakpastian dan kegelisahan digantikan oleh keyakinan kukuh kepada fakta bahawa dia telah mencapai puncak kepastian pertama.

Dia telah menemukan Islam sebagai medium epistimologis untuk mengetahui dan mendefinisikan kehidupan dan masyarakat yang ideal.10 Selanjutnya, dia menyebut model peran ideal atau agen untuk mencapai masyarakat Islam ideal ada pada watak Abu Dzar.

Kedamaian dan keseimbangan yang baru ditemukan Syari’ati tercermin dengan sangat baik dalam karya-karya seriusnya yang pertama, Tarikh-e Takamol-e Falsafe (Sejarah Perkembangan Filsafat), yang pada umumnya dikenal dengan nama Maktab-e Vaseteh-e Islam (Jalan Tengah Islam) dan Abu Zar-e Ghifari.

Dalam Abu Zar-e Ghifari, Syari’ati menciptakan pahlawan, model dan simbol yang tegar menghadapi kekayaan, kekuasaan bahkan otoriti keagamaan untuk menyelamatkan Islam ‘otentik’ kaum miskin, tertindas dan kaum yang sadar sosial.

Abu Dzar bagi Syari’ati adalah sinyal dan tanda mengenai Islam yang taat, tegar, revolusioner yang berbicara tentang persamaan, persaudaraan, keadilan dan pembebasan.

Lebih jauh lagi, dengan watak Abu Dzar yang seperti itu, membuat Syari’ati yakin bahawa konsep-konsep seperti keadilan sosial, persamaan, kebebasan dan sosialisme yang sampai ke Iran melalui intelektual Barat merupakan bagian integral warisan Islam.

Kerana itu, Syari’ati dengan bangga mengatakan: ‘Abu Dzar adalah leluhur segenap mazhab egaliter pasca-Revolusi Perancis’.11

Ali Rahnema menulis

“Adalah tepat kiranya kalau dikatakan bahawa sejak usia dua puluh tahun sampai meninggal, semangat memuja hero Abu Dzar dalam diri Syari’ati berkembang menjadi rasa takzim yang begitu mendalam”.12


D.Masa di Universiti

Tahun 1955, Syari’ati masuk Fakulti Sastera Universiti Masyhad yang baru sahaja diresmikan. Selama di Universiti, sekalipun menghadapi persoalan administrasi akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syari’ati yang paling tinggi rankingnya di kelas.

Bakat dan kesukaannya kepada sastera menjadikannya popular dikalangan mahasiswa.

Tahun 1957, di seluruh Iran, cabang-cabang NRM mendapat serangan. Empat belas anggota penting NRM cabang Masyhad ditahan dan diterbangkan ke Teheran dengan pesawat udara tentara dan dipenjarakan di Qezel Qal’eh. Muhammad Taqi dan Ali Syari’ati termasuk di antaranya. Ali adalah yang termuda dalam kelompok ini.

Kelompok ini dituduh mengikuti doktrin Mosaddeq. Satu bulan kemudian, Ali Syari’ati dibebaskan.

Di Universiti, Ali bertemu Pouran. Mereka menikah di Masyhad pada 15 Juli 1958. Lima bulan setelah menikah, Ali mendapat gelar BA dibidang sastera Persia.

Kerana prestasi akademiknya baik, ia mendapat beasiswa melanjutkan studi ke luar negeri. Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Isteri dan puteranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung setahun kemudian.13



E.Kehidupan di Paris

Pengalaman Syari’ati di Paris mencerahkan sekaligus menyedihkan. Perasaannya sangat campur aduk. Dia membenci aspek tertentu dan memuji aspek lainnya. Dia menghina keburukan sosial, degenerasi moral Paris yang tercermin pada wanita di jalan-jalan, rumah judi dan club malam.14

Di lain pihak, dia sangat takzim kepada kesedaran sosial dan pencerahan intelektual Paris yang tercermin pada orang-orang rendah hati dari berbagai lembaga pendidikannya.

Dia menuturkan, bagaimana gurunya membimbingnya ke puncak perenungan manusia, pencerahan spiritual dan pemikiran sosial.

Ketika belajar di Barat itu pula, Syari’ati dapat mengetahui perspektif yang sangat kritis terhadap masyarakat Barat sendiri dan mengetahui metodologi yang tepat untuk mengemukakan dan mempertahankan teori mereka.

Pendidikan Barat Syari’ati membuatnya dapat melihat karya-karya ilmiah dan interpretasi non-Syi’ah mengenai Syi’ah. Akibatnya, Syi’ah Syari’ati sangat berbeza dengan Syi’ah resmi di Iran. Dia lebih memperhatikan kandungan sosio-politik, pesan dan implikasi dari apa yang sedang ditulis mengenai isu-isu Islam, ketimbang ajaran dasar Syi’ah.

Syari’ati pula memuji gurunya di Barat, Louis Massignon, Islamolog Katholik Perancis terkenal. Dia menyebut Massignon seorang manusia jenius, sempurna, figur spiritual, jiwa yang benar-benar baik dan murni.15

Menurutnya, antara tahun 1960 dan 1962 dia bekerja sebagai asisten riset Massignon. Bersama Massignon, Syari’ati mengalami perubahan ruhani yang penting.

Kalau Matsnawinya Maulana mengubah pandangan dan visinya pada awal dewasanya, Massignonlah yang merubah pandangan Syari’ati pada awal kematangannya.

Di Paris, Syari’ati mulai menerjemahkan buku Massignon mengenai Salman Al-Farisi.

Selain Massignon, sarjana Barat yang juga membentuk intelektualiti Syari’ati ialah sosiolog ternama, George Gurvitch, yang kuliah-kuliahnya diikuti Syari’ati dengan seksama dan rutin selama lima tahun tinggal di Paris.

Syari’ati menyukai gaya hidup dan teori sosiologi imigran Rusia ini, yang berselisih dengan Stalin dan menyelamatkan diri dari kaum Fasis dan Stalinis. Pada sosok George, Syari’ati merasa menemukan Abu Dzar versi Barat.16

Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengeruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia.

Di masa itu, subjek yang paling diminati ialah sosiologi, filsafat dan teologi.

Salah seorang diantaranya, Frantz Fanon. Ia banyak mengajar Syari’ati tentang solidariti dunia ketiga, internasionalisme dan penolakan terhadap pembangunan Eropa.

Syari’ati menerjemahkan A Dying Colonialism karya Fanon.

Dalam tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya kemudian, Syari’ati banyak mengutip kesimpulan buku Wretched of the Earth karya Fanon, yang diterjemahkannya di Paris.17

Gurunya yang lain adalah Jacques Berque. Darinya Syari’ati mendapatkan pandangan sosiologi tentang agama.18

Selain mengikuti kelas yang diajar oleh para intelektual di atas, Syari’ati juga banyak membaca karya-karya yang banyak memberinya perubahan diri.

Sartre (m. 1960) ialah diantaranya. Dari karyanya, Syari’ati mendapatkan prinsip kebebasan manusia dan sebagai akibatnya tanggung jawab manusia untuk bangkit melawan segala bentuk penindasan.19 Syari’ati juga bertemu dengan Albert Camus (m. 1980) di Paris.

Ia juga membaca karya Jean Cocteau yang menunjukinya, bagaimana jiwa manusia dapat berkembang.

Karya Alexis Carrel memperlihatkan kepada Syari’ati keselarasan ilmu pengetahuan dan agama.20

Tahun 1963, Syari’ati mempertahankan tesis doktoralnya, ‘Les Merites de Balkh’ (Segi Positif Balkh). Tesisnya berupa terjemahan 155 halaman ke bahasa Perancis atas bab ketiga dari sebuah dokumen abad ketiga belas tulisan Saifuddin Balkhi.

Tesis Doktoral Syari’ati ditulisnya atas arahan Profesor Gilbert Lazard untuk Faculte des Lettres Universiti Paris di Sorbonne.21

Disertasi Syari’ati diterima dengan predikat passable, predikat kelulusan yang paling rendah.

Pada September 1964, Syari’ati dan keluarga kembali ke Iran melalui jalan darat. Ia berada di Iran kira-kira 13 tahun. Kemudian dia meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977 menuju Belgium lalu ke British. Dia tak pernah kembali ke Iran dan meninggal pada 19 Juni 1977.

Begitulah kehidupan singkat Syari’ati selama keberadaannya di Iran. Ia telah diagung-agungkan sebagai tokoh revolusioner moden hebat diantara tokoh-tokoh yang lain.

Secara singkat ada beberapa tokoh revolusi yang dapat disebut di sini, yaitu Ayatullah Khomeini (m. 1989), Murtadha Muthahhari (m. 1979), Ali Hashemi Rafsanjani, Bani Sadr dan Ali Syari’ati.

Menurut sejumlah pengamat revolusi Iran, nama Ali Syari’ati harus diletakkan pada senarai pertama dari kelompok intelektual penting yang melawan rezim Syah.22



F.Karya-karya Ali Syari’ati

Berikut ini beberapa buku Syari’ati yang ditulis Saifullah dalam tesisnya23, diantaranya:

1.On The Sociology of Islam, buku ini telah diterjemahkan oleh Hamid Alghar dalam bahasa Inggris. Ia mengandungi idea-idea Ali Syari’ati tentang cara memahami Islam, insan kamil dan tauhid.

2.The Vissage of Muhammad, karya ini merupakan refleksi historis dari pada diutusnya Nabi.

3.What is’t be Done; The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissence, berisi huraian Ali tentang tanggung jawab intelektual muslim.

4.Man and Islam, buku yang menjelaskan tentang konsep manusia, penciptaan, eksistensinya dalam pandangan Tuhan dan tugas yang harus diemban intelektual muslim

5.Hajj, sebuah buku tentang interpretasi simbolik mengenai ritual-ritual haji.

6.Marxism and Other Western Fallacies, buku yang menggugat secara tajam terhadap Marxisme dan falsafah Barat yang mewakili ideologi humanisme.24

7.Al-ummah wa al-Imamah, koleksi lengkap tentang pemikiran Syari’ati tentang ummah dan imamah dilihat dari aspek sosiologis.

8.Martyrdom; Ariise and Bear Witness, huraian Syari’ati yang mendalam tentang perjuangan Imam Husayn di Karbala.

Kerana sikapnya yang keras terhadap Marxisme ini dan semangat pembebasannya yang revolusioner, Haidar Baqir, salah seorang intelektual Indonesia menggambarkan Syari’ati sebagai “Seorang yang ‘Marxis’ yang anti Marxisme dan seorang syii yang ‘sunni’.25

Haidar menulis:

"Mungkin peribadi revolusionernya, penentangannya terhadap kapitalisme dan kolonialisme, permusuhannya terhadap penindasan manusia oleh manusia telah menggiringnya kepada kemiripan dengan beberapa gagasan kaum Marxis, yang memang berbagi isu yang sama. Mungkin juga pengaruh Jala-i Ahmad dan Frantz Fanon turut berperan di sini".26



G.Pengertian Imamah

Konsep Imamah bermula dari kata umat, jamaknya umam yang artinya umat, rakyat atau bangsa. Dalam bahasa inggrisnya disebut nation, people.27 Dalam kamus Munawwir, ia bermakna; imam atau pemimpin.28 Dari akar kata itulah muncul perkataan imamah.

Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepemimpinan politik dan spiritual dalam khilafah yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali.

Setelah Nabi Muhammad meninggal, siapakah yang seharusnya memegang kepemimpinan khilafah?29 Keluarga Nabi menghendaki dari keluarganya yakni Ali bin Abi Thalib. Namun di saat mereka sibuk mengurus jenazah Nabi, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah, sehingga mereka tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.

Kerana itu, keluarga Nabi tersebut tidak segera berbaiat kepada Abu Bakar. Sungguhpun begitu, pada akhirnya mereka tidak boleh tidak membai’atnya juga.30

Di sinilah awal munculnya benih-benih perbezaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah.

Kelompok sunni percaya bahawa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih. Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib yang menjabat sekitar 17 Maret 599 M-28 Februari 661 H adalah khalifah yang keempat dan terakhir bagi kelompok sunni, tapi yang pertama bagi Syi’ah.

Syi’ah sekarang ini, khususnya aliran istnaa-asyariyyah banyak berkembang di Iran, Iraq dan Lebanon.31

Setelah Imam yang kedua belas, konsep kepemimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga menghasilkan revolusi 1979 di Iran.

Syi’ah 12 berpendapat bahawa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan dilanjutkan oleh para sarjana, mujtahid, dan ayatullah sehingga sang imam muncul kembali.32


G. Syi’ah Istna ash’ariyyah.33


H. Syi’ah Ismaili.34

Syi’ah Ismaili berbeza dengan Syi’ah dua belas. Mereka menerima Imam Isma’il bin Jakfar sebagai imam. Imam Jakfar adalah saudara tua Musa Al-Kadzim, Imam ketujuh dalam Syi’ah itsna-asyariyyah. Mereka juga menerima Muhammad bin Ismail sebagai Imam.
Imam Syi’ah Ismai’li sebagai berikut:
1.Ali ibn Abi Talib (632–661)
2.Hasan ibn Ali (661-669)
3.Husayn ibn Ali (669–680)
4.Ali ibn Husayn (Zayn al-Abidin) (680–713)
5.Muhammad al-Baqir (713–733)
6.Ja’far al-Sadiq (733–765)
7.Ismail bin Ja’far
8.Muhammad ibn Ismail (765-?)



I.Ummah dan Imamah Dalam Pemikiran Ali Syar’ati

Istilah ummah adalah konsep khas yang ada pada Islam. Ia menggantikan beberapa istilah yang oleh, Montgomery Watt mempunyai kemiripan erti sebelumnya, seperti nation, qabilah, qaum, sya’b, thabaqah, tha’ifah, ras, massa, people.

Syari’ati mengatakan bahawa ummah dan imamah merupakan prinsip akidah islamiah yang paling penting dan terkenal, khususnya dikalangan mazhab Syi’ah.35 Tidak mengherankan, bila konsep kepemimpinan Islam mendapat perhatian lebih banyak pada kelompok Syi’ah dibandingkan kelompok Sunni.
Tajuk inilah yang paling banyak dibicarakan dari dahulu hingga sekarang.36
Kerana itu, ia ingin melihat kajian ini dipandang secara sosiologis dan konteksnya dengan keidupan manusia, kerana ia lebih dinamis dan moden.
Kerana itu, sedari awal ia menegaskan bahawa ia akan melihat kajian ini secara sosiologis dalam paradigma ilmu sosial.37
Menurut Syari’ati, kata ummah berasal dari kata ‘amma artinya bermaksud (qashada) dan berniat keras (‘azima). Pengertian ini mencakup tiga makna yaitu ‘gerakan’, tujuan dan ‘ketetapan hati yang sadar’.
Kata amma pula pada awalanya, menurut Syari’ati berarti kemajuan. Dengan demikian secara luas mencakup empat erti: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan.
Secara prinsipil, kata ummah berarti jalan yang terang. Artinya, suatu kelompok manusia yang menuju ke jalan tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang dilalui terangkum dalam istilah ummah.
Itu berarti ia menolak pengertian lain, seperti keturunan (ras), tanah air (people), perkumpulan (tha’ifah), kebersamaan (jama’ah), baik dalam tujuan, profesi dalam pelbagai perangkatnya (thabaqah), ras, status sosial, dan gaya kehidupan yang dipandang sebagai pengikat dasar dan sakral antar pelbagai individu, tidak termasuk pengertian ummah.38

Jadi apakah yang paling dasar dalam Islam yang menjadi pengikat paling penting untuk mempersatukan individu-individu? “Jalan yang dilalui” jawab Syari’ati.39
Kelebihan lain yang ada pada konsep ummah ialah menempatkan kebersamaan dalam arah tertentu dan pembentukan kekerabatan lahir-batin sebagai ciri dasar yang mengikat manusia. Ini berbeza, dalam pemikiran Syari’ati dengan istilah qabilah ¬– konsep terbaik menurut Syari’ati - yang hanya menempatkan ‘tujuan yang sama’ sebagai pengikat individu tersebut.

Syari’ati menulis:

"Dalam istilah qabilah, memang terdapat kebersamaan tujuan, tapi tidak ditemukan adanya gerakan yang menuju tujuan tersebut. Sebab, sangat mungkin ada sekumpulan orang yang mempunyai tujuan yang sama, tapi tidak memiliki ikatan atau keharusan apapun berkaitan dengan jalan yang dilalui untuk menuju tujuan tersebut. Mereka memang memiliki kesamaan dalam keyakinan dan tujuan (konsepsional dan emosional) sebagaimana halnya dengan kaum muslim sekarang ini. Tetapi mereka tidak melangkah dengan langkah yang sama dan serempak menuju ke arah yang sama. Tujuan yang ingin dicapai terletak pada titik tertentu, dan gerakan mereka menuju ke arah yang lain. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justeru merupakan landasan ideologis".40

Istilah qaum (berdiri), mungkin memiliki makna yang dinamis pula. Tapi, gerak di sana dalam pemikiran Syari’ati tetap tidak dinamis. Istilah qaum mengandung bergerak di tempat. Sebab, orang yang tergabung di sana memang bergerak, tapi tidak pernah beranjak dari tempatnya berdiri. Jadi, berdiri bukanlah bergerak.
Gerakan adalah perpindahan dari satu titik ke titik lain atau perubahan dari kualiti menuju kualiti dan bentuk lain.41 Sedangkan qiyam hanya berupa perubahan wujud, bukan perubahan kualiti. Jadi, ia tidak disebut hijrah, baik secara fisikal atau psikologi.

Sedang ummah adalah kumpulan orang yang berpindah dan bergerak dan mengandung konsep:
1.Kebersamaan dalam arah dan tujuan.
2.Gerakan menuju arah dan tujuan tersebut.
3.Keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif.42

Secara ringkas, ummah ialah sekumpulan manusia, di mana para anggotanya memiliki tujuan yang sama, dan satu sama lain tolong-menolong agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan berdasar kepemimpinan kolektif.43
Mereka memiliki kesatuan pemikiran, keyakinan, mazhab, dan metodologi yang tidak sahaja tergambarkan dalam idea, tetapi terbukti perwujudannya secara konkrit.
Maka, dilihat dari konteks tersebut, istilah ummah dengan sendirinya membutuhkan imamah – keharusan yang sama sekali tidak dimiliki konsep lain, seperti qabilah, jama’ah, qaum, nation dan yang lain. Dengan itu, berarti tidak ada ummah tanpa imamah.44

Menurut Syari’ati, dalam sejarahnya manusia selamanya ingin mempunyai pemimpin. Kerana itu, dalam sejarah umat manusia, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan imam baik yang real ataupun khayal.

Hal ini dibuktikan dalam sejarah, kebudayaan dan agama-agama yang terus berlangsung dalam bentuk mencintai pahlawan, menghamba kepada kepala suku, kultus individu dan dalam bentuk lainnya, baik yang positif atau negatif.

Bahkan, dikalangan intelektual pun. Orang-orang seperti Nietzsche, Hegel, Crlyle adalah orang-orang yang percaya kepada adanya pahlawan (hero), dan berpendapat bahawa manusia agar bisa hidup dalam kehidupan yang lebih baik dan paling tinggi serta dapat beranjak kepada kehidupan dunia yang lebih tinggi dan agung, ia mesti berlindung kepada “manusia super” .45

Syari’ati mencatat pula kalau kekacauan di zaman moden ini, kerana tidak adanya idola. Mengutip seorang pemikir Perancis, Caneon mengatakan “Kemelut manusia moden telah mencapai tingkat hingga lenyapnya hero”. Namun, tentu kepahlawanan di sini, menurutnya tidak sama seperti yang ada pada fasisme dan militerisme.
Konsekuensi logik pula bahawa setiap anggota ummah itu harus mematuhi pemimpin komuniti tersebut dengan ketaatan tanpa paksaan.46

Kemudian apa fungsi imamah sendiri? “Ia dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa”, tulis Syari’ati.

Dalam konsep pertama, ialah bagaimana menguasai massa sehingga berada dalam stabiliti dan ketenangan, kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya.

Dalam konsep kedua, ialah berkaitan dengan asas kemajuan dan perubahan sosiologis, sosial dan keyakinan serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.

Di antara dua fungsi imamah di atas, yang kedua lebih ditekankan.
Dengan demikian, tulis Syari’ati:
Imamah bukanlah lembaga yang anggota-anggotanya menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang mapan, dan bukan pula melepaskan diri dari kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan kesejahteraan umat serta bukan kehidupan tanpa tujuan.47

Secara singkat tugas imam ialah mewujudkan asas kerajaan kepada kemajuan, perubahan, transformasi dalam wujudnya yang paling cepat, melakukan akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan.


Kita bandingkan dengan pernyataan Sayyid Muzhaffar, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat. Ia menulis:

"Kami percaya bahawa para imam adalah ulul amr yang diperintahkan oleh Allah untuk ditaati. Sebab, mereka adalah saksi bagi manusia, pintu-pintu Allah, dan jalan menuju-Nya. Mereka adalah penunjuk jalan, wadah ilmu Allah, penerjemah wahyu-Nya, tonggak-tonggak tauhid-Nya, lemari makrifat-Nya. Kerana itulah, mereka menjadi pembawa keamana di bumi, seperti bintang membawa keamanan bagi ahli langit”.48

Namun, Syari’ati secara tegas menolak kalau imam adalah “supra manusia”. Sebab, bila imam terdiri dari supramanusia, ia tidak mungkin memiliki hal-hal yang dapat dijadikan teladan yang baik bagi manusia.

Syari’ati mengatakan, kalau imam itu malaikat, pasti kita tidak mungkin meneladaninya. Dengan mengabaikan hal itu, maka manusia dapat mencapai derajat yang dinyatakan dalan al-Qur’an sebagai lebih tinggi dibanding derajat yang dimiliki oleh semua malaikat yang muqarribin.49

Lebih tepat ia disebut “manusia super” yang selaras dengan tuntunan manusia akan moral bagi kehidupan individu maupun masyarakat, serta selaras dengan kebutuhan intelektual dan psikologi. Ia akan selalu membimbing individu dalam kelompok umat dan melembutkan spritualiti dan menajamkan pikiran manusia.50

Maka, jelas dalam pemikiran Syari’ati, imam bukanlah non-manusia. Sebab, jika kita menganggap dzat imam lebih tinggi dibanding manusia lainnya dan tidak ada yang lebih tinggi darinya kecuali Tuhan, maka kita akan jatuh kepada syirik.51

Imam hanya manusia biasa yang telah mencapai tingkat semestinya dicapai oleh manusia, dan orang-orang lain belum mencapai tingkat tersebut. Imam itu akan terus-menerus berusaha mencapai kemanusiaan dengan makrifat.

Artinya, secara umum dalam pemikiran Syari’ati, imam lebih umum dibanding pengertian pemimpin politik, ketua partai, pahlawan atau superman. Imam adalah “perwujudan manusiawi yang membentuk roh, moral dan cara hidupnya sebagai petunjuk bagi umat manusia tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu”.

Syari’ati menulis:

"Tugas seorang imam tidak hanya terbatas pada memimpin dalam salah satu aspek politik, sosial, ekonomi, dan tidak terbatas sebagai panglima, amir atau khalifah, tapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek pelbagai kemanusiaan. Imam seperti ini, tidak terbatas kepada hidupnya sahaja, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya”.52

Sementara individu sendiri dalam umat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai pertubuhan organisme umat. Mereka harus mengetahui imam mereka, mengakui dan mempercayainya.

Dan apabila dijumpai individu yang lebih mementingkan kehidupan yang mapan, tidak mau bergerak dan menuju kesempurnaan, maka yang demikian tidak patut berada ditengah-tengah atau kelompok umat.53 Umat mesti begerak cepat dan tidak berdiam diri.

Namun tujuan umat sendiri pada akhirnya, seperti ditulis Syari’ati terbahagi menjadi dua:
1.Suatu transformasi terus-menerus menuju tercapainya kesempurnaan yang mutlak, dan
2.Perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi.

Dua konsep di atas, ternyata berkesesuaian dengan ayat-ayat al-Qur’an, seperti ditulis Syari’ati sendiri, yakni “Ingatlah bahawasanya kepada Allah jualah kembalinya semua urusan”. (Al-Syura: 53); “Kepada Allah-lah tempat kembali”. (Ali Imran: 28); “Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita kembali”. (Fathir: 18).

Allah dalam ayat al-Qur’an di atas ialah bermakna Kesempurnaan Mutlak, Keabadian, Kekekalan, ilmu, penemuan, kesadaran, keindahan, kemampuan, kewujudan, kebaikan, kemamfaatan, kelembutan, keadilan dan keagungan dalam pengertian yang mutlak dan tanpa batas.54

Dan kita pun kembali ‘kepada Allah’. Di sini Syari’ati menolak idea kaum wihdat al-wujud, bahawa kita perlu ‘ke dalam Allah’. Menurutnya, yang benar ialah kembali “kepada-Nya”.55


J. Pemilihan Imam

Dalam sejarah kebudayaan manusia, pemilihan pemimpin selalu didasarkan atas faktor-faktor berikut ini: kudeta,56 intervensi,57 penunjukan, pewarisan,58 pemilihan, dominasi mayoriti, revolusi59 dan pencalonan.
Bagi Syari’ati, imam tidaklah dipilih sebagaimana pengangkatan atau pemilihan. Ia adalah suatu hak yang bersifat esensi yang muncul pada diri seseorang. Sumbernya ialah imam itu sendiri. Ia menjadi imam, kerana memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang dijelaskan.60

Posisi masyarakat tidak menunjuk untuk menjadi imam. Tetapi mereka mengakui atas kelayakannya sebagai orang imam. Kerana itu, dalam Syi’ah dikatakan “Jabatan imamah sama dengan kenabian”. Artinya, posisi imam atau nabi adalah masalah pengakuan yang timbul dalam masyarakat. Bisa saja ada yang tidak mengakui atas tersebut. Dan ini bisa diterima secara logik.

Pada sisi lain, imamah berbeza dengan khilafah. Imamah adalah kepemimpinan spiritual dan warisan suci Nabi. Sedang khilafah, ialah pengganti Nabi dalam urusan politik, dan ia merupakan kepemimpinan sosial dan pemerintahan duniawi.61

Maka dengan adanya pemisahan ini, Syari’ati berupaya meredakan ketegangan antara Sunnah dan Syi’ah selama ini. Baginya, tidak ada kontradiksi antara kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dengan imamah Ali. Para khalifah itu tidak akan mengingkari imamah yang dimiliki Ali dan mereka pula tidak akan merampasnya. Khilafah yang ada pada mereka bukan sebagai hasil rampasan atas hak ahlu al-bait. Demikian sebaliknya, perlunya kesediaan pada kelompok Sunnah untuk menerima imamah para imam Syi’ah.62

Pada saat yang sama, ketika ada imam dan khalifah di sisi lain, lalu masyarakat memilih khalifah sebagai pemimpin mereka untuk menangani masalah sosial, politik, militer, dan menempatkan imam sebagai hanya pemimpin spiritual, maka yang demikian, bagi Syari’ati tidak menjadi problem. Hal ini menurutnya pernah terjadi kepada Ghandi dan Nehru di India.

Bahkan yang demikian, dapat membebaskan posisi imam sendiri dari kekotoran politik dan keburukan pemerintahan.

Dan dalam posisi itu, keagungan dan kehormatan, bahkan ke-ismahan imam tetap terpelihara. Fungsi imam yang seperti lebih bersifat pemikiran, keilmuan dan spiritual.63

Sebab, imam – dalam konsepnya yang benar – tidak berdiri dibelakang kekuatan eksekutif, dibelakang Negara, dan tidak pula bergandengan dengan politik penguasa. Para imam dalam pandangan Syi’ah ialah pemimpin para penguasa, junjungan orang-orang yang taat beribadah, pilar negara dan pemimpin umat.64



Sesiap yang ingin footnotnya, sila emel ke penulis hasan_jaly@yahoo.com. trims

(semoga bermanfaat)

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*