Kamis, 12 Januari 2012

Tentang Rasa Cemas




TENTANG RASA CEMAS


Di sebuah negeri, seorang penguasa menyangka dirinya seorang penyair besar. Ia begitu mengagumi syair-syair yang diteriakannya sendiri. Ia mengagumi keindahan vokalnya sendiri. Ini terjadi rupanya karena sang penguasa itu dikelilingi oleh penjilat-penjilat yang saban hari memuji-muji syair-syairnya.
Suatu hari sang penguasa mengumpulkan orang-orang. Ia ingin menunjukkan kebolehannya dan kemudian mendengar pujian-pujian yang dialamatkan kepadanya. Hari itu, ia berdiri di sebuah podium yang megah untuk membacakan syair-syairnya. seusai pembacaan ia menyuruh sekalian yang hadir untuk menilai dirinya. “Sangat indah, Tuanku,” seru semua yang hadir. “Suara Tuan terdengar di telinga kami alangkah merdunya,” tambah mereka lagi. “Tuan adalah penyair terbesar di negeri ini.”
Penguaasa itu tersenyum puas. Ia sudah hendak melanjutkan membaca beberapa syair lagi sesuai dengan yang dikehendaki orang-orang ketika tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seorang tua yang diam saja. “Kenapa diam saja, Orang Tua?” Tanya sang penguasa. “Apakah kau tidak mengagumi keindahan syair-syairku?”
“Menurut saya syair-syair yang Tuan baca tadi sangat buruk, dan suara Tuan juga tidak bagus,” sahut yang ditanya.
Orang tua itu namanya Nasaruddin. Ia memang selalu mengejutkan banyak orang dengan segala tingkah lakunya. Sang penguasa tentu saja marah. Ia menghardik Nasaruddin, dan menyeret orang tua itu ke kandang kuda. “Kau harus mendekam di kandang ini tiga hari untuk membayar kekurangajaranmu!” tegas sang penguasa.
Sejak saat itu, Nasaruddin mendapatkan pelajaran penting yang tidak terlupakan. Ia akan lari ke kandang kuda setiap kali sang penguasa bersyair.
Nasaruddin tentu saja kita kenal sebagai tokoh cerita rakyat Arab yang konyol. Tapi ia jenius. sikap yang ditunjukannya di atas mencerminkan perlawanan dari rakyat yang tertindas di bawah seorang tiran. dan menghadapi penguasa lalim seperti itu nasaruddin tidak kalah. Ia memang harus mendekam dipenjara kandang kuda. Tapi agaknya inilah sikap yang agak jauh lebih baik ketimbang harus mengubah suara.
Memang dihadapan penguasa dengan tabiat lalim semacam itu, sebuah penolakan – sehalus apapun – akan terdengar bagai letusan dinamit yang menggentarkan. karena, seperti dituturkan Ignazio Silone, penguasa yang cenderung diktator biasanya memang berangkat dari rasa cemas yang tak berkesudahan. Maka, suara yang berbeda memang akan selalu kedengaran tidak menyenangkan bagi seorang diktator.
Dan di negeri Nasaruddin, penguasa yang tampil agaknya sosok yang tidak punya kepercayaan diri itu. Ia dengan demikian selalu dirundung cemas pada posisinya. Dan bagi penguasa semacam ini, suara yang tidak bulat memang kedengaran menakutkan. suara “tidak” dari seorang tua yang lemah semacam Nasaruddin pun sudah cukup menjadi alasan untuk berang dan menjatuhkan hukuman.


PODIUM DETIK “Esei dan Perlawanan” karangan AS Laksana

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*