PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP ZINA
Pengertian Zina
Media elektronik seperti televisi,
internet, CD player, komputer dan sebagainya termasuk menjadi sebab utama
krisis moral bangsa ini. Teknologi telah disalah gunakan. Pornografi dan pornoaksi
sangat mudah diakses di internet. Tontonan film dan sinetron yang tidak syar’i
dan tidak mendidik menghiasi chanel televisi kita. VCD/DVD porno beredar
dimana-mana.
Menjamurnya buku dan bacaan cabul sangat
efektif menghancurkan moral pembacanya, baik novel, komik, maupun majalah yang
mengandung pornografi dan pornoaksi. Semua sarana ini menjurus terjadinya zina.
Al-Qur’an dan al-Sunnah telah menetapkan
hukuman (hadd) tertentu untuk kesalahan-kesalahan tertentu. Kesalahan-kesalahan
itu merupakan dosa besar yang mengharuskan adanya hukuman bagi pelaku kesalahan
itu. Hal tersebut dimaksudkan untuk memlihara jiwa, mempertahankan kehormatan,
dan menjamin kemaslahatan umat. Salah satu contoh dari kesalahan-kesalahan yang
menyebabkan pelakunya dikenakan hukuman (hadd) adalah zina.
Zina adalah: memasukan dzakar atau (penis) ke
dalam farji yang diharamkan yang menurut akal tidak ada keserupaan atau
kekeliruan dalam memasukannya.
Nah, dari definisi di atas suatu perbuatan
dapat dikatakan zina apabila memenuhi 2 unsur, yaitu:
1.
Adanya persetubuhan (sexual intercourse)
antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
2.
Tidak hanya adanya keserupaan itu atau
kekeliruan.
Dari unsur pertama, maka jika dua orang yang
berbeda jenis kelaminnya hanya baru bermesraan, misalnya berciuman atau
berpelukan belum dapat dikatakan zina yang dapat dijatuhi hukuman had.
Larangan
Berbuat Zina
Zina dinyatakan sebagai perbuatan yang
melanggar hukum yang harus diberi hukuman setimpal, karena mengingat akibat
yang ditimbulkan sangat buruk. Hubungan bebas dan segala bentuk diluar
ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam keutuhan
masyarakat dan merupakan perbuatan yang sangat nista. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina.
Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk.”
(QS. al-Isra’ :32).
Jadi bisa dikatakan bahwa zina merupakan
perbuatan yang menimbulkan kerusakan besar dilihat secara ilmiah. Zina adalah
salah satu diantara sebab-sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan
kehancuran peradaban, menularkan penyakit yang sangat berbahaya, misalnya AIDS,
dan lain-lain. Mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta
praktek hidup bersama tanpa nikah.
Dengan demikian, zina merupakan sebab utama dari
pada kemelaratan, pemborosan, pencabulan, dan pelacuran. Maka dari itu
Islam menetapkan hukuman yang keras/berat terhadap pelaku zina. Dengan kata
lain, Islam menetapkan hukuman berdasarkan dan setelah menimbang bahwa
menghukum pelaku zina dengan hukuman yang lebih berat itu lebih adil ketimbang
membiarkan rusaknya masyarakat disebabkan merajalelanya perzinahan. Hukuman
yang dijatuhkan atas diri pezina memang mencelakakan dirinya, tetapi memberi
hukuman itu mengandung arti memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan dan
melindungi keutuhan keluarga.
Hukuman zina tidak hanya menimpa pelakunya
saja, tetapi juga berimbas kepada masyarakat sekitarnya, karena murka Allah
akan turun kepada kaum atau masyarakat yang membiarkan perzinaan hingga mereka
semua binasa, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Jika zina dan riba telah merebak di suatu
kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.”
(HR. Al-Hakim).
Di dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda:
“Ummatku senantiasa ada dalam kebaikan
selama tidak terdapat anak zina, namun jika terdapat anak zina, maka Allah Swt
akan menimpakan azab kepada mereka.” (H.R Ahmad).
Syarat-Syarat
Hukuman Zina
Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang
yang berzina dapat dilaksanakan dengan syaarat-syarat sebagai berikut:
1.
Orang yang berzina itu berakal/waras.
2.
Orang yang berzina sudah cukup umur (baligh).
3.
Zina dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa,
tetapi atas kemauannya sendiri.
4.
Orang yang berzina tahu bahwa zina itu
diharamkan.
Jadi hukuman tidak dapat dijatuhkan dan
dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila dan orang yang dipaksa untuk
melakukan zina.
Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw,
sebagai berikut:
رفع القلم عن
ثلاث: عن النانم حتى يستيقظ وعن الصبيى حت يحتلم و عن المجنون حبى يعقل (رواه
احمد)
Artinya: “Tidaklah dicatat dari tiga hal:
orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga dia baligh, dan dari
orang gila hingga dia waras.”
Hukuman Zina
Dalam kitabnya Abdul Qodir Audah dijelaskan:
إذازنا
البكرسواء كان رجلا اوامرأة عقوب بعقوبتين: اولاهما: الجلد والثانية التغرب. لقول
الرسول ص.م: خذوا عنى فقد جعل الله لهن سبيلا البكر با البكر جلد مائة وتغريب عام
(رواه مسلم وابوداود والترمذى)
{ اَلزَّانِيَةُ
وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْاكُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةً جَلْدَةٍ} وعقوبه الجلد
حدّ اى عقوبة مقدرة, ليس لقاضى أن ينقص منها اويزيد فيها لسبب من الأسباب.
والثانى:
التغريب إذا زنا البكر جلد مائة وغربا عاما.
التغريب هو
العقوبة الثانية للزانى, التغريب عند السّافعى وأحمد أن التغريب معناه النفي من
البلد الذى حدث فيه الزنا إلى بلد اخر, امام ملك و ابوحنيفة أن التغريب معناه
الحبس.
Jadi ketika perempuan atau laki-laki berbuat
zina maka dihukum dengan hukuman, yang pertama yaitu jilid, dan kedua adalah pengasingan.
Pertama, yaitu hukuman jilid, ketika
gadis/perawan berzina maka dihukum jilid 100 kali jilidan berdasarkan surat
an-Nur ayat 2.
Hukuman jilid adalah dihad, yaitu hukuman yang
ditetapkan, dan tidak boleh bagi hakim (qodli) mengurangi atau menambahnya
karena beberapa sebab.
Kedua, yaitu pengasingan, para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini, menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah
pengasingan dari daerah yang dijadikan untuk zina ke daerah lain. Sedangkan
menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tahgrib adalah menahan.
Sumber Had Bagi
Pelaku Zina
Zina merupakan perbuatan yang mengharuskan bagi
pelakunya dihad, dalam hal ini bersumber dari al-Qur’an:
Hal ini dapat dikatakan bahwa, wewenang
al-Qur’an dapat dinyatakan sebagai prinsip modern alternatif. Pada prinsipnya
tidak ada otoritas Qur’an untuk menghapus hukuman, tetapi yang dapat dilakukan
adalah “membatasi” aplikasinya dalam praktik.
Tetapi ada problem lain yang berkenaan dengan
sunnah sebagai sumber hukum, bahwa hukum pelemparan batu sampai mati bagi
pelaku zina yang terikat pada perkawinan hanya didasarkan pada sunnah.
Al-Qur’an menentukan 100 had cambukan untuk zina tanpa mengaitkan status
perkawinan pelakunya. Penggunaan sunnah
atau mendukung hukuman dari penggunanya yang paling berat dalam kasus ini
mungkin dibedakan dari penggunaannya sebagai sumber hudud. Misalnya, karena
zina merupakan had berdasarkan al-Qur’an.
Dan menurut logika syari’ah sebagai hukuman
keagamaan. Sekali al-Qur’an dan sunnah berkata jelas dan pasti maka orang yang
beriman tidak memiliki pilihan lain kecuali patuh.
Pencarian pembenaran rasional mungkin membantu
orang beriman memahahi kebebasan dan alasan atauran-aturan tersebut. Dengan
kata lain, keberadaan hudud sebagai bagian dari hukum pidana suatu negara islam
adalah tidak terlepas dari keberadaan atau kuatnya pembenaran sosiologis dan
penologis.
Membandingkan
Hukuman Had zina dalam KUHP
Disini kita membandingkan antara hukum di
Indonesia dengan hukum pidana islam mengenai kasus zina ini, maka kita akan
banyak melihat perbedaan pandangan:
1.
Menurut KUHP tidak semua pelaku zina diancam
dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman
pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina,
padahal seorang atau keduanya telah kawin, dan dalam padal 27 KUH Perdata (BW)
berlaku baginya. Ini bisa diartikan bahwa pria dan wanita yang melakukan zina
tersebut belum kawin, maka mereka tidak terkena sanksi hukuman tersebut di
atas. Tidak kena hukuman juga bagi keduanya asalkan telah dewasa dan suka sama
suka (tidak ada unsur paksaan) atau wanitanya belum dewasa dapat dikenakan
sanksi, hal ini diatur dalam KUHP pasal 285 dan 287 ayat 1. Sedangkan menurut
hukum pidana islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat dikenakan had,
yaitu hukuman dera bagi yang belum kawin, misalnya (dipukul dengan tongkat,
sepatu, dan tangan). Dan dera ini tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.
2.
Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat
dituntut atas pengaduan suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2), sedangkan
Islam tidak memandang zina sebagai klach delict (hanya
bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.
3.
Hukum positif KUHP dalam menyikapi masalah
perzinahan, ada berbagai variasi hukuman (klasifikasi). Dengan penerapan
hukuman yang berbeda-beda yang tertuang dalam KUHP pasal 284 ayat 1dan 2, pasal
285, 286 dan 287 ayat 1. Sedangkan Islam menetapkan hukuman dera jika pelaku
zina yang belum kawin dan hukuman rajam jika telah kawin.
KESIMPULAN
Dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 2 maupun
as-Sunnah memang telah dijelaskan tentang aplikasi hukuman had zina tapi
persoalan yang paling esensial sedangkan kita harus bisa melihat dari sisi
sosiologis-historis pada masyarakat Arab dulu yang sangat beda jauh dengan
kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia, kemudian kalau kita tarik ke dalam
konteks masyarakat Indonesia kurang tepat adanya hukuman jilid dan taghrib
(pengasingan) yang apabila diterapkan bagi masyarakat Indonesia. maka kita bisa
mengatakan bahwa hukuman yang paling tepat adalah hukuman penjara sebagai ganti
dari jilid dan pengasingan karena hukuman jilid itu merupakan hukuman maksimal
yang ditetapkan al-Qur’an.
Dengan demikian dalam hal
ini, baik agama ataupun negara mempunyai peraturan perundang-undangan
yang berbeda, bukan berarti pro-kontra, akan tetapi keduanya mempunyai jalan
masing-masing demi terciptanya ketertiban sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad An-Naim, Abdullah, Dekonstruksi
Syari’ah, cet IV, (Yogyakarta: LKS, 2004).
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, cet I,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 19984).
Santoso, Topo,
S.H, M.A, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Insani Press,
2003).
Zuhdi, Masjuk, Masail Fiqhiyah,
ed.II, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991).
Muhammad, Imam Taqiyudin Abu Bakar bin, Kifayatul
Akhyar, Juz I.
Redakasi Sinar
Grafika, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet VI.
0 komentar:
Posting Komentar