GOLA
GONG: HERI HENDRAYANA HARRIS
MEMBANGUN
RUMAH DUNIA
PEMBACA novel Balada si Roy pasti tidak asing
lagi dengan nama Gola Gong. Laki-laki bernama asli Heri Hendrayana Harris (40)
tersebut memang pengarang novel yang dicetak lebih dari 100.000 kopi itu.
Namun, bagi masyarakat Banten, Gola Gong bukan sekadar penulis yang telah
menghasilkan sekitar 35 karya novel.DUA tahun belakangan, melalui komunitas
yang diberi nama Rumah Dunia, ia membangun pusat belajar yang dirancang untuk
mencetak generasi baru.
“Selama ini Banten lekat dengan stigma jawara,
teluh, santet, pelet, dan hal-hal lain yang berkonotasi negatif. Kami ingin
mengubah Banten, tetapi rasanya sangatlah tidak mungkin. Melalui rumah ini,
kami ingin berbagi cinta dan ilmu kepada masyarakat,” tutur Gola Gong.
Pusat belajar itu berlokasi di sekitar rumahnya
di Kompleks Hegar Alam 40, Ciloang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, tidak
jauh dari pintu tol Serang Timur.Berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter
persegi, Rumah Dunia mempunyai empat bangunan sederhana untuk perpustakaan
anak-anak dan remaja, teater terbuka, dan tempat diskusi.
Mulai pertengahan bulan Maret 2004, dibuka toko
buku bernama Kedai Buku Jawara.Di tempat itulah anak-anak berusia lima hingga
belasan tahun terlihat membaca, mendongeng, menulis, menggambar hingga latihan
teater. Semua kegiatan dikemas dalam bentuk wisata.Meskipun menyadari buah dari
kerja kerasnya mungkin baru akan menunjukkan hasil 20 tahun lagi, dia sangat
yakin kunci pembentukan generasi baru adalah membaca. “Kalau budaya membaca ini
bisa diterapkan di seluruh rumah, bangsa ini akan cepat mencapai kemajuan.
Pemimpin Banten harusnya memanfaatkan momentum (sebagai provinsi baru) untuk
membikin gerakan ’Banten membaca’,” kata laki-laki kelahiran Purwakarta, 15
Agustus 1963, yang dibesarkan di Serang, Banten, itu.
BENIH gagasan Rumah Dunia mulai bersemi ketika
ia dan beberapa rekannya kuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
tahun 1982. “Saya dan kawan-kawan waktu itu bikin janji bahwa kalau ada yang
lebih dulu berkemampuan, dialah yang harus mulai membikin perubahan itu,” tutur
Gola Gong yang tidak menamatkan kuliahnya di Jurusan Sastra Indonesia Unpad dan
memilih mengasah keterampilan dalam menulis.Kendati menolak disebut yang paling
punya kemampuan finansial di antara rekan-rekannya, Gola Gong merasa terdorong
untuk memulai. Apalagi, ia mempunyai modal berupa perpustakaan milik
keluarganya.Embrio Rumah Dunia memang berawal dari perpustakaan keluarga.
Harris Sumantapura, ayahnya yang pensiunan guru sekolah pendidikan guru (SPG),
mempunyai banyak koleksi buku, majalah, dan bahan bacaan lainnya.
Ketika Gola Gong mulai membuka perpustakaan
keluarga untuk masyarakat pada tahun 1990-an, pada saat bersamaan dia juga
merintis penerbitan tabloid bulanan berbasis komunitas, yaitu Banten Pos (1993)
dan Meridian (2000).Dua tabloid itu hanya bertahan enam bulan. “Saya diancam
petugas dengan pistol di atas meja jika tidak menghentikan penerbitan tabloid,”
ujar ayah dari Nabila Nurkhalisah (7), Gabriel Firmansyah (6), dan Jordi Al-Ghifari
(2 bulan) itu.Semua itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menyalakan
perubahan melalui gerakan baca-tulis.
Pada bulan Maret 2002, perpustakaan yang sudah
dibuka untuk umum sejak tahun 1990-an itu diberi nama Pustakaloka Rumah Dunia
dengan singkatan PRD.Dia mengakui mendompleng akronim Partai Rakyat Demokratik
(PRD). “Ternyata sangat dahsyat selling point (nilai jual)-nya walaupun
gara-gara itu kami juga sempat dicap aktivis PRD betulan,” kata Gola Gong.
Bersama istrinya, Asih Purwaningtyas Hasanah
atau lebih akrab disapa Tyas Tatanka, dan dibantu beberapa relawan lainnya, ia
kelola PRD dengan menawarkan berbagai kegiatan “wisata”. Kemasan wisata pada
setiap kegiatan PRD dimaksudkan agar kegiatan baca-tulis itu memikat anak-anak
dan remaja.Ada wisata baca dan dongeng, wisata gambar, wisata tulis, dan ada
juga wisata lakon. Hal itu dipilih agar kesan serius sebuah perpustakaan
berganti dengan kesan ramah dan kuat aroma bermainnya.Awalnya, perpustakaan itu
hanya berupa koleksi buku yang ditumpuk pada satu rak sepatu di sebuah kebun
terbuka.
Perlahan-lahan, bermula dari dibangunnya
pendopo (selesai bulan Juli 2002), berdirilah satu per satu bangunan hingga
kini sudah berjumlah empat lokal. Koleksi bukunya pun kini sudah mencapai
3.000-an judul.Mengingat kegiatannya belakangan ini merambah sastra, teater,
rupa, dan jurnalistik, maka pada bulan Desember 2003 berganti nama menjadi
Rumah Dunia. Tanggal 14 Februari 2004, Rumah Dunia diresmikan oleh Hj Cucu
Munandar, istri Gubernur Banten, Djoko Munandar.MELALUI Rumah Dunia, Gola Gong
juga melakukan semacam gerakan dekonstruksi kultural dengan memberi makna baru
pada kosakata lokal yang mengandung makna pejoratif. Salah satu contohnya
adalah kata “jawara”.Dengan menggunakan kata tersebut sebagai nama toko buku,
Kedai Buku Jawara, ia mencoba agar stigma “jawara” yang sering identik dengan
kekerasan dan pemerasan berubah makna menjadi “gudang ilmu”.“Saya ingin suatu
ketika jika orang mencari kata ’jawara’ melalui Google (mesin pencari di
internet), ia akan menemukan kata itu dengan arti ’gudangnya ilmu’. Kami ingin
karakter wong Banten yang keras diperkaya dengan wawasan dan smart,” kata Gola
Gong.
Contoh lain dari proses dekonstruksi kultural
itu adalah penamaan kegiatan dengan istilah seperti “gonjlengan wacana”,
“tawuran seni”, dan lain-lain.Dalam konteks itu, kata “gonjlengan” yang semula
hanya berarti kumpul-kumpul sambil makan ayam berubah menjadi diskusi seni,
budaya, dan pendidikan yang hangat dibicarakan di media massa. Kata “tawuran”
pun berubah makna menjadi pertemuan dua sekolah atau perguruan tinggi yang
menampilkan pertunjukan sastra dan teater.Dari mana dana untuk semua itu? Gola
Gong menjawab bahwa dana berasal dari sumbangan para donatur dan
kawan-kawannya. Dia menyisihkan 2,5 persen dari penghasilannya sebagai tim
kreatif stasiun televisi RCTI dan hasil penjualan hak cipta dua novelnya, yaitu
Balada si Roy dan Padamu Aku Bersimpuh, yang dijadikan sinetron.“Kunci semua
ini adalah ikhlas dan semangat berbagi dengan sesama. Langkah itu kami mulai
dari lingkungan masyarakat di sekitar rumah, bukan dari menyodorkan proposal
minta dana,” katanya. (MH SAMSUL HADI)
sumber: keluargapengarang.wordpress.com/gola-gong/
0 komentar:
Posting Komentar