Poligami
(Hukum Poligami di Mesir dan Hukum Positif di
Indonesia)
Islam adalah agama
yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita,
mendidik dan menjauhkan diri dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah
suatu hal yang gamblang dalam hubungannya dengan maslah poligami (Syekh
Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2007), h.263.).
Dalam pandangan fiqih, poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih
disebut dengan ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi
persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang
kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam.
As-Sarakhsyi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku
adil, Al-Sakani menyatakan laki-laki yang berpoligami wajib berlaku adil
terhadap isteri-isterinya, As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan diantara para
isteri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal
mengunjungi isteri di malam atau di siang hari (Amir Narudin, dan Azhar Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004),
h.158.).
Dipandang dari segi perundang-undangan di Indonesia poligami
merupakan persoalan dalam perkawinan yang banyak dibicarakan sekaligus
controversial bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah
bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap
perempuan. Dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan, seorang suami
boleh beristeri lebih dari satu apabila:
a.
Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.
Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik, kecuali alasan yang
ketiga, alasan tersebut terkesan bahwa seorang suami tidak memperoleh kepuasan
yang maksimal dari isterinya, maka alternatifnya adalah poligami. Namun dalam
Undang-Undang Perkawinan juga memuat syarat-syarat kebolehan poligami. Seperti
yang terdapat dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan, syarat-ssyarat
yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin poligami adalah:
a.
Adanya
persetujuan dari isteri.
b.
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
c.
Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
KHI (Kompilasi Hukum Islam) memuat masalah poligami ini pada bagian
IX, beristeri lebih dari satu orang yang diungkap dari berbagai pasal,
diantaranya yaitu:
Pada pasal 55 dinyatakan bahwa:
a.
Beristeri
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
isteri.
b.
Syarat
utama beristeri lebih darri satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
c.
Apabila
syarat utama yang disebut pada (ayat dua) tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristeri lebih dari seorang.
Lebih lanjut pada pasal 56 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa:
a.
Suami
yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan
Agama.
b.
Pengajuan
permohonan izin dimaksudkan pada ayat satu dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam bab VII PP No. 9 tahun 1975.
c.
Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama tidak memiliki kekuatan hokum.
Dalam pasal 57 Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan bahwa, Peradilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri lebih
seorang apabila:
a.
Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.
Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan dalam undang-undang mesir tahun 1979 juga memberi
ketentuan-ketentuan tentang poligami, dalam pasal 6 undang-undang tersebut
ditegaskan tentang dua hal:
a.
Pencatatan nikah wajib memberitahu isteri
terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya, apabila perkawinan tersebut
dilakukan oleh suami.
b.
Dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain
yang mendampingi suami tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad
nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan pada suami agar tidak memadunya.
Poligami itu sendiri dipandang sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya
hak untuk meminta pemutusan perkawinan selam ia tidak setuju atau belum lewat
waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita
lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya dimana hak meminta keputusan
perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami terbukti adanya
kesakitan yang dialami issteri.
Setelah beberapa waktu sesudah dibukanya perdebatan mengenai masalah
poligami, pemikiran fiqih di Mesir sampai suatu ketegasan bahwa:
a.
Keadilan yang dituntut untuk dibolehkannya
poligami dalam al-Qur’an adalah suatu syarat moral yang pelaksanaannya lebih
tepat diserahkan kepada suami dan tidak sepantasnya dianggap sebagai suatu
syarat hukum karena sulitnya Pengadilan menukar keadilan itu.
b.
Kenyataan angka-angka statistik yang nyata
belum sampai menunjukkan bahwa poligami telah menjadi problem sosial, sebab
belum mencapai angka tiga per seribu. Bahkan dalam beberapa kasus poligami,
Justru menjadi penanggulangan bagi beberapa masalah kesehatan dan lain-lain.
c.
Pemecahan hukum yang dibenarkan bagi wanita
yang suaminya kawin lagi adalah memberinya hak meminta pemutusan hubungan perkawinan
dengan syarat ia dapat membuktikan adanya kesakitan yang menimpanya karena
tidak mendapatkan nafkah, perlakuan kejam, tidak ditiduri, atau semacam itu
(Johanes dan Heijer dan Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, (Jakarta:
INIS, 1993), h.108.).
0 komentar:
Posting Komentar