Selasa, 14 Agustus 2012

Poligami (Hukum Poligami di Mesir dan Hukum Positif di Indonesia)




Poligami
(Hukum Poligami di Mesir dan Hukum Positif di Indonesia)

            Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan diri dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah suatu hal yang gamblang dalam hubungannya dengan maslah poligami (Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007), h.263.).
Dalam pandangan fiqih, poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-Sarakhsyi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil, Al-Sakani menyatakan laki-laki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya, As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan diantara para isteri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri di malam atau di siang hari (Amir Narudin, dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h.158.).
Dipandang dari segi perundang-undangan di Indonesia poligami merupakan persoalan dalam perkawinan yang banyak dibicarakan sekaligus controversial bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan, seorang suami boleh beristeri lebih dari satu apabila:
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik, kecuali alasan yang ketiga, alasan tersebut terkesan bahwa seorang suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal dari isterinya, maka alternatifnya adalah poligami. Namun dalam Undang-Undang Perkawinan juga memuat syarat-syarat kebolehan poligami. Seperti yang terdapat dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan, syarat-ssyarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin poligami adalah:
a.       Adanya persetujuan dari isteri.
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
KHI (Kompilasi Hukum Islam) memuat masalah poligami ini pada bagian IX, beristeri lebih dari satu orang yang diungkap dari berbagai pasal, diantaranya yaitu:
Pada pasal 55 dinyatakan bahwa:
a.       Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
b.      Syarat utama beristeri lebih darri satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
c.       Apabila syarat utama yang disebut pada (ayat dua) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Lebih lanjut pada pasal 56 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa:
a.       Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.
b.      Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat satu dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam bab VII PP No. 9 tahun 1975.
c.       Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak memiliki kekuatan hokum.
Dalam pasal 57 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa, Peradilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri lebih seorang apabila:
a.         Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.         Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.         Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan dalam undang-undang mesir tahun 1979 juga memberi ketentuan-ketentuan tentang poligami, dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan tentang dua hal:
a.       Pencatatan nikah wajib memberitahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya, apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suami.
b.      Dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suami tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan pada suami agar tidak memadunya.
Poligami itu sendiri dipandang sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selam ia tidak setuju atau belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya dimana hak meminta keputusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami terbukti adanya kesakitan yang dialami issteri.
Setelah beberapa waktu sesudah dibukanya perdebatan mengenai masalah poligami, pemikiran fiqih di Mesir sampai suatu ketegasan bahwa:
a.       Keadilan yang dituntut untuk dibolehkannya poligami dalam al-Qur’an adalah suatu syarat moral yang pelaksanaannya lebih tepat diserahkan kepada suami dan tidak sepantasnya dianggap sebagai suatu syarat hukum karena sulitnya Pengadilan menukar keadilan itu.
b.      Kenyataan angka-angka statistik yang nyata belum sampai menunjukkan bahwa poligami telah menjadi problem sosial, sebab belum mencapai angka tiga per seribu. Bahkan dalam beberapa kasus poligami, Justru menjadi penanggulangan bagi beberapa masalah kesehatan dan lain-lain.
c.       Pemecahan hukum yang dibenarkan bagi wanita yang suaminya kawin lagi adalah memberinya hak meminta pemutusan hubungan perkawinan dengan syarat ia dapat membuktikan adanya kesakitan yang menimpanya karena tidak mendapatkan nafkah, perlakuan kejam, tidak ditiduri, atau semacam itu (Johanes dan Heijer dan Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993), h.108.).
   

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*