Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak
pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya,
seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang
yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia,
Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi
dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya
Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa
depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti
Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian
diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62
orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar
itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk
atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha
agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam
masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di
BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam
Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada
kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan
Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir
sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk
melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis
Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu.
Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan
golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi
tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17
Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang
ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan
justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu
lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang
tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi
itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum
Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata
sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang
masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat
Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode
Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun
setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi
(1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda
ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda
berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan
negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka
UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang
merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat
sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.
Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum
Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula
dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang
berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun
1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara
Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan
apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk
melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950,
semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan
tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika
dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang
signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang
Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan
agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara
dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini
adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan
dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara
1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat
mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun
1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang
juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu,
semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi
undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti
UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian
diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante
pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian
dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan
sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit
Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan
hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan
bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan
“suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan
memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih
dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi?
Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.
Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak
didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah
terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam
fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh
Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan
negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya
untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI
terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah
diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu
konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu,
menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan
Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka
sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
Referensi:
Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia), Paramadina, (Jakarta, Oktober 1998).
Jimly
Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar
Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem
Nasional, (Jakarta, September 2000).
Ramly
Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia
dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, (Jakarta, Mei 2005).
http:balianzahab.wordpress.com
2 komentar:
Makasih, infonya sangat bermanfaat
terimakaisih juga_
Posting Komentar