Jumat, 17 Agustus 2012

Peradilan Islam





Peradilan Islam
Pengertian Peradilan
            Kata peradilan berasal dari kata “adil” dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemah dari “qadla” yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”, “menyelesaikan” (Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, cet.I, Jakarta,1996. h.1215). Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan (Abdul Mujib Mbaruri Thalhah AM., Kamus Istilah Fiqih, Pen. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta. 1994. Cet. ketiga. hlm.258. Lihat juga kamus tim penbyusun kamus pusat Depdikbud, Balai Pustaka. Cet. Ketujuh, Tahun 1996. Hlm7).
Dalam Islam peradilan disebut qadla artinya  “menyelesaikan” seperti firman Allah:
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur qãèøÿtB ÇÌÐÈ  
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya)”. (Al-Ahzab: 37)
Ada juga yang berarti “menunaikan” seperti firman Allah:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# ÇÊÉÈ  
Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah ke peloksok bumi”. (Al-Jum’ah: 10)
Disamping arti “menyelesaikan” dan “menunaikan” seperti di atas. Arti qadla yang dimaksud ada pula yang berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan suatu ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya berarti “menghalangi” atau “mencegah”. Karenanya qadhi dinamakan hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyayaan. Karena itu apabila seseorang mengatakan “hakim telah menghukumkan begini” artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak atau mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.29.).
Kata “peradilan” menurut istilah ahli fiqih adalah berarti:
1.      Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan).
2.      Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.30.).
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti “menampakkan hukum agama”, tidak tepat bila dikatakan menempatkan sesuatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum. Dimana hukum Islam itu “syariat”, telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerangkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
Disamping itu seperti yang telah diungkapkan oleh Ibnu Abidin, adapula ulama yang berpendapat bahwa peradilan itu berarti menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.30. Yang dikutip oleh Ari Ibnu Abidin. Juz. IV. Hlm327).
“Putusan” sebagai produk peradilan, sangat erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa. Dalam Islam, dalam kedua hal tersebut dianjurkan untuk berijtihad (seorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut Islam bila seseorang yang berijtihad tetapi hasilnya salah maka ia mendapat satu pahala. Dan bila hasil ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni satu pahala ijtihad, satu pahala kebenaran yang di dapat.
Untuk itu di sini perlu dijelaskan perbedaan qadha sebagai putusan peradilan dengan ifta’ sebagai satu fatwa. Fatwa adalah jawaban terhadap satu pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli dibidangnya (mufti) yang tidak begitu jelas hukumnya. Menurut kenyataan memberi fatwa pada hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya seorang mufti harus memahami tentang masalah yang disampaikan itu, dan ia harus orang yang terkenal benar, baik tingkah laku, perkataan maupun perbuatan. Dan orang yang memberi fatwa disebut mufti.
Fatwa sebagai hasil ijtihad dimana seseorang mujtahid mengistimbatkan hukum untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi dan terkadang mengenai hal yang belum terjadi. Sedang fatwa hanya mengenai hal-hal yang telah terjadi saja.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik benang merahnya bahwa perbedaan fatwa dengan qadha sebagai putusan hakim adalah:
Pertama, mufti bisa menolak untuk memberikan fatwa mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan peradilan “qadha” tidaklah demikian, tetapi harus memutus, artinya tidak boleh memihak para pihak yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan tentang hal tersebut belum ada.
Kedua, qadha itu dasarnya adalah fakta (kenyataan) yang dicari hakim, jadi hakim memutuskan berdasarkan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya ilmu (pengetahuan). Yakni si mufti memberi fatwa berddasarkan ilmu yang dimiliki mufti.
Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau mempunyai daya paksa, yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk dilaksanakan. Sedang fatwa tidak harus orang mengikutinya dan Negara pun tidak campur tangan dalam pelaksanaannya.
Keempat, fatwa tidak boleh dibatalkan, sedang putusan (qadha) bisa dibatalkan oleh peradilan yang lebih tinggi.
Kelima, fatwa adalah produk pribadi sedang putusan adalah produk Negara.
Sebagai catatan bahwa mujtahid-mujtahid masa lalu, sangat ketat membatasi para hakim dalam hal memberi fatwa, karena dikhawatirkan putusan hakim terkontaminasi dengan fatwa-fatwa yang telah diberikan (A. Basiq Djalil, Makalah Seminar Sehari “Hukum Keluarga Islam di Indonesia” Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. 31 Agustus 2004. h.3). Karenanya idealnya seorang yang menjadi hakim adalah karena panggilan nuraninya dan kegiatannya pun terbatas pada rumah dan ruang kerjanya. Itulah sebabnya sering kita dengar ungkapan bahwa seorang hakim adalah manusia yang kesepian.
Itulah pula sebabnya Ahmad bin Hambal dan As-Syafi’i memakruhkan hakim mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang bersangkut paut dengan tugas hakim. Mereka membolehkan fatwa dalam masalah ibadah dan lainnya. Mereka berpendapat demikian karena boleh jadi waktu perkara itu diajukan ke pengadilan, pendapat hakim sudah berbeda dengan pendapat yang sudah difatwakan. Itulah sebabnya hakim Syuraikh ketika seseorang meminta fatwa kepadanya terhadap masalah yang mungkin diajukan ke pengadilan ia berkata: “Saya akan memutus perkaramu sedang saya tidak akan memberi fatwa kepadamu” (Ibnu al-Qayyim, Al Jauziyah, Syamsudin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, A’lamu Al-Mu’aqqi’in. Juz IV. Cet. Kedua. Pen. Al-Sa’adah. Mesir. tahun 137 H/1995 M. h.220).
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa ternyata sejak awal perkembangan peradilan Islam, jauh sebelum adanya teori Trias Politika Montesque, tugas yudikatif dengan eksekutif telah ada pemisahannya atau dipisahkan.

Sumber:
            A Basiq Djalil., Peradilan Islam, 2007. h.1-4.

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*