Peradilan Islam
Pengertian Peradilan
Kata peradilan
berasal dari kata “adil” dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata peradilan
sebagai terjemah dari “qadla” yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”,
“menyelesaikan” (Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia,
cet.I, Jakarta,1996. h.1215). Dan umumnya kamus tidak membedakan antara
peradilan dengan pengadilan (Abdul Mujib Mbaruri Thalhah AM., Kamus Istilah
Fiqih, Pen. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta. 1994. Cet. ketiga. hlm.258. Lihat
juga kamus tim penbyusun kamus pusat Depdikbud, Balai Pustaka. Cet. Ketujuh,
Tahun 1996. Hlm7).
Dalam Islam peradilan disebut qadla artinya “menyelesaikan” seperti firman Allah:
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur qãèøÿtB ÇÌÐÈ
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
isterinya (menceraikannya)”. (Al-Ahzab: 37)
Ada juga yang berarti “menunaikan” seperti firman Allah:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# ÇÊÉÈ
Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah ke
peloksok bumi”. (Al-Jum’ah: 10)
Disamping arti “menyelesaikan” dan “menunaikan” seperti di atas.
Arti qadla yang dimaksud ada pula yang berarti “memutuskan hukum” atau
“menetapkan suatu ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna
terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya
berarti “menghalangi” atau “mencegah”. Karenanya qadhi dinamakan hakim
berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyayaan. Karena itu
apabila seseorang mengatakan “hakim telah menghukumkan begini” artinya
hakim telah meletakkan sesuatu hak atau mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya
yang berhak (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak.
Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.29.).
Kata “peradilan” menurut istilah ahli fiqih
adalah berarti:
1. Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan).
2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai
wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.
(Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan
September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.30.).
Dari pengertian tersebut membawa kita pada
kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti “menampakkan hukum agama”, tidak tepat
bila dikatakan menempatkan sesuatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada
dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan
dengan hukum umum. Dimana hukum Islam itu “syariat”, telah ada sebelum manusia
ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal
ini hanya menerangkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada.
Disamping itu seperti yang telah diungkapkan
oleh Ibnu Abidin, adapula ulama yang berpendapat bahwa peradilan itu berarti menyelesaikan
suatu sengketa dengan hukum Allah (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan
Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT.
Ma’arif. Hlm.30. Yang dikutip oleh Ari Ibnu Abidin. Juz. IV. Hlm327).
“Putusan” sebagai produk peradilan, sangat
erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa. Dalam Islam, dalam kedua hal tersebut
dianjurkan untuk berijtihad (seorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut
Islam bila seseorang yang berijtihad tetapi hasilnya salah maka ia mendapat
satu pahala. Dan bila hasil ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni
satu pahala ijtihad, satu pahala kebenaran yang di dapat.
Untuk itu di sini perlu dijelaskan perbedaan
qadha sebagai putusan peradilan dengan ifta’ sebagai satu fatwa. Fatwa adalah
jawaban terhadap satu pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli dibidangnya
(mufti) yang tidak begitu jelas hukumnya. Menurut kenyataan memberi fatwa pada
hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya seorang
mufti harus memahami tentang masalah yang disampaikan itu, dan ia harus orang
yang terkenal benar, baik tingkah laku, perkataan maupun perbuatan. Dan orang
yang memberi fatwa disebut mufti.
Fatwa sebagai hasil ijtihad dimana seseorang mujtahid
mengistimbatkan hukum untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal
yang telah terjadi dan terkadang mengenai hal yang belum terjadi. Sedang fatwa
hanya mengenai hal-hal yang telah terjadi saja.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik benang
merahnya bahwa perbedaan fatwa dengan qadha sebagai putusan hakim adalah:
Pertama, mufti bisa menolak untuk memberikan fatwa
mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan peradilan “qadha”
tidaklah demikian, tetapi harus memutus, artinya tidak boleh memihak para pihak
yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan
tentang hal tersebut belum ada.
Kedua, qadha itu dasarnya adalah fakta (kenyataan)
yang dicari hakim, jadi hakim memutuskan berdasarkan fakta. Sedangkan fatwa
dasarnya ilmu (pengetahuan). Yakni si mufti memberi fatwa berddasarkan ilmu
yang dimiliki mufti.
Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau
mempunyai daya paksa, yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk
dilaksanakan. Sedang fatwa tidak harus orang mengikutinya dan Negara pun tidak
campur tangan dalam pelaksanaannya.
Keempat, fatwa tidak
boleh dibatalkan, sedang putusan (qadha) bisa dibatalkan oleh peradilan yang
lebih tinggi.
Kelima, fatwa adalah
produk pribadi sedang putusan adalah produk Negara.
Sebagai catatan bahwa mujtahid-mujtahid masa
lalu, sangat ketat membatasi para hakim dalam hal memberi fatwa, karena
dikhawatirkan putusan hakim terkontaminasi dengan fatwa-fatwa yang telah
diberikan (A. Basiq Djalil, Makalah Seminar Sehari “Hukum Keluarga Islam di
Indonesia” Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. 31 Agustus 2004. h.3).
Karenanya idealnya seorang yang menjadi hakim adalah karena panggilan nuraninya
dan kegiatannya pun terbatas pada rumah dan ruang kerjanya. Itulah sebabnya
sering kita dengar ungkapan bahwa seorang hakim adalah manusia yang kesepian.
Itulah pula sebabnya Ahmad bin Hambal dan
As-Syafi’i memakruhkan hakim mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah
yang bersangkut paut dengan tugas hakim. Mereka membolehkan fatwa dalam masalah
ibadah dan lainnya. Mereka berpendapat demikian karena boleh jadi waktu perkara
itu diajukan ke pengadilan, pendapat hakim sudah berbeda dengan pendapat yang
sudah difatwakan. Itulah sebabnya hakim Syuraikh ketika seseorang meminta fatwa
kepadanya terhadap masalah yang mungkin diajukan ke pengadilan ia berkata: “Saya
akan memutus perkaramu sedang saya tidak akan memberi fatwa kepadamu” (Ibnu
al-Qayyim, Al Jauziyah, Syamsudin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, A’lamu
Al-Mu’aqqi’in. Juz IV. Cet. Kedua. Pen. Al-Sa’adah. Mesir. tahun 137 H/1995
M. h.220).
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa
ternyata sejak awal perkembangan peradilan Islam, jauh sebelum adanya teori Trias
Politika Montesque, tugas yudikatif dengan eksekutif telah ada pemisahannya
atau dipisahkan.
Sumber:
A
Basiq Djalil., Peradilan Islam, 2007. h.1-4.
0 komentar:
Posting Komentar