Jumat, 18 November 2011

“Ka... kaka…”




“Ka... kaka…”
Angin malam menembus atap kamar kosku dari  yang mulai berlubang dan terkadang bocor disirami air hujan. Kupandangi dua cicak yang asyik bermesraan. Teks SMS yang aku terima dari seorang wanita yang pernah memberiku arti kehidupan setelah aku terjatuh dari rasa bahagia, ragu-ragu aku membalas sepatah kata-pun untuknya. Kubetulkan posisi tidurku, kulihat lagi teks SMS yang hanya berisi kata ‘ka.. kaka…’. Selama berjam-jam aku tak mampu mengirim satu kata apapun untuk membalasnya. Galau pikiranku bercampur malu dan takut. Suara kendaraan disekiling kosan ku pun semakin sepi dan mulai tak lagi terdengar, malam juga semakin kelam, aku makin tenggelam dalam kalut. Semakin lama aku tidak mengantarkan pesan satu kata apapun unuk membalas SMS darinya, aku pikir pasti dia akan pulas tanpa memimpikan aku atau sekedar bertanya mengapa aku tak membalas SMS-nya.  Ah....” Aku menghela nafas dari mulut lebar-lebar dan ‘plung’ dua ekor cicak jatuh memenuhi mulutku. Aku berusaha menariknya, melemparkannya. Terkejut aku ternyata ekor betina tertinggal dikerongkonganku. Aku merasakan tiap gerakan ekornya menggelitik langit-langit kerongkonganku, mau muntah rasanya. Sang cicak jantan memandangiku lama-lama dengan perut kembang-kempis karena terlalu keras aku membantingnya seakan berkata, ”Andaikan engkau memakannya sekalipun, aku masih bisa mencintai namanya.”

Sepertinya malam ini aku hanya mampu mencoba mengrim SMS pada yang kucumbu hanya dalam angan-angan saja. Meskipun dahulu kata kasihnya pernah terdengar dalam hatiku melalui daun telingaku namun sepertinya itu tak berarti apa-apa,  aku tidak mau hanya memanfaatkan tangan terbuka dan hati yang mengangga darinya yang sudah lama terlewati. Aku pikir, aku harus berusaha membuat dia jatuh cinta lagi padaku. Aku ragu lagi..., kuraba sakuku masih dalam tanya, apa maksud filosofi “mengeradah dalam saku sebelum terbang ke atas angin” yang pernah ku pikirkan. Apa gadis itu memang teramat sulit ku raih karena begitu tingginya ia dari segala kerendahanku. Sering aku bertanya seperti itu, apakah aku hanya sekedar berfikir dalam ketidaktahuanku atau malah ingin menyaingi cara berfikirnya Aristoteles atau seorang Plato sebagai seorang filsuf. Sebenarnya aku di sekolah atau di kuliahan saat ini lebih terkenal seorang pendiam tapi memang dalam diamku ada sedikit berfikirnya ya meskipun hanya sekedar berfikir bagaimana cara membayar sisa kosan ku di bulan depan atau bagaimana aku mencari uang untuk makan minggu depan. Syariat agama tidak terlalu aku dalami aku lebih tertarik membaca kerendahan hati, ke-sosial masyarakatan, dan cara mencari hati yang tenang kaum sufistik. Aku salut pada Nabi Muhammad yang meminta seluruh sakratul maut umatnya yang pedihnya bagai kerbau dikuliti hidup-hidup itu diberikan kepadanya. Aku takjub dengan Rabiah Adawiyah yang rela tubuhnya dibesarkan sampai neraka penuh sesak oleh tubuhnya agar tidak ada lagi ruang bagi makhluk di neraka. Oh andaikan saja wakil rakyat meneladaninya meminta Allah agar seluruh penyakit dan rasa lapar rakyat miskin bangsa Indonesia dibebankan pada mereka.


Petir mulai menyambar, lolongan anjing tetangga juga mulai menyalak, jendela kamar kos ku ku kunci dengan engsel tuanya berdenyit menahan angin. Suasana malam itu sangat menakutkan mirip film horor yang kini marak di Negeri ini yang membuat penontonya harus berfikir dua kali untuk salat malam. Ini mirif seperti salah satu artikel yang pernah kubaca.  Sebuah kesan lebih baik tidak bertemu Allah daripada bertemu pocong III atau kuntilanak. Seandainya saja para sutradara dan produser itu membuat film tentang hantu di lokalisasi, bar, atau tempat maksiat lainnya. Sehingga para penghuninya ketakutan dan maksiat bisa diredam walaupun meninggalkan maksiat karena hantu bukan Allah toh pejabat juga seperti itu takut korupsi karena KPK bukan Allah, wakil rakyat kampanye atas nama rakyat bukan Allah karena rakyat tidak punya neraka. Kulihat teks dari balik jemari tangan yang lihat teks dari balik jemari tangan yang kututupkan wajahku, malu. Sambil kulihat langit-langit dan sekali lagi membaca SMS yang ku terima itu “ka.. kaka…”. satu, tiga, tujuh menit sampai pagi aku ragu untuk membalas SMS darinya Aku makin tak sabar menunggu pagi biar aku disibuki kegiatan kembali biar tak memikirkan SMS yang hanya tertulis sebuah “ka… kaka…” seandainya yang ku terima sebuah pertanyaan meski satu kata saja mungkin akan berbeda. Dingin malam membekukan tubuhku detakan jantungku berhenti, mataku melotot dan tubuhku sedikit kejang. Kulihat malaikat izrail dalam jawabannya hingga mempermainkan ruhku.

”Ya Tuhan...Jangan Kau perintahkan Israfilmu meniupkan terompetnya. Izinkanlah aku sampai mendengar pertanyaannya satu kata saja dari sebuah perasaannya sebentar saja setelah itu terserah Engkau saja. Please ya Tuhan jangan dikiamatkan dulu ya Tuhan, beneran lho Tuhan,” rengekku pada Allah ku yang sudah kuanggap paling sempurna dan tak ada yang lebih mengerti aku selain Kekuasaan dan Kasih Sayang-Nya…





0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*