Sabtu, 27 Maret 2010

Wali Nikah



Wali Nikah


A. Pendahuluan

Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang wanita dapat melakukan semua aqad, kecuali aqad nikah. Ada pertentangan dalam masalah ini, sebab ada ulama yang memperbolehakan seorang wanita untuk melakukan aqad nikah tanpa adanya seorang wali.


B. Pendapat Ulama

Menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, berpendapat bahwa nikah itu sah mutlaq, hanya wali mempunyai hak Sanggah. Dan perkawinan itu hanya dengan orang yang sekufu saja. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan juga Hambali.

Abu Daud, membedakan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali pada gadis dan tidak mensyaratkan pada janda. Ini berdasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “janda lebih berhak kepada dirinya sendiri daripada walinya. Dan gadis hendaknya diminta izinnya dalam perkara dirinya. Dan izinnya adalah diamnya.”

Mayoritas ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat, disebabkan oleh kebalighan dan kematangannya itu, berhak melakukan segala bentuk transaksi dan sebagainya, termasuk juga dalam persoalan perkawinan, baik dia perawan ataupun janda.


C. Dalil-dalil yang dipergunakan

Mereka yang mengatakan bahwa wali itu menjadi syarat sahnya pernikahan dengan dasar dalil:
“janganlah kamu menghala-halangi mereka (para isteri) unutk menikah kembali dengan bekas suami mereka.”

• Dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh az Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah ra berkata bahwa Nabi saw bersabda,
اَيُّمَا امْرَاَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ فَلَهَا اْلمَهْرُبِهَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَاِنِ اسْتَجَرُّوْا فَالسُلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَوَلِيَّ لَهُ.
“siapapun wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya (wanita), karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka bertengkar maka pengguasa menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunya wali.”

• Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
لاَ نِــكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ
“tidak sah nikah tanpa wali.”

• Dari Al-Qur’an surat an-Nur ayat 32:
“hendaklah kamu kawini orang-orang yang menjanda diantaramu dan orang-oarng yang saleh diantara hambamu yang laki-laki dan hambamu yang perempuan.”
Adapun golongan yang tidak mensyaratkan wali, mengemukakan dengan alasan:

• Q.s al-Baqarah 232:
“maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.”

• Hadis Nabi SAW:
الاَيْمُ اَحَقُّ بِنَفُسِهَا مِنُ وَلِيِّهَا
“orang lajang (ayim) lebih berhak atas diri mereka ketimbang walinya.”


D. Latar Belakang Perbedaan Pendapat Dan Analisis

Bagi golongan Hanafiyah, surat Al- Baqarah ayat 232 ini, pernikahan disandarkan kepada perempuan. Dan memang, pada pokoknya, suatu perbuatan disandarkan pada pelaku yang hakiki. Perempuan melakukan sendiri aqad jual beli dan aqad-aqad yang lain. Karena itu, dia berhak untuk melakukan sendiri aqad pernikahan karena tidak ada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lainnya. Seandainya para wali memiliki hak dalam aqad pernikahan, maka hak mereka tidak terhapuskan. Hak ini dapat digunakan ketika si perempuan melakukan tindakan buruk dan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya. Hal ini karena tindakannya yang buruk itu dapat menimpa aib kepada wali-walinya.

Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis yang mensyaratkan perwalian dalam pernikan berlaku bagi perempuan yang kapabilitasnya tidak sempurna, misalnya perempuan yang masih kecil atau yang gila.
Pengkhususan perkara yang umum dan pembatasannya kepada sebagian anggotanya berdasarkan qiyas diperbolehkan oleh banyak ahli ushul.

Adapun dalil-dalil secara logika maka mereka menggatakan sudah jelas bahwa akad nikah mempunyai tujuan-tujuan utama yang khusus bagi wanita, tidak seorang pun diantara para wali turut menyertainya, yaitu seperti halalnya istimta, wajib nafkah, tempat tinggal dan sebagainya menggenai hak-hak khusus yang diperoleh wanita denga sebab akad nikah. Disamping akad nikah mempunyai faedah-faedah bagi para wali yakni perbesanan yang kesempurnaanya tergantung pada pemeliharaan kufu.

Kemudian golongan Hanafiyah mengatakan bahwa wanita itu bertindak mengenai haknya sejati, sedang ia berwenang, karena dia berakal dan dapat membedakan. Oleh karena itu ia mempunyai hak bertindak mengenai harta dan memilih suami, dan diminta wali mengawinkannya hanya untuk tidak dikatakan kepadanya tidak punya malu.

Orang-orang yang mensyaratkan wali untuk melangsungkan pernikahan, mengambil dalil dari kitab, sunnah, dan logika. Adapun dalil dari kitab ialah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32 yang artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang shalih diantara laki-lakimu dan budak perempuanmu.”

Cara mengambil dalil yang pertama adalah bahwa khitbah pada ayat itu ditujukan kepada para wali maka ayat itu menunjukan bahwa perkawinan itu diserahkan oleh mereka (para wali) bukan kepada wanita. sedangkan Jalan mengambil dalil surat Al-Baqarah Ayat 232 yang berarti: “maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” Maksudnya ialah bahwa ayat itu melarang para wali mencegah wanita kawin dengan laki-laki yang mereka pilih sebagai calon suami, mereka mengatakan pencegahan hanya dapat terjadi terhadap orang yang tidak sekufu’ dengan wanita tersebut. Maka ayat itu menunjukan bahwa akad nikah berada dalam tangan wali, bukan dalam tangan wanita. Karena kalau wali itu tidak ada, buat apa disebutkan “meghalang-halangi.”

Kemudian didalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruqutni dan Baihaqi dari Abi Hurairah ra ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw: “wanita tidak dapat mengawinkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita pezinahlah yang mengawinkan dirinya.”

Adapun secara logika bahwa nikah mempunyai maksud yang bermacam-macam, sedang nikah itu adalah ikatan antara keluarga. Wanita dengan kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik lebih-lebih lagi wanita itu tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kemaslahatan maka untuk menghasilkan tujuan-tujuan ini dengan cara yang lebih sempurna, maka dilaranglah wanita mencampuri langsung akad nikah.


DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayyid . 2008. Fiqih sunnah. Jakarta:Pena Pundi Aksara.
Syaltout, Syaikh Mahmud dan Syaikh M. Ali As-Sayis. Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih. Tt. Jakarta:Bulan Bintang.
Kutipan makalah Fiqih Munakahat I

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*