Sabtu, 27 Maret 2010

penandatanganan surat putusan suatu perkara



BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Semua peradilan di Indonesia memiliki aturannya beracaranya masing-masing. Aturan beracara dalam tiap-tiap peradilan disebut juga dengan Hukum Acara. Dalam lingkungan Peradilan Agama, Hukum Acara juga tetap digunakan. Dan Hukum Acara yang digunakannya adalah Hukum Acara Perdata.

Yang dimaksud dengan Hukum acara perdata disini adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama. Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang. Ini sesuai dengan Pasal 54 UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalm lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, dan mengadili sertamenyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, menggunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis. Antara lain terdapat dalam Stbl. 1882 No. 152, Stbl. 1937 No. 116, Stb. 610 638 639. PP No. 45 tahun 1957, Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama No.B/1/737 tentang pelaksanaan PP No.45 tahun 1957, beberapa Keputusan Menteri Agama/Direktur Jendral.

Setelah adanya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, berarti Hukum Acara yang berlaku dalam Peradilan Agama menjadi jelas karena aturan beracra yang dahulu berserakan telah diunifikasikan, kecuali apa yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 54 UU No.7/1989, maka terdapat dua macam Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama, yaitu (1) Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan Rbg (Pasal 118 samapai dengan Pasal 245 HIR dan Pasal 142 sampai dengan Pasal 314 Rbg.), (2) Hukum Acara yang secara khusus diatur dalam UU No.7 /1989 Pasal 54 sampai dengan Pasal 91.

Dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 dalam UUNo.7/1989 diatur pula secara jelas semua proses ber-Acara di Peradilan Agama dari pemeriksaan perkara hingga pelaksanaan penetapan, putusan.

Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka Pengadilan Agama akan memberikan putusan atau penetapan dan mengeluarkan juga produk hukumnya. Dalam Pasal 60 Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya mengenal dua macam produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) penetapan. Maka dari itu semua produk hukum yang dikeluarkan Oleh Pengadilan Agama hanya dua, yaitu putusan untuk perkara yang bersifat gugatan dan penetapan bagi perkara yang bersifat permohonan.

Produk hukum tersebut harus dibuat secara tertulis. Bila diperhatikan secara ke4seluruhan suatu putusan , mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isis putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut:

a. Bagian kepala putusan
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara
c. Identitas pihak-pihak
d. Duduk perkaranya (bagian posita)
e. Tentang pertimbangan hukum
f. Dasar hukum
g. Diktum atau amar putusan
h. Bagian kaki putusan
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya

Dalam setiap putusan, minutnya harus ditandatangani. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 62 ayat 2 UU No.& tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan, “Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu diucapkan” serta Pasal 25 ayat 2 UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ini merupakan suatu ketentuan yang harus diikuti oleh Peradilan Agama dalam membuat dan mengeluarkan produk hukumnya. Tapi dalam perjalananya aturan yang dibuat oleh pemerintah tidak selalu dilaksankan dengan benar, begitu juga yang terjadi dengan Undang-undang ini, karena penulis menemukan salinan putusan yang pada bagian penutupnya tidak ada tanda tangan Hakim Anggota. Seharusnya kejadian ini tidak harus terjadi karena aturan sudah mengatur masalah ini secara jelas. Maka dari itu, untuk menjawab permasalahan ini penulis tergerak untuk meneliti ini sebagi sebuah skripsi. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengambil permasalhan ini sebagai skripsi dengan judul “Ketidaksertaan Hakim Anggota Dalam Pengesahan Putusan Majelis Hakim (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan).


B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan masalah dan menjaga agar tidak ada kesalahan dalam mencari jawaban. Maka penulis merumuskan masalah yang harus dipecahkan, dengan membuat pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. apa akibat hukumnya, bila para Hakim Anggota tidak ikut dalam penandatanganan surat putusan suatu perkara?
2. mengapa para Hakim Anggota tidak ikut menandatangani surat putusan tersebut?
3. bagaimana sikap pengadilan terhadap permasalahan seperti ini?


C. Tujuan Dan Manfaat Penilitian

Tujuan penelitian ini adalah:
1. untuk mengetahui akibat hukumnya terhadap suatu perkara, bila para hakim anggota tidak ikut penandatanganan surat putusannya tersebut.
2. untuk mengetahui alasan para hakim anggota tidak ikut penandatanganan surat putusannya tersebut.
3. untuk mengetahui sikap Pengadilan Agama dalam menghadapi masalah ini.

Manfaat penelitian ini adalah:
1. manfaat akademis
penelitian ini diharapkan, mampu memberikan kontribusi yang positif bagi para pembaca dan juga para mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum sebagai bagian dari peningkatan intelektual.
2. manfaat praktis
untuk memberikan masukan tambahan serta menambah wawasan bagi para mahasiswa yang akan bergerak sebagai praktisi hukum nantinya.


D. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif yang lebih menekankan pada penggambaran secara mendalam terhadap kasus yang diteliti. Maka dengan metode ini diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih komprehensif sehingga kita tidak hanya mengetahui isi dari penelitian yang dibuat oleh penulis juga bagaimana semua itu diatur dan dikemas sehingga bisa memecahkan problem-problem yang sedang dihadapi dalam suatu lingkungan. Dan berdasarkan tujuannya, penelitian ini menggunakan metode diskriptif yaitu suatu metode yang memaparkan suatu karakteristik tertentu dari suatu fenomena dan penelitian ini hanya bersifat informative tanpa adanya kritik.

2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan tulisan ini, penulis menggunakan data-data sebagai berikut:
a) Sumber primer/data primer yaitu yang dikumpulkan secara langsung dari sumber asli atau pertama. Instrument yang digunakan adalah kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang sumber datanya diambil dari tulisan-tulisan (sumber bacaan) yang telah diterbitkan. Diantara data-data liberal yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka khususnya yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. Misalnya, buku-buku, artikel, hasil penelitian dan lain-lain. Dan juga melalui observasi. Observasi merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan pengawasan, peninjauan, penyelidikan dan riset. Penelitian yang dilakukan dalam observasi kali ini adalah dengan observasi langsung yaitu dengan melakukan pengamatan langsung untuk memperoleh data yang diperlukan. Selain itu data primer yang digunakan menggunakan Wawancara Mendalam (Depth Interview) dengan kalangan terkait yang mendukung penelitian seperti pakar, akademis, komponen masyarakat terkait, dan pihak lain yang dianggap relevan.
b) Sumber sekunder/data sekunder yaitu hanya bersifat rujukan yang bersumber dari penelitian orang lain yang dibuat untuk maksud yang berbeda sehingga memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan Undang-undang, hasil-hasil penelitian dll.
c) Sumber tertier/dimana data tertier yaitu yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hokum primer dan sekunder seperti al-Quran, kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku metode penelitian karangan Dr. H. Yayan Sopyan, MA untuk mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009.


E. Sistematika Penulisan

Untuk member gambaran yang jelas tentang hal-hal yang akan dibahas dalm penulisan ini, mkaa penulis membagi sitematika penulisan ke dalam lima bab. Dimana masing-masing bab akan membahas hal-hal sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : LANDASAN TEORI

BAB III : PERAN HAKIM ANGGOTA DALAM PUTUSAN

BAB IV : ANALISIS PERMASALAHAN

BAB V : PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA


Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rasyid, chatib dan Syaifudin hukum acara perdata dalam teori dan praktek pada peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009.


Sulaikin lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.

UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*