Sabtu, 27 Maret 2010

kekuasaan eksekutif atau SULTHAH TANFIDZIYYAH



KEKUASAAN EKSEKUTIF (SULTHAH TANFIDZIYYAH)
Konsep Imamah/Imam, Khilafah/Khalifah, Imarah/Amir, Wizarah/Waazir

PENDAHULUAN

Lembaga Kepala Negara dan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan Negara menurut umat islam adalah wajib menurut ijma’. akan tetapi dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat?

Kemudian salah satu diskursus penting yang tidak pernah kering diperbincangkan banyak ulama adalah: bagaimana bentuk pemerintahan dalam Islam? Jawaban dari pertanyaan ini tidaklah tunggal. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan pendapat berbeda-beda. Ini menunjukkan betapa kaya dan beragam khazanah keilmuan yang dimiliki dunia Islam.

Di antara banyak ulama yang mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya “al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat). Dalam kitabnya ini, Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa tujuan kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang tanpanya agama tidak sempurna. Bahkan, lanjut Ibnu Taymiyah, agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan). Dari sini bisa dipahami bahwa kekuasaan (baca: negara) dalam pandangan Ibnu Taymiyah semacam alat/eksekutor untuk memuluskan kepentingan dan tujuam agama, mulai dari persoalan-persoalan privat, seperti salat, haji, zakat, dsb, hingga urusan publik, seperti hudud, pajak, hingga menyangkut pertahanan dan keamanan negara (Jihad).

Ibnu Taymiyah masih belum mengenal pembagian kekuasaan dalam negara, seperti yang ditawarkan Jhon Locke dan Montesque yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bagian: legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyyah), eksekutif (al-Sulthah al-tanfidziyyah), dan yudikatif (al-sulthah al-qadlaiyyah). Model pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terpusatnya kekuasaan hanya pada satu orang. Ia hanya mengenal seorang pemimpin yang memiliki otoritas tunggal, seperti yang terjadi pada masanya.

Namun pada makalah ini akan dibahas khusus kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyyah) dan beberapa bentuk kekuasaan eksekutif yaitu konsep Imamah/Imam, Khilafah/Khalifah, Imarah/Amir, Dan Wizarah/Wazir.


PEMBAHASAN

A. Konsep Imamah/Imam

Konsep Imamah bermula dari kata umat, jamaknya umam yang artinya umat, rakyat atau bangsa. Dalam bahasa inggrisnya disebut nation, people. Dalam kamus Munawwir, ia bermakna; imam atau pemimpin. Dari akar kata itulah muncul perkataan imamah.

Makna Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu.

Kami tunjuk mereka sebagai Imam yang memberikan panduan dengan izin Kami. (QS. al-Anbiyâ': 73)
Di tempat lain dikatakan:

Imam-imam yang mengajak orang ke neraka. (QS. al-Qashash: 41)

Mengenai Fir'aun, Al-Qur'an menggunakan frase yang mengandung arti yang sama dengan arti imam atau pemimpin. Dikatakan:

Pada Hari Pengadilan dia akan membawa kaumnya ke api neraka. (QS. Hûd: 98)

Dengan demikian, secara harfiah arti imam adalah pemimpin.

Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepemimpinan politik dan spiritual dalam khilafah yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali. Keluarga Nabi menghendaki dari keluarganya yakni Ali bin Abi Thalib. Namun di saat mereka sibuk mengurus jenazah Nabi, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah, sehingga mereka tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.

Kerana itu, keluarga Nabi tersebut tidak segera berbaiat kepada Abu Bakar. Sungguhpun begitu, pada akhirnya mereka tidak boleh tidak membai’atnya juga.

Di sinilah awal munculnya benih-benih perbedaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah. Kelompok sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih. Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah. Ali bin Abi Thalib yang menjabat sekitar 17 Maret 599 M-28 Februari 661 M adalah khalifah yang keempat dan terakhir bagi kelompok sunni, tapi yang pertama bagi Syi’ah.

Syi’ah sekarang ini, khususnya aliran istnaa-asyariyyah banyak berkembang di Iran, Iraq dan Lebanon.
Setelah Imam yang kedua belas, konsep kepemimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga menghasilkan revolusi 1979 di Iran.

Syi’ah 12 berpendapat bahwa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan dilanjutkan oleh para sarjana, mujtahid, dan ayatullah sehingga sang imam muncul kembali.

Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep imamah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer Imamah di identikkan dengan lembaga Kepresidenan, dan Imam disejajarkan dengan Presiden atau Kepala Negara.

Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”.

Menurutnya pelembagaan Imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan :

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).

Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, Imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Bagi al-Mawardi, kekuasaan kepala Negara berasal dari :
1. Pemilihan oleh (para) pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl al-hall wa-‘aqd (semacam MPR) maupun ahl al-Syura atau tim formatur kecil. Cara ini disebut dengan sistem kontrak sosial, yang melahirkan kewajiban dan hak kepala negara disatu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di pihak lain. Teori al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pandangan Syi’ah yang menyatakan bahwa jabatan Imam ditetapkan atas dasar nash (penetapan oleh Tuhan dan Nabi) atau penunjukan langsung oleh Imam sebelumnya dari keluarga ahl al-bayt.

Pemilihan imam dipandang al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fadhu kifayah), seperti mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim. Konsep membentuk lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak yaitu imam (ahl-imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl al-hall wa’l-aqd (orang yang mengurai atau mengikat/lembaga pemilih). Menurutnya pemilih atau lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa (‘adalah), mempunyai pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatannya, serta sehat pikiran dan kebijakan (kearifan), sehingga mampu memilih kepentingan orang banyak. Disamping itu masalah pemilihan imam, ahl al-hall wa’l-aqd juga harus mempertimbangkan, kemungkinan calon yang mereka pilih memperoleh persetujuan sebagian besar rakyat. Setelah ahl ikhtiyar memperoleh keputusan mengenai calon imam dan ia wajib menerima kedudukan itu, maka menjadi tugas dan kewajiban rakyat untuk menyampaikan bay’ah dan mematuhinya. Singkatnya fungsi ahl-akhtiyar adalah mengidentifikasi orang yang akan di angkat sebagai imam.

2. Penunjukan kepala Negara sebelumnya, yang disebut suksesi yang didasarkan pada suksesi Umar bi al-Khattab dari Abu Bakar). Namun dalam pandangan al-Mawardi kepala Negara tidak kebal dari pemecatan dan tidak suci.

Al-Mawardi membolehkan suksesi tanpa pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya. Dalam hal ini disebutkannya tiga pendapat, pertama bahwa seorang imam harus berkonsultasi dengan ahl al-ikhtiyar, meskipun adalah ayah atau anak laki-lakinya. Kedua, membatasi konsultasi pada kasus dimana sang calon adalah putra imam. Ketiga, tidak mengharuskan imam untuk berkonsultasi dalam kasus kedua tersbut.

Menurut al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi/memiliki 7 (tujuh) persyaratan :
1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas;
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah (otoriti) Islam dan melaksanakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Syarat terakhir tidak dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunan. Bahkan nabi Muhammad sendiri oleh diakui kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat. Sementara dua penyebab gugurnya kontrak antara imam dan rakyat meskipun masih menjabat menurut al-Mawardi adalah jika imam berlakuk tidak adil dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal itu terjadi maka harus dilakukan pemilihan imam baru dengan kontrak yang baru pula.

Doktrin al-Asy’ari membolehkan adanya dua imam pada waktu bersamaan asal wilayah kekuasaanya terpisah jauh. Namun al-Mawardi dengan tegas menolak pendapat ini, didasarkan pada argument keagamaan, sebab bay’ah hanya bias diberikan kepada satu orang pada waktu yang sama. Jika kemudian dilakukan bay’ah terhadap orang lain, maka kontra yang kedua menjadi batal, sebagaimana berlaku dalam pernikahan. Ketidaksetujuan ini didasarkan pertimbangan politik, dimana masa itu Abbasiyah menghadapi tantangan dari dinasti Fatimiyah yang berkuasa di yang bermadzhab Syi’ah Ismailiyah.

Tugas dan tanggungjawab seorang Imam menurut al-Mawardi :
1. Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan menjadi konsensus generasi Islam awal;
2. Melaksanakan hukum (peradilan) dikalangan masyarakat dan melerai perteng-karan antara dua kelompok yang bertikai;
3. Memelihata kehidupan perekonomian masyarakat, sehingga rakyat memiliki rasa aman atas diri dan hartanya;
4. Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan;
5. Membentengi perbatasan Negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh;
6. Melakukan jihad melawan musuh, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau ahl al-dhimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam)
7. Mengumpulkan fay’ (rampasan dari musuh bukan perang) dan zakat baik yang wajib maupun menurut syari’ah maupun yang wajib menurut ijtihad.
8. Mengatur kekayaan Negara (taqdir al-ataya) yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional)
9. Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang bias dipercaya;
10. Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan uma dan memelihara agama.

Selama seorang Imam mampu melaksanakan tanggungjawab dan kewa-jibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinnya. Tetapi jika tidak, maka sangat memungkin terjadinya pemberhentian imam dari jabatannya.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa di bawah kekuasaan imam ada empat macam (lembaga) keluasaan Negara dengan tugas masing-mamsing berbeda, yakni :

1. Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas umum/para menteri (wazir), tugas mereka mewakili imam dalam semua urusan tanpa pengecualian.
2. Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas khusus/para pemimpin wilayah (amir).
3. Lembaga yang kekuasaannya khusus seperti para hakim kepala (qadi al-qudat), pemimpin tentara, penjaga keamanan wilayah perbatasan, direktorat dan penanggungjawab pajak dan penanggung jawab zakat. Tugas mereka masing-masing terbatas pada investigasi khusus dalam semua tugas.
4. Lembaga yang kekuasaanya khusus dalam tugas-tugas khusus, seperti hakim daerah, pengawas pajak daerah dan komandan militer daerah.


B. Konsep Khilafah/Khalifah

1. Pengertian Khilafah dan Khalifah

Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul SAW. dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin.

Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila :

 Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan).
 Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
 Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
 Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
 Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam Al-Mawardi menyebutkan dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek Imamah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah (kepemimpinan Nabi Saw.) dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.

2. Syarat-Syarat Khalifah

Karena Khalifah itu adalah pemimpin tertinggi umat Islam, bukan hanya pemimpin kelompok atau jamaah umat Islam tertentu, dan bertanggung jawab atas tegaknya ajaran Islam dan ururusan duniawi umat Islam, maka para ulama, baik salaf (generasi awal Islam) maupun khalaf (generasi setelahnya), telah menyepakati bahwa seorang Khalifah itu harus memiliki syarat atau kriteria yang sangat ketat. Syarat atau kriteria yang mereka jelaskan itu berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, Sunnah Rasul Saw. dan juga praktek sebagian Sahabat, khususnya Khulafaurrasyidin setelah Rasul Saw, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Menurut Syekh Muhammad Al-Hasan Addud Asy-Syangqiti, paling tidak ada sepuluh syarat atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang Khalifah :

1. Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan kebersihan akidahnya.
2. Laki-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul Saw bersabda : Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka menjadikan wanita sebagai pemimpin.
3. Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin dirinya dan orang lain. Sedangkan budak tidak bebas memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
4. Dewasa. Tidak sah jika anak-anak, kerena anak-anak itu belum mampu memahami dan memenej permasalahan.
5. Sampai ke derajat Mujtahid. Kerena orang yang bodoh atau berilmu karena ikut-ikutan (taklid), tidak sah kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak (konsensus) ulama bahwa tidak sah kepemimpinan tertinggi umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang Islam.
6. Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah menjelaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa janji kepemimpinan umat itu tidak (sah) bagi orang-orang yang zalim.
7. Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang disyari’atkan seperti menegakkan agama Allah di atas muka bumi, menegakkan keadilan, menolong orang-orang yang yang dizalimi, memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir, khususnya yang memerangi umat Islam dan berbagai tugas besar lainnya. Orang yang tidak mampu dan tidak kuat mengemban amanah tersebut tidak boleh diangkat menjadi Khalifah.
Sebab itu, Imam Ibnu Badran, rahimahullah, menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin Muslim di negeri-negeri Islam yang menerapkan sistem kafir atau musyrik, tidaklah dianggap sebagai pemimpin umat Islam karena mereka tidak mampu memerangi musuh dan tidak pula mampu menegakkan syar’ait Islam dan bahkan tidak mampu melindungi orang-orang yang dizalimi dan seterusnya, kendatipun mereka secara formal memegang kendali kekuasaan seperti raja tau presiden. Lalu Ibnu Badran menjelaskan : Mana mungkin orang-orang seperti itu menjadi Khalifah, sedangkan mereka dalam tekanan Taghut (Sistem Jahiliyah) dalam semua aspek kehidupan?
Sedangkan para pemimpin gerakan dakwah yang ada sekarang hanya sebatas pemimpin kelompok-kelompok atau jamaah-jamaah umat Islam, tidak sebagai pemimpin tertinggi umat Islam yang mengharuskan taat fil mansyat wal makrah ( dalam situasi mudah dan situasi sulit), kendati digelari dengan Khalifah.
8. Sehat penglihatan, pendengaran dan lidahnya dan tidak lemah fisiknya. Orang yang cacat fisik atau lemah fisik tidak sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin orang seperti itu mampu menjalankan tugas besar untu kemaslahatan agama dan umatnya? Untuk dirinya saja memerlukan bantuan orang lain.
9. Pemberani. Orang-orang pengecut tidak sah jadi Khalifah. Bagaimana mungkin orang pengecut itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam dan umat Islam? Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat beliau berhaji : Dulu aku adalah pengembala onta bagi Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku dipukuli, ia berkata : Anda telah menelantarkan (onta-onta) itu. Jika aku tergesa-gesa, ia pukul aku dan berkata : Anda tidak menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah bebas merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun yang aku takuti selain Allah.
10. Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin Nadhir, Bin Kinanah, Bin Khuzai’ah. Para ulama sepakat, syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syarat-sayarat sebelumhya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara umat ini yang memenuhi persayaratan, maka ia adalah yang paling berhak menjadi Khalifah.


3. Sistem Pemilihan Khalifah
Dalam sejarah umat Islam, khususnya sejak masa Khulafaurrasyidin sepeninggalan sistem Nubuwah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II yang berpusat di Istanbul, Turkey tahun 1924, maka terdapat tiga sistem pemilihan Khalifah.

Pertama, dengan sistem Wilayatul ‘Ahd (penunjukan Khalifah sebelumnya), seperti yang terjadi pada Umar Ibnul Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar. Kedua, dengan sistem syura, sebagaimana yang terjadi pada Khalifah Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan diangkat oleh Majlis Syura. Sedangkan anggota Majlis Syura itu haruslah orang-orang yang shaleh, faqih, wara’ (menjaga diri dari syubhat) dan berbagai sifat mulia lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan Khalifah itu tidak dibenarkan dengan cara demokrasi yang memberikan hak suara yang sama antara seorang ulama dan orang jahil, yang shaleh dengan penjahat dan seterusnya. Baik sistem pertama ataupun sistem kedua, persyaratan seorang Khalifah haruslah terpenuhi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, setelah sang Khalifah terpilih, maka umat wajib berbai’ah kepadanya. Ketiga, dengan sistem kudeta (kekuatan) atau warisan, seperti yang terjadi pada sebagian Khalifah di zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Sistem ini jelas tidak sah karena bertentangan dengan banyak dalil Syar’i dan praktek Khulafaurrasyidin.

4. Tugas dan Kewajiban Khalifah
Sesungguhnya tugas dan kewajiban khalifah itu sangat berat. Wilayah kepemimpinannya bukan untuk sekelompok umat Islam tertentu, akan tetapi mecakup seluruh umat Islam sedunia. Cakupan kepemimpinannya bukan hanya pada urusan tertentu, seperti ibadah atau mu’amalah saja, akan tetapi mencakup penegakan semua sistem agama atau syari’ah dan managemen urusan duniawi umat. Tanggung jawabnya bukan hanya terhadap urusan dunia, akan tetpi mencakup urusan akhirat. Tugasnya bukan sebatas menjaga keamanan dalam negeri, akan tetapi juga mencakup hubungan luar negeri yang dapat melindungi umat Islam minoritas yang tinggal di negeri-negeri kafir. Kewajibannya bukan hanya sebatas memakmurkan dan membangun bumi negeri-negeri Islam, akan tetapi juga harus mampu meberikan rahmat bagi negeri-negeri non Muslim (rahmatan lil ‘alamin). Secara umum, tugas Khalifah itu ialah :

1. Tamkin Dinillah (menegakkan agama Allah) yang telah diridhai-Nya dengan menjadikannya sistem hidup dan perundangan-undangan dalam semua aspek kehidupan.
2. Menciptakan keamanan bagi umat Islam dalam menjalankan agama Islam dari ancaman orang-orang kafir, baik yang berada dalam negeri Islam maupun yang di luar negeri Islam.
3. Menegakkan sistem ibadah dan menjauhi sistem dan perbuatan syirik (QS.Annur : 55).
4. Menerapkan undang-undang yang ada dalam Al-Qur’an, termasuk Sunnah Rasul Saw. dengan Haq dan adil, kendati terhadap diri, keluarga dan orang-orang terdekat sekalipun. (QS. Annisa’ : 135, Al-Maidah : 8 & 48, Shad : 22 & 26)
5. Berjihad di jalan Allah.


C. Konsep Imarah/Amir
Imarah merupakan mashdar dari amira , yang berarti keamiraan atau pemerintahan. Kata Amir bermakna pemimpin. Istilah amir di masa Rasul dan Khulafaurrasyidin digunakan sebagai gelar bagi penguasa daerah atau gubernur, juga sebagai komandan militer (amir al-jaisy), serta bagi jabatan2 penting, seperti Amirul Mukminin, Amirul Muslimin, Amir al-Umara’. Sedangkan dalam kamus inggris diartikan dengan “orang yang memerintah, komandan, kepala dan raja.” Atas dasar makana-makna tersebut, amir didefinisikan dengan “seorang penguasa yang melaksanakan urusan.”

Secara resmi penggunaan kata Amir yg berarti pemimpin komunitas muslim muncul dalam pertemuan di balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Gelar Amirul Mukminin disematkan pertama kali kepada khalifah Umar bin Al-Khattab. Pada era Abbasiyah banyak Amir membatasi hubungan dengan pemerintah pusat (khalifah) dan mendirikan dinasti-dinasti kecil yg berdaulat, seperti dinasti Thulun.

D. Wizarah/Wazir
Menurut al-Mawardi, sebutan wizarah bisa berasal dari kata wizr artinya beban, karena dia mengambil alih peran beban rajanya, atau wazar berarti tempat mengadu, kembali (malja’) karena raja minta pendapat atau bantuan dari wazir, atau azar berarti punggung, karena raja memperkuat posisinya dengan wazir seperti badan dengan punggungnya.

Konsep Wizarah sesungguhnya juga terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan, bahwa Nabi Musa mempunyai wazir bernama Harun yang membantu menangani urusan-urusannya. Jika dalam kenabian boleh, maka kaitannya dengan Imamah juga boleh. Menurutnya ada dua macam wizarah (kementrian) yakni :

1. Wizarat al-Tafwidh (kementrian delegatori)
Adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun maupun mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan (mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wazir, kecuali tiga hal ; 1) penentuan putra mahkota, 2) imam boleh mengundurkan diri dari jabatan imamah, 3) imam berwenang mencopot orang yang ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab (keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus perang dan perpajakan.

2. Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
Adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara. Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak dilibatkan ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka.
Posisinya lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.

Adapun perbedaan antara wizarah tanfidz dan wizara tafwidl adalh sebagai berikut:
1. Wazir tafwidh boleh ikut campur dalm masalah peradilan, sedangkan wizarah tanfidz tidak boleh.
2. Wazir tafwidh boleh mengangkat gubernur sedangkan wazir tanfidz tidak boleh
3. Wazir tafwidh bisa menjadi panglma tertinggi dan mengummkan perang sedangkan wizarah tanfidz tidak mempunyai kekuasaan sepeti itu.
4. Wazir tafwidh mempunyai wewenang menguasai harta negara dan mengeluarkan dari baitul mal, sedangkan wazir tanfidz tidak memepunyai wewenang seperti itu.
Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz.
Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni :
1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka;
2. Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at;
3. Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
Diluar itu baik Wazir tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama. Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.


KESIMPULAN
Dalam kesimpulan ini, pemakalah berpendapat bahwa adanya pemimpin dalam suatu Negara merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Karena untuk mengelola suatu Negara, dibutuhkanlah seorang pemimpin yang bisa memutuskan apa yang terbaik bagi negerinya. Karena tidak mungkin sutau Negara bisa berjalan dengan baik tanpa adanya seorang kepala Negara atau pemimpin.
Keberadaan kepala Negara itu sangat diperlikan tidak hanya unutk menjamin keselamatan jiwa dan hak milik rakyat serta terpenuhinya kebutuhan materi mereka saja, tetapi lebih dari itu juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan hukum Allah. Karena memandang begitu pentingnya eksistensi seorang kepala Negara, ibnu taimiyah menyatakan sebagai berikut:
“60 tahun di bawah pemerintahan imam (kepala Negara) yang zalim (tirani), lebih baik daripada satu malam tanpa kepala Negara”









Daftar pustaka
Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta:Erlangga.
http://hlevt.blogspot.com/2008/09/konsep-politik-al-mawardi.html

Fiqh siyasah implementasi kemashlahatan umat

Fiqih siyasah ajaran

http://www.al-shia.org/html/id/books/ensan-jahan/32.htm


KEKUASAAN EKSEKUTIF (SULTHAH TANFIDZIYYAH)
Konsep Imamah/Imam, Khilafah/Khalifah, Imarah/Amir, Wizarah/Waazir


Dosen :
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Masyrofah, S.Ag, M.Si

Disusun Oleh :
Siti Rochmah
Muhammad Faisal
Hambali

PROGRAM STUDI AHWAL AS-SYAKHSIYYAH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
1431 H/2010 M
JAKARTA

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*