ISLAM, NEGARA DAN HUKUM: QADLA
Islam adalah agama penutup dari semua agama-agama yang diturunkan berdasarkan wahyu ilahi (al-Qur’an) kepada Nabi saw, dalam beberapa proses diantaranya, melalui malaikat Jibril untuk diajarkan kepada umat manusia sebagai way of life (pedoman hidup) dan juga Islam adalah agama yang dirahmati oleh Allah swt serta merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Islam merupakan agama yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh dari semua aspeknya, baik itu aspek ibadah, sosial, politik, kesehatan serta akhlak, dan juga hal-hal lainnya, termasuk juga mengenai negara dan hukum.
A. Hubungan Islam Dengan Negara.
Banyak orang menganggap bahwa agama tak seharusnya mencampuri urusan kemanusian seperti dalam bidang ekonomi, kesehatan, menikah termasuk juga politik. Mereka menganggap agama hanyalah agama, tidak lebih dari itu.
Begitu pula pemikiran yang banyak dianut oleh para politikus yang menjalankan negeri serta dalam menetapkan undang-undang.
Sebelum kita menjelaskan hubungan Islam dengan Negara terlebih dahulu kita pahami apa pengertian dari Negara serta Islam.
Menurut Prof. Muhammad Adnan, arti kata Islam ialah:
a. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALIMA, artinya selamat.
b. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALI, artinya damai, rukun, bersatu.
c. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTASLAMA, artinya tunduk, dan taat kepada perintah Allah swt dengan memakai dasar petunjuk-petunjuk serta bimbingan ajaran Rasulullah saw.
d. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTLASAMA, artinya tulus dan ikhlas.
e. Islam jika diambil dari urutan asal kata SULLAMI, artinya tangga untuk mencapai keluhuran derajat lahir dan batin.
Sedangkan pengertian Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Islam tidak mengenal kata pemisahan didalamnya, karena Islam bersifat menyeluruh. Seluruh tingkah laku manusia diatur baik secara langsung atau tidak langsung, begitupula dalam bernegara atau berpolitik.
Masalah hubungan politik antara Islam dan negara sering kali muncul dari pandangan-pandangan tertentu yang dirumuskan dengan cara sedemikian rupa sehingga Islam disejajarkan secara konfrotatif dengan Negara. Mereka menggunakan dalil al-Qur’an, sunnah, akal, dan logika. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil adalah,
• surat Al-Israa ayat 54, yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.”
• surat Al-Israa ayat 105, yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutusmu meainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”
• Asy-Syura ayat 45, yang berarti, “Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”
• Al-Ghasyiyah ayat 21-22, yang berarti, “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”
Dalam ayat ini memang tidak dikatan bahwa Rasulullah saw merupakn kepala negara untuk suatu negeri atau kaum dia hanyalah seorang Nabi.
Tapi ada kelompok yang menolak dan adapula kelompok yang sepakat bahwa Islam juga mengajarkan hal yang bersifat keduniawian.
Dalil yang menjadi sandarannya adalah al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77, yang berarti, “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.”
Islam dibandingkan dengan agama-agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling mudah menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir dimana-mana” atau (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana” kehadira Islam selalu memberikan panduan moral yanag benar bagi tindakan manusia.
Memang Islam tidak mengatur mengenai kenegaraan, tapi yang diatur oleh Islam ialah dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama manusia masih bersifat manusia, baik ia manusia zaman onta ataupun manusia zaman kapal terbang, atau manusia zaman kapal stratosfer dan lain-lain nanti.
Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan.
Keduanya, ibarat dua keping mata uang atau bagaikan dua saudara kembar
(tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.
Di tambah lagi pendapat dari R. Strothman mengatakan, ‘Islam adalah fenomena agama politik. Sebab pendirinya adalah seorang nabi, dan dia seorang politisi yang ahli hukum, atau seorang negarawan.’ Dari pernyataan tersebut kita pahami bahwa Islam bukan hanya agama yang mengajarkan ibadah saja tapi juga bagaimana bernegara.
Banyak Negara-negara yang memiliki peduduk muslim mayoritas kesulitan dalam menyatukan Islam dengan Negara. Di negara-negara tersebut, hubungan politik antara Islam ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan. Bahkan di Indonesia sendiripun demikian.
Di Indonesia, konsep penyatuan Islam dengan Negara sudah lama dimunculkan dari sejak awal kemerdekaan, tapi konsep ini dimentahkan dengan alasan akan dapat mengganggu persatuan. Mulai dari situlah, timbul sikap yang saling mencurigai antara Islam dengan negara. Yang lebih menyedihkan lagi, Islam politik sering kali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi Pancasila.
Begitupun sebaliknya, sikap yang ditunjukan oleh para aktivis Islam. Mereka mencurigai bahwa Negara tidak akan menjamin hak-hak mereka dalam beribadah dan sebagainya. Tapi dengan seiring berjalannya waktu, pola hubungan Islam dengan Negara di Indonesia tidak lagi saling curiga mencurigai ini ditandai dengan mulai adanya undang-undang mengenai perkawinan, wakaf, zakat, Peradilan Agama, serta Perbankan Syariah.
B. Hukum Islam.
Telah kita ketahui bersama bahwasanya hukum Islam itu adalah hukum yang langsung dari Allah swt dan bukan ciptaan manusia, yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan dan disampaikannya kepada Nabi saw berupa ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya mengatur tentang berbagai macam aspek-aspek ketuhanan dan aspek kehidupan berupa hukum.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah suatu agama yang sangat menonjolkan aspek hukum dalam ajarannya.
Sumber hukum Islam melipuiti al-Qur’an, hadis Nabi saw, ijtihad atau ra’yu, qias dan ijma’ (ijmali).
Hukum Islam dapat berubah sesuai dengan zaman atau mengikuti perkembangan zaman, bukan al-Qur’an yang berubah isinya karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman melainan berubah maknanya menjadi lebih luas, oleh karena itu maka diambillah jalan qiyas menyesuaikan dengan hukum yng sudah ada dalam al-Qur’an.
Islam bertujuan sebagai agama yang Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur, yaitu menciptakan masyarakat yang baik, adil dan makmur, serta menciptakan jiwa penduduknya yang memegang teguh nilai-nilai hukum dan spiritual yang sangat tinggi. Hukum Islam adalah realisasi dari tujuan atau asil pokok utamanya. Oleh karena itu hukum Islam mempunyai beberapa tujuan yang biasa disebut Makhasidu Khamsah (tujuan yang lima) yakni:
1. Menyelamatkan jiwa,
2. Menyelamatkan akal,
3. Menyelamatkan agama,
4. Menyelamatkan harta benda dan,
5. Menyelamatkan, mendamaikan dan menentramkan keluarga.
C. Peradilan Dalam Islam.
Kata peradilan berasal dari kata adil, sebagai terjemahan dari qadla yang berarti memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan. Arti qadla yang dimaksud adapula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan.
Kata peradilan menurut istilah ahli fiqh adalah:
• Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan permohonan keadilan)
• Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya/mentaatinya.
Perlu diingat bahwa peradilan Islam merupakan salah satu kekuasaan utama dalam negara, oleh sebab itu nash-nash syariat Islam sangat konsen terhadap hal tersebut dan mendapat perhatian yang lebih oleh Nabi Muhammad saw. secara langsung sebagaimana yang tampak dalam pemerintahannya kepada sebagian sahabat untuk menanggani masalah-masalah didaerah-daerah yang ditentukan. Demikian juga, pada khalifah sepeninggal Rasul saw. yang sangat memperhatikan dan mengawasi peradilan,, seperti tampak dalam pengangkatan hakim yang menanggani urusannya.
Telah kita ketahui bersama dalam kitab-kitab fiqh dan sejarah Islam, bahwasanya peradilan dalam Islam merupakan suatu tema yang sangat penting. Tema ini mendapat perhatian para fuqaha dalam setiap masa dengan menulis dalam banyak karya fiqh mereka yang umum. Bahkan diantara mereka terdapat yang memperhatikan masalah ini secara khusus dan menulisnya kedalam buku yang tersendiri. Karena system peradilan Islam merupakan bagian dari warisan dunia.
Sejarah Peradilan Dalam Islam.
Para Nabi yang menjadi hakim sebelum Islam. Diantranya, Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman as merupakan dua hakim pertama dalam sejarah kemanusiaan, dikarenakan Nabi Dawud sebagai raja yang menggani keputusan perkara diantara manusia dan menggatrur urusan pemerintahan.
Peradilan pada masa nabi Muhammad saw, beliau adalah orang yang pertama yag menjabat sebagai hakim dalam Islam, dikarenakan beliau diperintahkan mendakwah agama, dan diperintahkan pula untuk menetapkan hukum diantara manusia terhadap apa yang mereka perselisihkan. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda: “Jika hakim duduk untuk memutuskan hukum maka Allah swt mengutus kepadanya dua malaikat untuk menujukinya kepada jalan yang benar. Jika adil maka keduanya berdiri, dan jika dia menyeleweng maka keduanya naik dan meninggalkannya.”
Dari hadits yang telah diriwayatkan diatas dapat dipahami bahwa tugas hakim tidaklah mudah karena harus memecahkan masalah secara adil. Nabi saw sendiri tidak mengangkat dirinya sebagai hakim atau penengah tapi orang-orang yang yang berselisihlah yang mendatanginya untuk dimintai putusan atau jawaban dari beliau. Contonhya, Pada masa nabi saw datanglah dua orang yang berselisih untuk meminta keputusan hukum, maka Nabi saw berkata: ‘Sesungguhnya saya adalah manusia sepeti kamu, dan kamu berslisih (untuk meminta keputusan) kepadaku. Barangkali sebagian kamu lebih cerdas dengan hujjahnya daripada sebagian yang lain. Maka barang siapa yang saya putuskan kepadanya dengan sesuatu yang bukan haknya, sesungguhnya demikian itu adalah potongan dari api neraka. Maka hendaklah ia menggambilnya atau meninggalkannya.’
Sumber hukum pada masa Nabi saw dalam menetapkan hukum adalah dengan cara merujuk dari al-Qur’an atau petunjuk Allah swt. Beliau memutuskan hukum diantara orang-orang yang berselisih dengan kesederhanaan, terbebas dari keangkuhan para hakim, dan disertai dengan bukti lahir, sedangkan Allah yang menguasai batin.
Peradilan ini terus berkembang mengikuti masa, dari khulafaur Rasyidin hingga masa daulah Utsmaniyah. Walaupun tak dipungkiri juga bahwa peradilan Islam juga masuk pada sekarang ini walaupun tidak seperti pada masa awal perkembanganya.
Peradilan seharusnya berjalan terpisah dari pemerintahan, agar semua orang merasa sama dihadapan hukum dan tidak merasa dianak tirikan. Bahkan Islam sendiri sudah menjalankan prinsip itu seelum Negara-negara Barat.
Kondisi dalam peradilan Islam adalah sebagai berikut:
1. Kemandirian kekuasaan peradilan dalam Islam.
2. Persamaan di depan peradilan Islam.
3. Pemilahan spesialisasi dalam peradilan Islam.
4. Peradilan lebih dari satu tingkat.
5. Hakim bersama dan hakim tunggal.
6. Tempat dan waktu pengadilan.
7. Keharusan mengeluarkan hukum dan alasannya.
8. Adanya para asisten dalam peradilan.
9. Keterbukaan pengadilan.
10. Kapabilitas dan kebersihan hakim dalam Islam.
Dasar Peradilan Dalam Islam.
Al-qada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam itu sendiri, dimana prinsip-prinsip keadilan dalam Islamlah sebagai landasan pokok pelaksanaan syariat Islam itu sendiri, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa: 135,
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah swt biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah swt lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Unsur-unsur Peradilan Dalam Islam.
Dalam litelatur Islam untuk berjalannya peradilan dengan normal diperukan beberapa unsur. Para ahli ada yang menyebutkan beberapa unsur dari peradilan, yakni:
• Hakim atau Qadhi, yakni orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalammenyelesaikan gugat menggugat dalam bidang perdata, dikarenakan penguasa sendiri tidak mampu menyelesaikan tugas peradilan tanpa dibantu petugas khusus itu.
• Hukum, yakni putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.
• Mahkum bih, yakni hal-hal yang harus diterima.
• Mahkum alaih (si terhukum), yakni dalam haq-haq syara adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan adihadapkan kepadanya.
• Mahkum lahu, yakni orang yang menggugat suatu haq.
• Perkatan atau perbuatan yang menunjukan kepada hukum (putusan), yakni memutuskan perkara dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seorang terhadap lawannya.
D. Hubungan Peradilan Dengan lembaga Eksekutif, Legislatif, Dan Yudikatif.
Peradilan Islam adalah peradilan yang berdiri sendiri atau mandiri. Ia tidak dapat diintervensi oleh Negara atau pemerintah. Contohnya, pada masa khalifah Umar ra. yang keliru mengambil kuda dari seorang Arab Baduwi untuk dicoba sebelum membelinya. Beliau membebani kuda tersebut hingga meninggal. Ketika Arab Baduwi tersebut menggugat dengan menuntut, maka keduanya sepakat atas keputusan Al-Qadhi Syuraih. Dan setelah mendengar dari kedua pihak, maka Al-Qadhi Syuraih memutuskan bahwa khalifah Umar ra harus menyerahkan harga dengan mengatakan kepadanya, “Anda mengambilnya dalam keadaan sehat dan selamat, maka Anda menjamin untuknya hingga anda mengembalikannya dengan sehat dan selamat.”
Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa khalifah seorang kepala negara mau dan harus tunduk kepada keputusan hakim.
Kemudian, system peradilan positif berporos pada beberapa prinsip dasar umum yang dapat merealisasikan keadilan yang utama. Prinsip-prinsip ini berdasarkan pada dua penilainya yang utama, yaitu:
• Yang pertama, kekuasaan yudikatif adalah salah satu dari tiga kekuasaan di negara di samping kekuasaan eksekutif dan legislatif.
• Kedua, kekuasaan legislatif merupakan kemanfaatan umum yang bertujuan mengukuhkan dasar-dasar keadilan di antara individu masyarakat, dan juga merupakan bagian terpenting dalam kekuasaan umum di Negara. Sebab lembaga legislatiflah yang meletakan perundang-undangan dan berbagai hukum yang mengatur urusan Negara.
Jadi, dapat dipahami bahwa peradilan adalah suatu lembaga yudikatif yang berdiri sendiri yang sejajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif.
DAFTAR PUSTAKA
Idris Ramulyo, Mohd. 1997. Asas-asas hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina
Natsir. M. 2001. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Da’wah
Aliyah, Samir. 2004. Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat Dalam Islam, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyah li Ad-Dirasat
Djalil, A. Basiq. 2007. Peradilan Islam.
http://hk-islam.blogspot.com/2008/09/pengertian-islam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg00490.html
.
0 komentar:
Posting Komentar