Hukum Menikah Dini
Hukum
Menikah
Hukum asal menikah adalah sunah,yaitu jika laki-laki atau
perempuan yang mempunyai niat untuk menikah dan telah mampub (baik jasmani
maupun rohani), sedang ia masih dapat mengendalikan keinginannya (hawa nafsu)
tersebut. Namun hukum sunah ini bisa berubah menjadi wajib, makruh, mubah dan
haram, sesuai dengan kondisi dan keadaan dari masing–masing pasangan yang akan
melakukan pernikahan. sebagaimana pemaparan berikut ini:
wajib
Hukum menikah akan menjadi wajib bagi laki-laki atau
perempuan (baik menikah dini maupun menikah secara umum) jika dalam keadaannya
sudah tidak dapat menahan nafsu seksualnya dan khawatir melakukan perzinaan.
sesuai kaidah syara’
Ma la yatimmul wajibu illa bihi
fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.” ( Taqiyuddin an Nabhani,
hal. 36-37)
Mubah
Menikah akan menjadi mubah jika laki- laki yang mempunyai
niat tapi belum mampu mendirikan rumahtangga atau yang belum punya niat tapi secara
materi mampu atau perempuan yang belum punya niat untuk melangsungkan
permenikahan.
Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila pihak
laki-laki maupun perempuan belum mempunyai niat dan belum mampu mendirikan
rumahtangga atau yang sudah punya niat tapi ragu-ragu untuk melaksakannya.
Haram
Menikah juga bisa berhukum haram, apabila pihak laki–laki
maupun perempuan yang hendak melangsungkan perenikahan hanya mempunyai maksud
untuk menyakiti salah satu pihak dan tidak melaksanakan kewajiban sebagai
suami istri. Sesuai dengan kaidah syara’ yang menyatakan
Al wasilah ila al haram muharramah
“Segala perantaraan kepada yang haram hukumnya haram” (
Taqiyuddin An Nabhani: 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau
muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub).
(Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam).
Sabda Nabi Muhammad SAW
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ
عَبْدِ اللَّهِ فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَخَلَوَا فَقَالَ عُثْمَانُ هَلْ لَكَ
يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي أَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا
كُنْتَ تَعْهَدُ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللَّهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى
هَذَا أَشَارَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا عَلْقَمَةُ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ
يَقُولُ أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu,
hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan
lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan
menjadi perisai bagimu.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para
pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy
syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum
wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu
jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda yang dimaksud adalah orang yang telah
mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang
yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al
mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang
khusus/spesifik bagi seorang laki-laki.
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja
dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau
mahasiswi yang masih kuliah atau mereka yang baru lulus SMA. Hukum yang
berkaitan dengan nikah dini pada umumnya sama dengan pernikahan biasanya, namun
ada pula hal–hal yang memang khusus yang bertolak dari kondisi umum, seperti
kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban
memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan
nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, yaitu :
Pertama, kesiapan ilmu: yaitu kesiapan tentang pemahaman
hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum
menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan
rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan
ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya
bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari
dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. Selain itu kewajiban
menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib
atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari
orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk
selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan
amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik.
Kedua, kesiapan materi/harta: dimaksud harta di sini ada dua
macam, yaitu harta sebagai mahar (maskawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta
sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al
hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS
Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak
harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang
diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada
isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi
al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan
lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat. (Abdurrahman Al Maliki,
1963: 174-175)
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan: khususnya bagi laki-laki, yaitu
maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash
Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al
ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah
jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun
untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An
Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini
sebelum menikah.(Taqiyuddin An Nabhani, 1990:163)
0 komentar:
Posting Komentar