Selasa, 25 September 2012

Hukum Menikah Dini




Hukum Menikah Dini
Hukum Menikah
Hukum asal menikah adalah sunah,yaitu jika laki-laki atau perempuan yang mempunyai niat untuk menikah dan telah mampub (baik jasmani maupun rohani), sedang ia masih dapat mengendalikan keinginannya (hawa nafsu) tersebut. Namun hukum sunah ini bisa berubah menjadi wajib, makruh, mubah dan haram, sesuai dengan kondisi dan keadaan dari masing–masing pasangan yang akan melakukan pernikahan. sebagaimana pemaparan berikut ini:
wajib
Hukum menikah akan menjadi wajib bagi laki-laki atau perempuan (baik menikah dini maupun menikah secara umum) jika dalam keadaannya sudah tidak dapat menahan nafsu seksualnya dan khawatir melakukan perzinaan. sesuai kaidah syara’ 
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.” ( Taqiyuddin an Nabhani, hal. 36-37)
Mubah
Menikah akan menjadi mubah jika laki- laki yang mempunyai niat tapi belum mampu mendirikan rumahtangga atau yang belum punya niat tapi secara materi mampu atau perempuan yang belum punya niat untuk melangsungkan permenikahan.
Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila pihak laki-laki maupun perempuan belum mempunyai niat dan belum mampu mendirikan rumahtangga atau yang sudah punya niat tapi ragu-ragu untuk melaksakannya.
Haram
Menikah juga bisa berhukum haram, apabila pihak laki–laki maupun perempuan yang hendak melangsungkan perenikahan hanya mempunyai maksud untuk menyakiti salah satu pihak dan  tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami istri. Sesuai dengan kaidah syara’ yang menyatakan
Al wasilah ila al haram muharramah
Segala perantaraan kepada yang haram hukumnya haram” ( Taqiyuddin An Nabhani: 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam).
Sabda Nabi Muhammad SAW
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَخَلَوَا فَقَالَ عُثْمَانُ هَلْ لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي أَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللَّهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى هَذَا أَشَارَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا عَلْقَمَةُ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَقُولُ أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda yang dimaksud adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah  “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang  khusus/spesifik bagi seorang laki-laki.
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah atau mereka yang baru lulus SMA. Hukum yang berkaitan dengan nikah dini pada umumnya sama dengan pernikahan biasanya, namun ada pula hal–hal yang memang khusus yang bertolak dari kondisi umum, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.  Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, yaitu :
Pertama, kesiapan ilmu: yaitu kesiapan tentang pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. Selain itu kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik.
Kedua, kesiapan materi/harta: dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (maskawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat. (Abdurrahman Al Maliki, 1963: 174-175)
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan: khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.(Taqiyuddin An Nabhani, 1990:163)

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*