Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah
tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal
8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah
satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa
Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh
Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi
pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di
masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang
tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di
Indonesia. Diantaranya adalah:
a.
Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi
dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam)
yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti
Muhammadiyah dan NU.
d.
Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e.
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan
cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam
untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli
hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang
hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan
berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air.
Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda
dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah
keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda
telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang
agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda
menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan
Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia
yang dapat dimanfaatkan.
Referensi:
Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia), (Jakarta: Paramadina, Oktober 1998).
Jimly
Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar
Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem
Nasional, (Jakarta, September 2000).
Ramly
Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia
dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, (Jakarta, Mei 2005).
http:balianzahab.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar