JI’ALAH (SAYEMBARA)
Pengertian Ji’alah
Kata ji’alah secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq :
“Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh.”[1]
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Kata ji’alah dapat dibaca jaalah.[2] Pada zaman Rasulallah ji’alah telah diperaktekan. Dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat kala kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
Landasan Hukumnya
Jumhur fuqaha sepakat bahwa hokum ji’alah mubah. Hal ini didasari karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Jialah merupakan akad yang sangat manusiawi, karena seseorang dalam hidupnya tidak mampu untuk memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya. Contoh, Orang yang kehilangan dompetnya maka ia sangat sukar jika ia mencari sendiri dompetnya yang hilang tanpa bantuan orang lain. Maka ia meminta kepada orang lain untuk mencarinya dengan iming-iming upah dari pekerjaan itu.
Dalam hal lain, yang masih termasuk ji’alah Rasulallah membolehkan memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan al-Qur’an dengan surat al-fatihah. Ji’alah diperbolehkan lantaran diperlukan, karena itu di dalam ji’alah diperbolehkan apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk lainnya.[3]
Dalam al-Qur’an Dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu di tegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72:
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Pendapat Ulama Mengenai Ji’alah
Para ulama berselisih pendapat tentang larangan dan kebolehannya. Imam malik berpendapat bahwa pengupahan itu dibolehkan pada sesuatu yang sedikit (ringan) dengan dua syarat. pertama: Tidak ditentukan masanya. Kedua: Upahnya diketahui. Fuqaha yang membolehkan pengupahan berpegang kepada firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 tersebut, dan juga berpegang kepada ijma ‘jumhur fuqaha’ tentang kebolehan pengupahan berkenaan dengan larinya hamba dan permintaan. Begitu juga ddengan sabda Rasulallah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri.
Suatu ketika sahabat Rasulallah mendatangi sebuah perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya tamu. Tiba-tiba pemimpin mereka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul mengiya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulallah, maka Rasulallah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki, bahwa upah itu bisa dimiliki kecuali apabila pekerjaan telah selesai, dan bahwa pengupahan itu tidak termasuk akad (perjanjian) yang mengikat.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengupahan itu tidak boleh. Fuqaha yang tidak membolehkan pengupahan beralasan bahwa di dalam pengupahan itu terdapat kesamaran (al gharar), karena disamakan dengan sewa-menyewa yang lain. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogikan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang membolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).
Pelaksanaan Ji’alah
Teknis pelaksanaan ji’alah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama ditentukan oleh orangnya, misalnya si Budi. Maka, si Budi sendiri berusaha mencari barang yang hilang. Kedua. secara umum artinya seorang yang diberi pekerjaan mencari bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja. Misalnya, seorang berkata “Siapa saja yang bisa mengembalikan binatangku yang hilang maka aku akan berikan imbalan sekian”.
Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam ji’alah tidak dapat disyaratkan datang dari si pemilik barang yang hilang. Siapa saja yang mengatakan “Siapa saja yang dapat mengembalikan barang hilang kepunyaan si fulan maka ia akan kuberikan upah sekian”. Kemudian, ada orang yang mengembalikan barang ini baik ia mendengar berita ini dari yang mengatakan tadi atau berita itu disampaikan oleh orang lain ketelinganya maka ia berhak menerima ji’alah (upah). hal tersebut, dapat dibenarkan karena dalam ji’alah tidak disyaratkan besar jumlah upah yang harus ia terima artinya ia harus tahu berapa jumlah yang ia terima jika berhasil mengembalikan barang karena hal ini sama dengan sewa-menyewa. kalau upah yang akan diberikan itu majhul (tidak diketahui) maka hukumnya fasid (rusak). Bagaimana jika orang yang mengembalikan barang yang hilang itu jumlahnya banyak bukan satu orang. Maka upahnya itu dibagi rata karena mereka sama-sama bekerja meskipun kualitas kerjanya tidak sama.
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, “siapa yang mendapatkan barangku akan ku beri uang sekian”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang akan dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.[4]
Rukun Ji’alah
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam ji’alah:
1. Lafal: Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizing orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
2. Orang yang menjanjikan memberi upah: Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
3. Pekerjaan: Mencari barang yang hilang.
4. Upah harus jelas: Telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang)
Pembatalan Ji’alah
Pembatalan ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji’alah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.
Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat 7:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.”
Referensi:
Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, (Beirut:Dar al-fikr, 2006), juz III. Hlm, 931.
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhamad al-Husaini, Kifarat al-Akhyar, ter. KH. Syarifudin Anwar, 2007. (Surabaya: Bijna Iman, 2007), hlm. 703
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, (Bandung: PT AL-ma’arif, 1998), hlm. 171.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2008), hlm. 306.
[1] Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, (Beirut:Dar al-fikr, 2006), juz III. Hlm, 931.
[2] Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhamad al-Husaini, Kifarat al-Akhyar, ter. KH. Syarifudin Anwar, 2007. (Surabaya: Bijna Iman, 2007), hlm. 703
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, (Bandung: PT AL-ma’arif, 1998), hlm. 171.
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2008), hlm. 306.
0 komentar:
Posting Komentar