DUNIA GERSANG LEMBAR LATIHAN
Terabaikannya Bakat dan Kemampuan di Sekolah
“Beberapa banyak pemikir dan jiwa kreatif yang disia-siakan, beberapa banyak kekuatan otak yang terbuang percuma karena pandangan kuno dan picik kita tentang otak dan pendidikan?”
JEAN HOUSTON
The Possible Human
JEAN HOUSTON
The Possible Human
Billy sangat suka menciptakan mesin-mesin aneh. Satu di antara lainnya membuat air mengalir turun di sepanjang pelongsor, yang lalu menggerakan bola-bola pingpong masuk ke dalam lubang, yang kemudian menyebabkan beberapa bel bordering dan sebuah patung babi mini berputar-putar. Gerakan ini akhirnya membuka sebuah kepala buaya yang berfungsi sebagai peruncing pensil. Mesin-mesin billy yang lain melakukan hal-hal yang sama kreatif dan praktisnya. Namun, meski telah mengerjakan banyak proyek inovatif, Billy tidak naik kelas. Sebagai contoh, ketika ibunya meminta ia menghitung luas sebuah ruangan menggunakan metode yang diajarkan sekolah, Billy kesulitan. Tubuhnya menegang, dan ia berulangkali menghapus perhitungannya, dan akhirnya memberikan jawaban yang sama sekali tidak masuk akal.
Lalu Billy melakukannya dengan caranya sendiri. Menurut seorang pendidik dan konsultan potensi manusia Jean Houston, yang saat itu sedang membantunya: “Billy memejamkan mata dan kepalanya bergerak-gerak sesuai irama, seolah ia sedang mendengarkan sebuah lagu. Beberapa saat kemudian ia menuliskan sesuatu di atas kertas, memejamkan mata lagi, membukannya, kembali menuliskan sesuatu, dan memberi kami jawaban yang benar.” Ketika diminta menjelaskan prosesnya, Billy menanggapi, “Yah, ketika aku memejamkan mata untuk mencari jawaban, rasanya seperti gabungan antara music dan arsitektur.”
Susan adalah murid kelas satu SD yang waktu senggangnya diisi dengan membaca ensiklopedia. Di kelas membaca, ia harus dengan sabar mengikuti kurikulum yang mencakup buku-buku berjudul ABC and Me dan Little Pig. Akhirnya, sang guru meminta murid-murid menulis sebuah cerita tentang Little Pig. Susan menulis: “Babi Kecil, Babi Kecil. Akan kuberitahu apa yang bisa kau lakukan dengan Babi Kecil. Kau bisa mengambil buku ini dan…”
Pada usia dua belas tahun, Chris mengelola dua bisnis yang menguntungkan di rumahnya dan sebuah pertunjukan seni tunggal di sekolah dasarnya. Di usia lima tahun, Justin berbicara tentang system tata surya, menciptakan susunan Lego yang rumit, dan menulis serta membuat ilustrasi cerita karangannya sendiri. Marc adalah seorang pakar Penjara Bawah Tanah dan Naga berusia sebelas tahun yang mempunyai pengetahuan luas tentang kedua subjek ini dari berbagai buku yang dibacanya. ia juga menciptakan film animasi. Ketiga anak laki-laki ini diberi label learning disabled dan dipaksa mengikuti kelas perbaikan khusus disekolah mereka masing-masing.
Mereka semua adalah pelajar unik yang karunia, bakat, dan kemampuannya diabaikan oleh sekolah. Mereka tidak sendirian. Setiap tahun jutaan anak diseluruh Amerika diberi label sebagai penderita ADD-attention deficit disorder (gang\guan kurang perhatian)-atau ADHD-attention deficit hyperactivity disorder (gangguan hiperaktif kurang perhatian), learning disabled (ketidakmampuan belajar), disleksia, atau sekedar underachiever (berprestasi di bawah kemampuan). Jutaan pelajar lagi tampak seolah mencapai kemajuan akademis yang memuaskan, tapi batin mereka sekarat karena karunia dan kemampuan sejati mereka tidak dibangkitkan oleh sekolah. Anak Anda mungkin salah satu dari mereka. Inilah beberapa pertanyaan untuk Anda tanyakan kepada diri sendiri supaya Anda bisa mengetahui apakah keadaan anak Anda seperti ini atau tidak.
· Apakah anak Anda mempunyai hobi, keterampilan, minat, atau kemampuan yang membangkitkan semangatnya di rumah? Jika ya, apakah ia mendapatkan kesempatan untuk menggunakan bakat atau kemampuan itu di sekolah?
· Kapan terakhir kali anak Anda bergegas pulang ke rumah seusai sekolah untuk memberitahukan sesuatu yang penting yang dipelajarinya hari itu?
· Apakah anak Anda suka berada di sekolah seusai pelajaran, berbicara dengan seorang guru, mengembangkan sebuah proyek, atau mempraktekan suatu keterampilan, atau apakah ia cepat-cepat pergi begitu bel bordering?
· Ketika Anda berbicara dengan guru anak Anda, kelompok kata apa yang paling sering ia gunakan, masalah, kebutuhan, kesulitan, dan keetidakmampuan, atau bakat, prestasi, minat, dan kemampuan?
· Apakah anak Anda sering mengeluh sakit perut, sakit kepala dan gelisah di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, atau apakah ia berbicara di meja sarapan mengenai semua hal menyenangkan yang akan dilakukannya hari itu?
· Apakah anak Anda membawa pulang banyak buku pelajaran, buku tugas, dan kertas PR, atau apakah ia sebaliknya mempunyai proyek yang harus dikerjakan yang benar-benar membutuhkan pemikiran, kreativitas, dan inovasi?
Jawaban semua pertanyaan ini akan memberi Anda petunjuk apakah sekolah anak Anda memupuk multiple intelligence-nya atau tidak. selama lima belas tahun terakhir, penelitian oleh psikolog Howard Gardner dan rekan-rekannya di Harvard University telah menunjukan bahwa setiap anak mempunyai banyak cara berbeda untuk menjadi pandai: melalui kata-kata, angka, gambar, music, ekspresi fisik, pengalaman dengan alam, interaksi social, dan pemahaman diri sendiri. Para psikolog, pendidik dan orang tua tidak lagi memusatkan begitu banyak perhatian pada potensi manusia dalam konteks yang sempit-seperti yang kita lakukan ketika berbicara tentang nilai IQ seorang anak, sebagai contoh-dan sekarang muali lebih melihat potensi seorang anak dalam konteks multiple intelligence mereka. banyak sekolah sudah mulai menggabungkan pendekatan multiple intelligence ke dalam kurikulum mereka. meski demikian, sekolah anak Anda mungkin tidak termasuk satu di antaranya. Kenyataannya, sekolah bagi jutaan anak di seluruh penjuru Amerika terasa hambar dan membosankan. Jika anak Anda sedikit saja menyimpang dari norma yang diajarkan-dengan kata lain, jika anak Anda menunjukan pembawaan individualnya yang asli-maka ada kemungkinan ia akan dianggap lain, atau diberik label tertentu dan diperlakukan sebagai sebuah kategoridan bukannya sebuah manusia. Sekolah-sekolah kita telah kehilangan kemampuan untuk menanggapi perbedaan individual. Tujuan buku ini adalah membantu Anda memperoleh kembali martabat anak-anak Anda dengan menemukan cara belajar mereka yang terbaik dan kemudian membantu mereka belajar dengan cara mereka sendiri.
Sekolah: Dunia Gersang Lembar Latihan
Einstein pernah menulis, “Suatu keajaiban bahwa metode pengajaran modern belum membinasakan rasa ingin tahu akan pencarian jawaban.” Di tahun 1980-an, John Goodlad, mantan dekan School of Education di UCLA, dan rekan-rekannya mengunjungi sekitar seribu ruang kelas di Amerika Serikat. Gambaran yang diberikannya adalah dunia gersang tanpa kegembiraan dalam skala besar. Goodlad menulis, “Kami jarang melihat tawa, sikap antusias yang berlebihan, atau letupan kemarahan yang dirasakan bersama. Kurang dari 3 persen waktu kelas digunakan untuk memberikan pujian, komentar menyakitkan, akspresi sukacita atau humor, atau luapan spontan seperti ‘wow’ atau ‘asyik’.” Setiap hari, kurang dari 1 persen waktu belajar dipakai untuk melibatkan murid dalam berbagai pendapat atau secara terbuka membahas suatu masalah atau topik. Semua ruang kelas sekolah dasar didominasi guru, sedangkan murid tidak berwenang menentukan apa pun. Setiap hari, hamper 80 persen waktu belajar di sekolah dasar digunakan untuk keterampilan dasar, sementara seni hanya mengisi 7 persen dari waktu belajar selama seminggu, menari hanya 2 persen, dan drama hanya 1 persen.
Sejak itu, keadaan malah tampaknya menjadi semakin buruk. Meski di era tahun 90-an terjadi gelombang reformasi, tampaknya sekarang ada pergerakan kembali ke situasi ruang kelas yang bahkan lebih suram. Buku pelajaran (dan lembar latihan pelengkapnya) membentuk 75 sampai 90 persen dari semua proses belajar yang berlangsung di sekolah-sekolah kita. Penjualan buku pelajaran mencatat laba terbesar dalam kategori apapun di pasar buku A.S. yang bernilai 21 miliar dolar, dengan peningkatan penjualan total buku pelajaran SD sebesar 13 persen di tahun 1997-1998 sehingga mencapai 3 miliar dolar. Anak-anak sekolah A.S. adalah murid yang paling sering dites diseluruh dunia. Mereka mengikuti lebih dari 100 juta tes standar setiap tahun, dan ada permintaan yang semakin meningkat untuk pengetesan yang lebih giat baik di tingkat Negara bagian maupun nasional. Negara-negara bagian yang mempunyai pengaruh paling besar bagi penyusunan buku pelajaran-khususnya California dan Texas-semakin bergeser dari pendekatan yang lebih kreatif menuju penyajian topik pembahasan melalui membaca dan matematika. Presentasi penggunaan pendekatan fonik dan aritmetika dasar ini menyamai situasi di awal 1960-an. Dewan legislatif Negara bagian menerapkan standar pertanggungjawaban yang ketat di semua distrik sekolah di Negara bagian mereka, menekan para pengurus sekolah, guru, dan murid untuk semakin keras berusaha… atau tersingkir! sekolah-sekolah bahkan mulai meniadakan waktu istirahat, supaya mereka bisa semakin banyak menjejalkan pelajaran akademis ke dalam otak anak-anak sebagai persiapan mengikuti tes dengan taruhan besar di akhir periode belajar.
Apa yang terjadi pada para pelajar di dunia gersang lembar latihan ini? Kenyataannya, sebagian besar dari mereka belajar untuk patuh dan bersikap pasif, dan dipermukaan terlihat sebagai murid-murid yang sangat berhasil. Anak-anak lain, tidak mampu mengimbangi proses membosankan yang harus mereka jalani setiap hari di ruang kelas, mulai memperlihatkan penurunan prestasi tapi sedikit banyak masih bisa terlihat mampu. Inilah para Underachiever yang begitu sering kita dengar. Lawrence Greene, dalam bukunya Children Who Underachiever, memperkirakan sekitar 50 persen anak-anak Amerika merupakan underachiever. Akhirnya, ada sekelompok anak yang sama sekali tidak sanggup mengikuti kepura-puraan ini, terutama karena cara belajar mereka sendiri yang unik sangat bertentangan dengan pendekatan sempit yang digunakan sekolah untuk mendidik mereka. Kelompok ini selama beberapa tahun terakhir telah mendapat label yang sangat tidak adil: learning disability (LD) dan attention deficit hyperactivity disoerder (ADHD).
Perangkap Learning Disability
Pada hari Sabtu tanggal 6 April 1963, suatu penyakit telah diciptakan di Chicago, Illinois, yang selama lebih dari 35 tahun kemudian secara perlahan mulai menjangkiti jutaan anak sekolah di seluruh Amerika. Ini bukan virus sederhana atau bakteri biasa. Karena tersembunyi jauh di dalam system saraf, penyakit ini lolos dari deteksi tenaga medis, dan hasil tesnya pun tidak bisa memberikan diagnosis yang jelas. Itu sebabnya penyakit ini tidak mempunyai metode penyembuhan yang jelas. Pemerintahan federal menghabiskan miliaran dolar untuk memerangi penyakit belajar ini, meski demikian, di tahun 1998 bisa dikatakan 15 persen penduduk Amerika telah terjangkiti.
Pada hari Sabtu di bulan April itulah, Samuel Kirk, yang pada saat itu adalah professor pendidikan khusus di Uneversity of Illinois, memberitahu sekelompok orang tua yang prihatin mengenai learning disability. Ia mengusulkan supaya mereka menggunakan istilah ini untuk menggambarkan “anak-anak yang menderita gangguan perkembangan bahasa, kemampuan bicara, membaca, dan keterampilan komunikasi yang berkaitan.” Para orangtua ini dengan antusias sependapat dan tak lama kemudian mendirikan The Association for Children With Learning Disabilities.
Sejak itu, gerakan learning disability (LD) semakin menjamur, dengan didirikannya lebih banyak lagi organisasi dan ditulisnya ratusan buku serta puluhan ribu artikel. Media massa menjadikannya subjek yang sesuai untuk pertunjukan televise dramatis dan film Feature panjang. Yang lebih penting, dan berdampak menghancurkan, jutaan anak diberi label learning disabled, penderita disleksia, dan berbagai istilah sejenis, lalu dikirim ke program-program khusus untuk menjalani perawatan bagi “kondisi” mereka.
Meski demikian, walau istilah ini berdampak negative pada kehidupan anak-anak dan orang dewasa di seluruh Amerika, para pakar tampaknya tetap tidak bisa menjelaskan apa artinya, apalagi menemukan bagaimana penyembuhannya. Bob Algozzine, seorang professor pendidikan khusus di University of Florida dan editor penyumbang untuk The Journal of Learning Disabilities, menulis: “Tak ada seorang pun… yang bisa menunjukan kepada saya kelompok perilaku yang unik dank has yang membedakan anak-anak LD dari banyak teman sekelas mereka. Membangun sebuah dunia di atas landasan semacam ini sangatlah tidak adil.” Douglas Friedrich dan rekan-rekannya di Central Michigan University mempelajari 1.600 anak yang dianjurkan berkonsultasi pada spesialis karena diduga mengidap masalah belajar, dan setelah menganalisis ke Sembilan puluh empat formula yang digunakan untuk mendiagnosis LD, dengan sedih mereka mencatat: “Sangat disayangkan bila orang harus seumur hidup menanggung efek label LD padahal kita sebenarnya tidak tahu apa artinya.”
Meski demikian, gerakan LD tampaknya malah menjadi semakin kuat. Para orangtua mendapat peringatan terhadap gejala-gejala LD seperti pembalikan huruf dan angka, tulisan tangan yang kacau, koordinasi yang buruk, kesulitan membaca jam, kebingungan antara kiri dan kanan, dan kesulitan membaca. Para psikolog terus mengembangkan lebih banyak cara rumit untuk menguji LD. Sementara itu, anak-anak berlabel LD masih tidak mendapat penjelasan yang memadai dari orang dewasa mengenai arti LD dan mengapa mereka tidak bisa normal seperti anak lain.
Bencana Attention Deficit
Seolah satu penyakit belajar tidak cukup untuk anak-anak kita, para professional kesehatan mental beberapa tahun terakhir ini meramu satu lagi penyakit. Ini sebenarnya hanyalah pendaur-ulangan sebuah label yang mengalami 25 kali perubahan nama selama seratus tahun terakhir, termasuk dorongan organik, sindrom kegelisahan, disfungsi otak minimal, dan hiperkinesis. Sekarang namanya adalah attention deficit disorder (ADD), dan label ini dikenakan kepada jauh lebih banyak anak daripada sebelumnya. Diperkirakan jumlah anak yang sekarang diberi label ADD atau ADHD ada sekitar 2,5 juta di Amerika Serikat. Penggunaan Ritalin untuk mengobati “penyakit” ini telah meroket sebanyak 700 persen selama delapan tahun terakhir! “Gejalanya” meliputi perilaku hiperaktif, impulsive, dan perhatian yang mudah terpecah, dan para “ahli” mengatakan bahwa hal ini akibat ketidakseimbangan susunan kimiawi saraf yang disebabkan oleh gen yang masih belum diketahui. Label ini mempunyai satu masalah, yaitu, gejala-gejala ini terlalu umum dan subjektif. Banyak anak mempunyai karakteristik ini selama periode waktu yang berlainan yang disebabkan oleh berbagai keadaan. Seorang anak bisa berperilaku hiperaktif untuk berbagai alasan: karena ia alergi susu, bosan bersekolah, sangat kreatif, sangat tertekan, kesulitan belajar membaca, takut pada anak-anak lain dilingkungan tempat tinggalnya, atau seratus alasan lain. Pendukung ADD mengatakan bahwa ada serangkaian tes yang bisa menunjukan perbedaan antara ADD “asli” dan “palsu,” tapi tes-tes ini pun bersifat subjektif. Sering, para orangtua dan guru hanya diberi daftar pilihan dan diminta merating anak mereka dengan skala 1 sampai 5 atau 1 sampai 10 berdasarkan beberapa butir perilaku seperti “sering bergerak di bangku sekolah.” Bahkan tes lain meminta anak-anak menekan tombol mesin yang dikendalikan oleh computer untuk menunjukan bahwa mereka memperhatikan. Hal ini lebih mirip program Big Brother dan Brave New World ketimbang akal sehat dunia pendidikan! ADD tampaknya dijadikan alasan oleh banyak orangtua yang bertanggung ja-wab atas “anak-anak bulat” yang tidak cukup dimasukkan ke dalam “lu-bang kotak” yang merupakan rumah dan sekolah. Label ini membantu guru untuk mengeluarkan murid bermasalah dari kelas normal dan me-masukkannya ke dalam ruang pendidikan khusus, membantu orangtua mendapat resep obat untuk memperbaiki masalahnya (bukannya pertama-tama mempertimbangkan perubahan mendasar yang lain), dan bahkan membantu banyak murid untuk mendapat lebih banyak waktu mengerjakan tes dan menyelesaikan tugas di kelas. Namun, sayangnya, sang anaklah yang dibebani label “tidak mampu” dan harus menjalani masa sekolah dengan anggapan bahwa ia tidak senormal anak-anak lain.
Mengabaikan Kemampuan Belajar
Di dalam litany kekurangan, ketidakmampuan, dan penyakit ini sama sekali tidak ada pengakuan bahwa anak-anak ini mungkin bisa belajar dengan sangat baik dengan cara mereka sendiri. ini disebabkan oleh sedikitnya peneliti yang mau melihat cara belajar mereka yang terbaik. Mary Poplin, mantan editor The learning Disability Quarterly (LDQ), berkomentar: “Kenyataan yang mengerikan adalah bahwa, selama empat tahun saya menjadi penyunting LDQ, hanya ada satu artikel yang berupaya memaparkan bakat dari para penyandang label LD… Mengapa kita tidak tahu apakah murid-murid kita berbakat dalam bidang seni, music, tari, atletik, perbaikan mesin, pemrograman komputer, atau kreatif dalam bidang modern lain?... Penyebabnya adalah, seperti umumnya pendidik, kita hanya peduli pada kemampuanndalam arti yang paling tradisional dan akademis-membaca, menulis, mengeja, IPA, IPS, dan matematika dalam bentuk buku pelajaran dan lembar latihan standar.” Satu-satunya artikel positif yang ia terima merupakan karya Dr. Sara Tarver dan rekan-rekannya di University of Wisconsin’s School of Education. Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa anak-anak berlabel LD mencapai nilai yang lebih tinggi daripada anak-anak yang disebut normal dalam tes kreativitas nonverbal. Tarver juga melihat bahwa anak-anak LD kelas satu SD mendapat nilai yang lebih tinggi daripada anak-anak “normal,” tapi kreativitas mereka di bidang ini menurun di kelas-kelas selanjutnya. Ia menduga bahwa “Salah satu aspek bersekolah yang mungkin ikut menjadi penyebab penurunan kreativitas verbal anak-anak LD adalah reaksi negative pihak-pihak lain terhadap keunikan mereka.” Dengan kata lain, anak-anak ini ditertawakan oleh para guru dan murid karena bersikap kreatif, dan tak lama kemudian mereka belajar untuk tidak menarik perhatian yang lain, membungkam individualitas mereka.
Para pakar lain membenarkan kekayaan batin anak-anak ini, ahli saraf Harvard, Norman Geschwind, salah satu tokoh terkemuka dalam bidang LD sampai akhir hayatnya, menyatakan: “Saya sering mendengar para orangtua anak penderita disleksia mengatakan bahwa mereka tahu seorang anak akan menderita disleksia karena, seperti saudara-saudaranya yang juga penderita disleksia, dia menunjukan keterampilan luarbiasa dalam bidang menggambar, atau mengerjakan teka-teki mekanis, atau membangun balok.” Mengenai ADD, peneliti kreativitas Bonnie Cramond, seorang profesor psikologi di University of Georgia, menulis: “Ada beberapa kesamaan dalam deskripsi perilaku kreativitas dan ADHD yang membuat orang bertanya-tanya apakah mungkin keduannya merupakan fenomena yang sama?” Cramond juga menyatakan bahwa orang yang sangat kreatif, yang biasa disebut individu ADHD, menolak batasan yang di-kenakan oleh orang lain, suka mengambil resiko, mempunyai minat yang luas, sering suka bekerja dengan cepat, suka melamun, dan mempunyai tingkat energy yang tinggi.
Dalam kelas “penyandang cacat belajar” yang saya asuh, saya mempunyai sekelompok anak yang mengagumkan: seorang anak laki-laki yang memegang rekor nasional renang gaya bebas dalam kelompok usianya, seorang anak perempuan yang menjadi model sebuah jaringan department store nasional, para artis dan penulis berbakat, seorang anak dengan kemampuan indra keenam, pakar cerita, murid matematika genius, dan masih banyak lagi manusia berbakat.
Meski demikian, ketika anak-anak ini bersekolah, semua perhatian guru dan orangtua dipusatkan pada “ketidakmampuan” mereka. Hal ini mengingatkan pada saya tentang para binatang yang memutuskan untuk menciptakan sebuah sekolah memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. Mereka tidak bisa mengambil kata sepakat tentang subjek mana yang paling penting, jadi mereka mengatakan bahwa semua murid harus mengikuti kurikulum yang sama. Kelinci adalah ahli berlari tapi hamper tenggelam di kelas berenang. Pengalaman itu begitu mengguncangnya sehingga sesudahnya ia tak pernah lagi berlari secepat sebelumnya. Elang sangat pandai terbang, tentu saja, tetapi ketika mengikuti kelas menggali, ia sangat tidak mampu menjalani tugas yang diberikan sehingga ia ditugaskan untuk mengikuti program perbaikan menggali. Tugas itu begitu banyak menghabiskan waktunya sehingga tak lama kemudian ia melupakan cara terbang. Dan demikian juga halnya dengan binatang yang lain. Para binatang itu tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing karena semua dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka. Sama halnya dengan yang kita lakukan kepada anak-anak kita, mengabaikan karunia dan bakat mereka dan sekaligus memaksa mereka membuang berjam-jam waktu dalam kelompok perbaikan serta kelas khusus yang membosankan dan tidak sesuai. Elang diciptakan untuk terbang!
Inisiasi ke dalam Kebohongan
Saya ingin memberi Anda gambaran mengenai apa yang terjadi dalam hidup seorang anak yang memiliki cara belajar yang unik, supaya Anda bisa melihat betapa sekolah dengan tidak sengaja memisahkan orang dari potensi sejati mereka. Bayangkan seorang anak perempuan berusia wnam tahun yang aktif dan bersemangat, dengan penuh gairah memulai hari pertamanya di sekolah. Ia terbiasa mengisi hari-harinya dengan menggambar, bermain di kolam renang bersama teman-temannya, bermain bola di lahan perumahan, mambangun balok, dan menyanyikan lagu-lagu. Ketika masuk sekolah pada hari pertama yang berkesan itu, ia berharap bisa bergerak bebas, menjelajahi benda-benda di sekitarnya, bernyanyi, bermain, dan berinteraksi dengan anak-anak lain.sebaliknya, ia malah menemukan dirinya dalam sebuah dunia di mana ia harus duduk di kursinya selama berjam-jam, belajar memahami perintah yang panjang dan rumit dari sang guru, dan memaksakan matanya melihat angka dan huruf yang tercetak kecil serta tak jelas dalam buku yang berbau aneh.
Ketika kekecewaan dan kebingungannya terlihat oleh sang guru, ia dikirim ke seorang spesialis untuk diperiksa. Ia lalu harus menjalani berbagai macam tes yang “mengintip” ke dalam dunia batinnya. Sang pemeriksa dengan tekun mencatat berbagai kesalahan yang ia lakukan. Ia dengan mudah merasakan kekhawatiran orang tuanya dan para guru ketika mereka duduk bersama membicarakan “masalahnya.”
Akhirnya para “pakar” mendiagnosisnya bermasalah. Mungkin mereka menyebutnya menderita ADD, ketidakmampuan belajar (LD), disleksia, hiperaktivitas, ketidakmampuan membaca atau sekedar ketidakmampuan berprestasi. Sang spesialis membuat rencana perawatan yang rumit yang dianggap bisa menyembuhkannya dari kondisi yang menakutkan itu. Mereka menempatkannya dalam sebuah program khusus-mungkin dalam sebuah ruangan kecil di koridor terpencil sekolah atau dalam sebuah trailer di belakang sekolah. Di sana, seorang guru yang sudah mendapat pelatihan khusus “memperbaiki”masalah belajarnya menggunakan berbagai metode dan materi esoteric, termasuk peralatan belajar khusus, modifikasi perilaku, dan banyak lembar latihan. Selama jam istirahat, anak ini mendengar anak-anak lain berbicara tantang “para idiot di ruang 103.”
Ketika kembali ke kelas khusus, ia bahkan merasa semakin bingung dan gelisah. Sang guru melihatnya, dan pada pertemuan resmi tim professional sekolah yang berikutnya, mereka memutuskan untuk menempatkannya dalam program khusus ini selama minimum satu tahun lagi. Dengan cara ini, si anak tetap mandek dalam sebuah siklus kegagalan belajar, mungkin selama masa bersekolahnya.
Skenario di atas mungkin terdengar seperti mimpi buruk Kafka, tapi hal ini terlalu sering terjadi dalam system sekolah negeri. Bukan hanya melihatnya terjadi, tetapi saya juga berpartisipasi di dalamnya. Meski mempunyai niat baik dan gagasan yang mendidik, saya mendapati diri sendiri berulangkali hanyut dalam cara kerja sebuah system yang mempunyai kehidupan sendiri dan yang bertujuan mengubah anak-anak menjadi produk rusak yang dikirim kembali ke bengkel untuk diperbaiki.
Dalam kelas biasa, teman-teman anak ini mungkin tidak bernasib lebih baik. Dipaksa mengabaikan pola kemampuan belajar mereka yang unik-karunia, bakat, dan minat mereka-mereka dengan cepat menyerah pada cara belajar baru yang menggunakan symbol-simbol abstrak untuk menggantikan gambar-gambar hidup serta tugas-tugas rutin yang menggantikan permainan dinamis. Hidup baru mereka dalam lingkungan belajar yang gersang ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan Kafka sendiri mengenai pendidikan di zamannya: “Mungkin semua pendidikan hanya terdiri atas dua hal, pertama menangkis serangan menggebu anak-anak yang tidak tahu apa-apa terhadap kebenaran, dan kedua, inisiasi selangkah demi selangkah yang halus dan tak kentara atas diri anak-anak yang direndahkan ke dalam kebohongan.”
Sebuah Fokus Baru: Menghargai Multiple Intelligence Setiap Anak
Sudah tiba saatnya bagi sekolah, dan orangtua, untuk mulai memusatkan perhatian mereka kepada kemampuan bawaan masing-masing anak. Kita sudah mengetahui selama bertahun-tahun bahwa manusia hanya menggunakan sebagian kecil potensi mereka. Jika ini benar maka bahkan dalam diri orang yang mengalami kerusakan otak yang paling parah sekalipun tersembunyi potensi yang sangat besar yang tidak bisa dibangkitkan. John Lorber, seorang dokter anak Inggris, meneliti seseorang yang, karena penyakit saraf, nyaris tak mempunyai otak. Bukannya mempunyai korteks serebal dengan ketebalan normal 4,5 sentimeter, siswa muda ini hanya mempunyai selembar lapisan tipis setebal sekitar satu millimeter. Meski jelas-jelas mempunyai kelemahan ini, ia dinyatakan mempunyai IQ 126, pandai bergaul, dan menempati peringkat pertama dalam bidang matematika. Meski demikian, sekolah-sekolah bersikeras memberikan label ADD atau LD kepada ratusan ribu anak dengan otak yang sepenuhnya normal, padahal kenyataannya para guru hanya belum menemukan cara mengajar sesuai kebutuhan mereka, menurut pola cara kerja saraf mereka yang unik.
Bagian otak yang bereaksi positif terhadap lembar latihan dan ucapan guru kemungkinan hanyalah di bawah satu persen dari kemampuan total otak untuk belajar. Kemungkinan metode belajar yang sudah kadaluarsa ini sebenarnya adalah apa yang disebut pakar pendidikan Leslie Hart bersifat “antagonistis otak”-metode ini menutup potensi murid dan bukan membukanya. Terlalu banyak ruang kelas di seluruh Amerika yang masih sangat mengandalkan lembar latihan dan ucapan guru dan hanya memberikan sedikit kesempatan kepada murid untuk membangun, menggambar, melakukan, memeragakan, atau melibatkan diri dalam metode belajar aktif yang lain. Dengan kata lain, anak-anak tidak diberi kesempatan untuk melatih sebagian besar otak mereka yang berfungsi untuk mempelajari hal-hal baru.
Anak-anak yang digambarkan di awal bab ini terlihat jelas sangat pandai menjelajahi area otak yang belum dikenal-belajar melalui music dan arsitektur, kata-kata dan perasaan, bisnis dan film. Beberapa orang mungkin menganggap mereka “berbakat” dan berada jauh di luar jangkauan kemampuan anak sekolah pada umumnya. Tapi di sini mereka yang melabel anak-anak sebagai “pelajar yang tidak mampu.” Karena dengan hanya memberikan label berbakat kepada beberapaindividu terpilih, kita menutup pintu bagi jutaan lebih anak yang memiliki kekayaan batin yang tidak terdeteksi. Semua anak berbakat. setiap anak merupakan manusia yang unik-orang yang sangat istimewa. Sayangnya, sekolah lebih suka mengirim beberapa anak ke kelas ADD atau LD, mengelompokkan yang lain sesuai kemampuan, dan mengirim sekelompok kecil ke program anak berbakat. Mereka bahkan mempunyai kategori untuk murid “LD/berbakat.” Kapan ini akan berakhir? Situasi ini akan berakhir ketika orangtua dan pendidik memutuskan untuk menyingkirkan semua label ini dan memulai tugas memahami serta mengembangkan keunikan setiap anak supaya mereka bisa mulai belajar dengan cara mereka sendiri. Bab berikut akan menyajikan teori teori multiple intelligence Howard Gardner supaya Anda bisa membantu anak-anak Anda belajar dengan cara yang paling alami bagi mereka. (Thomas Armstrong dalam Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intelligence-nya)
0 komentar:
Posting Komentar