KRITERIA KEBENARAN ILMU
Sebelum kita
menelaah lebih jauh tentang criteria-kriteria kebenaran ilmu, kita akan
membahas terlebih dahulu arti dari ilmu itu sendiri.
Apakah yang
dimaksud dengan ilmu? Ilmu adalah hasil dari buah pikiran dan pengalaman seseorang
yang memiliki objek konkrit dan kebenarannya dapat diuji dengan metode-metode
tertentu. (parapemikir.com/ilmu.html)
Selain itu arti ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Kata ilmu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab “ilm”
yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan
katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu
social dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial dan lain sebagainya. (Wikipedia.org/wiki/sains#syarat-syarat_ilmu)
Karakteristik Ilmu
Menurut Randall dan Buchker (1942) mengemukakan beberapa cirri umum
ilmu diantaranya :
1.
Hasil
ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama
2.
Hasil
ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa jadi kekeliruan karena yang menyelidiki
adalah manusia
3.
Ilmu
bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode ilmu
tidak tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung kepada pemahaman
secara pribadi. (google.com/search8&sourceid=navclient&gfns=1&g=criteria+kebenaran+ilmu)
Syarat-Syarat Ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus
dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan
ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan
ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
1.
Obyektif.
Ilmu harus memiliki obyek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Obyeknya
dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Dalam mengkaji obyek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara
tahu dengan obyek, dan karenanya disebut kebenaran obyektif; bukan subyektif
berdasarkan subyek peneliti atau subyek penunjang penelitian.
2.
Metodis
adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus
terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari
bahasa yunani “metodos” yang berarti : cara, jalan. Secara umum metodis berarti
metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.
Sistematis.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu obyek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, mampu menjelaskan rangkaian
sebab akibat menyangkut obyeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis
dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4.
Universal. Kebenaran yang hendak dicapai
adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh
: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang
keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal)
yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat obyeknya adalah
tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu
sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Salah satu
bahan diskusi mata kuliah Filsafat Ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2009
0 komentar:
Posting Komentar