KEDUDUKAN QANUN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Oleh
Dr. Husni Jalil, S.H., M.H.
A. PENDAHULUAN
Pasal 31 UU No. 18 tahun 2005 menyebutkan bahwa ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP), sedangkan yang menyangkut kewenangan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan Dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Ketentuan menunjukkan bahwa untuk provinsi NAD diberi kewenangan yang luar biasa untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, sehingga dalam masyarakat aceh berkembang dua pendapat yang berbeda menyangkut dengan kedudukan Qanun ini, di satu pihak yang berpendapat bahwa Qanun untuk provinsi NAD bukan Qanun biasa tetapi sudah setingkat peraturan pemeritah, sedangkan di lain pihak berpendapat bahwa Qanun tidak lain adalah Peraturan Daerah yang diganti nama. Hal ini sama Mahkamah Syari’ah yang diganti nama dari Pengadilan Agama berdasarkan Keppres No. 11 tahun 2003.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikaji adalah apakah kedudukan Qanun benar setingkat dengan Peraturan Pemerintah kalau dilihat dari tata urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia? Dilihat dari ilmu perundang-undangan apakah Qanun sebagai pelaksana UU No. 18 tahun 2001 bertentangan dengan sistem perundang-undang nasional?
B. SUMBER KEWENANGAN PEMBUATAN PERDA ATAU QANUN
Peraturan daerah atau Qanun sebagai peraturan perundang-undangan tingkat daerah dibuat untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah.
Kegiatan Pembinaan Politik Bagi Ormas/LSM, Tokoh Masyarakat, Pimpinan Pesantren Tingkat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 13-14 September 2005
Penulis adalah Dosen Fak. Hukum Unsyiah Darussalam Banda Aceh dan Dosen Magister Hukum (S2) pada Program Magister Hukum Universitas Djuanda Bogor Jawa Barat dan Dosen Doktor Ilmu Hukum (S3) pada Fakultas Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
Pemerintahan Daerah adalah satuan Pemerintahan teritorial tingkat lebih rendah yang berhak mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga daerah bersumber pada otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Sistem otonomi yang dijalankan sekarang adalah otonomi riil atau nyata, baik otonomi luas maupun otonomi khusus. Sistem otonomi ini mengandung beberapa prinsip :
1. Dasar dan isi otonomi ditetapkan berdasarkan keadaan dan faktor riil masing-masing daerah.
2. Isi otonomi dapat, bahkan akan berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain tergantung pada keadaan dan faktor riil daerah yang bersangkutan.
3. Isi otonomi dapat berasal dari penyerahan urusan pemerintahan dari satuan pemerintah tingkat atas atau inisiatif daerah sendiri atas dasar kepentingan daerah yang bersangkutan;
4. Pada dasarnya urusan pemerintahan akan menjadi urusan rumah tangga daerah kecuali mengenai hal-hal yang karena sifat dan kepentingannya harus tetap pada Pemerintah Pusat (Politik Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter dan Fiskal Nasional dan Agama)
Berdasarkan sistem otonomi nyata atau riil di atas, peraturan perundang-undang tingkat daerah akan mengatur urusan rumah tangga daerah, baik yang berasal penyerahan urusan oleh satuan pemerintah tingkat atas atau urusan yang dianggap penting untuk diatur daerah.
Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat Peraturan Daerah atau Qanun yang terlepas dari sistem perundang-undangan secara nasional. Peraturan Daerah atau Qanun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional. Oleh karena itu tidak boleh ada Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau kepentingan umum.
C. MATERI MUATAN DAN KEDUDUKAN QANUN DALAM TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Pasal 1 ayat (8) UU No. 18 tahun 2001 ditentukan bahwa Qanun Provinsi NAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi NAD dalam penyelenggaraan otonomi khusus. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa isi muatan Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat delegasi status undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam penyelenggaraan otonomi khusus. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UU No.18 tahun 2001 yang menentukan bahwa ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah Provinsi NAD ditetapkan dengan Qanun.
Pelaksanaan sebuah Undang-undang dengan Qanun atau Peraturan Daerah (Perda) bukan hal yang baru di Republik Indonesia, karena sudah pernah ada sejak Indonesia merdeka, akan tetapi luput dari ingatan kita. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Pasal UU No. 22 tahun 1948, Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebetukan bahwa pembebasan atau pengembalian pajak harus diatur dengan Peraturan Daerah
2. Pasal 3 UU Drt No. 11 tahun 1957, Tentang Peraturan Umum Pajak menyebutkan bahwa mengadakan, merubah dan meniadakan pajak daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dan Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa penunjukan wilayah dimana statu pajak daerah akan dipungut ditentukan dalam Peraturan Pajak Daerah
3. Pasal 19 ayat (2) Penetapan presiden No. 5 tahun 1960, Tentang DPRD GR dan Sekretariat Daerah menyebutkan bahwa kedudukan dan kedudukan keuangan serta syarat-syarat untuk diangkat menjadi sekretaris daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
4. Pasal 65 ayat (1) UU No. 18 tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa peraturan Pengangkatan, Pemberhentian, Gaji, Pensiun, Uang Tunggu Mengenai Kedudukan Pegawai Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
5. Pasal 46 ayat (3) UU No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menyebutkan bahwa pembentukan jumlah anggota dan tata kerja badan pertimbangan daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan Undang-Undang dengan Peraturan Daerah atau peraturan lain sudah pernah terjadi di Indonesia, sehingga kewenangan Qanun sebagai pelaksana Undang-Undang No.
18 tahun 2001 bukan hal baru atau bukan hal yang istimewa. Dalam teori perundang-undangan hal semacam itu disebut delegasi perundang-undang (kuasa perundang-undangan) dimana pengaturan dengan peraturan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang, artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur dengan peraturan perundangan tingkat lebih rendah (Qanun atau Perda). Dengan demikian Qanun hanya mengatur apa yang didelegasikan (dikuasakan) olehUU No. 18 tahun 2001, dan tugasnya hanya apa yang dikuasakan, sehingga tidak serta merta digeneralisasikan setingkat dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah telah diatur secara tegas dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Berdasarkan ketentuan ini Peraturan Pemerintah dibuat oleh presiden hanya untuk melaksanakan undang-undang. Tidak akan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UUD, TAP MPR atau semata-mata pada kewenangan mandiri.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tata urutan perundang-undangan di bawah ini.
TAP MPRS NO.
XX/MPRS/1966
TAP MPR NO.
III/MPR/2000
UU NO. 10 TAHUN 2004
- UUD 1945
- Tap MPRS
- Undang-Undang/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan pelaksanaan
lainnya,yang meliputi :
➢ Peraturan Menteri
➢ Instruksi Menteri
➢ Dan lain-lain.
- UUD 1945
- Tap MPR
- Undang-Undang
- Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Daerah.
- UUD 1945
- Undang2/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah :
➢ Peraturan Daerah
Provinsi
➢ Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
➢ Peraturan Desa
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa Peraturan Pemerintah berada di bawah Undang-Undang, sedangkan Peraturan Daerah berada di bawah peraturan presiden. Sebagai telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan Pemerintah dibuat oleh presiden untuk menjalan UU sedangkan Perda atau Qanun dibuat oleh Kepala Daerah bersama dengan DPRD untuk melaksanakan urusan rumah tanggnya, sehingga kalau Qanun dianggap setingkat dengan PP maka Kepala Daerah bersama DPRD juga setingkat dengan Presiden.
Selain itu Peraturan Pemerintah yang telah dibentuk, menyangkut pembatalannya tidak semudah Peraturan Daerah atau Qanun, karena untuk PP harus melalui putusan Mahakamah Agung (judicialreview) atau bersifat pasif, artinya pembatalan baru terjadi apabila ada pihak yang mengajukan gugatan ke Mahmakah Agung, apabila hal tidak ada maka Peraturan Pemerintah tersebut terus berlaku sepanjang belum dicabut atau diganti yang baru. Hal ini sesuai teori Undang-Undang harus dicabut dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah harus dicabut dengan Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya, sedangkan pembatalan Qanun atau Perda prosedurnya yang harus ditempuh melalui pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah atasan. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan Peraturan Daerah atau Qanun dan Peraturan Daerah, pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara yaitu
1. Pengawasan terhadap rangcangan Perda atau Qanun yang mengatur tentang pajak daerah, retribusi daerah dan APBD sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
Perda Provinsi dan Gubernur untuk Perda atau Qanun kabupaten/kota (pengawasan preventif)
2. Pengawasan terhadap semua Perda atau Qanun selain yang termasuk di atas, wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk perda atau provinsi dan Gubernur untuk Perda atau Qanun kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi (pengawasan refresif).
D. PENUTUP
1. Kedudukan Qanun tidak dapat disamakan dengan Peraturan Pemerintah kalau dilihat dari tata urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, meskipun sebagai pelaksana UU No. 18 tahun 2001
2. Secara ilmu perundang-undangan Qanun sebagai pelaksana UU No. 18 tahun 2001 tidak bertentangan dengan sistem perundang-undangan nasional, karena delegasi (kuasa) pengaturan menyebutkan secara tegas
atau konkrit bentuk peraturan perundang-udangan delegasi.
0 komentar:
Posting Komentar