Tantangan Terhadap Teori Implisit dan Munculnya Teori Eksplisit
(Salah satu bahan diskusi di asrama Himpunan Mahasiswa Banten Jakarta semester 1)
Orang sangat
berbeda-beda dalam hal dimana asumsi-asumsi teoritisnya yang bersifat implicit
itu menjadi eksplisit, atau muncul ke permukaan kesadaran, seperti halnya juga
mereka berbeda menurut sikap kritis atau
atau sikap defensifnya terhadap kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi ini.
Apa yang merangsang beberapa orang itu untuk menjadi lebih sadar akan
asumsi-asumsi dasar dan mengujinya secara obyektif? Lebih khusus lagi pertanyaannya,
apa yang mendorong orang untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat
lewat disiplin sosiologi? berikut ini
saya mengemukakan beberapa hal sebagai tanggapan atas pertanyaan ini.
Rupanya teori-teori yang dimiliki orang secara implisit akan tetap
implisit, sepanjang mereka tidak sadar akan persfektif-perspektif lainnya, dan
kebiasaan-kebiasaan atau kepercayaan-kepercayaan tradisional itu tidak
ditantang. Dengan munculnya alternative-alternatif atau tantangan-tantangan
itu, orang dapat merasa terpaksa untuk membenarkan atau untuk merevisi
kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan mereka, yang dapat membantu
mereka menjadi sadar akan kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi teoritis,
yang dulunya bersifat implisit dan tidak terungkapkan secara jelas.
Tantangan-tantangan terhadap asumsi-asumsi implisit itu dapat
muncul dari beberapa sumber. kontak yang semakin sering antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya dengan kebudayaannya yang berbeda-beda dapat
memungkinkan mereka untuk menilai masyarakatnya sendiri. Perubahan sosial yang pesat dapat membuat
kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan itu menjadi
tidak relevan atau usang dan dapat merangsang perkembangan teori-teori baru,
sekaligus menanggulangi masalah yang muncul dari perubahan itu. tingkat
penyimpangan yang tinggi atau tantangan-tantangan terhadap status-quo yang
digencarkan oleh kelompok-kelompok kecil yang tertekan dalam suatu masyarakat
dapat merangsang usaha-usaha sadar diri dari kelompok-kelompok dominan untuk
membenarkan kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
pengalaman-pengalaman ini tidak menghilangkan asumsi-asumsi yang implisit dan
yang diterima begitu saja yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan
terhadap teori-teori implisit biasanya akan mencakupi sebagian dari semua
asumsi yang meliputi pandangan hidup seseorang.
Dalam suatu masyarakat yang sangat stabil,
yakni masyarakat yang terisolasi dari masyarakat-masyarakat lainnya, kita dapat
mengharapkan bahwa kebanyakan orang nampaknya tidak memikirkan asumsi-asumsi
dasar dalam pandangan hidupnya, atau implikasi-implikasi teoritis yang terdapat
dalam tata cara dan kebiasaan sehari-hari yang mereka ikuti. Karena mereka
tidak diminta untuk membenarkan dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dan
kepercayaan-kepercayaannya, orang-orang seperti itu tidak menerima kenyataan
sosial di mana mereka termasuk, sebagai suatu masalah intelektual. Sebaliknya,
ada suatu kualitas yang jelas dan benar-benar ada dalam kenyataan sosial yang
tidak menuntut lagi pembenaran secara sadar dan disengaja. Usaha sadar diri
untuk mengembangkan suatu penjelasan teoritis tentang kenyataan sosial rupanya
dilihat sebagai suatu layihan yang sepele saja dalam menjelaskan sesuatu yang
sudah jelas.
Di lain pihak, pada masyarakat yang ditandai
perubahan sosial yang pesat, atau masyarakat yang bersifat terbuka terhadap
banyak kebudayaan atau subkultur, kita dapat mengharapkan banyak orang untuk
melihat kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan yang ada pada mereka
dalam lingkungan sosialnya secara langsung dengan suatu sikap intelektual yang
netral dan obyektif. Orang-orang seperti itu dapat menerima penuh
kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan ini, namun penerimaan itu
rupanya lebih mencerminkan suatu pilihan yang sadar, daripada apabila
masyarakat itu berada dalam keadaan stabil, atau sama sekali tidak ada
alternatif-alternatif budaya.
Sebagai contoh, apabila bentuk-bentuk keluarga
tradisional diterima secara mentah-mentah, mungkin tidak pernah terlintas dalam
pikiran anak muda bahwa ada alternatif lain yang realistis untuk menikah
(sesudah masa pacaran seperlunya) dan untuk berkeluarga. Tetapi dalam suatu
masyarakat maju, di mana bentuk keluarga tradisional dan peran-peran yang
didasarkan pada seks sedang mengalami perubahan yang sangat pesat, anak muda
dapat merasakan kebutuhan untuk memilih diantara beberapa alternatif yang
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa orang akan memberikan
reaksi sesuai dengan harapan dan tekanan yang datang dari keluarga atau
teman-teman tanpa memikirkan secara sadar akan adanya alternatif-alternatif
lain; namun alternatif-alternatif itu baru ada kalau mereka mau melihatnya.
Ada kekecualian terhadap generalisasi ini. Beberapa orang yang hidup
dalam lingkungan sosial yang stabil dan terlindung tidak mempertahankan suatu
sikap yang nonreflektif atau yang nonkritis terhadap kenyataan sosialnya. Dalam
komunitas-komunitas kampung yang stabil dapat ada orang-orang yang berfikir
bebas, orang yang skeptic, orang yang tidak konformis yang mempertanyakan apa
yang tidak pernah dibuat orang lain. Orang muda acapkali mempertanyakan
kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah mapan; dalam proses
untuk mencoba memberikan jawaban-jawabannya, orang tua bisa menjadi lebih
reflektif dan lebih kritis terhadap dirinya sendiri. Dilain pihak, orang yang
berada dalam lingkungan sosial yang mengalami perubahan yang pesat di mana ada
sejumlah alternative subkultural mungkin tidak melihat lingkungan sosialnya itu sebagai sumber
teka-teki intelektual; bisa saja mereka hidup begitu saja tanpa adanya suatu
refleksi yang mendalam mengenai sesuatu yang lain daripada hidup dari hari ke
hari, yang mungkin mengalami kepuasan pribadi dan merasa agak senang dengan cara
seperti itu.
Perubahan sosial yang pesat hampir selalu
disertai munculnya ketegangan-ketegangan dan perpecahan dalam struktur sosial
dan kesenjangan budaya (cultural-lag) serta diskontinuitas. Semua ini dialami
sebagai masalah-masalah sosial di mana tradisi yang sudah mapan tidak
menyediakan jawaban-jawaban yang siap pakai. Mencari jalan keluar,
kadang-kadang mengakibatkan orang mempertanyakan asumsi-asumsi tradisional dan
menciptakan bentuk-bentuk baru. Tetapi bisa juga orang berusaha untuk membela
asumsi-asumsi tradisional, dengan jalan menginterpretasikannya kembali, di mana
artinya dapat disesuaikan dengan situasi yang baru. Bagaimanapun juga, banyak
bentuk sosial atau budaya kehilangan kualitas yang jelas, yang nyata, di mana
orang menerima dan mengikutinya secara otomatis; sebaliknya, bentuk-bentuk itu
menjadi sangat tidak pasti dan dapat diubah oleh orang-orang yang berbeda latar
belakang budaya atau subkulturnya.
Pengakuan
akan sifat kenyataan sosial yang bisa dibentuk dan berubah-ubah itu tidak berlaku
untuk semua struktur sosial, atau semua segi dari pandangan hidup seseorang.
Beberapa bentuk tradisional dapat kehilangan sifatnya yang mempunyai kekuatan
untuk diterima begitu saja, dan karena itu dapat dipermasalahkan dan ditantang;
tetapi beberapa yang lain akan terus diterima secara implisit. Selain itu,
sebagai pengganti bentuk-bentuk tradisional yang sedang mengalami perubahan
pesat, bentuk-bentuk baru akan muncul; banyak dari bentuk-bentuk baru itu
akhirnya pasti akan diterima secara implisit, tanpa persoalan. Tetapi proses
perubahan sosial akan jarang demikian meresapnya sehingga tidak ada tradisi
mapan lagi yang akan diterima dan diikuti secara implisit.
Pengalaman akan adanya marginalitas sosial
dapat juga mendorong terjadinya refleksi yang sadar akan kenyataan sosial.
Marginalitas berarti bahwa seseorang itu berada hampir di luar batas suatu
kelompok atau suatu satuan budaya; dia terlibat di dalamnya, tetapi tidak
penuh; dia mampu berinteraksi dengan mereka yang berada dalam kelompok itu,
tetapi sebagai orang luar, yang tidak menerima kenyataan sosial itu secara
penuh, serta implisit dia diterima oleh orang dalam yang beranggota penuh.
Hampir semua orang pernah mengalami hal ini
pada suatu ketika. Anggota baru dari suatu organisasi atau klub, atau penghuni
baru (wisatawan) dalam suatu komunitas, sekurang-kurangnya mengalami fase
marginalitas ini. Sikap orang baru terhadap pelbagai kebiasaan dan kepercayaan
yang diterima orang dalam akan lebih obyektif yang lebih netral dibandingkan
dengan orang dalam; orang marginal sering mengerti, dan mungkin orang dalam
tidak demikian, bahwa pola-pola budaya yang diterima bukan tidak dapat
dielakkan, tetapi dalam kehidupan sosial pola-pola itu dapat diciptakan dan
diubah. Orang dalam mungkin tidak mampu, atau tidak bersedia untuk melihat
kebiasaan-kebiasaan yang mapan dengan cara seprti ini, karena menurut mereka
faktanya sudah jelas dan tidak dapat dielakkan, atau tidak usah dipersoalkan
lagi.
Perbedaan diantara orang-orang yang tidak rela
menguji diunia sosialnya secara obyektif dan analitis tidak semata-mata
berhubungan dengan lingkungan sosial saja. Tanpa melihat pengaruh lingkungan
sosial, refleksi yang sadar mengenai diri sendiri, atau analisa intelektual mengenai
bentuk sosial atau bentuk budaya, ditingkatkan dengan jalan memiliki sikap
ilmiah yang netral dan obyektif, khususnya yang berhubungan dengan perilaku manusia
dan masyarakat. Minat yang semakin besar terhadap ilmu-ilmu sosial itu sendiri
dapat dirangsang oleh pelbagai pengalaman sosial seperti yang baru kita
diskusikan; tetapi pendidikan ilmu sosial juga memperbesar kesediaan untuk
menguji bentuk-bentuk sosial secara obyektif dan analitis, khususnya bagi
mereka yang mempelajari isu-isu yang dimunculkan oleh perspektif ilmu sosial.
Pendidikan dalam ilmu-ilmu sosial secara
eksplisit mendorong sikap bertanya dan sikap obyektif terhadap kenyataan sosial
dan menyadarkan akan luasnya jangkauan dari alternatif-alternatif budaya.
Akibatnya mungkin dapat mengurangi etnosentrisme atau parokialisme. Dalam
proses ini, kebiasaan-kebiasaan sosial dan kepercayaan-kepercayaan menjadi
relatif, dan orang-orang akan menjadi lebih sadar akan alternatif-alternatif
budaya yang bersifat kompetitif. Karena itu pendidikan dalam ilmu-ilmu sosial
dapat menjadi suatu pengalaman di mana kita dapat meningkatkan kesadaran kita;
pendidikan itu mendorong kita untuk sadar akan asumsi-asumsi implisit yang
berhubungan dengan kenyataan sosial dan alternatif-alternatif budaya.