Klasifikasi
Talak
1. Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz
terbagi menjadi talak
sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang difahami dari
makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang
lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua
kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.
Dengan redaksi talak di atas,
jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini
didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi
serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya.
Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan redaksi talak di atas
maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami
menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka
tidak terjadi talak.
Dari Aisyah
r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau
(kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung
kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau
telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau
bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i
VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a.,
ketika ia dan dua rekannya tidak bicara oleh Nabi saw, karena mereka
tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah
mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya),
’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus
mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar
menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata,
kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan
Nasa’i VI:152).
2. Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya
berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.
Redaksi talak munajazah ialah
pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap
bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia
berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’.
Hukum talak munajazah ini
terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat
sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu
seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia
berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum talak mu’allaq ini
apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka
jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud
oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang
isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka
ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak
terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi,
maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
3. Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak
terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i. Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan
isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya
sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum
mencampurinya.
Allah SWT berfirman, ”Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.” (Al-Baqarah:229).
“Hai Nabi
apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud
ayat di atas sebagai berikut : Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang
haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu
beliau menjawab, ”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali)
kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci
dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu
jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093
no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu
Daud, dan Nasa’i VI:138).
Adapun talak bid’i ialah talak
yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak
isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah
mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu
majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak,
engkau ditalak.
Hukum talak ini adalah haram,
dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang
haidh, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj’i, maka
ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya
hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau
ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah
sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu Umar
r.a..
Adapun dalil tentang jatuhnya
talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar
ra, ia berkata, ”Ia
(isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128
dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut : “Sesungguhnya Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk
kepada isterinya dan beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak
ia lakukan bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua.
Dan manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak satu
pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap jatuh talak
satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang amat sangat jauh,
karena dalam kisah ini banyak perintah isyarat yang menunjuka kepada,
jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea dikhayalkan bahwa Abdullah bin
Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu berdasar rasional semata, padahal di
yang meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah marah atas perbuatannya itu?
Bagaimana mungkin ia tidak
mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”
Lebih lanjut al-Hafizh
mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i
pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mencerai
isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah
saw, maka jawab Beliau, ”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya,
kemudian teruskanlah pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi
Dzi’b dalam hadits ini meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu
talak satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan
bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi saw
tentang pernyataan itu.
Lebih lanjut al-Hafizh
mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid bin Harun dari Ibnu Abi
Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari Ibnu Umar ra dari Nabi
saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu” (sanadnya Shahih Irwa-ul
Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah
jelas) dalam permasalahan yang diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk
mengikuti nash ini.
Talak Tiga
Adapun seorang suami yang
mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu
majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,
”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa
khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra
berkata, ”Sesungguhnya orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan
(thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami
berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099
no:1472).
Pendapat Umar ini adalah
ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan menurut
pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw. dan yang
menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Beliau dan pada masa khalifah
Beliau. Selesai.
4. Talak Ditinjau dari Segi
Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu
talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami
untuk rujuk kepada isterinya). Talak bain terbagi dua, yakni bainunah shughra
dan bainunah kubra.
Talak raj’i adalah talak isteri
yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari isteri
dan sebagai talak pertama atau talak kedua.
Allah SWT befirman, ”Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.” (Al-Baqarah:229).
Wanita yang
dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri
yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya
pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus
mendapat ridha dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT
berfirman, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka
(para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 627 - 635.