HUKUM MENJAWAB SALAM, ADZAN, DAN KHUTBAH MELALUI MEDIA REKAMAN DARI KASET ATAU ALAT ELEKTRONIK LAINNYA.
A. HUKUM MENJAWAB SALAM YANG DI UCAPKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
Syari’at islam menganjurkan untuk menyampaikan salam dan menetapkan kewajiban untuk menjawab salam . Dalam islam ucapan salam yang di ucapkan menjadikan suatu do’a pada satu sama lain, ini mencerminkan bahwa dalam islam ikatan ukhuwwah yang tertanam sangatlah kokoh dalam kehidupan bersosial-nya. Ucapan salam yang kita dengar dalam kehidupan sehari-hari menjadi suatu kewajiban untuk kita selaku umat muslim menjawabnya dan merupakan suatu kebaikan apabila ucapan salam itu kita jawab. Salam yang di ucapkan melalui lisan mungkin hal yang sudah diketahui hukum untuk menjawabnya akan tetapi ucapan salam melalui media elektronik atau seorang presenter TV hukum menjawab salam tersebut masih banyak orang yang tidak mengetahui hukumnya secara jelas, dalam hal ini kami selaku pemakalah akan menyampaikan penjelasan hukum menjawab salam tersebut.
Satu persoalan kontemporer yang muncul seputar kewajiban menjawab salam adalah, apa hukum menjawab salam yang berasal dari suara radio, presenter TV, kaset, bel rumah hingga surat atau artikel yang menulisakan salam pada permulaannya?
Masalah ini cukup penting kita kaji karena seringnya kita tidak mengindahkan ucapan-ucapan salam semacam itu. Kebanyakan kita menganggap bahwa kewajiban menjawab salam adalah jika diucapkan oleh seseorang secara langsung. Jawaban persoalan ini bisa kita dapatkan pada salah satu fatwa dari Syaikh Shalih bin Fauzan, beliau menyatakan bahwa:
"Wajib hukumnya menjawab salam jika mendengarnya dari orang secara langsung atau melalui media tulisan atau media elektronik yang ditujukan untuk pembacanya atau pendengar. Hal ini berdasarkan pada keumuman dalil tentang wajibnya menjawab salam."
Adapun dalil-dalil tentang wajibnya menjawab salam diantaranya;
"Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyah, maka balaslah tahiyah itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. 4:86)
Rasulullah bersabda, "Kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan orang yang bersin." (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Panjang lebar Imam al Qurthubi menjelaskan maksud ayat diatas. Menurut beliau, maksud tahiyah dalam ayat diatas “sesuai pendapat yang shahih dari beberapa pakar tafsir- adalah salam. Ulama juga sepakat bahwa memberi salam hukumnya sunah dan menjawabnya wajib. Mereka hanya berselisih pendapat tentang apakah kewajiban menjawab gugur jika salah seorang sudah menjawabnya? Imam Malik dan asy Syafi'i menyatakan gugur kewajibannya sedang al Kufiyun (para ulama Kufah) menyatakan tetap menjadi fardhu kifayah. Bahkan Imam Qatadah dan al Hasan mengatakan bahwa seorang yang tengah shalat harus menjawab salam jika salam ditujukan padanya dan hal itu tidak membatalkan shalatnya.
Dengan demikian saat mendengar ceramah dari kaset ataupun radio dan diucapkan salam hendaknya kita menjawabnya. Demikian pula saat membaca surat yang ditujukan pada kita, bisa dengan ucapan atau tulisan. Perlu diingat bahwa sunah apalagi kewajiban, apapun, yang diperintahkan syariat tak sepatutnya diremehkan.
Salam adalah sapaan yang bisa menumbuhkan rasa kasih sayang dan mempererat persaudaraan. Sebuah do'a untuk kebaikan bagi kita hingga sudah selayaknya jika kita membalas dengan do’a kebaikan pula. Namun, jika do’a berupa salam tersebut tidak diucapkan dengan benar dan hanya asal-asalan, tak ada kewajiban bagi kita menjawabnya. Misalnya ucapan salam yang sering kita dengar seperti "lam lekom" atau "salamlekom" atau salam dengan tulisan yang hanya Ass, WR WB. Sebab, tak ada doa yang terkandung dalam ucapan tersebut.
Menjawab salam memang wajib dan memberi salam memang sunah. Namun demikian ada beberapa kondisi dimana seseorang sebaiknya tidak memberi salam. Diantaranya adalah; kepada orang yang tengah buang hajat, orang yang sedang adzan maupun shalat, sedang mengantuk, orang yang dimulutnya ada makanan dan sedang membaca al Qur'an dan talbiyah saat ihram.
Ibnu Umar R.A menyebutkan, "Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya". (HR. Muslim)
Untuk memperjelas permasalahan ini berikut kami tulis beberapa fatwa ulama yang bersangkutan dengan masalah tersebut:
Pertama tentang hukum memberi dan menjawab salam dengan isyarat:
Syaikh Abdullah bin Bazz menjelaskan, tidak boleh salam dengan isyarat saja karena menyerupai orang kafir. Akan tetapi jika dalam kondisi berjauhan, diperbolehkan menggunakan isyarat dengan maksud agar dimengerti, tapi harus tetap mengucapkan kalimat salam. Yang diperbolehkan menjawab salam dengan isyarat adalah orang yang diberi salam dalam keadaan sedang shalat. (Fatwa-fatwa Terkini III, Darul Haq)
Adapun cara menjawabnya bisa dengan jari atau anggukan kepala, sebagaimana disebutkan dalam Nailul Authar, Imam asy Syaukani Juz 2/370 dan Zaadul Ma'ad dalam Bab as Salam 'alal Mushalli.
Kedua tentang kebolehan memberi dan menjawab salam dari ajnabiyah (bukan mahram):
Syaikh Shalih bin Fauzan menjelaskan, diperbolehkan memberi atau menjawab salam dari selain mahram asalkan aman dari fitnah. Artinya tidak dikhawatirkan menimbulkan kecurigaan atau hal-hal yang menjurus pada yang haram. Sebagaimana diperbolehkan pula melakukan pembicaraan baik langsung “dengan tetap menggunakan hijab- maupun melalui telepon jika ada keperluan. Pembicaraan tersebut tentunya bukan obrolan sia-sia tapi benar-benar jelas keperluannya.
Ketiga tentang, apakah sunah mengucapkan salam saat masuk masjid ataupun rumah yang kosong.
Menurut Syaikh Shalih bin Fauzan, tidak disunahkan mengucapkan salam ketika masuk masjid jika tidak adas seorangpun di dalamnya. Yang disunahkan adalah shalat tahiyatul masjid sebelum duduk.
Adapun saat memasuki rumah yang kosong, disunahkan mengucapkan salam. Hal ini seperti terdapat dalam riwayat Ibnu Umar, beliau berkata, "Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan :
"Semoga keselamatan tercurah pada kita dan semua hamba Allah yang shalih." (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad).
B. HUKUM ADZAN MELALUI KASET
Permasalahan yang muncul di jaman serba canggih saat ini sungguh sangat banyak dan menjadi sesuatu yang tidak asing didengar, masalah-masalah fiqih yang berkembang saat ini menjadi suatu perbincangan yang tak ada habisnya untuk diperdebatkan. Dalam hal ini permasalahan penetapan hukum yang berkaitan dengan masalah adzan dengan menggunakan media kaset menjadi salah satu pembahasan dalam pembelajaran pada Masail fiqhiyyah salah satu mata kuliah yang di ajarkan di fakultas Syariah dan Hukum. Menyikapi permasalahan penetapan hukum ini para ulama setuju bahwa adzan menggunakan kaset atau media elektronik lainnya maka hukumnya dilarang hal ini telah di fatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Beliau berpendapat bahwa adzan adalah ibadah sedangkan dalam ibadah harus dilakukan dengan Niat.
Dalam buku 100 Masail Fiqhiyyah KH. Moch Anwar berpendapat bahwa hukum adzan dengan menggunakan kaset atau tape itu dilarang dalam hal ini beliau berargumentasi pada Hadits nabi sebagai berikut:
Pertama:
Artinya: “Apabila telah tiba waktu salat, maka adzanlah salah seorang dari kamu sekalian”. (H.R Muslim)
Kedua: Sabda Nabi SAW: “Apabila kamu berada disekitar kambingmu atau pedagang rumputmu, lalu kamu adzan untuk salat, maka keraskanlah suaramu dengan panggilan itu, sebab seluruh jin dan manusia yang mendengarnya akan menjadi saksi bagimu pada hari kiamat, bahwa kamu telah adzan.” (H.R Bukhori)
Sabda Nabi SAW tersebut ditunjukan pada seseorang bukan pada benda.
Dalil yang ketiga yaitu:
Artinya: disunatkan adzan bagi laki-laki walaupun dia mendengar adzan dari orang lain, selama ia tidak termasuk orang yang dipanggil oleh adzan orang lain itu, seumpama dia mendengar adzan dari tempat dimana ia akan salat disana dan kemudian dia salat disana, tidak disunatkan baginya adzan lagi. Penjelasan tentang hal ini dikutip dari kitab Bahyatul Mustarsyidin halaman 40.
Melengkapi penjelasan diatas menurut pendapat KH Sirajuddin Abbas dalam bukunya 40 Masalah Agama jilid dua beliau menuliskan yang poin dari masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adzan dengan kaset atau tape recorder tidak syah, tidak dapat di jadikan pengganti bilal
2. Adzan dengan kaset atau tape recorder adalah perbuatan Bid’ah Dholalah, bid’ah sesat lagi menyesatkan.
Pendapat ini diperkuat oleh Hadits Nabi SAW sebagai berikut:
Artinya : “ Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu cara ibadat (Agama) yang tidak ada dalam agama kami ini, maka pekerjaan itu ditolak.” (H.R Muslim).
C. KHUTBAH MELALUI KASET ATAU MEDIA ELEKTRONIK LAINNYA
Untuk menentukan boleh tidaknya atau syah batalnya khutbah dengan menggunakan media elektronik, kita dapat mengkaji ulang pelajaran Usul Fiqh kita yang telah lalu. Dalam disiplin ilmu Usul Fiqh terdapat kaidah sebagai berikut:
Yang artinya: “apabila syarat tidak terpenuhi, maka yang disyaratinya-pun tidak ada.” Jika dikaitkan dengan hal ini khutbah yang menjadi salah satu syarat dan rukun jumat maka sudah barang tentu khutbah dengan menggunakan media elektronik tidak syah. Dan perbuatan tersebut bertentangan dengan Sabda Rasullullah SAW sebagai berikut:
Artinya : Dari Jabir bin Samurah Ra. “Bahwa sesungguhnya Nabi SAW. Berkhutbah sambil berdiri, lalu duduk, lalu berdiri lagi untuk berkhutbah (kedua). Barang siapa yang memberikan padamu, bahwa Beliau berkhutbah sambil duduk, maka sungguh berdusta orang itu. (HR Muslim).
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa jumat itu adalah pelaksanaan ibadah kepada Allah yang mempunyai syarat dan rukunnya. Apabila itu tidak dipenuhi, maka peribadatan itu tidak syah dan apabila diadakan cara lain yang berlainan dengan sunnah Rosullallah SAW, maka perbuatan tersebut adalah Bidah Dholalah.