Kamis, 27 Desember 2012

kejujuran, pengendalian diri dan keberanian dalam cinta













kejujuran, pengendalian diri dan keberanian dalam cinta




AGATHON : sedah begitu banyak dikatakan tentang kejujuran dan pengendalian diri dan keberanian sang dewa cinta; namun dalam dirinya masih ada kecerdasan, dan aku harus berusaha sebaik-baiknya untuk menilainya dengan adil. pertama-jika, seperti eryximachus, aku bisa membanggakan penilaianku sendiri-cinta adalah diri sendiri, yakni seorang penyair yang penuh ilham, sehingga ia mampu membuat orang-orang lain menjadi penyair. bagaimanapun juga, barangsiapa yang disentuh oleh cinta akan menjadi penyair, "meski sebelumnya ia tidak mengenal para muse".

"saat seseorang, bermula dari dunia yang bisa ditangkap indra ini, kemudian memperoleh kemajuan denganmemanfaatkan perasaan cintanya secara tepat terhadap anak laki-laki, mulai menangkap gambaran tentang keindahan sejati, dia berarti sudah sangat dekat dengan tujuannya. ini adalah cara yang tepat untuk mengenal misteri-misteri cinta; mengawalinya dengan contoh-contoh keindahan di dunia ini dan menggunakanya sebagai tangga untuk naik terus-menerus menuju  keindahan mutlak sebagai tujuannya, dari satu tahap keindahan tertentu menuju dua tahap lainnya dan dari dua menuju semuanya, lalu dari keindahan ragawi menuju keindahan etis, dan dari keindahan etis menuju keindahan pengetahuan, hingga akhirnya dari berbagai jenis pengetahuan dia tiba pada pengetahuan tertinggi, yang satu-satunya objeknya adalah keindahan mutlak dan dia memperoleh pengetahuan tentang apa keindahan mutlak itu."

"mata bathin mulai melihat dengan jelas saat mata ragawi mulai meredup."

Minggu, 16 Desember 2012

“Engkau Yang Lena”




“Engkau Yang Lena”


Sejak engkau hadir…
Dalam dunia kecilku…
Semua duka yang melekat…
Perlahan terpupus dariku…

Setiap detik yang kuhirup…
Dalam bumi nan segar…
Hanya senyumu…
Yang terbayang dalam hidupku…

Engkau yang lena dalam hatiku…
Berdetak bersama jantungku…
Mengalir dalam darahku…
Membentuk romantika cinta…

Engkau yang kujunjung…
Kupuji di ujung lidah…
Kupangku di lengan…
Kuteduhkan dengan selendang dendang…

Mari berdendang dara asmara…
Biar terdengar gemuruh…
Di dalam pantai hati…
Yang sepi nan sunyi tanpamu…

Kategori Perangkat Lunak





Roger S. Pressman membagi tujuh kategori perangkat lunak, yaitu (Pressman, 2005):
1.                   System Software
System software adalah gabungan dari beberapa program yang ditulis untuk melayani program lainnya. Contoh dari system software seperti compilers, editors, and file management utilities. Adapun contoh lain dari aplikasi system software adalah komponen-komponen sistem operasi, drivers, networking software, telecommunication processors. Pada beberapa kasus system software dikarakteristikkan oleh banyaknya interaksi dengan perangkat keras komputer, pengguanaan besar oleh banyak pengguna, operasi yang membutuhkan penjadwalan, berbagi sumberdaya dan manajemen proses yang canggih, kompleksitas struktur data, dan antar muka eksternal.
2.                   Application Software
Application software terdiri dari beberapa program stand-alone yang menyelesaikan kebutuhan bisnis yang spesifik. Aplikasi jenis ini memproses data bisnis sebagai cara untuk memfasilitasi operasi bisnis dan menejemen pengambil keputusan. Pada aplikasi yang memproses data secara konvensional, application software digunakan untuk mengatur fungsi bisnis di waktu nyata (real-time). Contohnya seperti aplikasi points of sale, aplikasi manufaktur yang mengatur kontrol proses secara nyata (realtime).
3.                   Engineering / Scientific Software
Kategori perangkat lunak ini, telah digolongkan oleh algortima “number-crunching”, lingkup aplikasi dari astronomi sampai vulkanologi, dari analisis perhitungan otomotif hingga orbit luar angkasa yang dinamis, dan dari biologi molekuler hingga produksi otomatis, aplikasi kategori ini dipergunakan bagi kepentingan riset dan pengolahan perhitungan bidang ilmu terapan (scientific).
4.                   Embedded Software
Kategori perangkat lunak ini terletak pada kedalaman sebuah produk atau sistem dan digunakan untuk menjalankan dan mengatur fitur dan fungsi-fungsi untuk kebutuhan pengguna dan sistem itu sendiri. Contohnya adalah tombol pengaturan untuk oven microwave, tombol digital untuk pengaturan penunjuk bahan bakar, sistem pengereman pada kendaraan.
5.                   Product-line Software
Dirancang untuk menyediakan kemampuan spesifik bagi pengguna yang beragam. Product-linse Software dapat fokus kepada target pasar tertentu dan terbatas (contohnya aplikasi pengaturan inventori) atau  kepada target pasar acak (contoh word processing, computer graphic, multimedia, entertainment, database management, personal and business financial applications).
6.                   Web Applications
Kategori ini sering disingkat “Webapps”. Dalam versi sederhananya webapps dapat berupa kumpulan file hypertext yang menampilkan informasi menggunakan teks dan grafik yang terbatas. Namun semisal e-commerce dan aplikasi B2B, WebApps berkembang kedalam lingkungan komputer yang kompleks yang tidak hanya mengembangkan features standalone program, fungsi perhitungan kompleks, dan isi kepada penggunannya, tetapi juga terintegrasi dengan database perusahaan dan aplikasi bisnis.
7.                   Artificial Intelligence Software (AI)
Pembuatan Artificial Intelligence Software menggunakan algoritma nonnumerical untuk memecahkan masalah yang kompleks yang tidak dapat dilakukan olperhitungan atau analisis langsung. Aplikasi yang termasuk pada kategori ini adalah robotic, expert system, pattern recognition image or voice, artificial neural network, theoremproving, game playing.

Pengertian Zhihar



Pengertian Zhihar
Secara lugwahi bahasa ‘kata zhihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata zhihar berarti suatu ungkapan suami kepada isterinya, ”Bagiku kamu seperti punggung ibuku” dengan maksud dia hendak mengharamkan isterinya bagi dirinya.

Contoh dan Beberapa Kasus Zhihar
Barangsiapa yang mengatakan kepada isterinya ’Bagiku engkau seperti punggung ibuku”, berarti dia menzhihar isterinya dan menjadi haram baginya isterinya, maka dia tidak boleh mencampurinya dan tidak pula bermesraan dengannya melalui bagian anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia menebusnya dengan membayar kafarah sebagaimana yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya:
Dan orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan orang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-tutur sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah dan bagi orang kafir ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah: 3-4).
Dari Khuwailah binti Malik bin Tsa’labah bertutur, ”Suamiku Aus bin ash-Shamit telah menzhiharku. Lalu aku datang, menemui Rasulullah saw. mengadukan hal tersebut kepada beliau, namun beliau mendebat aku perihal suamiku. Beliau bersabda (kepadaku), ’Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya dia (suamiku) itu adalah pamanmu’, Aku tidak bisa tidur malam hingga Allah menurunkan ayat, ’Sesungguhnya Allah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.’ Kemudian beliau bersabda, ’Dia harus memerdekakan seorang budak.’ Saya jawab, (Ya Rasulullah), ’Dia tidak mempunyai kekayaan yang bisa dipergunakan untuk memerdekakan budak.’ Sabda beliau lagi, ’Hendaklah dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.’ Saya jawab, ’Ya Rasulullah, dia adalah seorang yang sangat tua, sehingga tidak mungkin dia sanggup berpuasa sebanyak itu.’  lanjut beliau, ’Hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin.’ saya jawab, ’Dia sama sekali tidak mempunyai sesuatu yang cukup dishadaqahkan kepada mereka itu,’  maka pada saat itu dia dibawakan satu ’arak(sha’) kurma kering. Kemudian saya berkata, ”Ya Rasulullah aku akan membantunya dengan satu arak (satu sha’) yang lain.’ Sabda beliau, ”Engkau telah berbuat baik, pergi dan bershadaqahlah untuknya dengan korma itu kepada enam puluh orang miskin. Kemudian hendaklah engkau kembali ke pangkuan putera pamanmu.’ Sabda beliau (lagi), ’Dan satu ’arak itu adalah enam puluh sha.’” (Hasan: Shahih Abu Daud no:1934, tanpa perkataan ”WAL ’ARAK” (Dan, satu ’arak), dan ”Aunul Ba’bud VI: 301 no:2199).
Dari Urwah bin az-Zubair bahwa Aisyah r.a. berkata, ”Maha Suci Dia yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya aku benar-benar mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah yang sebagian perkataannya untuk tidak jelas bagiku, yaitu dia mengadukan ikwal suaminya kepada Rasulullah saw. yakni ia berkata, ”Ya Rasulullah, dia (suamiku) telah menikmati masa mudaku dan perutku telah melahirkan banyak anak darinya hingga ketika usiaku tua dan sudah menopouse, dia menzhiharku. Allahumma, ya Allah, sejatinya aku mengadukan (ihwalnya) kepadamu. Maka hingga malaikat Jibril menurunkan beberapa ayat, ”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.”(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1678 dan Ibnu Majah I:666 no:2063).
Barangsiapa yang menzhihar isterinya dalam jangka sehari atau sebulan, semisalnya, yaitu dia berkata, ”Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan”, misalnya jika dia menepati sumpahnya, maka, dia tidak terkena denda namun manakala dia mencampurinya sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia wajib membayar kafarah zhihar.
Dari Salamah bin Shakhr al-Bayadhl bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang. Ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan berakhir. Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka jawab mereka,  ’kami tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya. Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini. Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw. kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki (seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang telah menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami telah menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan makan malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).”(Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1677, Ibnu Majah I : 665 no:2062 dan ’Aunul Ma’bud VI:298 no:2198, Tirmidzi II:335 no:1215 secara ringkas).
Walhasil bahwa Nabi saw tidak menegur Salamah bin Shakhr al-Bayadhi karena Menshihar isterinya. Beliau menegurnya, karena ia mencampuri isterinya. Beliau menegurnya, kerena ia mencampuri isterinya sebelum berakhir rentang waktu yang ditetapkannya. 

Hukum Zhihar
Zhihar adalah haram, karena Allah SWT mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta, dan Dia mengingkari orang yang menzhihar isterinya. Allah SWT berfirman, ”Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu (menganggap isterinya sebagai ibunya), padahal tiadalah isteri mereka ibu mereka. Ibu-ibu meraka tidak lain hanyalah yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapka suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesugguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Al-Mujadilah:2).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 622 -627.

PEMBUKUAN (TADWIN) HADITS




PEMBUKUAN (TADWIN) HADITS
Definisi Tadwin
            Tadwin adalah pembukuan atau mencatat segala rupa berita dan kejadian di dalam sesuatu buku, tidak mencukupi dengan lafadhan saja. Orang-orang Arab Hizaz adalah ummiyun, tidak pandai membaca dan menulis. Sedikit sekali diantara mereka yang dapat menulis. Di samping itu kaidah-kaidah memberi titik, memberi garis, membedakan antara huruf-huruf mu’jamah dan huruf-huruf muhmalah, belum lagi terkenal. Baru di zaman Abdul Malik ibn Marwan dikenal yang demikian itu oleh sejarah. (Lihat : Al-Wasith karangan Iskandar)
Lantaran inilah kebanyakan ulama Arab berpegang pada kekuatan ingatan. Mereka tidak memerlukan tulisan. Nabi Muhammad SAW sendiri yang dibangkit di antara mereka pun seorang ummi. (Lihat : Q.S Al-Alaq ayat 96) Dan karena itulah pada mulanya Nabi Muhammad SAW menolak untuk membaca apa yang dikemukakan Jibril. Rasulallah dengan sekuat tenaga untuk mengembangkan pendidikan dan pelajaran diantara ummatnya. Beliau mewajibkan atas tiap-tiap seorang tawanan Badar yang pandai membaca dan menulis, mengajar 10 orang Islam.

Gagasan Pembukuan Hadits
            Periode ini adalah masa yang mulia bagi al-hadits. Para perawi hadits memperhatikan atas wajibnya penyusunan dan pembukuan hadits. Yang dimaksud dengan menyusun hadits adalah mengumpulkan hadits yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian lain seperti hadits-hadits tentang shalat, puasa, dan lain sebagainya. Pemikiran ini timbul pada seluruh Negara-Negara Islam dalam waktu yang berdekatan sehingga tidak diketahui orang yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu. (Hudari Bik Alih Bahasa Drs. Muhammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Indonesia : Darul Ikhya’, 1980, hlm. 339)
Ide mendewankan Hadits telah menjadi pikiran Umar ibn Khattab diwaktu beliau memegang kendali khalifah. Akan tetapi tidak melaksanakan ide itu, lalu ketika pemerintahannya kira-kira satu tahun sebelum beliau wafat, timbulah ide mengumpulkan hadits dalam sebuah kitab dan membagi naskah-naskah kitab itu ke berbagai kota Islam, agar dapat dihindari perselisihan atau anggapan mengucilkannya. Beliau menyuruh Abu Bakar ibn Ham, gubernur madinah untuk melaksanakan cita-citanya itu. Beliau berkata :


Kamis, 15 November 2012

Pengharapan Senja



"Sekeras Apapun Aku Usahakan Baik Dengan Kata, Tulisan Atau Segala Kemampuanku, 
Semua Takan Berguna Jika Tidak Engkau 
Yang Menentukannya Tuhan, Karena 
Segala Sesuatunya Telah Engkau 
Tentukan 
Tuhan... 

Tak Ada Yang Bisa Aku Lakukan Untuk Satu Hal Ini, Aku Hanya Mampu Menunggu Dan 
Berusaha Semampuku Untuk Bersabar 
Dan Aku Memohon Pada Mu Tuhan 
Untuk Menjaga Hati, Jiwa Dan 
Pikiran Hamba Dalam 
Keadaan Apapun 

Karena Hanya Engkaulah Tempat Segala Pengharapanku..."


Pengharapan_Senja

Jumat, 26 Oktober 2012

Klasifikasi Talak


Klasifikasi Talak


1.      Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak  dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.
Dengan redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal  yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
Dari Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat  Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara  oleh Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2.      Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.
Redaksi talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’.
Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
3.      Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i. Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya.
Allah SWT berfirman, ”Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
“Hai Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut : Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau menjawab, ”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan Nasa’i VI:138).
Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.
Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj’i, maka ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu Umar r.a..
Adapun dalil tentang jatuhnya talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar ra, ia berkata, ”Ia (isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128 dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut :Sesungguhnya Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk kepada isterinya dan beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak ia lakukan bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua. Dan manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak satu pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap jatuh talak satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang amat sangat jauh, karena dalam  kisah ini banyak perintah isyarat yang menunjuka kepada, jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea dikhayalkan bahwa Abdullah bin Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu berdasar rasional semata, padahal di yang meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah marah atas perbuatannya itu?
Bagaimana mungkin ia tidak mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mencerai isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka jawab Beliau, ”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya, kemudian teruskanlah pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi Dzi’b dalam hadits ini  meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu talak satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi saw tentang pernyataan itu.
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu”  (sanadnya Shahih Irwa-ul Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah jelas) dalam permasalahan yang  diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk mengikuti nash ini.
 
Talak Tiga
            Adapun seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, ”Sesungguhnya orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099 no:1472).
Pendapat Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw. dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Beliau dan pada masa khalifah Beliau. Selesai.

4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isterinya). Talak bain terbagi dua, yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.
Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua.
Allah SWT befirman, ”Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT berfirman, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman  kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 627 - 635.


alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*