Jumat, 26 Oktober 2012

Klasifikasi Talak


Klasifikasi Talak


1.      Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak  dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.
Dengan redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal  yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
Dari Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat  Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara  oleh Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2.      Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.
Redaksi talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’.
Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
3.      Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i. Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya.
Allah SWT berfirman, ”Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
“Hai Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut : Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau menjawab, ”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan Nasa’i VI:138).
Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.
Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj’i, maka ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu Umar r.a..
Adapun dalil tentang jatuhnya talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar ra, ia berkata, ”Ia (isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128 dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut :Sesungguhnya Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk kepada isterinya dan beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak ia lakukan bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua. Dan manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak satu pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap jatuh talak satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang amat sangat jauh, karena dalam  kisah ini banyak perintah isyarat yang menunjuka kepada, jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea dikhayalkan bahwa Abdullah bin Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu berdasar rasional semata, padahal di yang meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah marah atas perbuatannya itu?
Bagaimana mungkin ia tidak mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mencerai isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka jawab Beliau, ”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya, kemudian teruskanlah pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi Dzi’b dalam hadits ini  meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu talak satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi saw tentang pernyataan itu.
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu”  (sanadnya Shahih Irwa-ul Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah jelas) dalam permasalahan yang  diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk mengikuti nash ini.
 
Talak Tiga
            Adapun seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, ”Sesungguhnya orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099 no:1472).
Pendapat Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw. dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Beliau dan pada masa khalifah Beliau. Selesai.

4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isterinya). Talak bain terbagi dua, yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.
Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua.
Allah SWT befirman, ”Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT berfirman, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman  kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 627 - 635.


PENGERTIAN AL-QUR’AN




PENGERTIAN AL-QUR’AN

            Dari segi bahasa, para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafadz tersebut dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an).
            Para ulama yang berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an ditulis tanpa huruf hamzah (dibaca al-Quran) adalah sebagai berikut:
1.      Asy Syafi’i (wafat 204 H) mengatakan, lafadz al-Qur’an tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akarnya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al-Qur’an. Lafadz tersebut memang nama khusus bagi al-Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat dan Injil.
2.      Al Farra’ (wafat 207 H) (Al Farra adalah seorang ulama ahli nahwu dan terkenal pula sebagai ahli bahasa arab di kufah. Nama aslinya adalah Yahya bin Ziyad ad-Dailami dan memiliki julukan abu Zakariya, ia menulis buku tentang Ma’ani al-Qur’an (ma’na al-Qur’an). Lihat : As Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,: Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. hal.10) berpendapat, lafadz al-Qur’an diambil dari kata qara’in (penguat/kaitan) karena al-Qur’an terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan (berkaitan) dan terdapat kemiripan antara satu ayat dengan ayat-ayat lainnya.
3.      Al Asy’ari (wafat 324 H) (Nama lengkapnya adalah Imam Abu Musa bin Ismail al-Asy’ari, pemimpin golongan Asy’ariyyah (kaum Asy’ariyyin). Buku-bukunya sangat terkenal, terutama mengenai sanggahannya terhadap pandangan para ahli bid’ah, penganut faham Jahmiyyah, dan juga terhadap kaum Khawarij dan kaum Rawafidh. Lihat: As Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,: Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. hal.10) berpendapat, lafadz al-Qur’an diambil dari kata kerja qurana (menyertakan/gabungan) karena al-Qur’an menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.
Para ulama yang berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan tambahan huruf hamzah ditengahnya (al-Qur’an) adalah sebagai berikut:
1.    Al- Lihyani (wafat 215 H) (Nama aslinya adalah Abu Hasan ‘Ali bin Hazim, ahli bahasa arab terkenal, buku-bukunya banyak dimanfaatkan oleh Ibnu Sayyidin dalam menulis buku berjudul al-Mukhassash. Lihat : As Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,: Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. hal.11) berpendapt, lafadz al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar qara’a yang bermakna membaca.
2.    Az Zajjaj (wafat 311 H) (Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin as-Sirri, dijuluki Abu Ishaq, penulis buku Ma’anil Qur’an, Lihat: As Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an,: Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. hal.11) berpendapat, lafad al-Qur’an merupakan kata sifat, diambil dari kata dasar al-qar’ yang artinya menghimpun karena al-Qur’an menghimpun atau mengumpulkan intisari kitab-kitab suci terdahulu.
Pendapat yang lazim dipegang masyarakat pada umumnya adalah pendapat Al-Lihyani. Pendapat yang lebih kuat dan tepat karena dalam bahasa arab lafadz al-Qur’an adalah bentuk mashdar yang maknanya sinonim dengan qira’ah, yakni bacaan. Sebagai contoh Firman Allah SWT:

¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Menurut Dairatul Ma’arif Al Islamiyah, Schwally dan Weelhausen berpendapat, bahwa kalimat “Qur’an” berasal dari bahasa Ibro (Suryani) yang ditulis “kiryani” = “keryani” artinya “yang dibacakan”. Menurut pendapat Dairatul Ma’arif, perkataan “qara’a” yang berarti “dia telah membaca”, bukan bahasa arab asli, hanya bahasa asing yang dimasukkan ke dalamnya. (Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an / Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hal 4-5.).
Dari segi terminology (Istilah), pengertian al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Manna’ Al-Qaththan : Al-Qur’an ialah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang membacanya adalah ibadah, juga akan memperoleh pahala.
2.      Menurut Al- Jurjani : Al-Qur’an ialah yang diturunkan kepada Rasulallah SAW, ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawattir tanpa keraguan.
3.      Menurut Abu Syahbah : Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan baik lafadz maupun maknanya kepada Nabi terakhir, Muhammad SAW, diriwayatkan secara mutawattir, yakni dengan penuh keyakinan dan kepastian (kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad), serta ditulis dengan mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah (1) sampai akhir surat An-Nas (114).
4.      Menurut Al-Zarqani : Al-Qur’an ialah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dari permulaan surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas.
5.      Menurut Abdul Wahhab Khallaf : Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada hati Rasulallah, Muhammad bin Abdullah melalui al-Ruhul Amin (Malaikat Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulallah, menjadi Undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT dengan membacanya. Al-Qur’an itu terhimpun dalam mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita dengan mutawattir dari generasi ke generasi secara tulisan maupun lisan. Ia terpelihara dari perubahan atau pergantian. (Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006 hal 32).
6.      Menurut Para Ahli Ilmu Kalam (Teologi Islam): Al-Qur’an ialah kalimat-kalimat yang maha bijaksana yang maha azali yang tersusun dari huruf-huruf yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan surat An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali. (Djalal, Abduh, Ulumul Qur’an, : Surabaya, Dunia Ilmu, 2000 hal 8).
7.      Menurut Kalangan Pakar Ushul Fiqih. Fiqih dan Bahasa Arab: Al-Qur’an ialah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawattir, dan ditulis pada mushaf mulai dari awal surat al-Fatiha samapi akhir surat An-Nas.

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*