Selasa, 28 Agustus 2012

Tantangan Terhadap Teori Implisit dan Munculnya Teori Eksplisit




Tantangan Terhadap Teori Implisit dan Munculnya Teori Eksplisit
(Salah satu bahan diskusi di asrama Himpunan Mahasiswa Banten Jakarta semester 1)

            Orang sangat berbeda-beda dalam hal dimana asumsi-asumsi teoritisnya yang bersifat implicit itu menjadi eksplisit, atau muncul ke permukaan kesadaran, seperti halnya juga mereka berbeda  menurut sikap kritis atau atau sikap defensifnya terhadap kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi ini. Apa yang merangsang beberapa orang itu untuk menjadi lebih sadar akan asumsi-asumsi dasar dan mengujinya secara obyektif? Lebih khusus lagi pertanyaannya, apa yang mendorong orang untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat lewat disiplin  sosiologi? berikut ini saya mengemukakan beberapa hal sebagai tanggapan atas pertanyaan ini.
Rupanya teori-teori yang dimiliki orang secara implisit akan tetap implisit, sepanjang mereka tidak sadar akan persfektif-perspektif lainnya, dan kebiasaan-kebiasaan atau kepercayaan-kepercayaan tradisional itu tidak ditantang. Dengan munculnya alternative-alternatif atau tantangan-tantangan itu, orang dapat merasa terpaksa untuk membenarkan atau untuk merevisi kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan mereka, yang dapat membantu mereka menjadi sadar akan kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi teoritis, yang dulunya bersifat implisit dan tidak terungkapkan secara jelas.
Tantangan-tantangan terhadap asumsi-asumsi implisit itu dapat muncul dari beberapa sumber. kontak yang semakin sering antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dengan kebudayaannya yang berbeda-beda dapat memungkinkan mereka untuk menilai masyarakatnya sendiri. Perubahan sosial yang pesat dapat membuat kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan itu menjadi tidak relevan atau usang dan dapat merangsang perkembangan teori-teori baru, sekaligus menanggulangi masalah yang muncul dari perubahan itu. tingkat penyimpangan yang tinggi atau tantangan-tantangan terhadap status-quo yang digencarkan oleh kelompok-kelompok kecil yang tertekan dalam suatu masyarakat dapat merangsang usaha-usaha sadar diri dari kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. pengalaman-pengalaman ini tidak menghilangkan asumsi-asumsi yang implisit dan yang diterima begitu saja yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan terhadap teori-teori implisit biasanya akan mencakupi sebagian dari semua asumsi yang meliputi pandangan hidup seseorang.
Dalam suatu masyarakat yang sangat stabil, yakni masyarakat yang terisolasi dari masyarakat-masyarakat lainnya, kita dapat mengharapkan bahwa kebanyakan orang nampaknya tidak memikirkan asumsi-asumsi dasar dalam pandangan hidupnya, atau implikasi-implikasi teoritis yang terdapat dalam tata cara dan kebiasaan sehari-hari yang mereka ikuti. Karena mereka tidak diminta untuk membenarkan dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaannya, orang-orang seperti itu tidak menerima kenyataan sosial di mana mereka termasuk, sebagai suatu masalah intelektual. Sebaliknya, ada suatu kualitas yang jelas dan benar-benar ada dalam kenyataan sosial yang tidak menuntut lagi pembenaran secara sadar dan disengaja. Usaha sadar diri untuk mengembangkan suatu penjelasan teoritis tentang kenyataan sosial rupanya dilihat sebagai suatu layihan yang sepele saja dalam menjelaskan sesuatu yang sudah jelas.
Di lain pihak, pada masyarakat yang ditandai perubahan sosial yang pesat, atau masyarakat yang bersifat terbuka terhadap banyak kebudayaan atau subkultur, kita dapat mengharapkan banyak orang untuk melihat kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan yang ada pada mereka dalam lingkungan sosialnya secara langsung dengan suatu sikap intelektual yang netral dan obyektif. Orang-orang seperti itu dapat menerima penuh kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan ini, namun penerimaan itu rupanya lebih mencerminkan suatu pilihan yang sadar, daripada apabila masyarakat itu berada dalam keadaan stabil, atau sama sekali tidak ada alternatif-alternatif budaya.
Sebagai contoh, apabila bentuk-bentuk keluarga tradisional diterima secara mentah-mentah, mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran anak muda bahwa ada alternatif lain yang realistis untuk menikah (sesudah masa pacaran seperlunya) dan untuk berkeluarga. Tetapi dalam suatu masyarakat maju, di mana bentuk keluarga tradisional dan peran-peran yang didasarkan pada seks sedang mengalami perubahan yang sangat pesat, anak muda dapat merasakan kebutuhan untuk memilih diantara beberapa alternatif yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa orang akan memberikan reaksi sesuai dengan harapan dan tekanan yang datang dari keluarga atau teman-teman tanpa memikirkan secara sadar akan adanya alternatif-alternatif lain; namun alternatif-alternatif itu baru ada kalau mereka mau melihatnya.
Ada kekecualian terhadap generalisasi ini. Beberapa orang yang hidup dalam lingkungan sosial yang stabil dan terlindung tidak mempertahankan suatu sikap yang nonreflektif atau yang nonkritis terhadap kenyataan sosialnya. Dalam komunitas-komunitas kampung yang stabil dapat ada orang-orang yang berfikir bebas, orang yang skeptic, orang yang tidak konformis yang mempertanyakan apa yang tidak pernah dibuat orang lain. Orang muda acapkali mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah mapan; dalam proses untuk mencoba memberikan jawaban-jawabannya, orang tua bisa menjadi lebih reflektif dan lebih kritis terhadap dirinya sendiri. Dilain pihak, orang yang berada dalam lingkungan sosial yang mengalami perubahan yang pesat di mana ada sejumlah alternative subkultural mungkin tidak melihat lingkungan sosialnya itu sebagai sumber teka-teki intelektual; bisa saja mereka hidup begitu saja tanpa adanya suatu refleksi yang mendalam mengenai sesuatu yang lain daripada hidup dari hari ke hari, yang mungkin mengalami kepuasan pribadi dan merasa agak senang dengan cara seperti itu.
Perubahan sosial yang pesat hampir selalu disertai munculnya ketegangan-ketegangan dan perpecahan dalam struktur sosial dan kesenjangan budaya (cultural-lag) serta diskontinuitas. Semua ini dialami sebagai masalah-masalah sosial di mana tradisi yang sudah mapan tidak menyediakan jawaban-jawaban yang siap pakai. Mencari jalan keluar, kadang-kadang mengakibatkan orang mempertanyakan asumsi-asumsi tradisional dan menciptakan bentuk-bentuk baru. Tetapi bisa juga orang berusaha untuk membela asumsi-asumsi tradisional, dengan jalan menginterpretasikannya kembali, di mana artinya dapat disesuaikan dengan situasi yang baru. Bagaimanapun juga, banyak bentuk sosial atau budaya kehilangan kualitas yang jelas, yang nyata, di mana orang menerima dan mengikutinya secara otomatis; sebaliknya, bentuk-bentuk itu menjadi sangat tidak pasti dan dapat diubah oleh orang-orang yang berbeda latar belakang budaya atau subkulturnya.
 Pengakuan akan sifat kenyataan sosial yang bisa dibentuk dan berubah-ubah itu tidak berlaku untuk semua struktur sosial, atau semua segi dari pandangan hidup seseorang. Beberapa bentuk tradisional dapat kehilangan sifatnya yang mempunyai kekuatan untuk diterima begitu saja, dan karena itu dapat dipermasalahkan dan ditantang; tetapi beberapa yang lain akan terus diterima secara implisit. Selain itu, sebagai pengganti bentuk-bentuk tradisional yang sedang mengalami perubahan pesat, bentuk-bentuk baru akan muncul; banyak dari bentuk-bentuk baru itu akhirnya pasti akan diterima secara implisit, tanpa persoalan. Tetapi proses perubahan sosial akan jarang demikian meresapnya sehingga tidak ada tradisi mapan lagi yang akan diterima dan diikuti secara implisit.
Pengalaman akan adanya marginalitas sosial dapat juga mendorong terjadinya refleksi yang sadar akan kenyataan sosial. Marginalitas berarti bahwa seseorang itu berada hampir di luar batas suatu kelompok atau suatu satuan budaya; dia terlibat di dalamnya, tetapi tidak penuh; dia mampu berinteraksi dengan mereka yang berada dalam kelompok itu, tetapi sebagai orang luar, yang tidak menerima kenyataan sosial itu secara penuh, serta implisit dia diterima oleh orang dalam yang beranggota penuh.
Hampir semua orang pernah mengalami hal ini pada suatu ketika. Anggota baru dari suatu organisasi atau klub, atau penghuni baru (wisatawan) dalam suatu komunitas, sekurang-kurangnya mengalami fase marginalitas ini. Sikap orang baru terhadap pelbagai kebiasaan dan kepercayaan yang diterima orang dalam akan lebih obyektif yang lebih netral dibandingkan dengan orang dalam; orang marginal sering mengerti, dan mungkin orang dalam tidak demikian, bahwa pola-pola budaya yang diterima bukan tidak dapat dielakkan, tetapi dalam kehidupan sosial pola-pola itu dapat diciptakan dan diubah. Orang dalam mungkin tidak mampu, atau tidak bersedia untuk melihat kebiasaan-kebiasaan yang mapan dengan cara seprti ini, karena menurut mereka faktanya sudah jelas dan tidak dapat dielakkan, atau tidak usah dipersoalkan lagi.
Perbedaan diantara orang-orang yang tidak rela menguji diunia sosialnya secara obyektif dan analitis tidak semata-mata berhubungan dengan lingkungan sosial saja. Tanpa melihat pengaruh lingkungan sosial, refleksi yang sadar mengenai diri sendiri, atau analisa intelektual mengenai bentuk sosial atau bentuk budaya, ditingkatkan dengan jalan memiliki sikap ilmiah yang netral dan obyektif, khususnya yang berhubungan dengan perilaku manusia dan masyarakat. Minat yang semakin besar terhadap ilmu-ilmu sosial itu sendiri dapat dirangsang oleh pelbagai pengalaman sosial seperti yang baru kita diskusikan; tetapi pendidikan ilmu sosial juga memperbesar kesediaan untuk menguji bentuk-bentuk sosial secara obyektif dan analitis, khususnya bagi mereka yang mempelajari isu-isu yang dimunculkan oleh perspektif ilmu sosial.
Pendidikan dalam ilmu-ilmu sosial secara eksplisit mendorong sikap bertanya dan sikap obyektif terhadap kenyataan sosial dan menyadarkan akan luasnya jangkauan dari alternatif-alternatif budaya. Akibatnya mungkin dapat mengurangi etnosentrisme atau parokialisme. Dalam proses ini, kebiasaan-kebiasaan sosial dan kepercayaan-kepercayaan menjadi relatif, dan orang-orang akan menjadi lebih sadar akan alternatif-alternatif budaya yang bersifat kompetitif. Karena itu pendidikan dalam ilmu-ilmu sosial dapat menjadi suatu pengalaman di mana kita dapat meningkatkan kesadaran kita; pendidikan itu mendorong kita untuk sadar akan asumsi-asumsi implisit yang berhubungan dengan kenyataan sosial dan alternatif-alternatif budaya.

Jika Bukan Kekasih Inilah Surat Sahabatmu





Jika Bukan Kekasih Inilah Surat Sahabatmu

Aku masih seperti yang dahulu…
Pendiam, dan tak mudah mengatakan sesuatu…
Kalaupun ada…
Hanya beberapa kata ini yang hadir…
Tidak begitu mudah melewati semua ini…
Satu rasa berpautan dengan rasa lain…
Terkadang membuat aku sesak dan lupa posisi adaku…
Langkah sering tak terarah…
Pikiranpun tak mudah kukendalikan…
Layaknya bunga di padang gersang…
Aku teramat membutuhkan satu basuhan embun…
Tak peduli berapa banyak…
Yang aku mau hanya itu…
Bukan permata…
Bukan intan…
Bukan pula berlian…
Ya, aku hanya inginkan itu…

Namun bukan sesuatu yang tulus jika membuatku lemah…
Aku masih mampu menahan hal ini…
Meski sampai seribu tahun lagi…
Karena bukan masalah waktu…
Tapi bagaimana aku bisa melewatinya dengan baik tanpamu…

Di sini…
Aku memang bukan yang kau impikan…
Aku memang tak berarti apapun untukmu…
Aku tak mampu merubah lukamu menjadi kebahagiaan…

Namun yang pasti dari adaku…
Hanya doa yang tulus untukmu…
Aku tak ingin melihat kesedihanmu…
Aku tak ingin ada air mata dari indah matamu…
Semoga saja, kepedihan yang kau rasakan lekas berakhir…
Hingga hanya senyum dan bahagia yang menyelimuti harimu…


Minggu, 19 Agustus 2012

TEORI DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI




TEORI DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI
(Salah satu bahan diskusi di asrama Himpunan Mahasiswa Banten Jakarta semester 1)

            Studi formal mengenai teori sosiologi tidak dimulai dalam ruang kelas, sadar atau tidak, semua orang sebetulnya berteori. Orang yang paling erat hubungannya dengan kegiatan praktek sekalipun, seperti seorang pengacara yang membela perkara dan memperingati hakim supaya tetap berpegang pada fakta, harus menginterpretasikan fakta sehingga relevan baginya. Ini namanya proses berteori.
            Berteori dengan jalan memberikan interpretasi itu sangatlah penting, karena perlu untuk menjelaskan peristiwa. Betapapun lingkungan suasana yang kita hadapi itu baik atau buruk, kita harus jelaskan kepada diri kita sendiri dan kepada orang lain, mengapa demikian. Caranya adalah dengan menghubungkan situasi sekarang dengan pengalaman atau keputusan-keputusan yang sudah kita berikan di masa lampau, pengaruh-pengaruh social atau tekanan-tekanan dari orang lain, krisis-krisis yang umumnya dihadapi pada waktu itu, atau hambatan-hambatan serta kesempatan-kesempatan yang tersedia dalam lingkungan itu. Orang tua berusaha menjelaskan mengapa anak-anaknya menanggung suatu akibat tertentu; mahasiswa berusaha menjelaskan kepada dirinya sendiri mengapa mereka tidak lulus walaupun mereka merasa bahwa tidak harus terjadi demikian; guru, polisi, para pemimpin politik menjelaskan kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain, mengapa dan apa yang mereka buat.
            Merencanakan atau meramalkan masa depan menuntut kita untuk melihat apa yang ada dibelakang fakta, dan itu kita berarti berteori. Tak seorangpun dapat meramalkan masa depan dengan 100% tepat. Apa yang kita buat adalah membuat dugaan-dugaan dan menyesuaikan perilaku kita sekarang ini dalam hubungannya dengan harapan-harapan.Orang muda yang memilih karir, orang tua yang menyesuaikan diri dengan perilaku anak-anaknya, para langganan yang merencanakan perbelanjaan yang penting, penjual yang mengembangkan taktik-taktik penjualan, pemimpin politik yang berdebat mengenai dilemma kebijaksanaan luar negeri, dan mahasiswa yang berspekulasi mengenai kira-kira apa yang akan diberikan oleh professor dalam ujian yang akan datang, semua ini menunjukan kepada kita akan adanya kebutuhan untuk bisa melihat apa yang ada dibalik fakta yang ada sekarang, dan kita berteori.
Orang sangat berbeda dalam hal diamana mereka merencanakan masa depannya dengan sadar. Orang muda dalam masyarakat kita mungkin diharapkan merencanakan masa depan yang panjang, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan orang yang sudah lanjut usia (yang mungkin mempunyai rencana yang seperti itu di masa yang silam). Ada juga perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang berbeda kebudayaan, di mana yang satu memberikan tekanan pada usaha untuk mencapai tujuan di masa yang akan datang, sedangkan yang lainnya mempertahankan tradisi masa lampau. Tetapi sejauh tuindakan-tindakan sekarang ini dibimbing oleh gambaran mengenai masa yang akan datang, entah itu jangka panjang atau jangka pendek, samar-samar atau jelas, orang harus melihat apa yang ada di balik fakta, dan dia harus berteori.
Tidak terkandung dalam arti ini untuk mengatakan bahwa perilaku manusia itu hanyalah sekedar tindakan yang mengandung implikasi logis dalam perspektif teoritisnya. Kebanyakan dari kita bertindak dengan cara yang tidak konsisten dengan pemahaman teoretis kita sendiri.Sebagai contoh, seorang guru dapat merasa sangat yakin bahwa belajar yang paling efektif itu akan terjadi apabila mahasiswa menekuni tofik menurut pilihannya sendiri dan menurut kemampuannya; tetapi dalam kenyataannya, sang guru malah berpendirian bahwa semua mahasiswa mempelajari materi yang sudah baku menurut jadwal yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Begitu pula salah seorang dalam suatu keluarga yang mengalami situasi konflik dapat sadar secara teoritis bahwa kerelaan untuk berkompromi dapat mengurangi perselisihan, tetapi dapat pula dia tidak rela secara emosional untuk bertindak demikian karena takut kehilangan muka. Walaupun demikian, sebagian besar tindakan manusia sekurang-kurangnya secara umum mencerminkan suatu perspektif teoritis.  

Jumat, 17 Agustus 2012

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)



Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
Referensi:
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Paramadina, (Jakarta, Oktober 1998).
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, (Jakarta, September 2000).
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, (Jakarta, Mei 2005).
http:balianzahab.wordpress.com

Database Management System (DBMS)




Era awal komputer, penyimpanan dan penggunaan data menjadi fokus aplikasi yang utama. DBMS pertama kali didesain oleh Charles Bachman pada tahun 1960 dinamakan Integrated Data Store (IDS) menggunakan model data jaringan melalui standarisai Conference on Data System Language (CDSL).  Pada perkembangan lanjutan IBM mengembangkan Information Management System (IMS) menggunakan model data hierarki. Tahun 1970 melalui Edgar Codd mengusulkan model relasional, yang hingga kini menjadi pemicu perkembangan beberapa DBMS yang didasari pada model data relational. Pada akhir 1980 SQL menjadi standarisasi bahasa untuk database relational yang dikembangan sebagai bagian dari proyek IBM.
Aji Supriyanto (2007) menjelaskan, Sistem Manajemen Basis Data adalah koleksi data yang berelasi dengan sebuah program aplikasi atau sistem, agar program tersebut dapat mengakses (menyimpan dan mengambil) data.
Menurut Abdul Kadir dan Terra, DBMS merupakan sistem yang khusus dibuat untuk memudahkan pengelolaan data dan basis data.
Adapun beberapa manfaat dari sistem manajemen basis data menurut Aji Supriyanto sebagai berikut :
1.    Untuk mengorganisasikan dan mengelola data dalam jumlah besar.
2.    Untuk membantu dalam melindungi data dari kerusakan yang disebabkan penggunaan atau pengksesan yang tidak sah.
3.    Memudahkan dalam pengambilan kembali data (data retrieval).
4.    Untuk memudahkan pengguna dalam penggunaan atau pengaksesan data secara bersamaan dalam satu jaringan.
Keunggulan DBMS adalah :
1.    Kepraktisan, yaitu penggunaan media penyimpanan yang berukuran kecil namun padat informasi.
2.    Kecepatan, yaitu dapat mengambil atau mengubah data jauh lebih cepat daripada manusia
3.    Mengurangi Kejenuhanm yaitu menghindari pekerjaan yang berulang-ulang dan monoton yang bisa membosankan.
4.    Kekinian, yaitu informasi yang tersedia pada DBMS akan bersifat mutakhir dan akurat setiap saat

Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini




Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini

Dampak positif
Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.
Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

Dampak negatif
Dari segi pendidikan: Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
Dari segi kesehatan: Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk  kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.
Dari segi psikologi: Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Peradilan Islam





Peradilan Islam
Pengertian Peradilan
            Kata peradilan berasal dari kata “adil” dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata peradilan sebagai terjemah dari “qadla” yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”, “menyelesaikan” (Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, cet.I, Jakarta,1996. h.1215). Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan (Abdul Mujib Mbaruri Thalhah AM., Kamus Istilah Fiqih, Pen. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta. 1994. Cet. ketiga. hlm.258. Lihat juga kamus tim penbyusun kamus pusat Depdikbud, Balai Pustaka. Cet. Ketujuh, Tahun 1996. Hlm7).
Dalam Islam peradilan disebut qadla artinya  “menyelesaikan” seperti firman Allah:
$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur qãèøÿtB ÇÌÐÈ  
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya)”. (Al-Ahzab: 37)
Ada juga yang berarti “menunaikan” seperti firman Allah:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# ÇÊÉÈ  
Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah ke peloksok bumi”. (Al-Jum’ah: 10)
Disamping arti “menyelesaikan” dan “menunaikan” seperti di atas. Arti qadla yang dimaksud ada pula yang berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan suatu ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya berarti “menghalangi” atau “mencegah”. Karenanya qadhi dinamakan hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyayaan. Karena itu apabila seseorang mengatakan “hakim telah menghukumkan begini” artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak atau mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.29.).
Kata “peradilan” menurut istilah ahli fiqih adalah berarti:
1.      Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan).
2.      Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.30.).
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti “menampakkan hukum agama”, tidak tepat bila dikatakan menempatkan sesuatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum. Dimana hukum Islam itu “syariat”, telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerangkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
Disamping itu seperti yang telah diungkapkan oleh Ibnu Abidin, adapula ulama yang berpendapat bahwa peradilan itu berarti menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah (Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Dicetak. Bulan September, 1994, Yogyakarta. Pen. PT. Ma’arif. Hlm.30. Yang dikutip oleh Ari Ibnu Abidin. Juz. IV. Hlm327).
“Putusan” sebagai produk peradilan, sangat erat kaitannya dengan ijtihad dan fatwa. Dalam Islam, dalam kedua hal tersebut dianjurkan untuk berijtihad (seorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut Islam bila seseorang yang berijtihad tetapi hasilnya salah maka ia mendapat satu pahala. Dan bila hasil ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni satu pahala ijtihad, satu pahala kebenaran yang di dapat.
Untuk itu di sini perlu dijelaskan perbedaan qadha sebagai putusan peradilan dengan ifta’ sebagai satu fatwa. Fatwa adalah jawaban terhadap satu pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli dibidangnya (mufti) yang tidak begitu jelas hukumnya. Menurut kenyataan memberi fatwa pada hakikatnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya seorang mufti harus memahami tentang masalah yang disampaikan itu, dan ia harus orang yang terkenal benar, baik tingkah laku, perkataan maupun perbuatan. Dan orang yang memberi fatwa disebut mufti.
Fatwa sebagai hasil ijtihad dimana seseorang mujtahid mengistimbatkan hukum untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi dan terkadang mengenai hal yang belum terjadi. Sedang fatwa hanya mengenai hal-hal yang telah terjadi saja.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik benang merahnya bahwa perbedaan fatwa dengan qadha sebagai putusan hakim adalah:
Pertama, mufti bisa menolak untuk memberikan fatwa mengenai hal yang dimintakan fatwa kepadanya, sedangkan peradilan “qadha” tidaklah demikian, tetapi harus memutus, artinya tidak boleh memihak para pihak yang mengajukan mohon keadilan, sekalipun dengan alasan bahwa aturan tentang hal tersebut belum ada.
Kedua, qadha itu dasarnya adalah fakta (kenyataan) yang dicari hakim, jadi hakim memutuskan berdasarkan fakta. Sedangkan fatwa dasarnya ilmu (pengetahuan). Yakni si mufti memberi fatwa berddasarkan ilmu yang dimiliki mufti.
Ketiga, kalau putusan hakim harus dituruti atau mempunyai daya paksa, yakni negara bisa memaksakan putusan itu untuk dilaksanakan. Sedang fatwa tidak harus orang mengikutinya dan Negara pun tidak campur tangan dalam pelaksanaannya.
Keempat, fatwa tidak boleh dibatalkan, sedang putusan (qadha) bisa dibatalkan oleh peradilan yang lebih tinggi.
Kelima, fatwa adalah produk pribadi sedang putusan adalah produk Negara.
Sebagai catatan bahwa mujtahid-mujtahid masa lalu, sangat ketat membatasi para hakim dalam hal memberi fatwa, karena dikhawatirkan putusan hakim terkontaminasi dengan fatwa-fatwa yang telah diberikan (A. Basiq Djalil, Makalah Seminar Sehari “Hukum Keluarga Islam di Indonesia” Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. 31 Agustus 2004. h.3). Karenanya idealnya seorang yang menjadi hakim adalah karena panggilan nuraninya dan kegiatannya pun terbatas pada rumah dan ruang kerjanya. Itulah sebabnya sering kita dengar ungkapan bahwa seorang hakim adalah manusia yang kesepian.
Itulah pula sebabnya Ahmad bin Hambal dan As-Syafi’i memakruhkan hakim mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang bersangkut paut dengan tugas hakim. Mereka membolehkan fatwa dalam masalah ibadah dan lainnya. Mereka berpendapat demikian karena boleh jadi waktu perkara itu diajukan ke pengadilan, pendapat hakim sudah berbeda dengan pendapat yang sudah difatwakan. Itulah sebabnya hakim Syuraikh ketika seseorang meminta fatwa kepadanya terhadap masalah yang mungkin diajukan ke pengadilan ia berkata: “Saya akan memutus perkaramu sedang saya tidak akan memberi fatwa kepadamu” (Ibnu al-Qayyim, Al Jauziyah, Syamsudin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, A’lamu Al-Mu’aqqi’in. Juz IV. Cet. Kedua. Pen. Al-Sa’adah. Mesir. tahun 137 H/1995 M. h.220).
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa ternyata sejak awal perkembangan peradilan Islam, jauh sebelum adanya teori Trias Politika Montesque, tugas yudikatif dengan eksekutif telah ada pemisahannya atau dipisahkan.

Sumber:
            A Basiq Djalil., Peradilan Islam, 2007. h.1-4.

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*