Sabtu, 29 Oktober 2011

JUAL BELI WAFA’



JUAL BELI WAFA’

Bai` Wafa` adalah suatu transaksi (akad) jual-beli dimana penjual mengatakan kepada pembeli “saya jual barang ini dengan cara saya berhutang kepadamu yang hutangnya engkau berikan padaku dengan kesepakatan (janji) jika saya telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.” (Al Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69.)
Definisi Bay’ Wafa’ Menurut Kitab Fiqh Riba Dr.Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, hlm 537.

أن يبيعه العين بألف مثلا على أنه اذا رد عليه الثمن رد عليه العين المبيعة

Seseorang menjual sebuah benda seharga 1000 dengan syarat jika penjual itu mengembalikan uangnya (harganya), maka pembeli tersebut mengembalikan benda yang dibelinya itu kepada penjual semula. Menurut Ibnul `Abidin, Bay` Al Wafa` adalah: Suatu akad dimana seorang yang membutuhkan uang menjual barang kepada seseorang yang memiliki uang cash. Barang yang dijual tersebut tidak dapat dipindah-pindah (real estate/property/‘iqar) dengan kesepakatan kapan ia dapat mengembalikan harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu. (Ibnul `Abidin, Raddul Muhtar, vol.iv/p.257)


Adapun definisi jual beli wafa’ menurut beberapa pendapat sebagai berikut :

 Definisi menurut Fiqh Sunnah
seorang yang membutuhkan uang menjual real estate/real property (barang yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti; rumah, dengan kesepakatan jika ia dapat melunasi (mengembalikan) harga tersebut maka ia dapat mengambil (memiliki) kembali barang itu.  Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah, vol.iii / p.166 )
 Definisi Yakan Zuhdi
Bai` Wafa` adalah: Suatu akad jual beli yang mana pembeli berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut. (Yakan Zuhdi, `Aqdul Bai`, p.131)
 Definisi Majallah al-Ahkam al-’adliyah Turki Usmani
Bay’ al-wafa’ is a contract whereby the owner of an estate (house or land) sells it, with a condition that he will have it back once he returns its price to the buyer (See Articles 118 and 396-403 of Majallat al-Ahkam al-Adliyah).
 Definisi Mustafa Ahmad Zarqa
Mustafa Ahmad Zarqa mendefinisilan, Bay wafa ialah. “Dua jual beli yang dilakukan oleh dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba”.
Tenggang waktu pembelian kembali dapat terjadi 1 tahun atau 2 tahun.


Nama-nama Bay’ wafa

 Pada awal perkembangannya di Syiria, bay’ wafa’ disebut juga bay itha’ah
 Di Mesir dinamakan Bay al-Amanah
 Ulama Syafiiyah menyebutnya bay ‘uhdah dan bay ma’ad
 Ulama Hanabilah menyebutnya bay amanah
 Hanfiyah menyebutnya selain bay wafa, juga bay jaiz (artinya jual beli dibolehkan karena bersih dari riba). Innu Abidin Radd al-Mukhtar, Jilid 4, hlm. 246.


Asset (obyek akad) bay’ wafa’
Asset yang dijual dalam bay’ wafa’ biasanya rumah (property), sawah, kebun (benda-benda ‘iqar = benda yang tidak bergerak). Misalnya, Ahmad membutuhkan uang untuk suatu keperluan, maka ia menjual kebun kurmanya seluas 10 hektar kepada seseorang dengan harga 500 dinar dalam waktu dua tahun. Keduanya sepakat, jika waktu sudah berakhir, maka Ahmad membeli kembali kebun kurmanya seharga penjualan semula, yaitu Rp 500 dinar.Oleh karena akad yang digunakan adalah akad jual beli, maka pembeli boleh memanfaatkan (menikmati) hasil kebun tersebut, sehingga kebun itu mendatangkan keuntungan baginya, Tetapi kebun tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain.
Berdasarkan konsep jual beli wafa tersebut, jelas bahwa bay wafa ini berbeda dengan rahn (gadai), karena rahn adaah bentuk gadaian (jaminan hutang). Sementara barang yang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan murtahin (pemberi hutang/gadai), kecuali jaminan itu berupa hewan tunggangan. Jika pemberi hutang memanfaatkan barang tersebut, maka praktik itu tergolong riba, sesuai hadits Nab Saw. Setiap pinjaman di mana pemberi hutang menarik manfaat dari hutang tersebut, maka ia termasuk riba.
Dalam bay’ wafa, status asset yang dijual bukanlah borg (gadaian), karena bay’ wafa adalah bentuk jual beli, sehingga asset yang dibeli pembeli (buyer) menjadi miliknya, makanya pembeli dengan bebas dapat memanfaatkannya dan menikmati hasilnya. Cuman ia tidak boleh menjual asset itu kepada orang lain. Hal ini disebut bay’ maushufah biz zimmah, artinya, jual beli yang disifati dengan tanggungan menjual kembali kepada penjual semula, yakni pembeli berkewajiban menjual kembali asset itu kepada penjual semula.

Manfaat bay’ wafa’
Menghindarkan masyarakat dari pinjaman riba dan Sebagai sarana tolong menolong antara pemilik dana dengan orang yang memerlukan dana.

Sejarah Bay’ Wafa
Menurut Abu Zahroh, tokoh ulama Mesir kontemporer yang terkemuka, Bay’ wafa sebagai praktik muamalat muncul di Asia Tengah (Bukhara dan Balkhan) pada pertengahan abad kelima Hijriyah dan selanjutnya merambat ke Timur Tengah. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, bay’ wafa baru mendapatkan justifikasi para ulama Hanafi setelah bay wafa menjadi ‘urf dalam masyarakat Bukhara dan Balkhan, Jadi proses penerimaaannya dalam hukum syariah memakan waktu cukup lama .
Munculnya bay’ wafa’ disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberikan hutang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapatkan imbalan apapun.Hal ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan uang cash. Kondisi ini mendesak mereka untuk menciptakan akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang pemilik dana pun terealisasi. Jalan keluar yang mereka ciptakan adalah bay’ wafa’. (Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,Mesir dar al-Fikti al-’Araby, hlm. 243)
Menurut Anas Zarqo, transaksi bay’ wafa dibutuhkan masyarakat, karena dengan jual beli ini, keperluan masyarakat yang membutuhkan uang terpenuhi, dan pada saat yang sama mereka terhindar dari riba. Ulama Hanafiyah membolehkan wafa’ ini didasarkan pada dalil istihsan ‘urfi, yakni istihsan karena praktik itu telah menjadi ‘urf dalam masyarakat serta jual beli ini memang dibutuhkan masyarakat (hajiyat). Oleh karena bay’ wafa telah menjadi urf dan diterima baik di tengah masyarakat, maka pemerintahan Turki Usmani melalui Majallah Ahkam al-Adliyah, pada tahun 1876 M, memamasukkan bay’ wafa dalam Kodifikasi Undang-Undang Turki tersebut.


Bay’ Wafa dalam Undang-Undang
Selanjutnya, Lebanon dalam Undang-undang Qonun Milkiyah Libanon melegalkan konsep Bay` Al Wafa` untuk memberi kesempatan bagi peminjam uang (penjual) mengambil keuntungan dengan cara benar dan memberi kesempatan bagi yang meminjamkan uang (selaku pembeli) untuk dapat memanfaatkan barang yang dibelinya serta memenuhi keinginan pembeli untuk memiliki asset-nya kembali setelah beberapa saat masa sewa. (Yakan Zuhdi, `Aqdul Bai`, p.132). Konsep bay’ wafa selanjutnya merambah ke Mesir. Pada tahun 1948 Mesir menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU ini mengakui secara sah bay’ wafa’, yang dicantumkan pada pasal 430 Undang-Undang tersebut. Demikian pula dalam kitab Undang-Undang Perdata Syiria (Qanun Madany al-Sury), bay’ wafa’ dicantumkan pada pasal 433. (Mustafa Ahmad Zarqa. Syarah Qanun Al-Sury : Al-”Uqud al-Musammah, Damaskus Dar Kitab, 1968), hlm.23).

Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama
Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/memasukkannya dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon. Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan bay’ wafa’.
Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :
1. Berpegang pada kaedah :
“Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan akad, bukan lapaz formal”.
2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba


Aplikasi Bay’ wafa/bay istighlal di Bank Islam
Tahap 1. Pemilik menjual rumahnya kepada bank dengan harga tertentu
Tahap 2. Bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada pemilik tadi untuk jangka waktu tertentu.
Tahap 3. Setelah masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama akan membeli kembali rumahnya dari bank.
Celah Profitabilitas Bank Islam:
1. Tingkat sewa pada jangka waktu tertentu
2. Harga rumah yang lebih tinggi pada saat berakhirnya akad.
Dari bay’ wafa ke bay’ istighlal
1. Pada perkembangan selanjutnya bay’ wafa berkembang menjadi bay’ Istighlal
2. Bay’ istighlal ini hampir sama dengan Bay’ Wafa’, namun pada Bay Istighlal, benda yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual.
3. Bay’ Istighlal ini telah dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Perdata Turki (Majallah al-Ahkam al-’adliyah, pasal 119.


Definisi Bay Istighlal

و هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع المبيع أي أن المشتري ينتفع من المبيع باجارته للبائع نفسه

Yaitu barang dijual secara bay’ wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan menyewakannya kepada penjual sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, Beirut Muassah ar-Risalah, 2004, hlm 540). ”This transaction of sale and leaseback is similar to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’, but not by Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992).
Rumusan Definisi Bay Istighlal Menurut Majallah al-Ahkam al-’Adliyah
Pasal 119
Jual beli istighlal ialah jual beli wafa’ dengan syarat bahwa si penjual menyewa kembali barang yang dijualnya dari pembeli.
Contoh : Si A menjual rumah kepada si B dengan harga 1 milyar rupiah, kemudian si A menyewa rumah itu kembali dengan harga Rp 80. Juta untuk jangka waktu satu tahun.


Sukuk dengan konsep Bay’ Istighlal
Berdasarkan rumusan konsep bay istighlal, maka sukuk (obligasi syariah) dapat menggunakan tersebut dalam penerbitan SBSN
Konsep sukuk ijarah yang dikembangkan saat ini tidak lain adalah Bay’ Istighlal, yaitu bay’ wafa’ yang disertai ijarah di dalamnya.


Sukuk Bay Istighlal
Obligasi dengan Bay Istighlal (tanpa SPV)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Sekarang asset menjadi milik Investor. Selanjutnya pemerintah menyewa (ijarah) asset itu kpd investor yang dibayar setiap 3 bulan
3. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tersebut.
Para ahli ekonomi saat ini menyebut produk ini dengan Sukuk ijarah. Padahal menurut konsep fiqh muamalah namanya adalah Bay Istighlal.


Bay Istighlal (Obligasi Ijarah)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Dana Investor masuk ke pemerintah
3. Pemerintah sebagai issuer (penerbit sukuk) menyerahkan sukuk kepada investor
4. Sekarang asset menjadi milik Investor secara syirkah, Dalam masa 10 tahun, pemerintah menyewa (ijarah) asset tersebut kepada investor yang dibayar setiap 3 bulan sekali.
5. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tersebut.


Bay wafa dalam Majallah al-Ahkam al-’adliyah
Pasal 116 :
 Dalam hal suatu jual beli yang tergantung pada hak penebusan kembali, maka penjual bisa mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan meminta kembali barangnya. Sama halnya pembeli bisa mengembalikan barang tersebut dan meinta uangnya kembali seharga barang itu. (jika telah jatuh tempo)
 Berdasarkan definisi tersebut, harga pembelian kembali oleh penjual harus sama dengan harga penjualan pertama. Jika terjadi kelebihan, maka jual beli tersebut tergolong jual beli al’’inah yang dilarang dalam Islam.
Pasal 397
Suatu barang julan yang tergantung pada hak penebusan, maka barang itu tidak boleh dijual kepada orang lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli.
Pasal 398
 Apabila disyaratkan dalam jual beli wafa’, bahwa sebagian keuntungan dari barang yang terjual diperuntukkan bagi pembeli, maka persyaratan tersebut adalah sah.
 Contoh : Kedua pihak sepakat bahwa hasil kebun sawit dibagi (sesuai nisbah yang disepakati) antara penjual dan pembeli, maka akad itu sah dilaksanakan
Pasal 399
 Jika nilai barang yang dijual sama dengan jumlah hutang dan kemudian barang tersebut rusak ketika berada di tangan pembeli, maka hutang yang dibuat menjadi lunas.
 Contoh harga rumah yang dijual sebesar Rp 300.000.000,-. Dan harga ini sesuai dengan nilai riil rumah tersebut, (harga pasar). Kemudian rumah tersebut rusak di tangan pembeli, maka si pembeli tidak perlu menebus barangnya. Dengan kata lain jika uang sebesar Rp 300 juta disebut sebagai hutang, maka hutang tersebut menjadi lunas
Pasal 400
Jika nilai barang yang dijual secara bay wafa tersebut lebih kecil dari hutang dan kemudian rusak (hancur) ketika berada di tangan npembeli, maka hutang menjadi hapus senilai barang tersebut. (Pembeli bisa menuntut sejumlah uang kekurangannya dari penjual).
Pasal 401
Jika nilai barang yang dijual lebih besar dari hutang dan hancur di tangan pembeli, maka sejumlah uang yang setara dengan besarnya hutang diambil dari nilai barang. Jika pembeli telah membuat kesalahan, maka ia harus mengganti kerugian sesuai dengan kesalahannya. Jika ia tidak melakukan kesalahan dan barang itu telah hancur, maka pembeli tidak diwajibkan mengganti kerugian.
Pasal 402
1. Jika salah seorang dari kedua pihak meninggal dunia, maka hak pembatalannya dialihkan kepada ahli waris dengan cara pewarisan. Berdasarkan rumusan definisi dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada bay wafa’ terlihat bahwa bay wafa’ ini merupakan gabungan (kombinasi) antara jual beli dan rahn. Bay wafa berbentuk rahn, karena pihak pertama memiliki hak penebusan barangnya dan pihak kedua tidak boleh menjualnya kepada pihak lain. Disebut jual beli, karena akadnya berbentuk jual beli dan barang yang dijual dapat dimanfaatkan dan hasilnya dapat dinikmati penjual selaku pihak kedua.
2.  Oleh karena bay wafa merupakan jual beli, maka ketika tiba masa jatuh tempo (misalnya setelah1 tahun), pembeli (pihak II) menjual kembali barang tersebut kepada penjual selaku pihak I. Jadi, dalam kasus ini terjadi dua kali jual beli. Jual belinya disebut Bay maushufah biz-zimmah (jual beli yang disifati dengan tanggung jawab (kewajiban) menjual kembali kepada pihak I (penjual).


Apakah bay’ wafa’ tergolong Gharar
Dari perspektif studi akad, kelihatannya pada bay’ wafa terdapat dua bentuk akad, yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah bay wafa ini tergolong gharar karena akadnya tidak jelas, apakah jual beli atau rahn ? Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf dan istihsan.
Akadnya bukan jual beli murni dan juga bukan rahn murni, tetapi kombinasi keduanya. Bay wafa’ bukan gharar, tetapi sebuah kontrak baru yang hak/kewajiban para pihak cukup jelas. Demikian pula status asset yang dijadikan obyek dalam kontrak ini sangat jelas. Analogikan kepada Sewa-beli pada leasing?
Jika cara berpikir kita atau ulama masa lampau (berijtihad) dalam kasus ini, sempit, dan mencocok-cocokkan saja konsep “baru” ini dengan jual beli atau rahn atau akad-akad yang lain, maka jual beli bisa mengandung gharar, karena tidak jelas apakah akadnya jual beli atau rahn. Cara berijtihad seperti itu jelas tidak tepat, karena akad-akad bentuk baru selalu muncul dalam masyarakat. Jadi akad tersebut tidak harus sama dengan jual beli murni atau rahn murni atau juga ijarah murni.
Kasus munculnya akad bentuk baru saat ini antara lain adalah sewa-beli (lease and purchase) dalam lembaga leasing. Adiwarman Karim dalam buku Bank Islam, memandangnya gharar dan haram, karena akadnya tidak jelas apakah sewa atau jual beli dan proses kepemilikan menjadi kabur. Ijtihad seperti itu dikarenakan metodenya mencocok-cocokkan suatu akad baru dengan akad-akad fiqh klasik. Ketika di dalamnya terdapat ketidakjelasan apakah jual beli atau sewa, maka lantas divonis gharar.
Dalam ijtihad di bidang muamalah diperlukan ilmu falsafah tasyri’ fil muamalah dan ushul fiqh yang komprehensif. Padahal akad sewa beli (bay al-takjiri) tersebut adalah bentuk akad baru, sebagai kombinasi ijarah dan jual beli.
Mengenai proses kepemilikan dan hak-hak yang melekat pada kontrak itu disesuaikan dengan penjanjian para pihak. Misalnya jika terjadi kerusakan asset, dapat disepakati, ditanggung oleh nasabah. Status kepemilikan asset dapat juga disepakati dalam klausul akad. Bahwa asset tersebut tetap menjadi milik perusahaan leasing, sepanjang masa pembayaran sewa belum lunas. Jika cicilan sewa telah lunas, maka otomatis asset tersebut menjadi milik nasabah, tanpa membuat akad baru, tetapi cukup dibunyikan pada akad pertama. Redaksinya bisa berbunyi, jika cicilan sewa telah lunas dalam jangka waktu tertentu, maka asset tersebut menjadi milik nasabah dengan beli.
Kalau metode ijtihad seperti itu yang dilaksanakan, maka para ahli ekonomi islam, akan kesulitan menemukan nama akad konsinyasi saat ini, apakah wakalah, wadiah atau jual beli. Ketika tidak ada yang tepat, lalu dikatakan gharar. Metode seperti ini jelas sangat tidak tepat. Jadi akadnya tidak murni jual beli atau wakalah atau wadi’ah. Tetapi bisa gabungan antara berbagai akad. Jika disebut jual beli tidak tepat sepenuhnya, karena barang bisa tidak jadi dibeli pedagang. Disebut titipan, ternyata barang tersebut ditip untuk dijual. Disebutkan wakalah untuk menjual, ternyata kadang-kadang wakalah untuk menjual tidak terlaksana. Jadi nama akadnya ya konsinyasi, sebuah bentuk baru akad dalam kegiatan perdagangan. Demikian juga akad waralaba (franchising) yang banyak diterapkan saat ini.

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*