Rabu, 01 September 2010

Konsep Politik Al Mawardi



Konsep Politik Al Mawardi
PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI
(Studi al-Ahkam al-Sulthaniyyah Karya al-Mawardi)



I. Pendahuluan
Politik Islam sebagai ilmu dan teori atau filsafat, akan melahirkan konsep dan tatanan aplikabel dan menguntungkan bagi umat secara keseluruhan. Pendapat umum yang menyatakan bahwa “ijtihad politik” tidak diperlukan lagi, karena praktiknya telah ada : bahwa perilaku politik dan tatanegara serta pemerintahan Islam sudah pernah dijalankan oleh generasi terdahulu, sejak masa khilafah Abbasiyah. praktik ini dianggap telah mapan dan sudah islami. Kalaupun didapati penyelewengan dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mereka jarang sekali melakukan atau redefenisi terhadap praktik tersebut. Juga adanya dominasi dan hegemoni intelektual Barat. Kepemimpinan intelektual Barat menjamah di segala bidang pemikiran ke-islaman, dan menginterpretasikan ajaran dan dasar politik Islam, namun bersamaan dengan itu mereka juga menutup interpretasi lain yang dilakukan oleh anak-anak Islam sendiri.

Dengan kenyataan inilah, dengan penuh kesadaran, kepatuhan dan ketulusan kepada Islam, harus diupayakan Ijtihad baru dalam bidang politik dan tatanegara untuk menyelesaikan atau setidak-tidaknya mengurangi problem-problem politik dan ketatanegaraan dalam Islam. Salah satu caranya dengan redefenisi dan refungsionalisasi lembaga-lembaga politik yang disarankan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dan pada gilirannya melaksanakannya secara total dan konsekuen. Namun tidak biasa dilakukan secara jumping langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah, harus melewati dulu teori-teori politik dan praktik Islam yang pernah ada dalam sejarah Islam.

Salah satu pemikiran teori politik dan praktis yang telah ada adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi (974-1059 M).


II. Biografi al-Mawardi

Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-mawardi al-Syafi’i yang kemudian lebih dikenal al-Mawardi, lahir dikota Basrah Iraq 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa keemasan, di tangan khalifah daulah Abbasiyah.

Al-Mawardi belajar hadits dan fiqih pada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali (pakar hadits dan bahasa) dan Abi al-Qasim Abdul Wahid bin Muhammad al-Shaimari (seorang hakim di Basrah) Kemudian melanjutkan studi ke “kampus” al-Za’farani” Bagdad. Disinilah al-Mawardi menajamkan hadits dan Fiqih pada Abu Hamid Ahmad bin Tohir al-Isfirayani (wafat tahun 406 H).

Kemudian al-Mawardi menetap di Bagdad, sekaligus menghabiskan waktunya untuk menulis sejumlah buku pada beberapa disiplin ilmu seperti fiqih, hadits, tafsir, tatabahasa Arab, sastera, filsafat, administrasi, politik, etika dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Disamping sebagai penulis al-Mawardi juga seorang hakim agung yang berkedudukan di Nisabur, yang diangkat pada 294 H, dan dikenal sebagai “hakim rakyat”, karena selalu keluar masuk kampong untuk mencari dari dekat dan melihat apa yang terjadi dan diperkarakan orang. Al-Mawardi juga dikenal kontroversial, seperti ketika melarang pemberian gelar Syahinsyah, raja-di-raja, malik al-muluk, bagi Jalal al-Daulah bi Buwaihi, amir kota Bagdad ketika menobatkan al-Qadir Billah sebagai khalifah ke 25 -- yang telah menumbangkan Khalifat al-Tha’I Lillah (974-991M).

Jabatan terhormat lain yang disandang al-Mawadi, adalah kedudukannya sebagai duta keliling bagi khalifah al-Qadir. Jabatan hakim agung (rais al-qudhat atau qadhi al-qudhat atau aqdha al-qudhat) di pegang nya sampai wafat pada 450 H.

Layaknya cendikiawan abad 5 H, al-Mawardi menulis beragam disiplin ilmu keislaman. Secara garis besar karya-karya al-Mawardi dapat dikelompokkan dalam tiga cabang : ke-agamaan, sosial-politik, kebahasaan dan kesasteraan, adalah :

a. Bidang Keagamaan

1. Kitab al-Tafsir (al-Nukhat wa al’Uyun fi Tafsir al-Qur’an al-Karim). Kitab ini termamsuk kitab induk di bidang tafsir al-Qur’an.

2. Adab al-Din wa al-Dunya (semula bernama al-Bughyah al’Ulya fi Adab al-Din wa al-Dunya) kitab ini bertopik seputar etika dan moral Keagamaan murni, dan tentang etika kemasyarakatan.

3. Al-Hawi al-Kabir. Kitab ini secara khusus membahas persoalan Fiqh madzhab Syafi’i. Namun juga membicarakan madzhab lain.

4. Kitab al-Iqna’, yang merupakan buku kecil ringkasan dari al-Hawi al-Kabir.

5. Kitab A’lam al-Nubuwwah, kitab tentang bukti-bukti kenabian Muhammad saw, namun belum pernah diterbitkan, masih dalam bentuk manuskrip.

6. Kitab Adab al-Qodhi, membicarakan tatatertib penanganan perkara dan persi-dangan pengadilan harus dipegang seorang hakim.

b. Bidang Sosial-politik

1. Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, yang merupakan tulisan al-Mawardi yang paling awal diterbitkan dan dikenal dunia Islam.

2. Nasihahat al-Muluk (nasihat kepada para raja), belum pernah diterbitkan.

3. Tashil a-Nadzar wa Ta’jil al-Dzaf, masih dalam bentuk manuskrip, di perpustakaan Gothe, Jerman.

4. Kitab Qowanin al-Wizaroh wa Siyasah al-Muluk, diterbitkan di Kairo tahun 1929 dengan judul Adab al-Wazir (pedoman para menteri).

c. Bidang Bahasa dan Kesasteraan

1. Kitab fial-Nahwu (gramatika bahasa Arab)

2. Al-Amtsal wa al-Hikam, berisi peribahasa Arab, kata-kata mutiara dan syair-syair pilihan. Ada 300 motto, 300 bait sajak dan 300 hadits pilihan. Namun masih dalam bentuk manuskrip di universitas Leiden Belanda.


III. Pemikiran Politik al-Mawardi

Pemikiran politik al-Mawardi (seorang yuris Sunni) di tuangkan secara komplit dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan Khlifah Abbasiyah melawan para penguasan (amir) dinasti Buwayhiyah, yang sangat efektif pengaruhnya dan untuk menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir. Karya ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran yang mencerminkan jawaban terhadap kebutuhan pada masanya atau pemaparan dan realitas politik dan pemerintahan yang terjadi pada masanya.

Al-Mawardi hidup pada masa terjadinya pertarungan politik dan teologis yang tajam antara Sunni dan Syi’ah (baik Imamiyah maupun Ismailiyah). maka tidak meng-herankan apabila perhatian utama al-Mawardi ditujukan untuk mendukung keyakinan Keagamaan Sunni dan posisi politik kekhalifahan Abbasiyah yang dia dianggap paling sah (legitimate) secara agama dan politik. Al-Mawardi ingin mempertahankan kesatuan politik umat Islam di bawah kepemimpinan politik khalifah Abbasiyah di Bahdad. Meskipun pikiran-pikirannya lebih merupakan diskursus teologis (ideologis), Namun beberapa teoritisnya dideduksi dari praktik dan realitas kesejarahan.

Sumbangan penting pemikiran politik al-Mawardi ialah bahwa dia memberikan gambaran yang detail mengenai lembaga politik dan administrasi pemerintahan, yang belum diberikan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Pemikir sebelumnya pada umumnya membahas Imamah dari sudut pandang teologi, sehingga imamah lebih mencerminkan pembelaan teologis terhadap posisi khalifah. Misalnya bahwa kekuasaan Khilafah atau Raja adalah mandat dari Allah swt. (Khilafah memang berarti pengganti atau wakil Allah di muka bumi). Malah bagi al-Ghazali, kekuasaan kepala Negara adalah suci (muqoddas) –tidak bias diganggu gugat.

Namun al-Mawardi menyatakan kekuasaan kepala Negara tidak sendirinya berasal dari Tuhan, meskipun tetap berada dalam batasan-batasan kedaulatan legal dan politik Tuhan. Al -mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan mekanisme kepala Negara dan pemecatannya dengan baik dengan sendirinya maupun oleh hal-hal eksternal (‘azl dan in’azl).

Al-Mawardi meletakkan fondasi-fondasi Negara Islam dalam arti keharusan adanya lembaga khilafah, persyaratan-persyaratan calon khilafah, wilayah-wilayah wewenang dan kekuasaan khilafah, aturan untuk lembaga kementrian (wizaroh), pejabat-pejabat eksekutif (tanfidz) dan pejabat-pejabat delegatori (watanfidz), birokrasi dan tata-usaha-administrasi,lembaga peradilan, kepala-kepala daerah/pemerintaha daera (imaroh ‘ala al-bilad) dan panglima-panglima perang.

a. Imamah dan Imam (Kepala Negara)
Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep ummah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan presiden atau kepala Negara.

Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”.

Menurutnya pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan :

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).

Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Bagi al-Mawardi, kekuasaan kepala Negara berasal dari :
1. Pemilihan oleh (para) pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl al-hall wa-‘aqd (semacam MPR) maupun ahl al-Syura atau tim formatur kecil. Cara ini disebut dengan sistem kontrak sosial, yang melahirkan kewajiban dan hak kepala negara disatu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di pihak lain.
Teori al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pandangan Syi’ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nass (penetapan oleh Tuhan dan Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari keluarga ahl al-bayt.

Pemilihan imam dipandang al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fadhu kifayah), seperti mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim. Konsep membentuk lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak yaitu imam (ahl-imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl al-hall wa’l-aqd (orang yang mengurai atau mengikat/lembaga pemilih). Menurutnya pemilih atau lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa (‘adalah), mempunyai pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatannya, serta sehat pikiran dan kebijakan (kearifan), sehingga mampu memilih kepentingan orang banyak. Disamping itu masalah pemilihan imam, ahl al-hall wa’l-aqd juga harus mempertimbangkan, kemungkinan calon yang mereka pilih memperoleh persetujuan sebagian besar rakyat. Setelah ahl ikhtiyar memperoleh keputusan mengenai calon imam dan ia wajib menerima kedudukan itu, maka menjadi tugas dan kewajiban rakyat untuk menyampaikan bay’ah dan mematuhinya. Singkatnya fungsi ahl-akhtiyar adalah mengidentifikasi orang yang akan di angkat sebagai imam.

2. Penunjukan kepala Negara sebelumnya, yang disebut suksesi yang didasarkan pada suksesi Umar bi al-Khattab dari Abu Bakar). Namun dalam pandangan al-Mawardi kepala Negara tidak kebal dari pemecatan dan tidak suci.

Al-Mawardi membolehkan suksesi tanpa pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya. Dalam hal ini disebutkannya tiga pendapat, pertama bahwa seorang imam harus berkonsultasi dengan ahl al-ikhtiyar, meskipun adalah ayah atau anak laki-lakinya. Kedua, membatasi konsultasi pada kasus dimana sang calon adalah putra imam. Ketiga, tidak mengharuskan imam untuk berkonsultasi dalam kasus kedua tersbut.

Menurut al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi/-memiliki 7 (tujuh) persyaratan :
1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas;
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah (otoriti) Islam dan melaksa-nakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy

Syarat terakhir tidak dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunan. Bahkan nabi Muhammad sendiri oleh diakui kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat. Sementara dua penyebab gugurnya kontrak antara imam dan rakyat meskipun masih menjabat menurut al-Mawardi adalah jika imam berlakuk tidak adil dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal itu terjadi maka harus dilakukan pemilihan imam baru dengan kontrak yang baru pula.

Doktrin al-Asy’ari membolehkan adanya dua imam pada waktu bersamaan asal wilayah kekuasaanya terpisah jauh. Namun al-Mawardi dengan tegas menolak pendapat ini, didasarkan pada argument keagamaan, sebab bay’ah hanya bias diberikan kepada satu orang pada waktu yang sama. Jika kemudian dilakukan bay’ah terhadap orang lain, maka kontra yang kedua menjadi batal, sebagaimana berlaku dalam pernikahan. Ketidaksetujuan ini didasarkan pertimbangan politik, dimana masa itu Abbasiyah menghadapi tantangan dari dinasti Fatimiyah yang berkuasa di yang bermadzhab Syi’ah Ismailiyah.
Tugas dan tanggungjawab seorang imam menurut al-Mawardi :

1. Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan menjadi konsensus generasi Islam awal;
2. Melaksanakan hukum (peradilan) dikalangan masyarakat dan melerai perteng-karan antara dua kelompok yang bertikai;
3. Memelihata kehidupan perekonomian masyarakat, sehingga rakyat memiliki rasa aman atas diri dan hartanya;
4. Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan;
5. Membentengi perbatasan Negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh;
6. Melakukan jihad melawan musuh, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau ahl al-dhimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam)
7. Mengumpulkan fay’ (rampasan dari musuh bukan perang) dan zakat baik yang wajib maupun menurut syari’ah maupun yang wajib menurut ijtihad.
8. Mengatur kekayaan Negara (taqdir al-ataya) yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional)
9. Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang bias dipercaya;
10. Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan uma dan memelihara agama.
Selama seorang imam mampu melaksanakan tanggungjawab dan kewa-jibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinnya. Tetapi jika tidak, maka sangat memungkin terjadinya pemberhentian imam dari jabatannya.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa di bawah kekuasaan imam ada empat macam (lembaga) keluasaan Negara dengan tugas masing-mamsing berbeda, yakni :
1. Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas umum/para menteri (wazir), tugas mereka mewakili imam dalam semua urusan tanpa pengecualian.
2. Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas khusus/para pemimpin wilayah (amir).
3. Lembaga yang kekuasaannya khusus seperti para hakim kepala (qadi al-qudat), pemimpin tentara, penjaga keamanan wilayah perbatasan, direktorat dan penanggungjawab pajak dan penanggung jawab zakat. Tugas mereka masing-masing terbatas pada investigasi khusus dalam semua tugas.
4. Lembaga yang kekuasaanya khusus dalam tugas-tugas khusus, seperti hakim daerah, pengawas pajak daerah dan komandan militer daerah.
b. Lembaga Kementrian (Wizarat)
Menurut al-Mawardi, sebutan wizarah bisa berasal dari kata wizr artinya beban, karena dia mengambil alih peran beban rajanya, atau wazar berarti tempat mengadu, kembali (malja’) karena raja minta pendapat atau bantuan dari wazir, atau azar berarti punggung, karena raja memperkuat posisinya dengan wazir seperti badan dengan punggungnya.
Konsep Wizarah sesungguhnya juga terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan, bahwa Nabi Musa mempunyai wazir bernama Harun yang membantu menangani urusan-urusannya. Jika dalam kenabian boleh, maka kaitannya dengan imamah juga boleh. Menurutnya ada dua macam wizarah (kementrian) yakni :
a. Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori)
Adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun maupun mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan (mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wazir, kecuali tiga hal ; 1) penentuan putra mahkota, 2) imam boleh mengundurkan diri dari jabatan imamah, 3) imam berwenang mencopot orang yang ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab (keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus perang dan perpajakan.
b. Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
Adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara. Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak dilibatkan ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka.
Posisinya lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.
Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni :
1. Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim;.
2. Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah);
3. Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang;
4. Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.
Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz.
Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni :
1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka;
2. Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at;
3. Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
Diluar itu baik Wazir tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama. Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.
c. Pemerintaha Daerah (‘imart’ala al-Bilad)
Pemikiran al-Mawardi tentang pemerintahan daerah (gubernur propinsi, kepala daerah) karena suatu negara mempunyai wilayah yang sangat luas. Sehingga penguasa daerah dapat melaksanakana kekuasan penuh didaerahnya, dengan syarat tetap mengakui kekuasaan tertinggi khalifah dalam hubungannya dengan hukum Islam. Kekuasaanya dibagi dua yakni umum dan khusus.
Kekuasaan yang bersifat umum meliputi dua macam, yakni :
1. Imarat al-istikfa’
Yaitu kekuasaan kepala daerah atas wilayah tertentu dengan (karena) pengangkatan khalifah yang tugas, wewenang, bertanggungjawabnya dibatasi oleh isi kontrak dan penugasannya oleh khalifah. Ruang lingkup tugasnya meliputi :
a. Menangani urusan militer, mengorganisasi dan menggaji militer, kecuali jika khalifah telah menentukan;
b. Menangani urusan-urusan hukum dan memilih qadi atau hakim;
c. Menarik pajak dan menangani urusanzakat serta menunjuk pagwai-pegawai yang mengurus-urusan tersebut;
d. Melindungi agama dan menjaga kemurnian ajarannya;
e. Menegakkan hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia;
f. Memimpin shalat jamaah dan jum’at atau menunjuk orang untuk mewakilinya;
g. Mengorganisasi pemberangkatan haji;
h. Jika daerahnya berbatasan dengan Negara musuh, maka amir harus memimpin jihat melawan musuh dan jika menang membagi barang rampasannya dan mengambil seperlima untuk mereka yang berhak.
Persyaratan menjadi amir istikfa’ sama dengan persyaratan menjadi Wazir tafwidh. Jika khalifah telah mengangkat amir, maka Wazir tafwidh memiliki hak pengawasan. Namun demikian Wazir tafwidh bias mengangkat amir, tetapi tidak bisa mencopot atau memindahkannya ke daerah lain. Amir bisa mengangkat Wazir tanfidz didaerahnya, tapi tidak boleh mengangkat Wazir tafwidh, kecuali ada perintah dari khalifah.
2. Imarat al-Istila’
Yaitu kepala daerah memperoleh kekuasaannya melalui kekuatan keluarga yang berpengaruh disuatu daerah (propinsi), yang ini biasanya terjadi di daerah yang letaknya jauh. Pada masa merosotnya pengaruh Abbasiyah akhir abad ke-9 dan 10, bermunculan kekuatan baru di beberapa daerah yang dipimpin oleh pemimpin militer lokal, yang merebut kekuasaan dengan kekuatan militer dan menyatakan kekuasaannya secara sepihak sebagai penguasan. Imarat al-Istila’ juga disebut dengan al-Ghalabah.
Adapun kewajiban dan tanggung jawab Imarat al-Istila’ yaitu :
1. Mempertahankan posisi imamah sebagai pengatur agama sehingga syari’at Islam tetap terpelihara;
2. Mempertahankan sikap taat (loyal) terhadap agama;
3. Mempertahankan kesatuan agar umat Islam memiliki kekuatan menghadapi lawan-lawannya;
4. Menjalankan hukum-hukum agama dan memelihara berlakunya ikatan-ikatan keagamaan;
5. Menggunakan harta (kekayaan) Negara secara benar;
6. Menegakkan peraturan-peaturan secara adil (proporsional);
7. Memelihara agama dan mengajak rakyat untuk taat kepada Tuhan.
Imarat al-Istila’diperbolehkan mengangkat Wazir tawfidh, tapi jika dipan-dang tidak memenuhi persyaratan, maka khalifah sendiri yang mengangkat wazir.
Sedangkan kekuasan yang bersifat khusus, wewenang amir hanya terbatas pada penanganan urusan militer, pengaturan kehidupan rakyat, tetapi tidak berwenang memutuskan hukum dan menarik pajak.
Perbedaan antara Imarat Istikhfa’ dengan Imarat al-Istila’, adalah :
a. Imarat Istikhfa’ memiliki wewenang lebih terbatas dibanding Imarat al-Istila’
b. Imarat Istikhfa’ hanya memiliki wilayah yang ditentukan oleh khalifah, sedang Imarat al-Istila’ wilayahnya meliputi daerah yang berhasil taklukan oleh amir;
c. Imarat al-istila’’ boleh mengangkat wazir, sedang Imarat Istikhfa’ tidak boleh.
d. Lembaga Peradilan
1. Peradilan Qada
Lembaga ini dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan berdasarkan hukum syari’at, yang meliputi kehidupan sosial keagamaan. Untuk itu khalifah menunjuk seorang qadi dari kalangan yuris (orang yang menguasai hukum Islam). Namun qadi memiliki independensi untuk mengambil keputusan hukum berdasarakn syari’at, bahkan ia tidak terpecat dengan kematian khalifah yang mengangkatnya.
Syarat yang harus dipenuhi seorang qadi adalah; 1) Harus seorang laki-laki dewasa; 2) Berakal; 3) memiliki kecerdasan; 4) Merdeka; 5) Muslim; 6) Adil; 7) sehat pendengaran dan penglihatan dan 8) Memiliki pengetahuan luas tentang Syari’ah atara lain ilmu usul dan furu (mencakup Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas. Sementara kekuasaan qadi, meliputi sepuluh aspek :
1. Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara pemaksaan hukum;
2. Membebaskan orang tidak bersalah dari sangsi dan hukuman, dan memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan maupun dengan dilakukan sumpah;
3. Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot;
4. Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya;
5. Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan syari’at.
6. Menikahkan janda dengan orang yang sederajat, jika tidak ada wali dan menghendaki menikah;
7. Melaksanakan hukuman bagi terhukum;
8. Mengawasi para pegawai demi kemaslahatan mereka;
9. Meneliti para saksi sekretarisnya, meski nampak jujur dan kredibel, serta menentukan penggantinya.
10. Menegakkan persamaan didepan hukum antara yang kuat dan yang lemah, dan mengakkan keadilan dalam peradilan baik bagi bangsawan maupun rakyat biasa.
Dalam perspektif kontemporer, fungsi lembaga qadi mirip dengan fungsi yudikatif dan legislatif. Pada satu sisi qadi mengurusi kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum dan mengadili perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam, disisi lain memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam rangka legalisasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang di derivasikan dari Syari’at.
Ditingkat pusat ada qadi al-qudat dan di daerah (propinsi) juga memung-kinkan di angkat seorang qadi.
2. Peradilan Tindak Ketidakadilan (Muzalim)
Lembaga ini dibentuk untuk mendengarkan pengaduan rakyat yang mendapat perlakuan tidak adil dari pejabat pemerintah. Orang yang pertama kali mengadakan lembaga ini adalah Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah bani Umayyah. Gagasan ini muncul setelah ia membaca dan meneliti sebuah laporan tentang kasus sengketa, yang kemudian ia menunjuk Abu Idris (seorang hakim) untuk menyimpulkan dan memutuskan perkara dengan meneliti sebab-sebabnya.
Fungsi mazalim adalah menangani persoalan-persoalan dan kasus-kasu yang berkaitan dengan :
1. Tindak ketidakadilan dan tirani yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat pemerintahan lainnya terhadap rakyat;
2. Ketidakadilan dalam penilaian atau penarikan pajak;
3. Supervisi (pengawasan) keuangan pejabat publik di biro-biro pemerintahan;
4. Klaim tentara regular berkaitan dengan pengurangan gaji mereka;
5. Mengembalikan hak yang diambil paksa;
6. Pengawasan atau pemeliharaan wakaf;
7. Penegakan keputusan yang diberikan oleh qadi yang belum dilaksanakan;
8. Mengambil alih wewenang petugas (biro) ketertiban umum (hisbah) yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.
9. Pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara kolektif;
10. Pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pengadilan secara umum.
Seorang yang bertugas dalam lembaga Mazalim, harus memenuhi persyaratan antara lain :
a. Memiliki kedudukan;
b. Mempunyai pengaruh;
c. Berwibawa;
d. Mempunyai harga diri;
e. Tidak rakus, tidak mudah silau oleh dunia.
f. Menghindari perbuatan maksiat dan menjauhi syubuhat (hal-hal yang tidak jelas halal-haramnya).
Sementara dalam memeriksa atau menginvestigator terhadap suatu kasus, Mazalim harus menghadirkan lima elemen, yaitu :
1. Petugas keamana dan pembanu (al-humat dan a’wan);
2. Para qadi dan hakim untuk mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak mereka dan pengetahuan tentang apa-apa yang berjalan dengan majelis mereka;
3. Para ahli fiqh sebagai tempat bertanya mengenai maslaah yang rumit;
4. Penulis (sekretaris) yang mencatat perjalanan siding dan hasilnya;
5. Saksi-saksi .
Dalam pemikiran al-Mawardi mengenai Peradilan, dia menungkapkan perbedaan menyangkut yuridiksi antara Mazalim dan qadi, yaitu :
a. Mazalim memiliki Kedudukan dan kekuasan lebih tinggi dari pada qadi;
b. Mazalim memiliki wilayah kekuasaan yuridiksi lebih luas baik dalam lingkup tindakan maupun pemberian hukum dari pada qadi;
c. Mazalim memiliki kekuatan intimidasi lebih besar dari pada qadi;
d. Mazalim memiliki kekuatan memeriksa tindak kejahatan yang dilakukan secara terbuka dan mengoreksi serta menindak pelanggaran terbuka, sedang qadi tidak;
e. Mazalim memiliki kekuasaan penuh memberikan panggilan untuk meng-hadapi sidang pengadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

III. Kesimpulan
Pemikiran al-Mawardi yang di tuangkan dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah memberikan mencerminkan akomodasi terhadap realitas dan praktik politik pada masanya, yang sering memberikan justifikasi terhadap kekuasan khalifah. Baginya kekhalifahan adalah komitmen agama dan aktualitas politik. Dia juga menunjukkan bahwa tugas utama khalifah ialah memelihara agama sesuai dengan preseden masa lampau, menegakkan ketetapan/keputusan peradilan dan melindungi rakyat (Islam). Yang lebih penting adalah pemikirannya mengandung segi-segi normatif atau idealistik dari sebuah pemerintahan atau tatanan politik Islam.

IV. Penutup
Demikian makalah yang kami susun, semoga menjadi tambahan mengenai sebuah kajian politik Islam. Harapan kami adalah, kritik dan saran yang membangun, dalam upaya menambah wawasan keilmuan kita pada sejarah pemikiran Islam.
* Nuruz Zaman Amsa

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muntaz (Terjemahan Ena Hadi, Mizan, 19996)993 : State, Political and Islam, London : Routledge.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan tanpa tahun : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo : Mustafa al-Halabi wa Awladuh.
1960 : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo : Mustafa al-Halabi wa Awladuh.
Al-Saqa, Mustafa (pengantar untuk al-Tafsir al-hawi oleh al-Mawardi)
985 : Al-Tafsir al-Hawi, Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyah
-------------- (Pengantar untuk adab al-Dunya wa al-Din oleh al-Mawardi.
Tanpa tahun : Adab al-Dunya wa al-Din, Jakarta : Syarikah Nur al-Tsaqafah al-Islamiyah
1986 : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut, Dar el-Fikr
Nazhin, Ayyubi, 1992 : Political Islam : Religion and Plitic in the Arab World, London, Routledg.
Nur Mufid, Nurfuad, 200 : Membedah Al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi, Pustaka Progresif : Surabaya.
Diposkan oleh h_levt di 21:40
Label: Lapsus












Minggu, 14 September 2008
Konsep Politik Al Mawardi
PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI
(Studi al-Ahkam al-Sulthaniyyah Karya al-Mawardi)*



I. Pendahuluan
Politik Islam sebagai ilmu dan teori atau filsafat, akan melahirkan konsep dan tatanan aplikabel dan menguntungkan bagi umat secara keseluruhan. Pendapat umum yang menyatakan bahwa “ijtihad politik” tidak diperlukan lagi, karena praktiknya telah ada : bahwa perilaku politik dan tatanegara serta pemerintahan Islam sudah pernah dijalankan oleh generasi terdahulu, sejak masa khilafah Abbasiyah. praktik ini dianggap telah mapan dan sudah islami. Kalaupun didapati penyelewengan dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mereka jarang sekali melakukan atau redefenisi terhadap praktik tersebut. Juga adanya dominasi dan hegemoni intelektual Barat. Kepemimpinan intelektual Barat menjamah di segala bidang pemikiran ke-islaman, dan menginterpretasikan ajaran dan dasar politik Islam, namun bersamaan dengan itu mereka juga menutup interpretasi lain yang dilakukan oleh anak-anak Islam sendiri.
Dengan kenyataan inilah, dengan penuh kesadaran, kepatuhan dan ketulusan kepada Islam, harus diupayakan Ijtihad baru dalam bidang politik dan tatanegara untuk menyelesaikan atau setidak-tidaknya mengurangi problem-problem politik dan ketatanegaraan dalam Islam. Salah satu caranya dengan redefenisi dan refungsionalisasi lembaga-lembaga politik yang disarankan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dan pada gilirannya melaksanakannya secara total dan konsekuen. Namun tidak biasa dilakukan secara jumping langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah, harus melewati dulu teori-teori politik dan praktik Islam yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Salah satu pemikiran teori politik dan praktis yang telah ada adalah al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi (974-1059 M).

II. Biografi al-Mawardi
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-mawardi al-Syafi’i yang kemudian lebih dikenal al-Mawardi, lahir dikota Basrah Iraq 364 H/974 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa keemasan, di tangan khalifah daulah Abbasiyah.
Al-Mawardi belajar hadits dan fiqih pada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali (pakar hadits dan bahasa) dan Abi al-Qasim Abdul Wahid bin Muhammad al-Shaimari (seorang hakim di Basrah) Kemudian melanjutkan studi ke “kampus” al-Za’farani” Bagdad. Disinilah al-Mawardi menajamkan hadits dan Fiqih pada Abu Hamid Ahmad bin Tohir al-Isfirayani (wafat tahun 406 H).
Kemudian al-Mawardi menetap di Bagdad, sekaligus menghabiskan waktunya untuk menulis sejumlah buku pada beberapa disiplin ilmu seperti fiqih, hadits, tafsir, tatabahasa Arab, sastera, filsafat, administrasi, politik, etika dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Disamping sebagai penulis al-Mawardi juga seorang hakim agung yang berkedudukan di Nisabur, yang diangkat pada 294 H, dan dikenal sebagai “hakim rakyat”, karena selalu keluar masuk kampong untuk mencari dari dekat dan melihat apa yang terjadi dan diperkarakan orang. Al-Mawardi juga dikenal kontroversial, seperti ketika melarang pemberian gelar Syahinsyah, raja-di-raja, malik al-muluk, bagi Jalal al-Daulah bi Buwaihi, amir kota Bagdad ketika menobatkan al-Qadir Billah sebagai khalifah ke 25 -- yang telah menumbangkan Khalifat al-Tha’I Lillah (974-991M).
Jabatan terhormat lain yang disandang al-Mawadi, adalah kedudukannya sebagai duta keliling bagi khalifah al-Qadir. Jabatan hakim agung (rais al-qudhat atau qadhi al-qudhat atau aqdha al-qudhat) di pegang nya sampai wafat pada 450 H.
Layaknya cendikiawan abad 5 H, al-Mawardi menulis beragam disiplin ilmu keislaman. Secara garis besar karya-karya al-Mawardi dapat dikelompokkan dalam tiga cabang : ke-agamaan, sosial-politik, kebahasaan dan kesasteraan, adalah :
a. Bidang Keagamaan
1. Kitab al-Tafsir (al-Nukhat wa al’Uyun fi Tafsir al-Qur’an al-Karim). Kitab ini termamsuk kitab induk di bidang tafsir al-Qur’an.
2. Adab al-Din wa al-Dunya (semula bernama al-Bughyah al’Ulya fi Adab al-Din wa al-Dunya) kitab ini bertopik seputar etika dan moral Keagamaan murni, dan tentang etika kemasyarakatan.
3. Al-Hawi al-Kabir. Kitab ini secara khusus membahas persoalan Fiqh madzhab Syafi’i. Namun juga membicarakan madzhab lain.
4. Kitab al-Iqna’, yang merupakan buku kecil ringkasan dari al-Hawi al-Kabir.
5. Kitab A’lam al-Nubuwwah, kitab tentang bukti-bukti kenabian Muhammad saw, namun belum pernah diterbitkan, masih dalam bentuk manuskrip.
6. Kitab Adab al-Qodhi, membicarakan tatatertib penanganan perkara dan persi-dangan pengadilan harus dipegang seorang hakim.
b. Bidang Sosial-politik
1. Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, yang merupakan tulisan al-Mawardi yang paling awal diterbitkan dan dikenal dunia Islam.
2. Nasihahat al-Muluk (nasihat kepada para raja), belum pernah diterbitkan.
3. Tashil a-Nadzar wa Ta’jil al-Dzaf, masih dalam bentuk manuskrip, di perpustakaan Gothe, Jerman.
4. Kitab Qowanin al-Wizaroh wa Siyasah al-Muluk, diterbitkan di Kairo tahun 1929 dengan judul Adab al-Wazir (pedoman para menteri).
c. Bidang Bahasa dan Kesasteraan
1. Kitab fial-Nahwu (gramatika bahasa Arab)
2. Al-Amtsal wa al-Hikam, berisi peribahasa Arab, kata-kata mutiara dan syair-syair pilihan. Ada 300 motto, 300 bait sajak dan 300 hadits pilihan. Namun masih dalam bentuk manuskrip di universitas Leiden Belanda.

III. Pemikiran Politik al-Mawardi
Pemikiran politik al-Mawardi (seorang yuris Sunni) di tuangkan secara komplit dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah sebagai upaya menegaskan kekuasaan Khlifah Abbasiyah melawan para penguasan (amir) dinasti Buwayhiyah, yang sangat efektif pengaruhnya dan untuk menghadapi ekspansi pengaruh dinasti Fatimiyah Ismailiyah di Mesir. Karya ini dapat dinyatakan sebagai pemikiran yang mencerminkan jawaban terhadap kebutuhan pada masanya atau pemaparan dan realitas politik dan pemerintahan yang terjadi pada masanya.
Al-Mawardi hidup pada masa terjadinya pertarungan politik dan teologis yang tajam antara Sunni dan Syi’ah (baik Imamiyah maupun Ismailiyah). maka tidak meng-herankan apabila perhatian utama al-Mawardi ditujukan untuk mendukung keyakinan Keagamaan Sunni dan posisi politik kekhalifahan Abbasiyah yang dia dianggap paling sah (legitimate) secara agama dan politik. Al-Mawardi ingin mempertahankan kesatuan politik umat Islam di bawah kepemimpinan politik khalifah Abbasiyah di Bahdad. Meskipun pikiran-pikirannya lebih merupakan diskursus teologis (ideologis), Namun beberapa teoritisnya dideduksi dari praktik dan realitas kesejarahan.
Sumbangan penting pemikiran politik al-Mawardi ialah bahwa dia memberikan gambaran yang detail mengenai lembaga politik dan administrasi pemerintahan, yang belum diberikan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Pemikir sebelumnya pada umumnya membahas Imamah dari sudut pandang teologi, sehingga imamah lebih mencerminkan pembelaan teologis terhadap posisi khalifah. Misalnya bahwa kekuasaan Khilafah atau Raja adalah mandat dari Allah swt. (Khilafah memang berarti pengganti atau wakil Allah di muka bumi). Malah bagi al-Ghazali, kekuasaan kepala Negara adalah suci (muqoddas) –tidak bias diganggu gugat.
Namun al-Mawardi menyatakan kekuasaan kepala Negara tidak sendirinya berasal dari Tuhan, meskipun tetap berada dalam batasan-batasan kedaulatan legal dan politik Tuhan. Al -mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan mekanisme kepala Negara dan pemecatannya dengan baik dengan sendirinya maupun oleh hal-hal eksternal (‘azl dan in’azl).
Al-Mawardi meletakkan fondasi-fondasi Negara Islam dalam arti keharusan adanya lembaga khilafah, persyaratan-persyaratan calon khilafah, wilayah-wilayah wewenang dan kekuasaan khilafah, aturan untuk lembaga kementrian (wizaroh), pejabat-pejabat eksekutif (tanfidz) dan pejabat-pejabat delegatori (watanfidz), birokrasi dan tata-usaha-administrasi,lembaga peradilan, kepala-kepala daerah/pemerintaha daera (imaroh ‘ala al-bilad) dan panglima-panglima perang.
a. Imamah dan Imam (Kepala Negara)
Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep ummah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan presiden atau kepala Negara.
Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”.
Menurutnya pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang mempunyai otoritas dari kalangan kamu”.(QS. An-Nisa’: 59).
Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Bagi al-Mawardi, kekuasaan kepala Negara berasal dari :
1. Pemilihan oleh (para) pemilih, baik dengan sistem perwakilan melalui lembaga ahl al-hall wa-‘aqd (semacam MPR) maupun ahl al-Syura atau tim formatur kecil. Cara ini disebut dengan sistem kontrak sosial, yang melahirkan kewajiban dan hak kepala negara disatu pihak serta kewajiban dan hak rakyat di pihak lain.
Teori al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan pandangan Syi’ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nass (penetapan oleh Tuhan dan Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam sebelumnya dari keluarga ahl al-bayt.
Pemilihan imam dipandang al-Mawardi sebagai kewajiban sosial atau bersama (fadhu kifayah), seperti mencari ilmu pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim. Konsep membentuk lembaga imamah dan pemilihan imam menyerupai konsep “kontrak” yang melibatkan dua pihak yaitu imam (ahl-imamah) dan rakyat atau pemilih (ahl al-ikhtiyar), atau ahl al-hall wa’l-aqd (orang yang mengurai atau mengikat/lembaga pemilih). Menurutnya pemilih atau lembaga pemilih haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai rasa (‘adalah), mempunyai pengetahuan cukup tentang calon yang akan dipilih dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk jabatannya, serta sehat pikiran dan kebijakan (kearifan), sehingga mampu memilih kepentingan orang banyak. Disamping itu masalah pemilihan imam, ahl al-hall wa’l-aqd juga harus mempertimbangkan, kemungkinan calon yang mereka pilih memperoleh persetujuan sebagian besar rakyat. Setelah ahl ikhtiyar memperoleh keputusan mengenai calon imam dan ia wajib menerima kedudukan itu, maka menjadi tugas dan kewajiban rakyat untuk menyampaikan bay’ah dan mematuhinya. Singkatnya fungsi ahl-akhtiyar adalah mengidentifikasi orang yang akan di angkat sebagai imam.
2. Penunjukan kepala Negara sebelumnya, yang disebut suksesi yang didasarkan pada suksesi Umar bi al-Khattab dari Abu Bakar). Namun dalam pandangan al-Mawardi kepala Negara tidak kebal dari pemecatan dan tidak suci.
Al-Mawardi membolehkan suksesi tanpa pertimbangan dari ahl al-ikhtiyar, asalkan calon penggantinya bukan ayahnya atau anak laki-lakinya. Dalam hal ini disebutkannya tiga pendapat, pertama bahwa seorang imam harus berkonsultasi dengan ahl al-ikhtiyar, meskipun adalah ayah atau anak laki-lakinya. Kedua, membatasi konsultasi pada kasus dimana sang calon adalah putra imam. Ketiga, tidak mengharuskan imam untuk berkonsultasi dalam kasus kedua tersbut.
Menurut al-Mawardi, seorang imam atau calon imam harus memenuhi/-memiliki 7 (tujuh) persyaratan :
1. Rasa keadilan (‘adalah);
2. Pengetahuan (‘ilm);
3. Sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan;
4. Sehat tubuh tidak cacat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas;
5. Berwawasan luas;
6. Punya keberanian untuk melindungi wilayah (otoriti) Islam dan melaksa-nakan jihad;
7. Punya garis keturunan dari Quraisy
Syarat terakhir tidak dipandang sebagai suatu keharusan oleh pemikir-pemikir Sunni setelahnya dan penulis-penulis modern, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan persamaan hak sesama muslim tanpa memandang asal-usul atau keturunan. Bahkan nabi Muhammad sendiri oleh diakui kaum Sunni tidak pernah menyatakan dengan tegas siapa yang akan menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat. Sementara dua penyebab gugurnya kontrak antara imam dan rakyat meskipun masih menjabat menurut al-Mawardi adalah jika imam berlakuk tidak adil dan jika imam mengalami cacat fisik. Jika hal itu terjadi maka harus dilakukan pemilihan imam baru dengan kontrak yang baru pula.
Doktrin al-Asy’ari membolehkan adanya dua imam pada waktu bersamaan asal wilayah kekuasaanya terpisah jauh. Namun al-Mawardi dengan tegas menolak pendapat ini, didasarkan pada argument keagamaan, sebab bay’ah hanya bias diberikan kepada satu orang pada waktu yang sama. Jika kemudian dilakukan bay’ah terhadap orang lain, maka kontra yang kedua menjadi batal, sebagaimana berlaku dalam pernikahan. Ketidaksetujuan ini didasarkan pertimbangan politik, dimana masa itu Abbasiyah menghadapi tantangan dari dinasti Fatimiyah yang berkuasa di yang bermadzhab Syi’ah Ismailiyah.
Tugas dan tanggungjawab seorang imam menurut al-Mawardi :
1. Menjaga prinsip-prinsip agama yang mapan dan menjadi konsensus generasi Islam awal;
2. Melaksanakan hukum (peradilan) dikalangan masyarakat dan melerai perteng-karan antara dua kelompok yang bertikai;
3. Memelihata kehidupan perekonomian masyarakat, sehingga rakyat memiliki rasa aman atas diri dan hartanya;
4. Menegakkan hukuman untuk menjaga hak-hak manusia dari penindasan dan perampasan;
5. Membentengi perbatasan Negara untuk mencegah serbuan (serangan) musuh;
6. Melakukan jihad melawan musuh, melalui dakwah agar mereka menjadi muslim atau ahl al-dhimmah (non muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Islam)
7. Mengumpulkan fay’ (rampasan dari musuh bukan perang) dan zakat baik yang wajib maupun menurut syari’ah maupun yang wajib menurut ijtihad.
8. Mengatur kekayaan Negara (taqdir al-ataya) yang ada di bait al-mal, dengan memperhatikan keseimbangan (tidak boros dan tidak pelit, tapi seimbang dan proporsional)
9. Mengikuti nasihat orang yang bijaksana dan menyerahkan urusan pemerintahan dan keuangan kepada orang-orang yang bias dipercaya;
10. Melakukan pengawasan terhadap urusan-urusan pemerintahan dan mengawasi keadaan, untuk mengatur kehidupan uma dan memelihara agama.
Selama seorang imam mampu melaksanakan tanggungjawab dan kewa-jibannya dan tetap memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, maka rakyat wajib memberikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinnya. Tetapi jika tidak, maka sangat memungkin terjadinya pemberhentian imam dari jabatannya.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa di bawah kekuasaan imam ada empat macam (lembaga) keluasaan Negara dengan tugas masing-mamsing berbeda, yakni :
1. Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas umum/para menteri (wazir), tugas mereka mewakili imam dalam semua urusan tanpa pengecualian.
2. Lembaga yang kekuasannya umum dalam tugas-tugas khusus/para pemimpin wilayah (amir).
3. Lembaga yang kekuasaannya khusus seperti para hakim kepala (qadi al-qudat), pemimpin tentara, penjaga keamanan wilayah perbatasan, direktorat dan penanggungjawab pajak dan penanggung jawab zakat. Tugas mereka masing-masing terbatas pada investigasi khusus dalam semua tugas.
4. Lembaga yang kekuasaanya khusus dalam tugas-tugas khusus, seperti hakim daerah, pengawas pajak daerah dan komandan militer daerah.
b. Lembaga Kementrian (Wizarat)
Menurut al-Mawardi, sebutan wizarah bisa berasal dari kata wizr artinya beban, karena dia mengambil alih peran beban rajanya, atau wazar berarti tempat mengadu, kembali (malja’) karena raja minta pendapat atau bantuan dari wazir, atau azar berarti punggung, karena raja memperkuat posisinya dengan wazir seperti badan dengan punggungnya.
Konsep Wizarah sesungguhnya juga terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan, bahwa Nabi Musa mempunyai wazir bernama Harun yang membantu menangani urusan-urusannya. Jika dalam kenabian boleh, maka kaitannya dengan imamah juga boleh. Menurutnya ada dua macam wizarah (kementrian) yakni :
a. Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori)
Adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun maupun mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan (mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wazir, kecuali tiga hal ; 1) penentuan putra mahkota, 2) imam boleh mengundurkan diri dari jabatan imamah, 3) imam berwenang mencopot orang yang ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab (keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus perang dan perpajakan.
b. Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
Adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara. Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak dilibatkan ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka.
Posisinya lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.
Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni :
1. Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim;.
2. Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah);
3. Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang;
4. Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.
Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz.
Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni :
1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka;
2. Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at;
3. Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
Diluar itu baik Wazir tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama. Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.
c. Pemerintaha Daerah (‘imart’ala al-Bilad)
Pemikiran al-Mawardi tentang pemerintahan daerah (gubernur propinsi, kepala daerah) karena suatu negara mempunyai wilayah yang sangat luas. Sehingga penguasa daerah dapat melaksanakana kekuasan penuh didaerahnya, dengan syarat tetap mengakui kekuasaan tertinggi khalifah dalam hubungannya dengan hukum Islam. Kekuasaanya dibagi dua yakni umum dan khusus.
Kekuasaan yang bersifat umum meliputi dua macam, yakni :
1. Imarat al-istikfa’
Yaitu kekuasaan kepala daerah atas wilayah tertentu dengan (karena) pengangkatan khalifah yang tugas, wewenang, bertanggungjawabnya dibatasi oleh isi kontrak dan penugasannya oleh khalifah. Ruang lingkup tugasnya meliputi :
a. Menangani urusan militer, mengorganisasi dan menggaji militer, kecuali jika khalifah telah menentukan;
b. Menangani urusan-urusan hukum dan memilih qadi atau hakim;
c. Menarik pajak dan menangani urusanzakat serta menunjuk pagwai-pegawai yang mengurus-urusan tersebut;
d. Melindungi agama dan menjaga kemurnian ajarannya;
e. Menegakkan hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia;
f. Memimpin shalat jamaah dan jum’at atau menunjuk orang untuk mewakilinya;
g. Mengorganisasi pemberangkatan haji;
h. Jika daerahnya berbatasan dengan Negara musuh, maka amir harus memimpin jihat melawan musuh dan jika menang membagi barang rampasannya dan mengambil seperlima untuk mereka yang berhak.
Persyaratan menjadi amir istikfa’ sama dengan persyaratan menjadi Wazir tafwidh. Jika khalifah telah mengangkat amir, maka Wazir tafwidh memiliki hak pengawasan. Namun demikian Wazir tafwidh bias mengangkat amir, tetapi tidak bisa mencopot atau memindahkannya ke daerah lain. Amir bisa mengangkat Wazir tanfidz didaerahnya, tapi tidak boleh mengangkat Wazir tafwidh, kecuali ada perintah dari khalifah.
2. Imarat al-Istila’
Yaitu kepala daerah memperoleh kekuasaannya melalui kekuatan keluarga yang berpengaruh disuatu daerah (propinsi), yang ini biasanya terjadi di daerah yang letaknya jauh. Pada masa merosotnya pengaruh Abbasiyah akhir abad ke-9 dan 10, bermunculan kekuatan baru di beberapa daerah yang dipimpin oleh pemimpin militer lokal, yang merebut kekuasaan dengan kekuatan militer dan menyatakan kekuasaannya secara sepihak sebagai penguasan. Imarat al-Istila’ juga disebut dengan al-Ghalabah.
Adapun kewajiban dan tanggung jawab Imarat al-Istila’ yaitu :
1. Mempertahankan posisi imamah sebagai pengatur agama sehingga syari’at Islam tetap terpelihara;
2. Mempertahankan sikap taat (loyal) terhadap agama;
3. Mempertahankan kesatuan agar umat Islam memiliki kekuatan menghadapi lawan-lawannya;
4. Menjalankan hukum-hukum agama dan memelihara berlakunya ikatan-ikatan keagamaan;
5. Menggunakan harta (kekayaan) Negara secara benar;
6. Menegakkan peraturan-peaturan secara adil (proporsional);
7. Memelihara agama dan mengajak rakyat untuk taat kepada Tuhan.
Imarat al-Istila’diperbolehkan mengangkat Wazir tawfidh, tapi jika dipan-dang tidak memenuhi persyaratan, maka khalifah sendiri yang mengangkat wazir.
Sedangkan kekuasan yang bersifat khusus, wewenang amir hanya terbatas pada penanganan urusan militer, pengaturan kehidupan rakyat, tetapi tidak berwenang memutuskan hukum dan menarik pajak.
Perbedaan antara Imarat Istikhfa’ dengan Imarat al-Istila’, adalah :
a. Imarat Istikhfa’ memiliki wewenang lebih terbatas dibanding Imarat al-Istila’
b. Imarat Istikhfa’ hanya memiliki wilayah yang ditentukan oleh khalifah, sedang Imarat al-Istila’ wilayahnya meliputi daerah yang berhasil taklukan oleh amir;
c. Imarat al-istila’’ boleh mengangkat wazir, sedang Imarat Istikhfa’ tidak boleh.
d. Lembaga Peradilan
1. Peradilan Qada
Lembaga ini dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan berdasarkan hukum syari’at, yang meliputi kehidupan sosial keagamaan. Untuk itu khalifah menunjuk seorang qadi dari kalangan yuris (orang yang menguasai hukum Islam). Namun qadi memiliki independensi untuk mengambil keputusan hukum berdasarakn syari’at, bahkan ia tidak terpecat dengan kematian khalifah yang mengangkatnya.
Syarat yang harus dipenuhi seorang qadi adalah; 1) Harus seorang laki-laki dewasa; 2) Berakal; 3) memiliki kecerdasan; 4) Merdeka; 5) Muslim; 6) Adil; 7) sehat pendengaran dan penglihatan dan 8) Memiliki pengetahuan luas tentang Syari’ah atara lain ilmu usul dan furu (mencakup Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas. Sementara kekuasaan qadi, meliputi sepuluh aspek :
1. Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara pemaksaan hukum;
2. Membebaskan orang tidak bersalah dari sangsi dan hukuman, dan memberikan sangsi kepada yang salah, baik dengan (dari) pengakuan maupun dengan dilakukan sumpah;
3. Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot;
4. Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya;
5. Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan syari’at.
6. Menikahkan janda dengan orang yang sederajat, jika tidak ada wali dan menghendaki menikah;
7. Melaksanakan hukuman bagi terhukum;
8. Mengawasi para pegawai demi kemaslahatan mereka;
9. Meneliti para saksi sekretarisnya, meski nampak jujur dan kredibel, serta menentukan penggantinya.
10. Menegakkan persamaan didepan hukum antara yang kuat dan yang lemah, dan mengakkan keadilan dalam peradilan baik bagi bangsawan maupun rakyat biasa.
Dalam perspektif kontemporer, fungsi lembaga qadi mirip dengan fungsi yudikatif dan legislatif. Pada satu sisi qadi mengurusi kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum dan mengadili perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam, disisi lain memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam rangka legalisasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang di derivasikan dari Syari’at.
Ditingkat pusat ada qadi al-qudat dan di daerah (propinsi) juga memung-kinkan di angkat seorang qadi.
2. Peradilan Tindak Ketidakadilan (Muzalim)
Lembaga ini dibentuk untuk mendengarkan pengaduan rakyat yang mendapat perlakuan tidak adil dari pejabat pemerintah. Orang yang pertama kali mengadakan lembaga ini adalah Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah bani Umayyah. Gagasan ini muncul setelah ia membaca dan meneliti sebuah laporan tentang kasus sengketa, yang kemudian ia menunjuk Abu Idris (seorang hakim) untuk menyimpulkan dan memutuskan perkara dengan meneliti sebab-sebabnya.
Fungsi mazalim adalah menangani persoalan-persoalan dan kasus-kasu yang berkaitan dengan :
1. Tindak ketidakadilan dan tirani yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat pemerintahan lainnya terhadap rakyat;
2. Ketidakadilan dalam penilaian atau penarikan pajak;
3. Supervisi (pengawasan) keuangan pejabat publik di biro-biro pemerintahan;
4. Klaim tentara regular berkaitan dengan pengurangan gaji mereka;
5. Mengembalikan hak yang diambil paksa;
6. Pengawasan atau pemeliharaan wakaf;
7. Penegakan keputusan yang diberikan oleh qadi yang belum dilaksanakan;
8. Mengambil alih wewenang petugas (biro) ketertiban umum (hisbah) yang tidak mampu melaksanakan tugasnya.
9. Pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara kolektif;
10. Pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pengadilan secara umum.
Seorang yang bertugas dalam lembaga Mazalim, harus memenuhi persyaratan antara lain :
a. Memiliki kedudukan;
b. Mempunyai pengaruh;
c. Berwibawa;
d. Mempunyai harga diri;
e. Tidak rakus, tidak mudah silau oleh dunia.
f. Menghindari perbuatan maksiat dan menjauhi syubuhat (hal-hal yang tidak jelas halal-haramnya).
Sementara dalam memeriksa atau menginvestigator terhadap suatu kasus, Mazalim harus menghadirkan lima elemen, yaitu :
1. Petugas keamana dan pembanu (al-humat dan a’wan);
2. Para qadi dan hakim untuk mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak mereka dan pengetahuan tentang apa-apa yang berjalan dengan majelis mereka;
3. Para ahli fiqh sebagai tempat bertanya mengenai maslaah yang rumit;
4. Penulis (sekretaris) yang mencatat perjalanan siding dan hasilnya;
5. Saksi-saksi .
Dalam pemikiran al-Mawardi mengenai Peradilan, dia menungkapkan perbedaan menyangkut yuridiksi antara Mazalim dan qadi, yaitu :
a. Mazalim memiliki Kedudukan dan kekuasan lebih tinggi dari pada qadi;
b. Mazalim memiliki wilayah kekuasaan yuridiksi lebih luas baik dalam lingkup tindakan maupun pemberian hukum dari pada qadi;
c. Mazalim memiliki kekuatan intimidasi lebih besar dari pada qadi;
d. Mazalim memiliki kekuatan memeriksa tindak kejahatan yang dilakukan secara terbuka dan mengoreksi serta menindak pelanggaran terbuka, sedang qadi tidak;
e. Mazalim memiliki kekuasaan penuh memberikan panggilan untuk meng-hadapi sidang pengadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

III. Kesimpulan
Pemikiran al-Mawardi yang di tuangkan dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah memberikan mencerminkan akomodasi terhadap realitas dan praktik politik pada masanya, yang sering memberikan justifikasi terhadap kekuasan khalifah. Baginya kekhalifahan adalah komitmen agama dan aktualitas politik. Dia juga menunjukkan bahwa tugas utama khalifah ialah memelihara agama sesuai dengan preseden masa lampau, menegakkan ketetapan/keputusan peradilan dan melindungi rakyat (Islam). Yang lebih penting adalah pemikirannya mengandung segi-segi normatif atau idealistik dari sebuah pemerintahan atau tatanan politik Islam.

IV. Penutup
Demikian makalah yang kami susun, semoga menjadi tambahan mengenai sebuah kajian politik Islam. Harapan kami adalah, kritik dan saran yang membangun, dalam upaya menambah wawasan keilmuan kita pada sejarah pemikiran Islam.
* Nuruz Zaman Amsa

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muntaz (Terjemahan Ena Hadi, Mizan, 19996)993 : State, Political and Islam, London : Routledge.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan tanpa tahun : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo : Mustafa al-Halabi wa Awladuh.
1960 : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo : Mustafa al-Halabi wa Awladuh.
Al-Saqa, Mustafa (pengantar untuk al-Tafsir al-hawi oleh al-Mawardi)
985 : Al-Tafsir al-Hawi, Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyah
-------------- (Pengantar untuk adab al-Dunya wa al-Din oleh al-Mawardi.
Tanpa tahun : Adab al-Dunya wa al-Din, Jakarta : Syarikah Nur al-Tsaqafah al-Islamiyah
1986 : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut, Dar el-Fikr
Nazhin, Ayyubi, 1992 : Political Islam : Religion and Plitic in the Arab World, London, Routledg.
Nur Mufid, Nurfuad, 200 : Membedah Al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi, Pustaka Progresif : Surabaya.
Diposkan oleh h_levt di 21:40
Label: Lapsus

















































Sistem Pemerintahan; SEBUAH ANALISA…
Posted on April 25, 2008 by marsha08
SISTEM PEMERINTAHAN, Sebuah Analisa
Analisis Sistem Pemerintahan, Bentuk Pemerintahan dan Bentuk Negara Menurut Nubuwwah Nabi Muhammad SAW.

Oleh Djanuardi
Dalam sebuah haditsnya yang panjang diriwayatkan oleh Imam Ahmad : Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya oleh seorang sahabat yang bernama Nu’man bin Basyir r.a. tentang periodisasi yang akan dilalui oleh umat Islam.
Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Umat Islam akan mengalami periode-periode sebagai berikut:
Periode Masa Kenabian ( Nubuwwah ) di mana Rasulullah SAW, masih hidup ada di antara mereka sampai saat tertentu yang dikehendaki Allah Swt. Pada periode ini lahirnya Periode Mekkah dan Periode Madinah yang kemudian lahirnya sebuah konstitusi yaitu Konstitusi Madinah. Hal cukup menarik dari praktek ketatanegaraan pada masa Nabi Muhammad SAW adalah pengangkatan pejabat Negara yang dilakukan beliau. Meski pada saat itu belum dikenal teori pemisahan ataupun pembagian kekuasaan (Trias Politica), Rasulullah SAW telah mempraktekkannya dengan cara mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat, misalnya sebagai wazir ( menteri ), katib ( sekretaris ), wali ( gubernur ), ’amil ( pengelola zakat ), dan qadi (hakim). Secara politik hukum ( tidak disebutkan dalam konstitusi Madinah ) sistem pemerintahaan pada waktu itu dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, bentuk pemerintahaan berdasarkan Al Qur,an dan Al Hadits, sedangkan bentuk negarapun tidak disebutkan, akan tetapi pada masa Rasulullah SAW, Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi yaitu Madinah, Tayman, Al Janad, daerah banu Kindah, Mekkah, Najran, Yaman, Hadramaut, Yaman dan Bahrain.
Konstitusi Madinah yang baru dibuat berfungsi sebagai sebuah Konstitusi tertulis yang memberi landasan yuridis bagi kehidupan bernegara. Madinah sendiri pada saat itu dilihat dari sistem ketatanegaraan sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah Negara, karena mengandung tiga persyaratan yaitu :
1) ada wilayah territorial Madinah
2) ada rakyat, dan
3) ada pemerintahnya.
Pada masa ini Sistem pemerintahan adalah Kenabian, bentuk pemerintahan berdasarkan Al- Quran dan Al Hadits, sedangkan Bentuk Negara adalah Kesatuan. Konsep Negara Kesatuan pada akhirnya dianut oleh Negara Jerman dan Negara Uni Sovyet hanya berbeda dengan konsep zaman Nabi Konsep Negara dan agama disatukan sedangkan konsep sekarang agama tidak diakui ( dengan kata lain menganut konsep anti agama (Komunis).
Periode masa kekhalifahan yang mengikuti manhaj atau jalan Nabi Muhammad SAW ( khilafah ala Minhajin Nubuwwah ) sampai saat tertentu yang dikenhendaki Allah Swt. Periode ini berjalan kurang lebih 30 tahun atau sering dikenal dengan masa Al Khulafa Al-Rasyidin yaitu :
Abu bakar r.a. dari tahun 11 H hingga 13 H ( 632M-634 M ),
Umar bin Khattab dari tahun 13 H hingga 23 H ( 634 M-644 M );
Utshman bin Affan dari tahun 23 H hingga 35 H ( 644 M-656 M );
Ali bin Abi Thalib dari tahun 35 H hingga 41 H ( 656 M-661 M ).
Pada periode ini sistem pemerintahaan dipimpin oleh seorang Khalifah , bentuk pemerintahaan mengikuti Sunah Rasulullah yaitu berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits., sedangkan bentuk negara pada masa itu terdiri dari Madinah sebagai pusat pemerintahaan dan propinsi-propinsi sebagai pemerintahan daerahnya, apalagi pada masa Umar bin Khattab wilayahnya meliputi Benua Asia, Afrika dan Sebagian kecil Benua Eropa ( misalnya wilayah Spanyol ).
Sistem pemerintahan kekhalifahan bentuk pemerintahan berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits, bentuk negara Serikat. Bentuk Negara Serikat pada perkembangan lebih lanjut dianut oleh Amerika hanya dirubah propinsi menjadi Negara bagian, berbeda dengan konsep zaman khalifah Negara dan agama disatukan, pada masa sekarang Negara serikat memisahkan agama dan Negara.
Periode masa raja-raja yang menggigit (Malikan Adhdhon) sampai saat tertentu yang dikehendaki Allah Swt. Pada periode ini lahirnya Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.
Perubahan yang dilakukan Mu’awiyah adalah menggantikan sistem pemeritnahaan yang bercorak Syura’dengan pemilihan kepala negara secara penunjukan. Berbeda dengan empat khalifah sebelumnya, Mu’awiyah tidak menyerahkan masalah ini kepada umat Islam, tetapi menunjuk puteranya sendiri. Yazid, menjadi penggantinya. Ini mengawali lahirnya corak Monarkhi dalam pemerintahan Islam yang berlangsung bahkan hingga awal ke 20 M. Di samping sebagai wujud ambisinya untuk memperkuat posisi Bani Umayah, Mu’awiyah agaknya ingin meniru corak kerajaan yang berkembang di Persia dan Romawi. Ini wajar karena selama menguasai Syam, Mu’awiyah banyak melihat dan berinteraksi dengan pola hidup dan kebudayaan penduduk setempat yang bercorak Romawi dan Persia. Mu’awiyah sendiri terpengaruh dengan gaya hidup dan kebesaran mereka, sehingga ketika masih menjadi gubernur, Umarpun pernah menegurnya. Mu’awiyah berhasil menekankan dasar-dasar pemerintahan yang kokoh dan dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya. Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen yaitu Diwan al-Jund ( militer ), Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan ), Diwan al-Rosail ( surat menyurat ), Diwan al-Khatam (arsip dan dokumentasi negara) dan Diwan al-Barid ( layanan Pos dan registrasi penduduk ). Pemerintahaan di daerah, wilayah kekuasaan Bani Umayah dibagi menjadi lima propinsi besar yaitu 1) Hijaz, Yaman dan Arabi, 2) Mesir bagian utara dan selatan, 3) Irak dan Persia, 4) Mesopotamia, Armena dan Azarbaijan dan 5) Afrika Utara, Spanyol, Perancis bagian Selatan, Sisilia dan Sardinia. Tiap-tiap propinsi dipimpin oleh seorang Gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah masing-masing. Mereka langsung diangkat oleh khalifah dan bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, sifat pemerintahan Bani Umayah adalah sentralistik, kepala daerah hanya melaksankan kebijaksanaan yang digariskan dari khalifah di pusat. Untuk membantu kelancaran jalanya roda pemerintahan, gubernur-gubernur ini dibantu oleh seorang atau beberapa orang sekretaris (katib), pengawal (hajib), dan pejabat penting (shahih) seperti pejabat pajak dan kepolisian.
Sedangkan zaman Bani Abbas, ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh Bani Abbas dalam menjalankan pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek, yaitu aspek Khilafah, wizarah, hijabah, dan Kitabah.
Aspek khilafah, berbeda dengan pemerintahan Bani Umayah sebelumnya Bani Abbas menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat pertama kali dalam pernyataan Al-Manshur bahwa dirinya adalah Wakil Allah dibumi-Nya.
Aspek Wizarah adalah suatu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Wazir bertugas sebagai tangan kanan khalifah.
Aspek Hijabah, hijab berarti pembatas atau penghalang. Pengertian sistem politik dalam pemerintahan Bani Abbas, Hajib ( petugas hijab ) berarti pengawal khalifah, karena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan khalifah Bani Abbas. Sistem pemerintahan kesultanan, kekhalifahan, bentuk pemerintahan berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits, bentuk negara Kesatuan dan Serikat. Bentuk Negara Kesatuan dianut pada massa Dinasti Abbasiyah, sedangkan pada masa Dinasti Umayah menganut sistem Bentuk Negara Serikat.
Periode masa raja-raja ditaktor/ sekuler ( Malikan Jabriyyatan ) sampai saat tertentu yang dikehendaki Allah Swt. Periode ini munculnya pengertian Negara, akan tetapi format ketatanegaraan telah berubah, yaitu pemisahan Negara dengan agama sehingga melahirkan Negara-negara sekuler. Pada periode ini lahirnya istilah sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan dan bentuk negara.
Sistem pemerintahan pada periode ini melahirkan sistem pemerintahan Parlemneter dan Presidential. Sistem Parlementer mempunyai cirri-ciri :
a) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan atau kekuatan –kekuatan yang menguasai parlemen.
b) Para anggota kabinet mungkin seluruhnya anggota parlemen, mungkin pula tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen.
c) Kabinet dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen. Apabila kabinet atau seorang atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi tidakpercaya dari parlemen, maka cabinet atau seorang atau beberapa orang daripadanya harus mengundurkan dirinya.
d) Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya cabinet, maka kepala negara 9 presiden atau raja atau ratu ) dengan saran atau nasehat perdana menteri dapat membubarkan parlemen.
Sedangkan Dalam sistem Pemerintahan Presidential, kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan (langsung) parlemen. Ciri-ciri sistem pemerintahan presidential adalah sebagai berikut :
Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggung jawab kepadanya. Ia sekaligus juga berkedudukan sebagai kepala negara ( lambang negara ) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh undang-undang dasar.
Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, akan tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer,
Presiden tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif dan dalam hubungan ini ia tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif.
Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat atau tidak mempunyai membubarkan badan legislatif.
Selain kedua sistem pemerintahan tersebut di atas sebenarnya masih ada sistem pemerintahan lainnya yang merupakan gabungan atau kombinasi ataupun campuran antara kedua sistem pemerintahan yang dianut dan berlaku di Indonesia sekarang ini menurut UUD 1945.
Sedangkan bentuk pemerintahan melahirkan bentuk pemerintahan bercorak Republik ( kepentingan umum) dan bentuk pemerintahan Kerajaan ( Monarki ) yang dikenal dengan monarki absolut dan monarki konstitusional.
Salah satu unsur negara adalah wilayah, berdasarkan sifat dan erat hubungan antara negara dengan wilayahnya sendiri, maupun dengan wilayah negara lain, dapat dibedakan berbagai bentuk negara sebagai berikut :
1) Negara kesatuan ;
2) Negara Serikat ;
3) Gabungan negara terdiri dari : Serikat negara, Uni, Commonwealth, Negara di bawah perlindugan negara lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) .
Negara Kesatuan adalah kekuasaan untuk mengatur seluruh wilayah negara terletak pada tangan pemerintah pusat. Hubungan antara pusat dengan daerahnya dapat dilakukan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu undang-undang dasar, satu kepala negara dan satu dewan menteri (kabinet).
Negara Serikat atau negara federasi adalah suatu negara yang terdiri atas beberapa negara bagian, tetapi setiap negara bagian tersebut tidak berdaulat. Yang berdaulat adalah gabungan negara-negara bagian itu.
Negara –negara bagian diperbolehkan memiliki undang-undang dasar sendiri, kepala negara sendiri, dewan menteri sendiri dan dewan perwakilan rakyat sendiri.
Gabungan negara adalah perserikatan antara beberapa negara dan setiap negara menjadi anggota perserikatan itu pada umumnya tetap merdeka dan berdaulat penuh. Perserikatan itu diadakan karena ada kepentingan bersama atau karena perkembangan sejarah.
Setelah itu akan kembali ke masa Khilafah ala Minhajin Nubuwwah.
Dalam Periode ini penulis menganalaisis beberapa bentuk gejala sebagai berikut :
4) Gerakan Khilafah
5) Negara ke Jaringan
6) Organisasi Negara.
Gerakan Khilafah pada masa sekarang contohnya Ikhwanul Muslimin yang didirikan Oleh Imam Hasan Al-Banna di Mesir pada bulan Zulqaidah 1347 H atau Maret 1928 di kota Ismailiyah, Mesir, yang pada waktu itu merupakan kamp pendudukan Inggris. Hasan Al Banna memulai dakwahnya bersamaan dengan tahun ia mulai karirnya sebagai guru di sekolah dasar negeri Al Ismailiyah. Sampai sekarang anggota gerakan Ikhwanul Muslimin kurang lebih ada di 70 negara.
Contoh lain gerakan Khilafah adalah Hizbut Tahrir, gerakan ini dirikan di al-Quds , Imam besarnya yang terkenal adalah Syekh Taqiyuddin An Nabhani. Salah satu anggota Hizbut Tahrir yaitu Hizbut Tahrir Indonesia yang saat ini juru bicaranya dipegang oleh Ismail Yusanto.
Konsep dari negara ke jaringan merupakan buah pemikiran John Naisbitt yang terkenal dengan Global Paradoxnya di dalam bukunya beliau mengatakan bahwa dunia akan menuju ke 1000 negara. Lebih lengkap pendapat beliau :
Kita sekarang sedang bergerak ke arah sebuah dunia yang terdiri atas 1000 negara karena :
Banyak orang dari tribalisme baru menginginkan pemerintahan sendiri dan setiap hari mereka melihat orang lain mendapatkan pemerintahan sendiri, atau bergerak ke arah itu.
Negara-bangsa sudah mati. Bukan karena negara-bangsa ini ditundukkan oleh negara super, melainkan karena mereka pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih efisien-sama seperti perusahaan-perusahaan besar.
Revolusi dalam telekomunikasi tidak hanya mengiformasikan gerakan luar biasa ini menuju pemerintahan sendiri yang demokratis, tetapi juga memonitor dan membuat transparan karakter dan sifat dari prosesnya. Telekomunikasi modern juga memungkinkan dan mendorong kerja sama luar biasa di antara orang banyak, perusahaan dan negara.
Organisasi negara dalam kesempatan ini penulis akan memaparkan beberapa contoh organisasi negara-negara yaitu PBB, ASEAN dan lahirnya kosep Uni di dalam bentuk negara dewasa ini,.
1) Perserikat Bangsa-Bangsa.
Usaha untuk membentuk organisasi bangsa-bangsa yang baru , terlaksana dengan berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB ) atau “ United Nations Organization “ ( UNO ) pada tanggal 24Oktober 1945 di San Fransisco. Markas Besarnya berkedudukan di Lake Success, New York. Sejak itu setiap tanggal 24 Oktober diperingati sebagai hari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2) ASEAN
Association of Southeast Asian Nations, ( ASEAN ) didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok Thailand oleh lima negara yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura dan Philipina. Yang kemudian bergabung lima negara seperti Brunai Darussalam bergabung pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam bergabung pada tanggal 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar nergabung pada tanggal 23 Juli 1997, yang terakhir Kamboja bergabung pada tanggal 30 April 1999. Organisasi ini adalah organisasi negara di kawasan Asia Tenggara.
3) Lahirnya Bentuk UNI
Pada dekade abad ke 21 lahirnya bentuk negara yaitu Uni Benua . Bentuk Uni dalam sejarahnya memang pernah diberlakukan di Eropa yaitu gabungan dua negara atau lebih, Kemudian pada masa sekarang lahirnya Uni benua, hal ini dimulai dengan kelahiran Uni Eropa ( European Union ), kemudian disusul dengan Uni Afrika ( African Union ), dan secara politis lahirnya gagasan Uni Islam ( Islamic Union ) yang digagas oleh Negara Iran dan Malaysia.
Uni Eropa ( European Union )
Ide Uni Eropa pertama muncul digagas oleh Negara Jerman Uni Eropa terdiri dari 25 negara yaitu :
Austria, Belgium, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Itali, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris,Greece, dan Irlandia. Kemudian pada tanggal 1 Mei 2004, 10 negara dari Eropa Timur bergabung ke dalam Uni Eropa yaitu, Ciprus, Republik Czech, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia Slovakia, dan Slovenia.
Uni Afrika ( African Union )
Prakarsa Organzation African Union ( OAU ) membuka jalan lahirnya African Union. Di bulan Juli tahun 1999, lembaga ini memutuskan dalam rapat untuk pertemuan luar biasa, dalam mempercepat ekonomi dan integrasi politik di wilayah ini. Sejak itu, 4 Konferensi Tingkat Tingggi memegang peranan penting dalam peluncuran African Union :
1) The Sirte Extraordinary session ( 1999) decided to establish an African Union,
2) The Lome Summit (2000) adopted the Constitutive Act of the Union
3) The Lusaka Summit (2001) drew the road map for the implementation of the AU,
4) The Durban Summit ( 2002) launched the AU and convened the 1st Assembly of the Heads of States of the African Union.
African Union beranggotakan sebagai berikut : Algeria, Angelo, Benin, Bostwana, Bukirna Faso, Cape verde, Central Afica republic, Chad, camerroon, Congo, Comooros, Congo, Dem Republic, Cote d’ I voire, Djibouti, Egypt, Equatorial Gunie, Eriteria, Ethopia, Ghana, Gabon, Gambia, Guniea Bissau, Gunie Conakry, Kenya, Lisotho,kingdom of, Libya, Liberia, Mauritania, Mauritus, Mozambique, Mali, Madagascar, Malawi, Nambia, Niger, Nigeria, Rwanda, Saharawi Arab Dem Republic, Sao Tome and Principe, Senegal, seychellles, Sierra Leone, Somalia, South Africa, Sudan, Swasiland kingdom of, Tanzania, Togo, Tunisia, Uganda, Zambia, Zimbabwe,
Uni Islam ( Islamic Union )
Wacana persatuan Islam ( Uni Islam ) yang dilontarkan Presiden Khatami dalam kunjungannya ke Malaysia. Presiden Khatami mengusulkan pembentukan sebuah kekuatan baru di dunia, saat bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad.
Dengan lahirnya bentuk Negara Uni penulis berharap lahir pula Uni Asia, dalam kesempatan ini penulis mencoba merumuskan Uni Asia sebagai berikut ; Uni Asia ( Asian Union ) adalah gabungan beberapa negara berbentuk Uni berasaskan kekeluargaan. Sedangkan konsep penulis untuk dunia Islam ialah Sistem pemerintahaan adalah dipimpin oleh seorang Khalifah atau Presiden Uni Islam, bentuk pemerintahaan adalah khilafah ala minhajin Nubuwwah ( berdasarkan Al Qur,an dan Al Hadits _), sedangkan bentuk negara adalah Uni Islam. Uni Islam adalah gabungan beberapa negara , propinsi dan masyarakat Islam berbentuk Uni berasaskan Islam. ( terdiri dari OKI plus ( OIC ), propinsi dan masyarakat Islam ).
Demikianlah analisis yang bisa penulis paparkan dalam kesempatan ini semoga bermanfaat dan mendapat rakmat dan perlindungannya dari Allah Swt.
DIarsipkan di bawah: JURNAL | Ditandai: Berita Dosen, Dalam Negeri, Falsafah Negara, JURNAL, Jurnal Hukum Dunia, Jurnal Hukum Indonesia, Jurnal Hukum Islam, Jurnal Hukum Perdata, Jurnal Hukum Pidana, Jurnal Hukum Waris, Kasus BLBI, Kasus ResesI Ekonomi, Luar Negeri, Peraturan Pemerintah, Perda, Politik, Undang-Undang



















AL-MAWARDI DAN PEMIKIRAN POLOTIKNYA
• View
• clicks
Posted November 5th, 2008 by aldiecool
• Sejarah Pemikiran Islam
AL-MAWARDI DAN PEMIKIRAN POLOTIKNYA
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa dunia Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir besar yang nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan dijadikan rujukan dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam konteks kehidupan umat Islam. Salah satunya ialah al-Mawardi. Ia adalah seorang ahli fiqh khususnya berkaitan dengan fiqh siyasi dan termasuk salah seorang tokoh yang berpengaruh besar terhadap pemikiran politik Islam. Dalam kitabnya yang terkenal al-Ahkam as-Sulthaniyah ia banyak memberikan teori-teori politik yang sampai saat ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah demikian terkenalnya dan seringkali dianggap sebagai penjabaran paling benar dari teori politik Islam khususnya dari kalangan Sunni. Dalam sejarah Islam kitab ini merupakan risalah pertama yang ditulis dalam bidang ilmu politik dan administrasi negara secara terperinci. Namun jarang sekali dilakukan pengkajian yang mendalam tentang buku itu, kenapa buku itu ditulis, sumber yang digunakan dalam menulis buku itu, serta pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya, adalah hal yang jarang dilihat dan dipermasalahkan.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan al-Mawardi, baik tentang riwayat hidupnya, kondisi sosial politik pada masa kehidupannya dan yang terpenting adalah teori-teori politik dan tata negara yang dikembangkannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap pemikiran politik al-Mawardi.
RIWAYAT HIDUP AL-MAWARDI
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri (364 H/975-450 H/1058 M). Lahir di Basrah pada tahun 364 H. Ia adalah seorang ahli fiqh, ahli hadis dan pemikir politik. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i pada abad ke-10, pejabat tinggi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan hidup di masa kemunduran Dinasti Abbasiyah.
Al-Mawardi pada awalnya menuntut ilmu di Basrah. Ketika itu Basrah termasuk salah satu pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan di wilayah Islam. Namun al-Mawardi masih belum puas dengan ilmu yang dimilikinya, hingga akhirnya ia melanjutkan studinya di Baghdad di Universitas al-Za’farani. Selanjutnya ia mengembara ke berbagai daerah, tetapi pada akhirnya kota Baghdad dipilihnya sebagai tempat tinggal dan mengajar di sana beberapa tahun. Di kota ini pula ia menghabiskan waktunya untuk menulis sejumlah buku dalam berbagai bidang.
Selain mendapat pendidikan di perguruan tinggi, ia masih belum merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya. Ia kemudian mempelajari berbagai disiplin keilmuan dari beberapa ulama terkemuka di Baghdad khususnya berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Di antara gurunya ialah al-Hasan ibn Ali al-Hambali, Ja’far ibn Muhammad ibn al-Fadhl al-Baghdadi, dan Abu Hamid al-Isfirayini. Gurunya yang disebut terakhir ini amat berpengaruh pada diri al-Mawardi dan padanya ia mendalami mazhab Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang terkenal dengan nama Masjid Abdullah ibn al-Mubarak di Baghdad. Sedangkan teologi yang dianut al-Mawardi adalah teologi Sunni. Karena gurunya kebanyakan dari golongan Sunni, maka corak pemikirannya mengarah ke Sunni.
Al-Mawardi belajar fiqh dari ulama terkemuka di Basrah yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh Abu Hamid (keduanya ahli hukum Islam). Sejak kecil ia sangat senang mendalami fiqh khususnya yang berkaitan dengan fiqh siyasi (tata negara dan pemerintahan Islam), setelah dewasa ia menjadi Kadi yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M1). Karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir, ia diberi kehormatan dan diangkat menjadi duta keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke negara-negara tetangga. Ia memiliki pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara wibawa khalifah al-Qadir di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja dari Bani Saljuk dan Bani Buwaihi yang ketika itu hampir sepenuhnya berdiri sendiri.
Al-Mawardi di kemudian hari terkenal dengan karena pemikiran politik melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang dianggap sebagai buku pertama yang disusun khusus tentang pemikiran politik Islam. Karya ini antara lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Selain dari al-Ahkam as-Sulthaniyyah, terdapat beberapa karyanya tentang politik Islam, antara lain: Qawanin al-Wizarah (Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-Mulk (Strategi Kepemimpinan Raja), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan Politik/Duniawi dan Agamawi), Kitab al-Hawi (Yang Terhimpun), dan al-Iqna’ (Keikhlasan) Berkaitan dengan sumber dan keterbatasan dalam menemukan buku-buku politik al-Mawardi lainnya, maka dalam makalah ini hanya akan mengungkapkan pemikiran-pemikiran politik al-Mawardi yang terdapat dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
KONDISI SOSIAL POLITIK PADA MASA AL-MAWARDI
Al-Mawardi hidup ketika kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah sedang mengalami berbagai gejolak dan disintegrasi. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, khalifah-khalifah Abbasiyah benar-benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Kekuasaannya hanya merupakan formalitas, sedangkan kekuasaan riil berada di tangan Bani Buwaihi dan orang-orang Turki. Awal kemunduran dari politik Bani Abbas adalah ketika al-Mutawakkil berkuasa. Al-Mutawakkil adalah khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya dengan cepat. Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.
Situasi politik di dunia Islam pada masa Mawardi, yakni menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi, dan bahkan lebih parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia. Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tinggi dan panglima non-Arab itu makin meningkat, sampai waktu itu belum tampak adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah Arab itu dengan Khalifah yang berkebangsaan Turki atau Persia. Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana dapat diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.
Apabila diperhatikan pendahuluan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karangan al-Mawardi, terlihat bahwa karya itu ditulis atas permintaan seorang yang berkuasa. Besar kemungkinan orang yang memintanya itu adalah khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu. Motifnya barangkali adalah untuk mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah yang berada di tangan golongan Sunni, yaitu kekuasaan Bani Abbas. Maka tidak mengherankan bila al-Mawardi tidak dapat menerima adanya dua orang kepala pemerintahan yang berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam. Motif penolakan ini secara implisit untuk menentang pemerintahan bani Fathimiyah yang pada saat itu berkuasa di Mesir. Ia menilainya sebagai kekuatan politik yang berbahaya terhadap kekuasaan bani Abbasiyah di Baghdad.
Sebagai reaksi terhadap situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh (pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan) harus berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan-jabatan pembantunya yang penting. Alasan utamanya tak lain adalah mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah Abbasiyah.
TEORI POLITIK AL-MAWARDI
Imamah (Kepemimpinan)
Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan oleh al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam hal ini Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik. Dalam teorinya al-Mawardi tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.
Cara Pemilihan atau Seleksi Imam
Al-Mawardi mengemukakan pendapatnya tentang pemerintahan terbentuk melalui dua kelompok. Pertama ahl al-ikhtiyar yaitu mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Dan kedua, ahl al-imamah yaitu mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan. Bagi ahl al-ikhtiyar padanya harus memiliki tiga syarat: (1) memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi imam; (3) Bijaksana dan idealis dalam menentukan pilihannya, siapa yang lebih pantas dan terbilang jujur dalam memimpin umat Islam. Namun siapa yang berhak menjadi anggota ahl al-ikhtiyar dan bagaimana cara rekrutmen anggota tersebut tidak dijelaskan lebih jauh oleh Mawardi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ahl al-ikhtiyar atau ahl al-hall wa al-‘aqd bahkan berada dibawah pengaruh kepala negara, karena kepala negaralah yang mengangkat mereka. Oleh karenanya, mereka cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan. ahl al-hall wa al-‘aqd tidak lebih hanya sekedar alat legitimasi ambisi politik penguasa atas tindak tanduknya. Karena dipilih oleh penguasa, ahl al-hall wa al-‘aqd tidak mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Keberadaannya tidak banyak membawa perubahan kembali ke tradisi syura yang efektif berjalan hanya selama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Ahl al-imamah sebagai orang yang berhak menjadi pemimpin, menurut Mawardi harus memiliki tujuh syarat: (1) Sikap adil dengan segala persyaratannya; (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang memadai untuk berijtihad; (3) Sehat pendengaran, pengelihatan, dan lisannya; (4) Utuh anggota-anggota tubuhnya; (5) memiliki wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; (6) Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh; dan (7) Keturunan Quraisy.
Dalam mengangkat kepala pemerintahan terdapat dua cara. Pertama, cara pemilihan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang duduk dalam ahl al-halli wa al-‘aqdi atau ahl al-ikhtiyar yakni para ulama cendikiawan dan pemuka masyarakat. Kedua, dengan cara penunjukkan atau wasiat oleh kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Kalau pengangkatan melalui pemilihan, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang jumlah peserta dalam pemilihan itu.
Menurut Mawardi, mengapa pengangkatan imam atau khalifah dapat dilakukan dengan penunjukan atau wasiat oleh imam yang sebelumnya, dasarnya yang pertama adalah karena Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui penunjukkan oleh pendahulunya, yaitu Abu Bakar. Demikian pula halnya Usman. Enam anggota “dewan formatur” yang memilihnya sebagai khalifah adalah ditunjuk oleh pendahulunya, Umar bin Khattab. Dalam hal pengangkatan imam melalui penunjukkan atau wasiat oleh imam yang berkuasa, al-Mawardi menyatakan bahwa sebelum menunjuk calon penggantinya, seorang imam harus berusaha agar yang ditunjuknya itu benar-benar berhak untuk mendapatkan kepercayaan dan kehormatan yang tinggi dan orang yang betul-betul paling memenuhi syarat. Kalau yang ditunjuk sebagai calon pengganti itu bukan anak atau ayah sendiri, maka terdapat perbedaan pendapat, yaitu apakah imam boleh melaksanakan bai’at sendiri atau tidak. Sekelompok ulama berpendapat tidak boleh tidak dibenarkan imam seorang diri melaksanakan bai’at anak atau ayahnya sendiri. Dia harus bermusyawarah dengan ahl al-ikhtiyar dan mengikuti nasehat mereka. Kelompok ulama kedua mengemukakan bahwa imam seorang diri berhak melaksanakan bai’at kepada anak atau ayahnya sendiri sebagai putra mahkota. Bukankah dia waktu itu pemimpin umat. Sedangkan kelompok yang ketiga berpendapat bahwa kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu ayahnya, imam dapat melaksanakan bai’at seorang diri. Tetapi tidak demikian halnya kalau yang ditunjuk sebagai putra mahkota itu anaknya.
Dari uraian tentang beberapa cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukkan, al-Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap kehati-hatiannya tersebut didasarkan pada fakta sejarah yang menunjukkan tidak ditemukannya suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara yang dapat dikatakan pasti bahwa itulah sistem Islami.
Tentang Wazir
Al-Mawardi membagi wazir menjadi dua bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
Pada masa pemerintahan al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah fungsi menjadi tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan mereka di pusat pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah hanya menjadi boneka. Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima tentara pengawal yang bergelar Amir al-Umara’ atau Sulthan inilah pada dasarnya yang berkuasa di ibukota pemerintahan. Khalifah-khalifah tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun yang menarik, panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah sudah lemah dan tidak berdaya. Padahal kesempatan dan kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali pandangan Sunni tentang al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak syar’i kalau menjadi khalifah karena bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut kekuasaan, tentu akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman berperan di belakang layar mengendalikan khalifah.
Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.
Dalam hal ini al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian imam mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara kepala negara dengan rakyatnya (kontrak sosial). Dari perjanjian itu lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, rakyat yang telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak menurunkan kepala negara, bila ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Sesuai dengan teorinya ini, Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai sesuatu yang suci. Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala negara yang telah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya terhadap kepala negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir). Untuk mendukung pernyataan ini, mawardi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
Akan ada kelak pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang baik dan memimpinmu dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya. Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalau mereka berbuat jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka.
Mekanisme Pengangkatan dan Pembebasan/Pemecatan Imam
Al-Mawardi menyebutkan salah satu tugas penting dari lembaga pemilihan adalah mengadakan penelitian lebih dahulu terhadap kandidat kepala pemerintahan apakah ia telah memenuhi syarat atau tidak yang diajukan oleh lembaga wewenang ini. Jika telah memenuhi persyaratan si calon diminta kesediaannya lalu ditetapkan sebagai kepala pemerintahan dengan ijtihad atas dasar pemilihan yang diikuti dengan pembai’atan. Dalam pembai’atan tidak ada unsur paksaan, rakyat yang telah membai’atnya harus menaatinya. Tetapi di antara yang membai’atnya tidak setuju kepada kepala pemerintahan terpilih, karena pengangkatannya atas dasar persetujuan orang banyak, maka jabatan kepala pemerintahan harus diserahkan kepada orang yang dipandang lebih berhak memegang jabatan terhormat itu.
Mengenai pembebasan imam dari jabatannya, al-Mawardi menegaskan kemungkinan pembebasan kepala negara dari jabatannya bila ia menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya, atau tidak dapat menjalankan tugasnya karena dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau tertawan. namun begitu, al-Mawardi juga berpendapat bahwa penyimpangan kepala negara tidak secara otomatis menyebabkan penurunan dari jabatannya, apabila ia dapat mendukung tindakannya secara logis. Di samping itu, al-Mawardi juga tidak membicarakan bagaimana mekanisme pembebasan kepala negara dari jabatannya dan siapa yang berhak melakukannya. Pandangan Mawardi ini menempatkan kepala negara pada kedudukan yang kuat dan rakyat pada posisi yang lemah. Dalam masalah ini, rakyat tidak berperan banyak untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan kepala negara.
PENUTUP
Demikian sekilas pandangan dan konsep politik Islam al-Mawardi. Konsepnya tentang perlunya pendirian negara tidak hanya didasarkan pada dalil akal tetapi juga didasarkan pada hukum syara’ menimbulkan sebuah pemahaman yang baru dan berharga. Konsep-konsepnya tentang tata negara, bagaimana seorang pemimpin harus dipilih, persyaratan-persyaratan untuk menjadi pemimpin, perjanjian dan kesepakatan antara orang yang dipilih dengan yang memilih, merupakan bagian dari pemikirannya yang brilian. Namun sebagai sebuah pemikiran tentunya akan terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan yang harus dipecahkan bersama dan dicari solusinya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post Modernisme, Paramadina,Jakarta, 1996
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa: Ihsan Ali-Fauzi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Ehsan Ehsanullah, Siyasa Shar’iyya, Thinker’s Library, Selangor Malaysia , 1994
Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan keenam, Jakarta 2003
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan kedua, Jakarta, 2003
Hamidullah, Abul A’la al-Maududi, Abdul Karim Zaidan, Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, alih bahasa: Jamaluddin Kafie, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi kelima, UI Press, Jakarta, 1993
Qamar-ud-Din Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Idarah-i Adabiyat-i Delli, Delhi, tt

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*