Sabtu, 27 Maret 2010

METODE PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN DAN SYAWAL



Beragam alasan di balik pebedaan awal syawal 1429 h

Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah kelompok Muslim di Indonesia telah menentukan awal bulan Syawal 1429 Hijriyah, yang sekaligus menandai Idul Fitri tahun ini, secara berbeda. Padahal, Sidang Itsbat penentuan 1 Syawal 1429 Hijriyah yang dilakukan Departemen Agama (Depag RI) pada Senin (29/9) di Jakarta kala itu belum lagi usai. Alasan yang menjadi dasar hukum sejumlah kelompok itu pun beragam. Apakah dasarnya kuat atau tidak, itu soal lain. Namun, hal yang jelas adalah sidang itsbat yang harus menjadi patokan atau rujukan bagi Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam dirasakan menjadi kurang bermakna.

Padahal, penentuan 1 Syawal merupakan urusan resminya pemerintah di negeri ini. Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, penetapannya dilakukan oleh otoritas negara, seperti Menteri Agama, Mufti, Dewan Mahkamah Tinggi atau raja.

Masyarakat muslim tak perlu bersusah-payah menentukan awal Ramadhan dan akhir bulan Hijriyah. Kewajiban masyarakat muslim adalah mengindahkan pengumuman pemerintah, seperti firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 59 dan menaati Sabda Nabi Muhammad SAW. Hanya di negara muslimnya minoritas, otoritas penetapan awal dan akhir Hijriyhah diserahkan kepada organisasi masyarakat Islam setempat.

Di sejumlah negara berpenduduk Muslim, penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal merupakan otoritas atau menjadi domain negara, seperti Menteri Agama, Mufti, Dewan Mahkamah Tinggi atau raja setempat. Di Indonesia, otoritas negara ada pada pemerintah, yaitu Menteri Agama dengan perangkat sidang itsbat, kata Menag.

Nyatanya, harapan dan kenyataan masih jauh. Al Muhdlor di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mengambil inisiatif dan menetapkan 1 Syawal 1429 Hijriyah jatuh pada hari Minggu, 28 September 2008. Setelah itu jemaah tarekat Naqsyabandiyah Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Senin, menyelenggarakan Idul Fitri 1429 Hijriah.

Berikutnya organisasi massa (ormas) Islam jemaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menetapkan 1 Syawal pada Selasa, 30 September 2008. Di hari yang sama, jemaah rambut pirang An Nazir, Bontomarannu, di Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan, melaksanakan shalat Idul Fitri.

Padahal jauh hari Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni berharap 1 Syawal 1429 Hijriyah tidak terjadi perbedaan. "Seluruh ahli hisab telah sepakat 1 Syawal 1429 H itu jatuh pada tanggal 1 Oktober 2008. Kita berharap mudah-mudahan rukyah pun demikian," ujar Menag Maftuh Basyuni di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Sabtu (27/9), usai melakukan perjalanan dinasnya di Saudi Arabia.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sidang itsbat biasa dihadiri para ahli rukyah dan ahli hisab baik dari organisasi masyarakat (Ormas) Islam dan pemerintah.

"Insya Allah, itsbat kali ini, semua bisa sama harinya. Sudah tidak ada lagi perbedaan seperti pada tahun-tahun sebelumnya," katanya berharap.

Hasil sidang itsbat itu sendiri, seperti yang diduga, menetapkan 1 Syawal 1429 H. Perhitungan dari Ormas Islam Muhammadiyah dan perkiraan dari pengurus Nahdlatul Ulama (NU), 1 Syawal 1429 H jatuh pada 1 Oktober 2008.

Terlepas dari hasil keputusan sidang itsbat, kini yang menarik adalah banyak Ormas Islam menetapkan 1 Syawal berbeda-beda itu punya argumentasi atau dasar hukum yang berbeda-beda pula.

Seperti jemaah Al Muhdlor di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menetapkan 1 Syawal 1429 Hijriyah jatuh pada 28 September 2008. Alasan yang dikemukakan lantaran memulai puasa dua hari sebelum Depag memutuskan awal Ramadan 1429 Hijriyah yang jatuh pada 1 September 2008 lalu.

Sekitar 40 orang jemaah tersebut menggelar salat Ied di Masjid Al Muhdlor, Desa Wates, Minggu pagi namun mereka tidak mengumandangkan takbiran lazimnya dilakukan sebelum menjalankan ritual salat Ied di masjid-masjid.

Menurut pengurus Jemaah Al Muhdlor, Sulthon, pihaknya sengaja tidak mengumandangkan takbiran untuk menghindari gejolak sosial di desa tersebut.

"Kami khawatir akan menimbulkan konflik di masyarakat. Untuk itu kami sengaja tidak mengumandangkan takbiran saat salat Ied tadi pagi," Sulthon mengemukakan alasannya.

Jemaah Al Muhdlor salat Ied lebih dulu itu lantaran memulai puasa dua hari sebelum Departemen Agama (Depag) RI memutuskan awal bulan Ramadan 1429 Hijriyah yang jatuh pada tanggal 1 September 2008 lalu.

"Jadi, wajar kalau kami merayakan Idulfitri lebih dulu dibandingkan dengan kaum muslimin yang lainnya. Kami menetapkan awal puasa juga melalui hisab," Sulthon menambahkan.

Pihaknya mengaku punya metode hisab tersendiri. "Sejak dulu kala, jemaah ini memiliki metode hisab tersendiri yang berbeda cara penghitungannya dengan hisab-hisab lainnya," katanya menegaskan.

Jemaah Al Muhdlor yang tumbuh dan berkembang di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol itu dulunya dirintis oleh Habib Ahmad bin Salim Al Muhdlor. Sampai sekarang Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat belum menemukan adanya unsur sesat dalam ajaran tersebut sehingga Jemaah Al Muhdlor dibiarkan tumbuh dan berkembang.

Pengikut jemaah ini sampai sekarang masih ada, kendati hanya puluhan orang, kata para warga setempat.

Meskipun puluhan pengikut Jemaah Al Muhdlor telah lebaran lebih dulu, namun mayoritas warga Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol masih tetap menjalankan ibadah puasa. Pada umumnya warga desa itu menunggu keputusan pemerintah mengenai jatuhnya 1 Syawal 1429 Hijriyah.

Berikutnya, Senin (29/9), umat Muslim pengikut jemaah tarekat Naqsyabandiyah Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) menyelenggarakan shalat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriah di musalla Baitul Makmur dan Surau Baru, Kecamatan Pauh Padang.

Ratusan orang pengikut jemaah Naqsyabandiyah yang dalam jumlah besar kalangan muslim lanjut usia itu, mengikuti pelaksanaan shalat Ied di Musalla Baitul Makmur dan Surau Baru Padang.

Alasan pengurus Surau Baru, Kecamatan Pauh Padang, Syahbadar mengatakan, menggelar shalat Ied pada (29/9) karena dalam penetapan 1 Syawal 1429 Hijriah berdasarkan bilangan malam dan hitungan berpuasa cukup 30 hari.

"Kami mulai puasa Ramadhan khusus di Surau Baru, dua hari lebih awal dari penetapan hari pertama puasa oleh pemerintah, jadi hitungan puasa tepat pada (28/9) sudah sampai 30 hari," katanya.

Kendati, jemaah tarekat Naqsyabandiyah pelaksanaan syariat puasa, shalat Ied-nya dan ibadah lainnya sama dengan umum muslim lainnya, jelas dia, perbedaan hanya dalam penentuan hari saja.

Rata-rata jemaah tarekat Naqsyabandiyah di Kota Padang jumlahnya sekitar 50-an orang di masing-masing musalla. Usai melaksanakan shalat Ied, mereka bersalam-salaman dan masing-masing jemaah menggelar doa selamatan di rumahnya.

Jemaah musalla Baitul Makmur, jumlah terlihat lebih banyak atau hampir 100-an yang mengikuti shalat Ied, dibanding dengan malam takbiran yang dilangsungkannya pada Minggu (28/9) malam.

Namun berbeda dengan pengikut jamaah tarekat Na`sabandiyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mereka justru akan ikut keputusan pemerintah untuk menyambut hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah.

Pimpinan Tarekat Na`sabandiyah NAD Abuya Tgk H Djamaluddin Waly di Banda Aceh, Senin menyatakan, 1 Syawal akan ditentukan setelah para ahli ilmu hisab dan Departemen Agama melakukan rukyah Senin sore.

"Apapun keputusan pemerintah kita akan ikuti, karena hal itu sudah menjadi konsensus empat mahzab dan dunia Islam," ujarnya.

Soal tarekat Na`sabandiyah yang ada di Padang, Sumatera Barat, Abuya menyatakan, itu tidak ada hubungannya dengan tarekat yang dipimpinnya. Ia menilai keputusan tarekat Na`sabandiyah Padang yang menetapkan 1 Syawal pada hari Senin (29/9) dianggap sesat menyesatkan, karena tidak ada dasar hukumnya.

Berdasarkan hukum Fiqih untuk menentukan 1 Ramadahan atau 1 Syawal berdasarkan rukyat dan itu merupakan kesepakatan ulama empat mahzab, dan Pemerintah Indonesia menganut sistem tersebut.

"Jadi, kalau tarekat Na`sabandiyah Padang sudah berlebaran pada hari ini, maka itu merupakan pendapat yang sesat menyesatkan, karena tidak ada dasar hukumnya," ujar Abuya yang juga Pimpinan Yayasan Pesantren Asaasunnajah.

Ia juga merasa heran kenapa Pemerintah membiarkan masalah tersebut. Seharusnya, instansi terkait melakukan penyelidikan mengapa tarekat tersebut sangat berbeda dalam melaksanakan puasa dan lebaran, katanya.

Disebutkan, kalau berbeda satu hari, itu sering terjadi, tapi ini perbedaannya sampai dua hari dengan penetapan pemerintah. Ia akan meneliti ke tarekat Na`sabandiyah di Padang untuk mengetahui apa dasar mereka menetapkan awal Ramadhan dan Syawal.

Sementara itu jemaah Annazir dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menetapkan 1 Syawal pada Selasa, 30 September 2008. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I HTI Sulsel, Shabran, mengatakan bahwa metode yang mereka gunakan adalah hisab (perhitungan matematika astronomi) dan rukyah (pandangan mata).

Dari hisab yang mereka lakukan, posisi bulan saat ini sudah akan mendekati posisi 0 (nol) derajat pada poros bumi-matahari. Pihaknya memperkirakan, posisi nol derajat akan terjadi pada hari Senin (29/9), pukul 15.00 WIB.

Fenomena hilal Syawal pada tahun 2008 ini sama dengan tahun 2007 lalu. "Resminya, Hizbut Tahrir akan umumkan pada hari Senin, pukul 16.00 wita atau pukul sebelas malam waktu Madinah, melalui radio internasional Hizbut Tahrir," ujarnya.

Untuk metode rukyah, mereka mempercayakan anggota Hizbut Tahrir di seluruh dunia untuk mengamati. Kemungkinan besar, kata Shabran, yang pertama kali melihat hilal dengan mata telanjang adalah masyarakat di wilayah negara-negara timur tengah. Karena posisi wilayah mereka yang paling memungkinkan melihan bulan pertama kali.

Mengenai adanya perbedaan penentuan hilal di Indonesia, Shabran mengatakan, tidak akan menjadi masalah. Pihaknya akan tetap menghormati pendapat kaum muslimin lain, jika berbeda dengan penentuan yang dilakukan Hizbut Tahrir.

Sementara pimpinan Yayasan An Nazir, Ustadz Ir. Lukman mengatakan, penetapan 1 Syawal di dasarkan pada fenomena alam. Ia seperti juga dilakukan beberapa tahun sebelumnya, melihat permukaan air laut.

Jika sudah surut, maka bisa diambil kesimpulan akhir Ramadhan atau awal Syawal. Dengan cara itu maka ia dapat kepastian masuknya 1 Syawal. Keluarga besar atau seluruh anggota An Nazir -- atau lebih poluper jemaah rambut pirang dari Goa -- dapat berlebaran pada hari Senin.

Bagi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, penetapan 1 syawal dilakukan berdasarkan hisab hakiki , yang ditetapkan Majelis Tarjih dan Tajdid. Untuk tahun ini Idul Fitri 1 Syawal 1429 H jatuh pada 1 Oktober 2008.

Lantas bagaimana dengan Ormas Islam lainnya? ?Semoga saja sama. Tapi, kalau tak sama, NU akan berimam pada pemerintah," kata Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, kepada wartawan usai buka puasa bersama di kantor Pengurus Besar (PB NU), Jakarta, Jumat.

Idealnya, para ulama dan tokoh ormas Islam dapat menyatukan persepsi dalam penentuan tanggal 1 Syawal 1429 Hijriah, kata Ketua Forum Komunikasi dan Kerjasama Islamic Centre (FKKIC) Sumut, DR.Zainul Fuad, MA di Medan.

Kesepakatan itu diperlukan agar tidak menimbulkan kebingungan dan adanya kebersamaan bagi ummat Islam dalam merayakan Idul Fitri. Di sisi lain, dalam 1 Syawal itu ada hukum lain yang menyertai pelaksanaan puasa tersebut.

"Bagi ummat Islam haram hukumnya jika masih berpuasa pada 1 Syawal," katanya.

Karena itu, setiap ulama memiliki kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang berbeda dalam proses hisab dan rukyat guna menentukan 1 Syawal sebagai Hari Raya atau Lebaran bagi ummat Islam. Hal itu disebabkan berbedanya metodologi dan posisi bulan yang dilihat dalam proses perhitungan guna penetapan awal bulan tersebut.

Namun, Direktur Institute For Peace and Human Rights IAIN Sumut itu menekankan bahwa selama perbedaan tak terlalu jauh hasilnya maka ulama dan tokoh ormas Islam sebaiknya "meng-ijma`kan" (menyatukan) pendapat mereka. Kesepakatan itu lebih baik dan bermanfaat untuk meningkatkan kekompakan dan kebersamaan umat dalam merayakan Lebaran. (ant)





JEMAAH TAREKAT SATARIYAH KOTA PADANG, MELAKSANAKAN SHOLAT IDUL FITRI 1430 HIJRIAH PAGI TADI

Padang, Jemaah Tarekat Satariyah Kota Padang, Senin pagi melaksanakan sholat Idul Fitri 1430 Hijriah. Menurut perhitungan Jemaah Satariyah, jatuhnya 1 Syawal 1430 Hijriah pada hari ini, Senin tanggal 21 September 2009, yakni lebih lambat satu hari dari yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sejak pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, Senin pagi ratusan Jemaah Tarekat Satariyah, Kecamatan Pauh, Kota Padang, mulai mendatangi Masjid Tajul Arifin yang berada di daerah tersebut untuk melakukan sholat Idul Fitri. Mereka meyakini 1 Syawal jatuh pada hari ini, setelah melakukan rukyat Minggu malam.

Pelaksanaan sholat didahului dengan mengumandangkan takbir, tahmit dan tahlil seperti biasanya. Sholat Idul Fitri tersebut diimami oleh salah seorang guru Tarekat Satariyah Kota Padang, Lukmanul Hakim Datuak Kuniang.

Menurut Lukmanul Hakim Datuak Kuniang, jatuhnya 1 Syawal pada hari ini selain dengan melihat hilal atau bulan, juga berdasarkan perhitungan tahun kamsiah yang dihitung sejak berakhirnya bulan sa’ban, yakni Sabtu tanggal 22 agustus lalu, sehinga awal Ramadhan juga dilaksanakan lebih awal satu hari dari yang ditetapkan Pemerintah yakni pada hari Minggu tanggal 23 Agustus 2009.

Di Sumatera Barat jemaah Tarekat Satariyah jumlahnya ribuan orang yang tersebar di sepanjang Pesisir Pantai Sumatera Barat. Sementara di Kota Padang sendiri, Jemaah Tarekat Satary hanya berjumlah ratusan orang. Tarekat Satariyah disebarkan oleh Syiekh Burhanuddin, di daerah Ulakan Kabupaten Padang Pariaman. (Diah Utami/WD)


ALIRAN TAREKAT NAQSABANDIYAH PADANG BERLEBARAN PADA SABTU 19 SEPTEMBER

Padang, Meskipun pemerintah telah menetapkan satu syawal 1430 hijriyah jatuh pada hari minggu tanggal 20 September 2009, namun bagi Tarekat Naqsabandiyah, peringatan 1 syawal dilakukan lebih cepat sehari dari yang ditetapkan Pemerintah tersebut. Menurut para pengikut Tarekat Naqsabandiyah, mereka telah melaksanakan ibadah puasa genap tiga puluh hari.

Guru aliran Tarekat Naqsabandiyah di Mushalla Baitul Makmur, Kecamatan Pauh, Kota Padang Mursyid Syafri Malin Mudo mengatakan, jatuhnya satu syawal pada hari Sabtu tersebut berdasarkan perhitungan almanak tahunan sesuai metode hisab munjid yang dihitung oleh para guru. Hasil perhitungan itu terus dilakukan sejak dulu secara turun-temurun.

Di Sumatera Barat terdapat ribuan jemaah Tarekat naqsabandiyah yang melaksanakan takbiran Jumat malam. Mereka tersebar di 19 Kabupaten dan Kota yang ada. Sesuai dengan rencana, shalat idul fitri akan mereka laksanakan Sabtu pagi pukul 08.00 Waktu Indonesia Barat. (Diah Utami/LD)


BEBERAPA METODE PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN DAN SYAWAL

Menurut Tarekat Naqsabandiyah:

Metode yang dilakukan tarekat ini didasarkan pada perhitungan yang telah ditetapkan guru-guru dalam tarekat. Biasanya penetapan awal Ramadhan diputuskan berdasarkan perhitungan dari sebuah almanak yang disalin dari kitab milik guru Tarekat Naqshabandi Syekh H. Abdul Munir.
Salinan itu ditulis dengan huruf arab melayu (pegon) sebagai almanak untuk mencari awal bulan Arab termasuk bulan Ramadhan. Disebutkan bahwa almanak ini disebutnya sebagai bilangan taqwim. Beberapa huruf pada nama hari digabungkan sedemikan rupa sehingga membentuk bulan, begitu pula nama huruf pada bulan maka himpunannya menjadi tahun. Begitulah seterusnya penghisaban bilangan angka itu sampai hari kiamat.

Menurut Hisab / Perhitungan:

Menurut para ahli hisab, visibilitas (kenampakan) Hilal pada hari terjadinya Ijtimak berdasarkan pada peta visibilitas. Peta ini mengacu pada Kriteria Odeh yang mengadopsi Limit Danjon sebesar 7 derajat yaitu jarak minimal elongasi Bulan dan Matahari agar hilal dapat diamati baik menggunakan alat optik maupun mata telanjang. Kriteria tersebut dikemas dalam sebuah software Accurate Times yang menjadi acuan pembuatan peta visibilitas ini.

Menurut Kriteria Rukyat Hilal ( Limit Danjon ):

Andre Danjon, seorang astronom Perancis pada 1930-an menyimpulkan bahwa Hilal tidak akan dapat diamati jika jarak minimum elongasi Bulan dan Matahari kurang dari 7 derajat

Menurut Kriteria Imkanur Rukyat:

Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanurrukyah yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :
Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:

1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat
2. Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat. Atau
3. Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas ijtimak berlaku.

Menurut Kriteria Wujudul Hilal:

Kriteria Wujudul Hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyah menyatakan bahwa : “Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.

Menurut Kriteria Kalender Hijriyah Global:

Universal Hejri Calendar (UHC) merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi 180 BT ~ 20 BB sedangkan Zona Barat meliputi 20 BB ~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon).

Menurut Kriteria Saudi

Kurangnya pemahaman terhadap perkembangan dan modernisasi ilmu falak yang dimiliki oleh para perukyat di Arab Saudi sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut “hilal” baik berupa kasus “SALAH YANG DILIHAT” maupun “BOHONG YANG DILIHAT”. Klaim terhadap kenampakan hilal oleh seeorang atau kelompok perukyat pada saat hilal masih berada di bawah “limit visibilitas” atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi. Sudah bukan berita baru lagi bahwa Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyat yang “kontroversi” karena kasus tersebut.
Kalender resmi Saudi yang dinamakan “Ummul Qura” yang telah berkali-kali mengganti kriterianya hanya diperuntukkan sebagai kalender untuk kepentingan non ibadah. Sementara untuk keperluan ibadah Saudi tetap menggunakan rukyat hilal bil fi’li dan bil syar’i sebagai dasar penetapannya. Namun penetapan ini sering hanya berdasarkan pada laporan rukyat dari seseorang saksi tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apalagi melakukan uji kompetensi terhadap saksi. Perhitungan astronomis (hisab) yang telah terbukti akurasinya tidak dimanfaatkan sebagai kontrol terhadap kebenaran laporan saksi.


Kalender Ummul Qura’ :

Kalender ini digunakan Saudi bagi kepentingan publik non ibadah. Kriteria yang digunakan adalah “Telah terjadi ijtimak dan bulan terbenam setelah matahari terbenam di Makkah” maka sore itu dinyatakan sebagai awal bulan baru.

Kriteria Rukyatul Hilal Saudi :

Rukyatul hilal digunakan Saudi khusus untuk penentuan bulan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Kaidahnya sederhana “Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut”.

Kriteria Awal Bulan Negara Lain:

Seperti kita ketahui secara resmi Indonesia bersama Malaysia, Brunei dan Singapura lewat pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah menyepakati sebuah kriteria bagi penetapan awal bulan Komariyahnya yang dikenal dengan “Kriteria Imkanurrukyat MABIMS” yaitu umur bulan 8 jam, tinggi bulan 2 derajat dan elongasi > 3.

Menurut catatan Moonsighting Committee Worldwide ternyata penetapan awal bulan ini berbeda-beda di tiap-tiap negara. Ada yang masih teguh mempertahankan rukyat bil fi’li ada pula yang mulai beralih menggunakan hisab atau kalkulasi. Berikut ini beberapa gambaran penetapan awal bulan Komariyah yang resmi digunakan di beberapa negara :

1. Rukyatul Hilal berdasarkan kesaksian Perukyat/Qadi serta pengkajian ulang terhadap hasil rukyat. Antara lain masih diakukan oleh negara : Banglades, India, Pakistan, Oman, Maroko dan Trinidad.

2. Hisab dengan kriteria bulan terbenam setelah Matahari dengan diawali ijtimak terlebih dahulu (moonset after sunset). Kriteria ini digunakan oleh Saudi Arabia pada kalender Ummul Qura namun khusus untuk Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah menggunakan pedoman rukyat.

3. Mengikuti Saudi Arabia misalnya negara : Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman dan Turki, Iraq, Yordania,Palestina, Libanon dan Sudan.

4. Hisab bulan terbenam minimal 5 menit setelah matahari terbenam dan terjadi setelah ijtimak digunakan oleh Mesir.

5. Menunggu berita dari negeri tetangga –> diadopsi oleh Selandia Baru -mengikuti- Australia dan Suriname mengikuti negara Guyana.

6. Mengikuti negara Muslim yang pertama kali berhasil rukyat –> Kepulauan Karibia

7. Hisab dengan kriteria umur bulan, ketinggian bulan atau selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari –&; diadopsi oleh Algeria, Tuki dan Tunisia.

8. Ijtimak Qablal Fajr atau terjadinya ijtimak sebelum fajar diadopsi oleh negara Libya.

9. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam di Makkah dan bulan terbenam sesudah matahari terbenam di Makkah –> diadopsi oleh komunitas muslim di Amerika Utara dan Eropa

10. Nigeria dan beberapa negara lain tidak tetap menggunakan satu kriteria dan berganti dari tahun ke tahun

11. Menggunakan Rukyat : Namibia, Angola, Zimbabwe, Zambia, Mozambique, Botswana, Swaziland dan Lesotho.

12. Jamaah Ahmadiyah, Bohra, Ismailiyah serta beberapa jamaah lainnya masih menggunakan hisab urfi.

Tarekat Kastary Lebaran Hari Ini

SUMBARTERKINI, Padang--Ratusan Jamaah Tarekat Kastary Padang, Sumatera Barat gelar Idul fitri hari ini, (selasa 22/9). Dua hari setelah jadwal yang ditetapkan pemerintah, pada hari Minggu sebelumnya.
Penetapan satu Syawal ini, merupakan hasil dari prosesi menilik bulan pada awal Ramadhan lalu. Jamaah Kastary yang berjumlah sekitar tiga ribu orang di Sumatera Barat ini menetapkan satu Ramadhan satu hari sesudah jadwal yang ditetapkan pemerintah.

"Kami melaksanakan puasa Ramadhan selama tigapuluh hari. Makanya 1 Syawal 1430 hari ini," kata Ibdillah, Imam Muda Tarekat Kastary, ketika ditemui usai pelaksanaan sholat Idul fitri di Masjid Tarantang, Andaleh, Sumatera Barat.

Jamaah Kastary di Sumatera Barat berjumlah sekitar tiga ribu orang. Sedangkan di Kota Padang, sendiri terdapat ratusan jamaah aliran tarekat Kastary, yang terbagi menjadi delapan masjid di berbagai kecamatan.

Penetapan 1 Syawal di Sumatera Barat terbagi menjadi empat hari. Jamaah Nasabandiyah, menetapkan Idul fitri satu hari sebelum ketatapan pemerintah, (19/9). Jamaah Muhamadiyah dan pemerintah menetapkan Lebaran pada hari minggu (20/9), Jamaah Satariyah pada Senin (21/9) dan Jamaah Kastary mentapkan pada hari ini, Selasa (22/9).

Perbedaan tersebut, juga terjadi pada pelaksanaan Ramadhan. Sebagian melaksanakan dengan jadwal berbeda, dan lamanya yang juga berbeda antara 29 dan 30 hari. 

INFO BEASISWA

Woman’s International Club (WIC) memberikan beasiswa kepada mahasiswa dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Daftar Riwayat Hidup dan Latar Belakang Keluarga
2. Foto 3x4 2 lembar, dibelakang foto ditulis nama lengkap dan identitas
3. Indeks Prestasi (IP) minimal 3.00
4. Slip Gaji Orang Tua
5. Surat Aktif Kuliah diajukan kepada Woman’s International Club (WIC)
6. Surat Keterangan Sehat dari dokter (Bisa minta ke RS UIN Jakarta gratis)
7. Fotocopy Kartu Keluarga, KTP, dan KTM
8. Buat Karangan dengan tema: “PEREMPUAN INDONESIA MENGHADAPI TANTANGAN ABAD 21” Ketentuan font 12, ukuran kertas A4
9. Buat surat permohonan beasiswa kepada Ny. Rini Amidjono dikirim melalui pos ke alamat: Kepada Yth Ny. Rini Amidjono (Ketua Seksi Beasiswa Woman’s International Club) di Gedung Nyi Ageng Serang 4th Floor Jl. H. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan Jakarta Selatan 12920
Kirim secepatnya dalam amplop coklat ukuran A4 atau folio.
Selamat berusaha!

Hidayatulloh

penandatanganan surat putusan suatu perkara



BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Semua peradilan di Indonesia memiliki aturannya beracaranya masing-masing. Aturan beracara dalam tiap-tiap peradilan disebut juga dengan Hukum Acara. Dalam lingkungan Peradilan Agama, Hukum Acara juga tetap digunakan. Dan Hukum Acara yang digunakannya adalah Hukum Acara Perdata.

Yang dimaksud dengan Hukum acara perdata disini adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama. Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang. Ini sesuai dengan Pasal 54 UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalm lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, dan mengadili sertamenyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, menggunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis. Antara lain terdapat dalam Stbl. 1882 No. 152, Stbl. 1937 No. 116, Stb. 610 638 639. PP No. 45 tahun 1957, Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama No.B/1/737 tentang pelaksanaan PP No.45 tahun 1957, beberapa Keputusan Menteri Agama/Direktur Jendral.

Setelah adanya UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, berarti Hukum Acara yang berlaku dalam Peradilan Agama menjadi jelas karena aturan beracra yang dahulu berserakan telah diunifikasikan, kecuali apa yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 54 UU No.7/1989, maka terdapat dua macam Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama, yaitu (1) Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan Rbg (Pasal 118 samapai dengan Pasal 245 HIR dan Pasal 142 sampai dengan Pasal 314 Rbg.), (2) Hukum Acara yang secara khusus diatur dalam UU No.7 /1989 Pasal 54 sampai dengan Pasal 91.

Dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 dalam UUNo.7/1989 diatur pula secara jelas semua proses ber-Acara di Peradilan Agama dari pemeriksaan perkara hingga pelaksanaan penetapan, putusan.

Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka Pengadilan Agama akan memberikan putusan atau penetapan dan mengeluarkan juga produk hukumnya. Dalam Pasal 60 Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya mengenal dua macam produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) penetapan. Maka dari itu semua produk hukum yang dikeluarkan Oleh Pengadilan Agama hanya dua, yaitu putusan untuk perkara yang bersifat gugatan dan penetapan bagi perkara yang bersifat permohonan.

Produk hukum tersebut harus dibuat secara tertulis. Bila diperhatikan secara ke4seluruhan suatu putusan , mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isis putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut:

a. Bagian kepala putusan
b. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara
c. Identitas pihak-pihak
d. Duduk perkaranya (bagian posita)
e. Tentang pertimbangan hukum
f. Dasar hukum
g. Diktum atau amar putusan
h. Bagian kaki putusan
i. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya

Dalam setiap putusan, minutnya harus ditandatangani. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 62 ayat 2 UU No.& tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan, “Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu diucapkan” serta Pasal 25 ayat 2 UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ini merupakan suatu ketentuan yang harus diikuti oleh Peradilan Agama dalam membuat dan mengeluarkan produk hukumnya. Tapi dalam perjalananya aturan yang dibuat oleh pemerintah tidak selalu dilaksankan dengan benar, begitu juga yang terjadi dengan Undang-undang ini, karena penulis menemukan salinan putusan yang pada bagian penutupnya tidak ada tanda tangan Hakim Anggota. Seharusnya kejadian ini tidak harus terjadi karena aturan sudah mengatur masalah ini secara jelas. Maka dari itu, untuk menjawab permasalahan ini penulis tergerak untuk meneliti ini sebagi sebuah skripsi. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengambil permasalhan ini sebagai skripsi dengan judul “Ketidaksertaan Hakim Anggota Dalam Pengesahan Putusan Majelis Hakim (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan).


B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan masalah dan menjaga agar tidak ada kesalahan dalam mencari jawaban. Maka penulis merumuskan masalah yang harus dipecahkan, dengan membuat pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. apa akibat hukumnya, bila para Hakim Anggota tidak ikut dalam penandatanganan surat putusan suatu perkara?
2. mengapa para Hakim Anggota tidak ikut menandatangani surat putusan tersebut?
3. bagaimana sikap pengadilan terhadap permasalahan seperti ini?


C. Tujuan Dan Manfaat Penilitian

Tujuan penelitian ini adalah:
1. untuk mengetahui akibat hukumnya terhadap suatu perkara, bila para hakim anggota tidak ikut penandatanganan surat putusannya tersebut.
2. untuk mengetahui alasan para hakim anggota tidak ikut penandatanganan surat putusannya tersebut.
3. untuk mengetahui sikap Pengadilan Agama dalam menghadapi masalah ini.

Manfaat penelitian ini adalah:
1. manfaat akademis
penelitian ini diharapkan, mampu memberikan kontribusi yang positif bagi para pembaca dan juga para mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum sebagai bagian dari peningkatan intelektual.
2. manfaat praktis
untuk memberikan masukan tambahan serta menambah wawasan bagi para mahasiswa yang akan bergerak sebagai praktisi hukum nantinya.


D. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif yang lebih menekankan pada penggambaran secara mendalam terhadap kasus yang diteliti. Maka dengan metode ini diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih komprehensif sehingga kita tidak hanya mengetahui isi dari penelitian yang dibuat oleh penulis juga bagaimana semua itu diatur dan dikemas sehingga bisa memecahkan problem-problem yang sedang dihadapi dalam suatu lingkungan. Dan berdasarkan tujuannya, penelitian ini menggunakan metode diskriptif yaitu suatu metode yang memaparkan suatu karakteristik tertentu dari suatu fenomena dan penelitian ini hanya bersifat informative tanpa adanya kritik.

2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan tulisan ini, penulis menggunakan data-data sebagai berikut:
a) Sumber primer/data primer yaitu yang dikumpulkan secara langsung dari sumber asli atau pertama. Instrument yang digunakan adalah kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang sumber datanya diambil dari tulisan-tulisan (sumber bacaan) yang telah diterbitkan. Diantara data-data liberal yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka khususnya yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. Misalnya, buku-buku, artikel, hasil penelitian dan lain-lain. Dan juga melalui observasi. Observasi merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan pengawasan, peninjauan, penyelidikan dan riset. Penelitian yang dilakukan dalam observasi kali ini adalah dengan observasi langsung yaitu dengan melakukan pengamatan langsung untuk memperoleh data yang diperlukan. Selain itu data primer yang digunakan menggunakan Wawancara Mendalam (Depth Interview) dengan kalangan terkait yang mendukung penelitian seperti pakar, akademis, komponen masyarakat terkait, dan pihak lain yang dianggap relevan.
b) Sumber sekunder/data sekunder yaitu hanya bersifat rujukan yang bersumber dari penelitian orang lain yang dibuat untuk maksud yang berbeda sehingga memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan Undang-undang, hasil-hasil penelitian dll.
c) Sumber tertier/dimana data tertier yaitu yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hokum primer dan sekunder seperti al-Quran, kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku metode penelitian karangan Dr. H. Yayan Sopyan, MA untuk mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009.


E. Sistematika Penulisan

Untuk member gambaran yang jelas tentang hal-hal yang akan dibahas dalm penulisan ini, mkaa penulis membagi sitematika penulisan ke dalam lima bab. Dimana masing-masing bab akan membahas hal-hal sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : LANDASAN TEORI

BAB III : PERAN HAKIM ANGGOTA DALAM PUTUSAN

BAB IV : ANALISIS PERMASALAHAN

BAB V : PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA


Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rasyid, chatib dan Syaifudin hukum acara perdata dalam teori dan praktek pada peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009.


Sulaikin lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.

UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

hubungan agama dengan negara



ISLAM, NEGARA DAN HUKUM: QADLA

Islam adalah agama penutup dari semua agama-agama yang diturunkan berdasarkan wahyu ilahi (al-Qur’an) kepada Nabi saw, dalam beberapa proses diantaranya, melalui malaikat Jibril untuk diajarkan kepada umat manusia sebagai way of life (pedoman hidup) dan juga Islam adalah agama yang dirahmati oleh Allah swt serta merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Islam merupakan agama yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh dari semua aspeknya, baik itu aspek ibadah, sosial, politik, kesehatan serta akhlak, dan juga hal-hal lainnya, termasuk juga mengenai negara dan hukum.


A. Hubungan Islam Dengan Negara.

Banyak orang menganggap bahwa agama tak seharusnya mencampuri urusan kemanusian seperti dalam bidang ekonomi, kesehatan, menikah termasuk juga politik. Mereka menganggap agama hanyalah agama, tidak lebih dari itu.

Begitu pula pemikiran yang banyak dianut oleh para politikus yang menjalankan negeri serta dalam menetapkan undang-undang.

Sebelum kita menjelaskan hubungan Islam dengan Negara terlebih dahulu kita pahami apa pengertian dari Negara serta Islam.

Menurut Prof. Muhammad Adnan, arti kata Islam ialah:
a. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALIMA, artinya selamat.
b. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALI, artinya damai, rukun, bersatu.
c. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTASLAMA, artinya tunduk, dan taat kepada perintah Allah swt dengan memakai dasar petunjuk-petunjuk serta bimbingan ajaran Rasulullah saw.
d. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTLASAMA, artinya tulus dan ikhlas.
e. Islam jika diambil dari urutan asal kata SULLAMI, artinya tangga untuk mencapai keluhuran derajat lahir dan batin.

Sedangkan pengertian Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

Islam tidak mengenal kata pemisahan didalamnya, karena Islam bersifat menyeluruh. Seluruh tingkah laku manusia diatur baik secara langsung atau tidak langsung, begitupula dalam bernegara atau berpolitik.

Masalah hubungan politik antara Islam dan negara sering kali muncul dari pandangan-pandangan tertentu yang dirumuskan dengan cara sedemikian rupa sehingga Islam disejajarkan secara konfrotatif dengan Negara. Mereka menggunakan dalil al-Qur’an, sunnah, akal, dan logika. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil adalah,

• surat Al-Israa ayat 54, yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.”
• surat Al-Israa ayat 105, yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutusmu meainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”
• Asy-Syura ayat 45, yang berarti, “Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”
• Al-Ghasyiyah ayat 21-22, yang berarti, “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”

Dalam ayat ini memang tidak dikatan bahwa Rasulullah saw merupakn kepala negara untuk suatu negeri atau kaum dia hanyalah seorang Nabi.

Tapi ada kelompok yang menolak dan adapula kelompok yang sepakat bahwa Islam juga mengajarkan hal yang bersifat keduniawian.

Dalil yang menjadi sandarannya adalah al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77, yang berarti, “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.”

Islam dibandingkan dengan agama-agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling mudah menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir dimana-mana” atau (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana” kehadira Islam selalu memberikan panduan moral yanag benar bagi tindakan manusia.

Memang Islam tidak mengatur mengenai kenegaraan, tapi yang diatur oleh Islam ialah dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama manusia masih bersifat manusia, baik ia manusia zaman onta ataupun manusia zaman kapal terbang, atau manusia zaman kapal stratosfer dan lain-lain nanti.

Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan.

Keduanya, ibarat dua keping mata uang atau bagaikan dua saudara kembar
(tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.

Di tambah lagi pendapat dari R. Strothman mengatakan, ‘Islam adalah fenomena agama politik. Sebab pendirinya adalah seorang nabi, dan dia seorang politisi yang ahli hukum, atau seorang negarawan.’ Dari pernyataan tersebut kita pahami bahwa Islam bukan hanya agama yang mengajarkan ibadah saja tapi juga bagaimana bernegara.

Banyak Negara-negara yang memiliki peduduk muslim mayoritas kesulitan dalam menyatukan Islam dengan Negara. Di negara-negara tersebut, hubungan politik antara Islam ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan. Bahkan di Indonesia sendiripun demikian.

Di Indonesia, konsep penyatuan Islam dengan Negara sudah lama dimunculkan dari sejak awal kemerdekaan, tapi konsep ini dimentahkan dengan alasan akan dapat mengganggu persatuan. Mulai dari situlah, timbul sikap yang saling mencurigai antara Islam dengan negara. Yang lebih menyedihkan lagi, Islam politik sering kali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi Pancasila.

Begitupun sebaliknya, sikap yang ditunjukan oleh para aktivis Islam. Mereka mencurigai bahwa Negara tidak akan menjamin hak-hak mereka dalam beribadah dan sebagainya. Tapi dengan seiring berjalannya waktu, pola hubungan Islam dengan Negara di Indonesia tidak lagi saling curiga mencurigai ini ditandai dengan mulai adanya undang-undang mengenai perkawinan, wakaf, zakat, Peradilan Agama, serta Perbankan Syariah.


B. Hukum Islam.

Telah kita ketahui bersama bahwasanya hukum Islam itu adalah hukum yang langsung dari Allah swt dan bukan ciptaan manusia, yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan dan disampaikannya kepada Nabi saw berupa ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya mengatur tentang berbagai macam aspek-aspek ketuhanan dan aspek kehidupan berupa hukum.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah suatu agama yang sangat menonjolkan aspek hukum dalam ajarannya.

Sumber hukum Islam melipuiti al-Qur’an, hadis Nabi saw, ijtihad atau ra’yu, qias dan ijma’ (ijmali).

Hukum Islam dapat berubah sesuai dengan zaman atau mengikuti perkembangan zaman, bukan al-Qur’an yang berubah isinya karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman melainan berubah maknanya menjadi lebih luas, oleh karena itu maka diambillah jalan qiyas menyesuaikan dengan hukum yng sudah ada dalam al-Qur’an.

Islam bertujuan sebagai agama yang Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur, yaitu menciptakan masyarakat yang baik, adil dan makmur, serta menciptakan jiwa penduduknya yang memegang teguh nilai-nilai hukum dan spiritual yang sangat tinggi. Hukum Islam adalah realisasi dari tujuan atau asil pokok utamanya. Oleh karena itu hukum Islam mempunyai beberapa tujuan yang biasa disebut Makhasidu Khamsah (tujuan yang lima) yakni:

1. Menyelamatkan jiwa,
2. Menyelamatkan akal,
3. Menyelamatkan agama,
4. Menyelamatkan harta benda dan,
5. Menyelamatkan, mendamaikan dan menentramkan keluarga.


C. Peradilan Dalam Islam.

Kata peradilan berasal dari kata adil, sebagai terjemahan dari qadla yang berarti memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan. Arti qadla yang dimaksud adapula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan.

Kata peradilan menurut istilah ahli fiqh adalah:

• Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan permohonan keadilan)
• Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya/mentaatinya.

Perlu diingat bahwa peradilan Islam merupakan salah satu kekuasaan utama dalam negara, oleh sebab itu nash-nash syariat Islam sangat konsen terhadap hal tersebut dan mendapat perhatian yang lebih oleh Nabi Muhammad saw. secara langsung sebagaimana yang tampak dalam pemerintahannya kepada sebagian sahabat untuk menanggani masalah-masalah didaerah-daerah yang ditentukan. Demikian juga, pada khalifah sepeninggal Rasul saw. yang sangat memperhatikan dan mengawasi peradilan,, seperti tampak dalam pengangkatan hakim yang menanggani urusannya.

Telah kita ketahui bersama dalam kitab-kitab fiqh dan sejarah Islam, bahwasanya peradilan dalam Islam merupakan suatu tema yang sangat penting. Tema ini mendapat perhatian para fuqaha dalam setiap masa dengan menulis dalam banyak karya fiqh mereka yang umum. Bahkan diantara mereka terdapat yang memperhatikan masalah ini secara khusus dan menulisnya kedalam buku yang tersendiri. Karena system peradilan Islam merupakan bagian dari warisan dunia.


Sejarah Peradilan Dalam Islam.

Para Nabi yang menjadi hakim sebelum Islam. Diantranya, Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman as merupakan dua hakim pertama dalam sejarah kemanusiaan, dikarenakan Nabi Dawud sebagai raja yang menggani keputusan perkara diantara manusia dan menggatrur urusan pemerintahan.

Peradilan pada masa nabi Muhammad saw, beliau adalah orang yang pertama yag menjabat sebagai hakim dalam Islam, dikarenakan beliau diperintahkan mendakwah agama, dan diperintahkan pula untuk menetapkan hukum diantara manusia terhadap apa yang mereka perselisihkan. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda: “Jika hakim duduk untuk memutuskan hukum maka Allah swt mengutus kepadanya dua malaikat untuk menujukinya kepada jalan yang benar. Jika adil maka keduanya berdiri, dan jika dia menyeleweng maka keduanya naik dan meninggalkannya.”

Dari hadits yang telah diriwayatkan diatas dapat dipahami bahwa tugas hakim tidaklah mudah karena harus memecahkan masalah secara adil. Nabi saw sendiri tidak mengangkat dirinya sebagai hakim atau penengah tapi orang-orang yang yang berselisihlah yang mendatanginya untuk dimintai putusan atau jawaban dari beliau. Contonhya, Pada masa nabi saw datanglah dua orang yang berselisih untuk meminta keputusan hukum, maka Nabi saw berkata: ‘Sesungguhnya saya adalah manusia sepeti kamu, dan kamu berslisih (untuk meminta keputusan) kepadaku. Barangkali sebagian kamu lebih cerdas dengan hujjahnya daripada sebagian yang lain. Maka barang siapa yang saya putuskan kepadanya dengan sesuatu yang bukan haknya, sesungguhnya demikian itu adalah potongan dari api neraka. Maka hendaklah ia menggambilnya atau meninggalkannya.’

Sumber hukum pada masa Nabi saw dalam menetapkan hukum adalah dengan cara merujuk dari al-Qur’an atau petunjuk Allah swt. Beliau memutuskan hukum diantara orang-orang yang berselisih dengan kesederhanaan, terbebas dari keangkuhan para hakim, dan disertai dengan bukti lahir, sedangkan Allah yang menguasai batin.

Peradilan ini terus berkembang mengikuti masa, dari khulafaur Rasyidin hingga masa daulah Utsmaniyah. Walaupun tak dipungkiri juga bahwa peradilan Islam juga masuk pada sekarang ini walaupun tidak seperti pada masa awal perkembanganya.

Peradilan seharusnya berjalan terpisah dari pemerintahan, agar semua orang merasa sama dihadapan hukum dan tidak merasa dianak tirikan. Bahkan Islam sendiri sudah menjalankan prinsip itu seelum Negara-negara Barat.

Kondisi dalam peradilan Islam adalah sebagai berikut:

1. Kemandirian kekuasaan peradilan dalam Islam.
2. Persamaan di depan peradilan Islam.
3. Pemilahan spesialisasi dalam peradilan Islam.
4. Peradilan lebih dari satu tingkat.
5. Hakim bersama dan hakim tunggal.
6. Tempat dan waktu pengadilan.
7. Keharusan mengeluarkan hukum dan alasannya.
8. Adanya para asisten dalam peradilan.
9. Keterbukaan pengadilan.
10. Kapabilitas dan kebersihan hakim dalam Islam.


Dasar Peradilan Dalam Islam.

Al-qada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam itu sendiri, dimana prinsip-prinsip keadilan dalam Islamlah sebagai landasan pokok pelaksanaan syariat Islam itu sendiri, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa: 135,

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah swt biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah swt lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”


Unsur-unsur Peradilan Dalam Islam.

Dalam litelatur Islam untuk berjalannya peradilan dengan normal diperukan beberapa unsur. Para ahli ada yang menyebutkan beberapa unsur dari peradilan, yakni:

• Hakim atau Qadhi, yakni orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalammenyelesaikan gugat menggugat dalam bidang perdata, dikarenakan penguasa sendiri tidak mampu menyelesaikan tugas peradilan tanpa dibantu petugas khusus itu.
• Hukum, yakni putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.
• Mahkum bih, yakni hal-hal yang harus diterima.
• Mahkum alaih (si terhukum), yakni dalam haq-haq syara adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan adihadapkan kepadanya.
• Mahkum lahu, yakni orang yang menggugat suatu haq.
• Perkatan atau perbuatan yang menunjukan kepada hukum (putusan), yakni memutuskan perkara dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seorang terhadap lawannya.


D. Hubungan Peradilan Dengan lembaga Eksekutif, Legislatif, Dan Yudikatif.

Peradilan Islam adalah peradilan yang berdiri sendiri atau mandiri. Ia tidak dapat diintervensi oleh Negara atau pemerintah. Contohnya, pada masa khalifah Umar ra. yang keliru mengambil kuda dari seorang Arab Baduwi untuk dicoba sebelum membelinya. Beliau membebani kuda tersebut hingga meninggal. Ketika Arab Baduwi tersebut menggugat dengan menuntut, maka keduanya sepakat atas keputusan Al-Qadhi Syuraih. Dan setelah mendengar dari kedua pihak, maka Al-Qadhi Syuraih memutuskan bahwa khalifah Umar ra harus menyerahkan harga dengan mengatakan kepadanya, “Anda mengambilnya dalam keadaan sehat dan selamat, maka Anda menjamin untuknya hingga anda mengembalikannya dengan sehat dan selamat.”

Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa khalifah seorang kepala negara mau dan harus tunduk kepada keputusan hakim.

Kemudian, system peradilan positif berporos pada beberapa prinsip dasar umum yang dapat merealisasikan keadilan yang utama. Prinsip-prinsip ini berdasarkan pada dua penilainya yang utama, yaitu:

• Yang pertama, kekuasaan yudikatif adalah salah satu dari tiga kekuasaan di negara di samping kekuasaan eksekutif dan legislatif.
• Kedua, kekuasaan legislatif merupakan kemanfaatan umum yang bertujuan mengukuhkan dasar-dasar keadilan di antara individu masyarakat, dan juga merupakan bagian terpenting dalam kekuasaan umum di Negara. Sebab lembaga legislatiflah yang meletakan perundang-undangan dan berbagai hukum yang mengatur urusan Negara.

Jadi, dapat dipahami bahwa peradilan adalah suatu lembaga yudikatif yang berdiri sendiri yang sejajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif.


DAFTAR PUSTAKA

Idris Ramulyo, Mohd. 1997. Asas-asas hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina
Natsir. M. 2001. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Da’wah
Aliyah, Samir. 2004. Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat Dalam Islam, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyah li Ad-Dirasat
Djalil, A. Basiq. 2007. Peradilan Islam.
http://hk-islam.blogspot.com/2008/09/pengertian-islam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg00490.html

.

TRANSPLANTASI ORGAN MAYAT



TRANSPLANTASI ORGAN MAYAT

Transplantasi pada saat ini sudah sering dilakukan oleh para pihak kedokteran, baik itu transplantasi dari organ orang yang masih hidup maupun dari organ mayat. Tapi bukan berarti pihak kedokteran menggali makam seseorang untuk diambil organnya tapi menggunakan organ yang telah didonorkan oleh si mayat sebelum si dia meninggal. Tapi, banyak perbincangan mengenai transplantasi ini, apakah dibolehkan oleh hukum Islam atau sebaliknya. Maka dari itu, kita bahas masalah ini secara bijaksana dari pengertian sampai dengan tujuan dari transplantasi.


A. Pengertian dan Tujuan

Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant , yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Transplantasi sendiri bertujuan untuk membantu pasien dari gangguan organ yang sudah sangat berat dan ini merupakan jalan terbaik yang bisa diambil apabila pasien sudah tidak bisa menggunakan organnya secara baik.

Jika ditinjau dari segi tingkat tujuannya, maka transplantasi bermaksud:

1. “…semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang kalau tidak dilakukan dengan pencakokan tidak akan menimbulkan kematian,...”(rahman,1980:33), seperti transplantasi cornea dan bibir sumbing.
2. Sebagai jalan terakhir “…yang kalau tidak dilakukan akan menimbulkan kematian,…”(Rahman,1980:34), seperti transplantasi ginjal, hati, dan jantung.


B. Pembahasan

Semua orang sepakat bahwa tidak ada agama didunia ini yang mengajarkan untuk tidak mengobati penyakit yang diderita oleh seseorang, begitu juga dengan Islam. Dan salah satu jalan untuk pengobatan tersebut adalah dengan transplantasi organ baik yang masih hidup atau organ mayat.

Banyak orang yang memperbincangkan masalah transplantasi organ mayat ini. Apakah dibolehkan atau tidak, tapi apabila kita renungkan dan pikirkan sejenak masalah transplantasi ini maka kita menemukan sebuah pemikiran yang menyatakan mengapa tidak untuk melakukan ini. Tapi ada juga yang berpikir bahwa organ mayat itu tidak boleh kita gunakan, karena akan mengganggu atau menyakiti si mayat.

Transplantasi termasuk salah satu jenis pengobatan. Dalam kaidah metode pengambilan hukum disebutkan Al-Ashlu fil mu’amalati al-ibaahah illa ma dalla daliilun ‘ala nahyi yang berarti, urusan duniawi boleh untuk dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Dan kirta tahu bahwa tiak ada dalil yang melarang untuk melakukan transplantasi ni baik didalam Al-qur’an maupun hadits.

Islam memerintahkan untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan mengharamkannya dalam dosa dan pelanggaran.

"Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah 5 :2)

Ada dua pendapat dalam penggunakan organ mayat, pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:

1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat: “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.”

2. Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya pada orang lain.

3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.
Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar, sebagai berikut:

1. Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan: Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya); penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )

2. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu manusia lain, khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan
Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam transplantasi organ mayat ini yaitu:

1. Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya setelah dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya

2. Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang

3. Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.

4. Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.

5. Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.

Dari perbedaan pendapat serta hal-hal yang harus diperhatikan diatas dapat dipahami bahwa Islam mengganggap bahwa tubuh mayat sama dengan tubuh orang yang masih hidup. hal ini berdasarkan hadits Rasulullah, “Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang manusia ketika masih hidup.” (HR. Abu Daud).

Tapi belakangan ini hampir lembaga-lembaga Islam didunia mendukung pendapat yang kedua walaupun dengan syarat-syarat yang sangat ketat seperti jika tidak benar-benar terdesak yang mengancam jiwa pasien. Di antara lembaga semacam itu yang mendukung pencangkokan organ adalah Akademi Fikih Islam (lembaga di bawah Liga Muslim Se-Dunia, yang berpusat di Arab Saudi) pada fatwa-fatwanya pada tahun 1985 dan 1988; Akademi Fikih Islam India (1989); dan Dar al-Ifta’ (lembaga otonom semcam MUI, di bawah Departemen Agama, Mesir, yang biasanya diketuai oleh ulama dari Universitas al-Azhar).


KESIMPULAN

Dari semua penjelasan yang telah dijelaskan diatas, dapat kita pahami bahwa transplantasi bertujuan untuk menghindarkan suatu kematian yang mungkin dapat timbul jka tidak dilakukan transplantasi. Dan mengenai pengambilan organ dari donor yang telah meninggal atau transplantasi dari organ mayat, boleh dilakukan asal dengan syarat bahwa si pasien atau si penerima donor itu sudah ada dalam kondisi kritis dan transplantasi merupakan cara terakhir untuk menolongnya.

HUBUNGAN ISLAM DENGAN NEGARA



ISLAM, NEGARA DAN HUKUM: QADLA


Islam adalah agama penutup dari semua agama-agama yang diturunkan berdasarkan wahyu ilahi (al-Qur’an) kepada Nabi saw, melalui malaikat Jibril untuk diajarkan kepada umat manusia sebagai way of life (pedoman hidup) dan juga Islam adalah agama yang dirahmati oleh Allah swt serta merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Islam merupakan agama yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh dari semua aspeknya. Baik itu aspek ibadah, social, politik, kesehatan serta akhlak. dan juga hal-hal lainnya, termasuk juga mengenai Negara dan hukum.


A. Hubungan Islam Dengan Negara

Banyak orang menganggap bahwa agama tak seharusnya mencampuri urusan kemanusian seperti dalam bidang ekonomi, kesehatan, menikah termasuk juga politik. Mereka menganggap agama hanyalah agama, tidak lebih dari itu.

Begitu pula pemikiran yang banyak dianut oleh para politikus yang menjalankan negeri serta dalam menetapkan undang-undang.

Sebelum kita menjelaskan hubungan Islam dengan Negara terlebih dahulu kita pahami apa pengertian dari Negara serta Islam.

Menurut Prof. Muhammad Adnan, arti kata Islam ialah:
a. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALIMA, artinya selamat.
b. Islam jika diambil dari urutan asal kata SALI, artinya damai, rukun, bersatu.
c. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTASLAMA, artinya tunduk, dan taat kepada perintah Allah swt dengan memakai dasar petunjuk-petunjuk serta bimbingan ajaran Rasulullah saw.
d. Islam jika diambil dari urutan asal kata ISTLASAMA, artinya tulus dan ikhlas.
e. Islam jika diambil dari urutan asal kata SULLAMI, artinya tangga untuk mencapai keluhuran derajat lahir dan batin.

Sedangkan pengertian Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.

Islam tidak mengenal kata pemisahan didalamnya, karena Islam bersifat menyeluruh. Seluruh tingkah laku manusia diatur baik secara langsung atau tidak langsung, begitupula dalam bernegara atau berpolitik.

Masalah hubungan politik antara Islam dan negara sering kali muncul dari pandangan-pandangan tertentu yang dirumuskan dengan cara sedemikian rupa sehingga Islam disejajarkan secara konfrotatif dengan Negara. Mereka menggunakan dalil al-Qur’an, sunnah, akal, dan logika. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil adalah,

• surat Al-Israa ayat 54, yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.”
• surat Al-Israa ayat 105, yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutusmu meainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”
• Asy-Syura ayat 45, yang berarti, “Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”
• Al-Ghasyiyah ayat 21-22, yang berarti, “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”

Dalam ayat ini memang tidak dikatan bahwa Rasulullah saw merupakn kepala negara untuk suatu negeri atau kaum dia hanyalah seorang Nabi.

Tapi ada kelompok yang menolak dan adapula kelompok yang sepakat bahwa Islam juga mengajarkan hal yang bersifat keduniawian.

Dalil yang menjadi sandarannya adalah al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77, yang berarti, “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.”

Islam dibandingkan dengan agama-agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling mudah menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir dimana-mana” atau (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yanag benar bagi tindakan manusia.

Memang Islam tidak mengatur mengenai kenegaraan, tapi yang diatur oleh Islam ialah dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama manusia masih bersifat manusia, baik ia manusia zaman onta ataupun manusia zaman kapal terbang, atau manusia zaman kapal stratosfer dan lain-lain nanti.

Di tambah lagi pendapat dari R. Strothman mengatakan, “Islam adalah fenomena agama politik. Sebab pendirinya adalah seorang nabi, dan dia seorang politisi yang ahli hukum, atau seorang negarawan. Dari pernyataan tersebut kita pahami bahwa Islam bukan hanya agama yang mengajarkan ibadah saja tapi juga bagaimana bernegara.

Banyak Negara-negara yang memiliki peduduk muslim mayoritas kesulitan dalam menyatukan Islam dengan Negara. Di negara-negara tersebut, hubungan politik antara Islam ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan. Bahkan di Indonesia sendiripun demikian.

Di Indonesia, konsep penyatuan Islam dengan Negara sudah lama dimunculkan dari sejak awal kemerdekaan, tapi konsep ini dimentahkan dengan alasan akan dapat mengganggu persatuan. Mulai dari situlah, timbul sikap yang saling mencurigai antara Islam dengan Negara. Yang lebih menyedihkan lagi, Islam politik sering kali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi Pancasila.

Begitupun sebaliknya, sikap yang ditunjukan oleh para aktivis Islam. Mereka mencurigai bahwa Negara tidak akan menjamin hak-hak mereka dalam beribadah dan sebagainya.

Tapi dengan seiring berjalannya waktu, pola hubungan Islam dengan Negara di Indonesia tidak lagi saling curiga mencurigai ini ditandai dengan mulai adanya undang-undang mengenai perkawinan, wakaf, zakat, Peradilan Agama, serta Perbankan Syariah.


B. Hukum Islam

Telah kita ketahui bersama bahwasanya hukum Islam itu adalah hukum yang langsung dari Allah swt dan bukan ciptaan manusia, yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan dan disampaikannya kepada Nabi saw berupa ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya mengatur tentang berbagai macam aspek-aspek ketuhanan dan aspek kehidupan berupa hukum.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah suatu agama yang sangat menonjolkan aspek hukum dalam ajarannya.

Sumber hukum Islam melipuiti al-Qur’an, hadis Nabi saw, ijtihad atau ra’yu, qias dan ijma’ (ijmali).
Hukum Islam dapat berubah sesuai dengan zaman atau mengikuti perkembangan zaman, bukan al-Qur’an yang berubah isinya karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman melainan berubah maknanya menjadi lebih luas, oleh karena itu maka diambillah jalan qiyas menyesuaikan dengan hukum yng sudah ada dalam al-Qur’an.

Islam bertujuan sebagai agama yang Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur, yaitu menciptakan masyarakat yang baik, adil dan makmur, serta menciptakan jiwa penduduknya yang memegang teguh nilai-nilai hukum dan spiritual yang sangat tinggi. Hukum Islam adalah realisasi dari tujuan atau asil pokok utamanya. Oleh karena itu hukum Islam mempunyai beberapa tujuan yang biasa disebut Makhasidu Khamsah (tujuan yang lima) yakni:

1. Menyelamatkan jiwa,
2. Menyelamatkan akal,
3. Menyelamatkan agama,
4. Menyelamatkan harta benda dan,
5. Menyelamatkan, mendamaikan dan menentramkan keluarga.


C. Peradilan dalam Islam.

Kata peradilan berasal dari kata adil, sebagai terjemahan dari qadla yang berarti memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan. Arti qadla yang dimaksud adapula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan.

Kata peradilan menurut istilah ahli fiqh adalah:
• Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan permohonan keadilan)
• Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya/mentaatinya.

Perlu diingat bahwa peradilan Islam merupakan salah satu kekuasaan utama dalam negara, oleh sebab itu nash-nash syariat Islam sangat konsen terhadap hal tersebut dan mendapat perhatian yang lebih oleh Nabi Muhammad saw. secara langsung sebagaimana yang tampak dalam pemerintahannya kepada sebagian sahabat untuk menanggani masalah-masalah didaerah-daerah yang ditentukan. Demikian juga, pada khalifah sepeninggal Rasul saw. yang sangat memperhatikan dan mengawasi peradilan,, seperti tampak dalam pengangkatan hakim yang menanggani urusannya.

Telah kita ketahui bersama dalam kitab-kitab fiqh dan sejarah Islam, bahwasanya peradilan dalam Islam merupakan suatu tema yang sangat penting. Tema ini mendapat perhatian para fuqaha dalam setiap masa dengan menulis dalam banyak karya fiqh mereka yang umum. Bahkan diantara mereka terdapat yang memperhatikan masalah ini secara khusus dan menulisnya kedalam buku yang tersendiri. Karena system peradilan Islam merupakan bagian dari warisan dunia.


Sejarah Peradilan Dalam Islam.

Para Nabi yang menjadi hakim sebelum Islam. Diantranya, Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman as merupakan dua hakim pertama dalam sejarah kemanusiaan, dikarenakan Nabi Dawud sebagai raja yang menggani keputusan perkara diantara manusia dan menggatrur urusan pemerintahan.

Peradilan pada masa nabi Muhammad saw, beliau adalah orang yang pertama yag menjabat sebagai hakim dalam Islam, dikarenakan beliau diperintahkan mendakwah agama, dan diperintahkan pula untuk menetapkan hukum diantara manusia terhadap apa yang mereka perselisihkan. Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda: “Jika hakim duduk untuk memutuskan hukum maka Allah swt mengutus kepadanya dua malaikat untuk menujukinya kepada jalan yang benar. Jika adil maka keduanya berdiri, dan jika dia menyeleweng maka keduanya naik dan meninggalkannya.”

Dari hadits yang telah diriwayatkan diatas dapat dipahami bahwa tugas hakim tidaklh mudah karena harus memecahkan masalah secara adil. Nabi sendiri tidak mengangkat dirinya sebagai hakim atau penengah tapi orang-orang yang yang berselisihlah yang mendatanginya untukdimintai putusan atau jawaban. Contonhya, Pada masa nabi saw datanglah dua orang yang berselisih untuk meminta keputusan hukum, maka nabi berkata: ‘sesungguhnya saya adalah manusia sepeti kamu, dan kamu berslisih (untuk meminta keputusan) kepadaku. Barangkali sebagian kamu lebih crdas dengan hujjahnya daripada sbagianyang lain. Maka barang siapa yang saya putuskan kepadanya dengan sesuatu yang bukan haknya, sesungguhnya demikian itu adalah potongan dari api neraka. Maka hendaklah ia menggambilnya atau meninggalkannya.

Sumber hukum pada masa Nabi saw dalam menetapkan hukum adalah dengan cara merujuk dari al-Qur’an atau petunjuk Allah swt. Beliau memutuskan hukum diantara orang-orang yang berselisih dengan kesederhanaan, terbebas dari keangkuhan para hakim, dan disertai dengan bukti lahir, sedngkan Allah yang menguasai batin.

Peradilan ini terus berkembang mengikuti masa, dari khulafaur rsyidin hingga masa daulah Utsmaniyah. Walaupun tak dipungkiri juga bahwa peradilan Islam juga masuk pada sekarang ini walaupun tidak seperti pada masa awal perkembanganya.

Peradilan seharusnya berjalan terpisah dari pemerintahan, agar semua orang merasa sama dihadapan hukum dan tidak merasa dianak tirikan. Bahkan Islam sendiri sudah menjalankan prinsip itu seelum Negara-negara Barat.

Kondisi dalam peradilan Islam adalah sebagai berikut:
1. kemandirian kekuasaan peradilan dalam Islam
2. persamaan di depan peradilan Islam
3. pemilahan spesialisasi dalam peradilan Islam
4. peradilan lebih dari satu tingkat
5. hakim bersama dan hakim tunggal
6. tempat dan waktu pengadilan
7. keharusan mengeluarkan hukum dan alsannya
8. adanya para asisten dalam peradilan
9. keterbukaan pengadilan
10. kapabilitas dan kebersihan hakim dalam Islam.


Dasar Peradilan Islam

Al-qada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam itu sendiri, dimana prinsip-prinsip keadilan dalam Islamlah sebagai landasan pokok pelaksanaan syariat Islam itu sendiri, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa: 135,

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah swt biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah swt lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”


Unsur-unsur Peradilan Dalam Islam

Dalam litelatur Islam untuk berjalannya peradilan dengan normal diperukan beberapa unsur. Para ahli ada yang menyebutkan beberapa unsur dari peradilan, yakni:
• Hakim atau Qadhi, yakni orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalammenyelesaikan gugat menggugat dalam bidang perdata, dikarenakan penguasa sendiri tidak mampu menyelesaikan tugas peradilan tanpa dibantu petugas khusus itu.
• Hukum, yakni putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.
• Mahkum bih, yakni hal-hal yang harus diterima.
• Mahkum alaih (si terhukum), yakni dalam haq-haq syara adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan adihadapkan kepadanya.
• Mahkum lahu, yakni orang yang menggugat suatu haq.
• Perkatan atau perbuatan yang menunjukan kepada hukum (putusan), yakni memutuskan perkara dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seorang terhadap lawannya.

Hubungan peradilan dengan eksekutif, legislative, dan yudikatif

Peradilan Islam adalah peradilan yang berdiri sendiri atau mandiri. Ia tidak dapat diintervensi oleh Negara atau pemerintah. Contohnya, pada masa khalifah Umar ra. yang keliru mengambil kuda dari seorang Arab baduwi untuk dicoba sebelum membelinya. Beliau membebani kuda tersebut hingga meninggal. ketikaArab Baduwi tersebut menggugat dengna menuntut, maka keduanya sepakat atas keputusan Al-Qadhi Syuraih. Dan setelah mendengar dari kedua pihak, maka Al-Qadhi Syuraih memutuskan bahwa khalifah Umar harus menyerahkan harga dengan mengatakan kepadanya, “Anda mengambilnya dalam keadaan sehat dan selamat, maka Anda menjamin untuknya hingga Anda mengembalikannya dengan seht dan selamat.”

Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa khalifah harus dan mau tunduk kepada keputusan hakim.
Kemudian, system peradilan positif berporos pada beberapa prinsip dasar umum yang dapat merealisasikan keadilan yang utama. Prinsipprinsip ini beredasarkan pada dua penilainya yang utama, yaitu:

• Yang pertama, peradilan (yudikatif) adalah salah satu dari tiga kekuasaan di Negara di samping kekuasaan legislatif dan eksekutif.
• Kedua, peradilan merupakan kemanfaatan umum yang bertujuan mengukuhkan dasar-dasar keadilan di antara individu masyarakat.
Jadi, dapat dipahami bahwa peradilan adalah suatu lembaga yudikatif yang berdiri sendiri yang sejajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif.


DAFTAR PUSTAKA

Idris Ramulyo, Mohd. 1997. Asas-asas hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina
Natsir. M. 2001. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Da’wah
Aliyah, Samir. 2004. Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat Dalam Islam, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyah li Ad-Dirasat
Djalil, A. Basiq. 2007. Peradilan Islam.
.

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*