Rabu, 09 Desember 2009

PROBLEMATIKA INSTITUSIONALISASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA



Makalah : Hambali Ibnu Ranim
Hidayatullah
Indria Lailatussadiyah
Firdaus
PROBLEMATIKA INSTITUSIONALISASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA ISLAM KASUS MALAYSIA

Pendahuluan
Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara dengan luas 329.847 km persegi. Ibukotanya adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat pemerintahan persekutuan. Jumlah penduduk negara ini melebihi 27 juta jiwa. Suku Melayu menjadi bagian terbesar dari populasi Malaysia. Terdapat pula komunitas Tionghoa-Malaysia dan India-Malaysia yang cukup besar. Bahasa Melayu dan Islam masing-masing menjadi bahasa dan agama resmi negara.
Federasi Malaysia adalah sebuah monarki konstitusional. Kepala negara persekutuan Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong, biasa disebut Raja Malaysia. Yang di-Pertuan Agong dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri; konstitusi Malaysia menetapkan bahwa perdana menteri haruslah anggota dewan rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang di-Pertuan Agong dan mendapat dukungan majoritas di dalam parlemen. Kabinet dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung jawab kepada badan itu, sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Pemerintah negara bagian dipimpin oleh Menteri Besar di negeri-negeri Malaya atau Ketua Menteri di negara-negara yang tidak memelihara monarki lokal, yakni seorang anggota majelis negara bagian dari partai majoritas di dalam Dewan Undangan Negeri. Di tiap-tiap negara bagian yang memelihara monarki lokal, Menteri Besar haruslah seorang Suku Melayu Muslim, meskipun penguasa ini menjadi subjek kebijaksanaan para penguasa. Kekuasaan politik di Malaysia amat penting untuk memperjuangkan suatu isu dan hak. Oleh karena itu kekuasaan memainkan peranan yang amat penting dalam melakukan perubahan.
Secara administratif, Malaysia memiliki 13 negara bagian (11 di Malaysia Barat dan 2 di Malaysia Timur) dan 3 wilayah persekutuan (semua tiga wilayah persekutuan digabungkan menjadi satu dalam bendera Malaysia) yang dilambangkan sebagai empat belas jalur dan sudut bintang di Bendera Malaysia yang dinamakan "Jalur Gemilang":
Malaysia Barat (Semenanjung)
1. Johor Darul Takzim
2. Kedah Darul Aman
3. Kelantan Darul Naim
4. Melaka Bandaraya Bersejarah
5. Negeri Sembilan Darul Khusus
6. Pahang Darul Makmur
7. Perak Darul Ridzuan
8. Perlis Indera Kayangan
9. Pulau Pinang Pulau Mutiara
10. Selangor Darul Ehsan
11. Terengganu Darul Iman
12. Wilayah Persekutuan, terdiri dari:
Kuala Lumpur
Putrajaya
Malaysia Timur
1. Sabah Negeri Di Bawah Bayu
2. Sarawak Bumi Kenyalang
3. Wilayah Persekutuan, yaitu:
Labuan
Malaysia adalah masyarakat multi-agama dan Islam adalah agama resminya. Menurut gambaran Sensus Penduduk dan Perumahan 2000, hampir 60,4 persen penduduk memeluk agama Islam; 19,2 persen Buddha; 9,1 persen Kristen; 6,3 persen Hindu; dan 2,6 persen Agama Tionghoa tradisional. Sisanya dianggap memeluk agama lain, misalnya Animisme, Agama rakyat, Sikh, dan keyakinan lain; sedangkan 1,1% dilaporkan tidak beragama atau tidak memberikan informasi.
Konstitusi Malaysia secara teoretik menjamin kebebasan beragama. Tambahan lagi, semua non-Muslim yang menikahi Muslim harus meninggalkan agama mereka dan beralih kepada Islam. Sementara, kaum non-Muslim mengalami berbagai batasan di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan mereka, seperti pembangunan sarana ibadah dan perayaan upacara keagamaan di beberapa negara bagian. Muslim dituntut mengikuti keputusan-keputusan Mahkamah Syariah ketika mereka berkenaan dengan agama mereka. Jurisdiksi Mahkamah Syariah dibatasi hanya bagi Muslim menyangkut Keyakinan dan Kewajiban sebagai Muslim, termasuk di antaranya pernikahan, warisan, kemurtadan, dan hubungan internal sesama umat. Tidak ada pelanggaran perdata atau pidana berada di bawah jurisdiksi Mahkamah Syariah, yang memiliki hierarki yang sama dengan Pengadilan Sipil Malaysia. Meskipun menjadi pengadilan tertinggi di negara itu, Pengadilan-Pengadilan Sipil (termasuk Pengadilan Persekutuan, pengadilan tertinggi di Malaysia) pada prinsipnya tidak dapat memberikan putusan lebih tinggi daripada yang dibuat oleh Mahkamah Syariah; dan biasanya mereka segan untuk memimpin kasus-kasus yang melibatkan Islam di dalam wilayah atau pertanyaan atau tantangan terhadap autoritas Mahkamah Syariah. Hal ini menyebabkan masalah-masalah yang cukup mengemuka, khususnya yang melibatkan kasus-kasus perdata di antara Muslim dan non-Muslim, di mana pengadilan sipil telah memerintahkan non-Muslim untuk mencari pertolongan dari Mahkamah Syariah.

Kodifikasi dan Institusionalisasi Hukum Keluarga di Malaysia

Berikut beberapa problematika kodifikasi dan institusionalisasi hukum keluarga di Malaysia disertai perbandingan dengan Indonesia:

Batasan Umur
Mengenai batasan umur bagi orang yang akan melangsungkan pernikahan menurut Undang-undang keluarga di Malaysia adalah untuk laki-laki berusia 18 tahun dan wanita berusia 16 tahun dalam Act 304 of 1984.
Di Indonesia mengenai batasan usia untuk suatu perkawinan diatur dalam undang-undang Perkawinan pada pasal 7, sebagai berikut:
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Perizinan Wali dalam Perkawinan
Untuk masalah yang berkaitan dengan acara (akad nikah) dan perizinan perkawinan ini bersifat normal, dan jika seandainya ada yang melakukan pelanggaran dalam hal tersebut, maka suatu perkawinan tetap dianggap sah, sah dibawah Undang-undang Islam. Dan hal ini pun dikuatkan dengan banyaknya Enakmen yang menyatakan bahwa sekiranya syarat dalam keperluan formal tidak dipenuhi, maka tidak menjadikan suatu perkawinan itu tidak sah. Prinsip ini mendapat pertimbangan dari badan kehakiman dalam suatu kes yang baru yaitu In the Estate of Syaikh Mohamed bin Abdul Rahman bin Hazim. Dalam kes ini terdapat suatu persoalan yakni tentang sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak mematuhi aturan seksyen 116, Enakmen Pentadbiran Undang-undang untuk orang Islam Pulau Minang, 1959. Seksyen 116 (3) Enakmen tersebut menetapkan sebelum melakukan suatu perkawinan, Pendaftar memastikan bahwa tidak ada hal-hal yang dapat menghalangi sesuai Undang-undang untuk orang Islam sebelum dilaksanakan akad nikah. Sementara itu, subseksyen 4 mengatur tentang wali hakim jika wali yang seharusnya tidak bersedia menjadi wali bagi calon mempelai tanpa ada sebab yang munasabah, dan Mahkamah dengan jelas menerangkan bahwa pelanggaran aturan ini tidak menyebabkan suatu perkawinan tersebut tidak sah.
Dalam perundangan di Indonesia, mengenai perizinan wali untuk perkawinan diatur dalam Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan Pasal 6 ayat 2 sampai ayat 6, sebagai berikut:
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pencatatan Perkawinan
Dalam hukum perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran/pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai akad nikah. Hanya saja dalam rincian operasionalnya proses pencatatan ada tiga jenis:
a. untuk orang yang tinggal di negara masing-masing, pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah kad nikah, dan catatan tersebut disaksikan oleh wali, dua orang saksi dan Pendaftar.
b. Orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan di Kedutaan Malaysia yang ada di luar negeri. Untuk kasus ini proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya.
c. Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di Kedutaan/Konsul Malaysia yang ada di negara bersangkutan. Proses untuk kasus ini adalah bahwa pihak yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah kad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diangkat oleh Kedutaan atau konsul di tempat terdekat. Kalau yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam bulan, diperbolehkan juga mendaftar di Malaysia.
Bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia tidak sesuai dengan aturan yang ada merupakan perbuatan melanggar hukum dan dapat dihukum dengan hukuman denda maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya.
Di Indonesia, masalah pencatatan perkawinan jika ditinjau dari perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal ayat (2) dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ini termasuk satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Kemudian dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang perkawinan pada Pasal 3 dinyatakan:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Hak dan Kewajiban Suami Istri
Malaysia sebagai sebuah kerajaan yang system undang–undangnya berinduk pada system Inggris ,terpengaruh juga oleh perubahan kedudukan perempuan bersuami itu. Dalam sebuah Ordinan dari tahun 1957 yang dikenal sebagai “The Married Woman ordinance, 1957” ditentukan bahwa seorang perempuan bersuami sama dengan suaminya memiliki hak–hak dan kewajiban tertentu, baik kepada diri mereka masing–masing maupun kepada pihak ketiga. Seorang istri menurut kepada Ordinan tersebut tidaklah bersifat “Inferior” (Rendah) terhadap suaminya .tanpa perlu meminta izin suami, Istri boleh melakukan perbuatan–perbuatan apapun untuk mewujudkan kesejahteraan keluarganya.

Hak dan kewajiban suami istri untuk tinggal bersama
Hidup bersama antara suami dan istri dengan segala akibatnya yang datang dari hubungan itu, Tinggal bersama ini merupakan kewajiban bagi suami–istri itu selama perkawinan mereka masih berlangsung, baik suami maupun istri dapat menuntut agar salah satu pihak yang meninggalkanya kembali tinggal bersamanya. Terhadap hak ini terdapat beberapa pengecualian seperti berikut:
- Atas dasar suatu perjanjian
Dengan persetujuan kedua belah pihak, mereka boleh tinggal berpisah,ini berarti antara suami istri itu terdapat persesuaian paham untuk tinggal di tempat yang berbeda.
Perjanjian untuk bertempat tinggal terpisah ini sesungguhnya belum lama di berlakukan oleh undang–undang di Inggris sebab dulu, ketika pengaruh agama Kristen masih besar, di negeri itu terhadap segala peraturan yang berlaku terlarang sama sekali untuk suami–istri untuk tinggal terpisah.

- Dengan suatu perintah Mahkamah
Dengan menggunakan alasan–alasan yang sah, suami-istri dapat mengajukan permohonan kepada mahkamah untuk tinggal berasingan.perpisahan tempat tinggal di antara suami-istri ini dikenal sebagai pisahan kehakiman (Judicial Separation). Dalam akta pembaharuan undang–undang (perkawinan dan perceraian), 1976 di Malaysia, perpisahan kehakiman ini diatur dalam seksyen 64.

Kewajiban Suami untuk Memberi Nafkah kepada istrinya
Di Semenanjung Malaysia terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang pemberian nafkah ini, yaitu The Married Woman and children (maintenance) Ordinance, 1950, The Married Womanand children (enforcement of maintenance) Act, 1968, dan akta pembaharuan undang–undang (perkawinan dan perceraian), 1976.
Dalam The Married Woman and children (Maintenance) Ordinance, 1950 disebutkan bahwa kalau pihak suami lalai atau enggan memberikan nafkah kepada istri dan anaknya, maka Mahkamah atas permohonan yang bersangkutan dan atas bukti-bukti yang cukup dapat memerintahkan suami untuk memberi nafkah bulanan yang jumlahnya wajar menurut pertimbangan Mahkamah jika ternyata istrinya tak mampu membiayai kehidupannya sendiri bersama anak–anaknya.
- Tentang Jumlah Banyaknya Nafkah
Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, berupa jumlah nafkah yang harus dibayarkan oleh suami kepada istri dan anak–anaknya diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan Mahkamah. Hakim dalam memutus perkara ini tidak hanya melihat kemampuan suami, tetapi keadaan istri serta anak–anaknya, apakah istri bekerja dan mempunyai pendapatan yang lumayan, apakah pula anaknya sudah bekerja dan berpendapatan, dan sebagainya.

- Nafkah Yang Diatur dalam Akta Pembaharuan Undang–Undang (Perkawinan dan Perceraian) 1976
Ketentuan yang terdapat di dalam The Married Women and Children (maintenance) Ordinance, 1950 mengatur tentang nafkah semasa suami–istri masih terikat oleh suatu perkawinan. Dalam akta pembaharuan Undang-undang (perkawinan dan perceraian), 1976 diatur mengenai nafkah setelah terjadi perceraian antara lain disebutkan di dalam seksyen 77.
Di Indonesia diatur masalah hak dak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 sampai dengan 1974 pada Bab VI pasal 30 sampai dengan 34, sedangkan Ordonansi perkawinan Kristen Indonesia 1933 No. 74 di dalam pasal 45 sampai dengan 49 dan kitab Undang-undang hukum perdata mengaturnya mulai pasal 103 dan seterusnya
Menurut UU perkawinan kedudukan antara suami dan istri itu seimbang (lihat ayat (1) pasal 31 Undang-undang Perkawinan). Tentang hak dan kewajiban suami istri selanjutnya disebutkan dalam Undang-undang lama sebagai berikut:
1. Suami istri harus setia satu sama lain, saling menolong dan membantu.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memenuhi segala keperluannya menurut kedudukan dan kemampuannya.
3. Suami istri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya.
4. Istri harus patuh, tinggal bersama suami dan wajib mengikuti suami di manapun suami itu bertempat tinggal.




Poligami
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Malaysia tentang boleh tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal yang dibicarakan, yakni: syarat-syarat, alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami dan prosedurnya.
Mahkamah Syar’iyah dalam memberikan izin suami melakukan poligami berdasarkan pertimbangan seksyen 23{4} Akta Undang-undang Keluarga Islam 1984, yaitu:
1. Perkawinan yang dicadangkan itu adalah patut dan perlu memandang kepada keadaan istri dari segi kemandulan, keuzuran jasmani, tidak layak dari segi jasmani untuk melakukan persetubuhan, sengaja ingkar mematuhi untuk pemulihan hak-hak persetubuhan, atau gila.
2. Pemohon atau suami mempunyai kemampuan mengikut kehendak syara’ untuk menanggung semua istri dan tanggungannya termasuk orang yang bakal ditanggungnya berikutan dari dari perkawinan yang baru.
3. Pemohon berupaya member layanan sama rata kepada semua istr mengikut kehendak hokum syara’.
4. Perkawinan yang dicadangkan tidak akan menyebabkan darar syarie’ kepada istri.

a. Syarat-syarat
Semua Undang-undang Keluarga Malaysia mengharuskan adanya izin lebih dahulu secara tertulis dari hakim (pengadilan).

b. Alasan-alasan Pertimbangan Boleh Tidaknya Poligami
Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak istri dan suami. Adapun alasan-alasan dari pihak istri adalah:
- Kemandulan,
- karena keudzuran jasmani,
- karena tidak layak dari segi persetubuhan,
- sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau
- istri gila.
Sedang pertimbangan dari pihak suami adalah:
- mampu secara ekonomi untuk menanggung kebutuhan istri-istri dan anak (keturunan),
- berusaha untuk adil di antara para istri,
- perkawinan itu tidak menyebabkan bahaya terhadap agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda istri yang telah lebih dulu dinikahi, dan
- perkawinan tidak menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau yang terkait dengan perkawinan, baik langsung atau tidak.
c. Prosedur
Sedangkan untuk prosedur bagi yang melakukan poligami, ada tiga langkah:
- suami yang akan melakukan poligami mengajukan permohonan untuk mendapat izin dari hakim,
- pemanggilan pemohon dan isteri atau istri-istri, sekaligus pemeriksaan oleh Pengadilan terhadap kebenaran permohonan dan berkas-berkas (salinan-salinan) yang disampaikan oleh suami,
- putusan Pengadilan berupa penerimaan penolakan terhadap permohonan pemohon.
Dalam pasal 3 Undang-undang perkawinan di Indonesia dinyatakan bahwa undang-undang ini menganut asas monogami, yaitu: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.” Namun pada bagian yang lai dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat dibolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah mengizinkan (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perkawinan seperti yang diungkapkan sebagai berikut: “Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
b. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
c. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
d. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance).

Perceraian
Dalam perundangan keluarga Malaysia, perhatian yang agak banyak ditumpukan pada kaedah perceraian dan talak dibahas dengan agak sempurna. Walaupun Enakmen dengan jelas meliputi hal-ihwal perceraian, namun peraturan-peraturan yang dibuat di bawah Enakmen tersebut tetap mengandalkan kuasa bicara mutlak dari suami. Akan tetapi di Selangor, meskipun suami diharuskan melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu tujuh hari, peraturan yang dibuat di bawah Enakmen Selangor menetapkan bahwa Kadi (hakim) harus menghadiri proses perceraian dan mengesahkan talak yang dibuat setelah berusaha terlebih dahulu mengusahakan adanya perdamaian.
Adapun alasan perceraian yang dijelaskan dalam perundangan keluarga Muslim di negara Malaysia, meliputi:
a. suami impoten,
b. suami gila atau semacamnya,
c. izin atau persetujuan perkawinan dari istri diberikan secara tidak sah,
d. pada waktu perkawinan suami sakit saraf yang tidak pantas untuk melakukan perkawinan,
e. alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.
Begitu juga yang berlaku di kerajaan Kelantan tetapi ditambah satu lagi, yaitu istri dinikahkan bapaknya sebelum dewasa.
Sementara UU Negeri Sembilan, Persekutuan Pulau Pinang dan Selangor mencatat 12 alasan, yaitu:
1. suami tidak memberi nafkah selama tiga bulan,
2. suami di penjara tiga tahun atau lebih,
3. suami tidak memberikan nafkah batin selama satu tahun,
4. suami impoten,
5. suami gila atau semacamnya selama dua tahun,
6. istri dinikahkan bapaknya sebelum usia 16 tahun,
7. suami menganiaya istri,
8. suami enggan menyetubui istri,
9. persetujuan perkawinan dari istri diberikan secara tidak sah,
10. pada waktu perkawinan istri sakit jiwa,
11. alasan-alasan lain yang sah menurut syariah.
Adapun proses perceraian dengan talak secara umum adalah:
- Mengajukan permohonan perceraian ke Pengadilan yang disertai dengan alasan,
- Pemeriksaan, yang meliputi pemanggilan pihak-pihak oleh pengadilan,
- Putusan.

Hakim Wanita di Mahkamah Syariah
Di Malaysia tidak ada larangan khusus dan jelas bahwa wanita tidak boleh menjadi hakim. Melihat Akta Pentadbiran Agama Islam Wilayah Persekutuan 1993, kelayakan calon menjadi hakim adalah warga Malaysia dan memiliki pengalaman sebagai kadi di Mahkamah Tinggi Syariah ataupun sebagai jaksa atau penitera ataupun orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum syara’.
Negeri Pahang memiliki aturan berbeda, dalam UU Islam 1991 disebutkan bahwa kelayakan calon untuk Ketua Hakim Syarie’ dan Hakim Mahkamah Tinggi adalah laki-laki, warga Malaysia dan berpengalaman minimal 10 tahun sebagai peguam syarie’ atau sebagai anggota Mahkamah Syariah atau memiliki keahlian dalam bidang ilmu syariah. Aturan ini memang tidak menghalangi wanita menjadi hakim di Mahkamah Rendah, tetapi mencegah wanita yang layak untuk naik pangkat menjadi hakim Mahkamah Tinggi atau Ketua hakim Syarie’ di Pahang.
Kekuasaan mengangkat hakim di negeri-negeri merupakan mutlak Sultan dengan nasehat Majelis Agama Islam. Kenyataannya belum ada wanita yang diangkat menjadi hakim Makamah Syari’ah di Malaysia. Dalam seminar Ushul Fiqh di Kolej Universiti Islam Antarbangsa pada tanggal 15-16 Desember 2004, Datuk Syeikh Ghazali berpendapat bahwa wanita harus diangkat menjadi hakim berdasarkan pendapat Imam al-Thabari. Tetapi dalam kenyataanya, masih belum ada calon-calon yang benar layak untuk dilantik menjadi hakim di Mahkamah Syariah Malaysia.
Di Indonesia pernah muncul perdebatan mengenai kebolehan hakim wanita di Pengadilan Agama. Hal tersebut akhirnya selesai setelah Prof. K.H. Ibrahim Hosen mengajak para ulama berunding dan disepakati wanita boleh menjadi hakim.

Wasiat Wajibah
Jawatankuasa Perundangan Syarak Negeri Selangor telah memasukkan peruntukan wasiat wajibah ke dalam Enakmen Wasiat Orang Islam Selangor 1999, seksyen 27 berbunyi: (1) Jika seseorang mati tanpa membuat apa-apa wasiat kepada cucunya daripada anak lelakinya yang telah mati terlebih dahulu daripadanya atau mati serentak dengannya, maka cucunya itu hendaklah berhak terhadap satu pertiga wasiat dan, sekiranya cucu itu diberi dengan kadar yang kurang dari satu pertiga, haknya hendaklah disempurnakan mengikut kadar wasiat wajibah yang diperuntukkan di bawah seksyen ini.
Di Malaysia, awalnya hanya Negeri Selangor yang memberlakukan pembagian wasiat wajibah. Kemudian diikuti oleh Negeri Sembilan di dalam Enakmen Wasiat Orang Islam {Negeri Sembilan} 2004 dan Melaka di dalam Enakmen Wasiat Orang Islam {Negeri Melaka} 2005.
Aturan mengenai wasiat wajibah di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat {1} dan {2}:
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 139 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyak sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.


Masalah Fiqh Malaysia Indonesia
Batasan umur






Malik: menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Syafi’i, Hambali: 15 tahun.
Hanafi: laki-laki 18 tahun, perempuan 17 tahun (maksimal), laki-laki 15 tahun, perempuan 9 tahun (minimal). Laki-laki 18 tahun, dan perempuan 16 tahun. UU Perkawinan tahun 1974 Pasal 7 ayat (1): “Perkawinan diizinkan jika laki-laki berusia 19 tahun, dan perempuan 16 tahun.”
Perizinan wali dalam pernikahan Bagi perempuan perawan wajib dengan seizin wali adapun janda berkuasa atas dirinya sendiri. Seksyen 116 (3), Enakmen tersebut menetapkan sebelum melakukan suatu perkawinan, Pendaftar memastikan bahwa tidak ada hal-hal yang dapat menghalangi sesuai Undang-undang untuk orang Islam sebelum dilaksanakan akad nikah. UU Perkawinan Tahun 1974 Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan Pasal 6.
(Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua).
Pencatatan pernikahan Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai akad nikah (UU Perak 1984 Pasal 23, UU Serawak 1991 Pasal 23, UU kelantan 1983 pasal 21 ayat 1, UU negeri Sembilan 1983 Pasal 25, UU Pahang 1987 Pasal 25, UU Persekutuan 1984 Pasal 25, UU Selangor 1984 Pasal 25, dan UU Pinang 1985 Pasal 25) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal ayat (2) dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Poligami Boleh dengan batas maksimal empat orang istri dalam satu waktu dan suami berbuat adil Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Malaysia tentang boleh tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal yang dibicarakan, yakni: syarat-syarat, alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami dan prosedurnya. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat dibolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah mengizinkan (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Perceraian Suami boleh menjatuhkan talak kepada istri, sedangkan istri boleh mengajukan khulu dengan membayar tebusan seharga mahar. Walaupun Enakmen dengan jelas meliputi hal-ihwal perceraian, namun peraturan-peraturan yang dibuat di bawah Enakmen tersebut tetap mengandalkan kuasa bicara mutlak dari suami. Suami berhak mengajukan cerai yang disebut cerai talak, sedangkan perempuan memiliki hak mengajukan cerai yang disebut cerai talak. Suami dan istri memiliki hak yang seimbang.
Hakim wanita
Jumhur mengharamkan wanita menjadi hakim akan tetapi Mazhab Hanafi membolehkan dalan perkara selain hudud dan kisas. Imam Tabari membolehkan secara mutlak. Secara umum tidak ada larangan wanita menjadi hakim kecuali Negeri Pahang.
Wanita boleh menjadi hakim di Pengadilan Agama.
Wasiat Wajibah Fikih belum mengatur masalah wasiat wajibah. Hanya Negeri Selangor yang diikuti Negeri Sembilan dan Melaka yang mengatur tentang wasiat wajibah. Diatur dalam KHI pasal 209.

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*