Rabu, 25 November 2009

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)



LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)
Oleh: IIN SOLIHIN
HAMBALI



Lemaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disebut LSM) ini merupakan salah satu pilar penegak Civil Society, sebuah istilah yang mendadak populere pada era 1990-an. Pada pokoknya Civil Society menampilkan aktor-aktor otonom diluar negara (state) yang resisten terhadap intervensi negara. Jeff Haynes (1997) yang menyebut LSM “kelompok aksi”, mencatat bahwa salah satu fenomena yang patut dicatat sebagai sebuah gejala Pasca Perang Dingin tahun 1990-an, adalah timbulnya gerakan-gerakan (kebanyakan di negeri dunia ketiga) yang kebanyakan antisistem, dari golongan terbawah, dengan berbagai tujuan politik, sosial, dan ekonomi. lebih khusus konsep Civil Society lantas dikaitkan dengan fenomena pertumbuhan yang luar biasa atas LSM. Atau non-goverment organization (NGO). Maka, seolah tak lengkap bila bicara tentang dunia LSM tak dikaitkan dengan Civil Society. Yang dimaksud LSM di sini adalah mereka yang melakukan proses penguatan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga posisinya tak sepenuhnya bergantung pada “negara”. Bahkan sebaliknya, bisa melancarkan politik dan masukan pada negara secara leluasa, tanpa takut akan tekanan-tekanan yang dilancarkan (negara). Kemandirian masyarakat (elemen-elemen masyarakat, antara lain disimbolisasikan lewat eksistensi LSM), merupakan salah satu persyaratan terwujudnya Civil Society. Sebab itulah independensi demikian penting, terutama tetkala berahadapan dengan negara (state).

Salmon (1999), sebagaimana Jeff Haynes (1997) menyebut gejala “revolusi asosiasional” telah menjadi fenomena global, yang bergerak dari negara-negara maju, seperti Amerika, Eropa, dan (beberapa negara) Asia menyebar ke negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin dan negara-negara bekas Uni Sovyet. Sesungguhnya, gejala itu bisa ditelusuri sejak awal Abad ke-20, di mana terjadi “the rise of nation stste”. Bagi Salmon kelompok-kelompok asosional itu tidak hanya mendedikasikan upaya-upayanya untuk anggota da pengurusnya, tetapi lebih ketujuan-tujuan publik di luar kemampuan dan peran aparat negara. Ia adalah semacam jembatan yang menghubungkan “state” dan “citizen”. Bagaimanapun Civil Society diakui sebagai kekuatan penting bagi reformasi (Force for refrom). Dan bahakan sistem dan kebijakan sebuah pemerintahan bisa amat ditemukan oleh bagaimana pengaruh Civil Society. Lembaga Swadaya Masyarakat adalah Institusi social yang dibuat oleh Swadaya Masyarakat yang tugas esensinya membantu dan memperjuangkan kepentingan masyarakat yang tertidas. Lembaga Swadaya Masyarakat dalam konteks masyarakat madani bertugas untuk memberdayakan kepada warga masyarakatnya. Yang mengenai hal-hal signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, sosialisasi dan program-program pembangunan masyarakat. LSM bergerak dalam berbagai bidang atau sector garapan dalam rangka pemberdayaan masyarakat atau penguatan posisi tawar masyarakat terhadap Negara. Diantara LSM adalah YLBHI (LSM bidang hukum dan HAM), LAP (LSM bidang pendidikan), WALHI (LSM bidang lingkungan hidup) dll.

LSM yang ideal dalam masyarakat madani adalah LSM sebagai lembaga yang independen, kuat dan lahir dari rakyat yang dapat memperkuat posisi dan daya tawar-menawar rakyat terhadap pemerintah, disebabkan mereka berani melakukan koreksi dan teguran terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah. Harus ditumbuhkan semangat mengaspirasikan masyarakat kepada mereka yang sering disebut presure group (kelomok penekan), mereka yang akan memperjuangkan itu melalui jalur demokrasi yang benar. Lebih daru itu, mereka pun dapan memberikan saran-saran yang konstruktif sebagai solusi dan jalan keluar yang seharusnya dijalankan pemerintah dalam mengatasi masalah sosial dan kemasyarakatan yang sedang dihadapi. Dalam batasan-batasan tertentu, menurut Syamsuddin, organisasi yang didefinisikan sebagai LSM sebenarnya dapat berperan penting sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat secara ekonomi dan politik. Sebab, mereka dapan menjalankan kegiatan yang lebih mandiri dan bebas dari intrevensi negara, yang lingkupnya menjangkau lapisan masyarakat paling bawah sekalipun seperti buruh dan tani, dan sekaligus mensosialisasikan wacana alternatif tunggal negara.

LSM yang ada di indonesia sebagian besar tidak mandiri, terutama dari segi keuangan untuk mendanai program-program kerjanya. Pekerjaannya hanya seringkali membuat proposal untuk meminta bantuan dana kepada lembaga-lembaga donor, keluar maupun kedalam negeri. Yang paling memprihatinkan adalah kenyataan adanya sebagian LSM yang hanya memperalat dan menjual atas nama orang miskin untuk mencari dana keluar negeri, yang tujuannya adalah bukan untuk orang miskin, tetapi untuk kepentingan para pengurusnya saja. Melalui LSM (atas nama orang miskin) mereka memperkaya diri sendiri bukan untuk memperbesarkan LSM dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang sesungguhnya.

Andres Uhlin menyebut peran LSM demikian besar dalam menggulingkan wacana pro demikrasi di indonesia. Peran generasi senior LSM yang berbiak di tahun 1970-an dan generasi LSM yang baru pro demokrasi dan HAM, bagi Uhlin, sangat signifikan. Pada saat menumbangkan rezim Orde Baru, LSM demikian progresif demikian pula dinamikanya hingga kini. Hanya saja karena LSM diindonesia banyak modelnya dan juga ada pragmentasi idiologis (sebagaimana terjadi digerakan mahasiswa) kalanagan LSM sebagai penggerak Civil Society, tidak mampu berbuat banyak. Keterbatasan-keterbatasan yang ada kerap mengahambat para aktifis LSM untuk bisa bergerak lebih leluasa lagi. Ironisnya justru tatkala negara sudah lagi tidak serefresif dulu, suara-suara moral kalangan LSM terkesan kehilangan gaunnya.

Salah satu keterebatasan kalangan LSM, termasuk LSM pro demokrasi adalah terkait dengan anggaran dana mereka. Karena LSM merupakan organisasi nonprofit, bisa dipastika sebagian besar dananya diproleh dari para penyokongnya (Funnding). Tatkala para penyokong dan penyedia dana mencabut hubyngannya maka LSM pun kelabakan. Contoh, YLBHI (Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang dikabarkan tidak dapat bantuan dana secara signifikan dari lembaga-lembaga penyedia dana asing yang sekama ini menyuplainya, sehingga dikabarkan Taufik Kemas ikit turun tangan.

Catatan lainya adalah LSM kita rupanya sebagian besar berada dalam desain ekonomi-politik global yang bercorak neoliberal. Padahal, proses globalisasi neoliberal dan rezim pasar bebas telah mengambil dan menggunakan gagasan Civil Society justru untuk tujuan untuk menjinakan gerakan resisten rakyat dan gerakan NGO untuk menerima Global Governance, yakni relasi negara, rezim pasar, dan rakyat model neoliberal. Tentu saja hal ini amat lain dengan konsep civil society Antonio Gramsci, di mana konsep itu dipakai sebagai weapon of the weak, sebagai kendaraan kaum marjinal dan tertindas mempertahankan hak-hak asasi mereka.
LSM Dalam konteks Indonesia, fakih mencirikannya kedalam tiga kelompok, Pertama, Konformisme-paradigma bantuan kretif; Kedua, Reformis-tumbuh dari partisipasi masyarakat dan anti-korupsi; Ketiga, Transformatif. Studi lain yang membahas soal corak LSM Indonesia, misalnya Vedi R Hadiz (1999), yang menyebut LSM dengan istilah “organisasi sumberdaya masyarakat madani”. Sebagaimana Fakh, Hadiz juga mencoba menunjukan corak dan model LSM Indonesia yang ternyata tidak tunggal, melainkan plural, dengan segala persoalnnya. Fakih, menyebutnya ada empat pembahasan penting di seputar permasalahan yang dihadapi LSM indonesia: Pertama, LSM versus hegomoni developmentalism; Kedua, posisi struktur LSM dalam negara; Ketiga, gerakan rakyat versus sebagai konsultan pembangunan; dan Keempat, hegomoni dari lembaga negara.

Ada dua pendapat dikalangan pejabat Negara Indonesia tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan peranannya dalam proses pembangunan di Indonesia. Pendapatp pertama, melihat bahwa LSM di Indonesia adalah sebuah organisasi yang senang membuat ribut-ribut dengan cara mendukung kegiatan-kegiatan yang sifatnya menuntut pemerintah agar lebih demokratis, lebih mengakui hak asasi manusia, dan lebih memperhatikan kelestarian lingkungan dalam membangun. Pendapat kedua melihat bahwa LSM adalah sebuah organisasi masyarakat yang dapat digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan dari pembangunan yang direncanakan.Dalam konteks ini muncullah konsep kemitraan antara pemerintah dan LSM. Yang perlu dipertanyakan, mengapa sikap dan persepsi sebagian besar pejabat pemerintah terhadap LSM di Indonesia masih menganggap sebagai suatu kekuatan oposan terhadap kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan bukan sebagai mitra. Paling sedikit ada dua alasan, pertama, sikap yang condong negatif terhadap LSM muncul karena masih kuatnya pandangan bahwa pemerintah dan aparatnyalah yang menjadi penanggung jawab tunggal baik dalam perencanaan, strategis maupun pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Kedua, terkait dengan rasa kekwhatiran mereka terhadap kemungkinan LSM dipakai sebagai wahana penyebaran idiologi asing yang dianggap tidak sesuai dengan idiologi dan budaya politik Indonesia.

0 komentar:

alipoetry © 2008 Por *Templates para Você*